Upload
trannhi
View
218
Download
3
Embed Size (px)
Citation preview
TESIS
( ASTAXANTHIN SECARA KLINIS MENURUNKAN KADAR NITRIC OXIDE SERUM PADA
NON PROLIFERATIF DIABETIC RETINOPATHY RINGAN
NI WAYAN SEDANI
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR 2014
TESIS
ASTAXANTHIN SECARA KLINIS MENURUNKAN KADAR NITRIC OXIDE SERUM PADA
NON PROLIFERATIF DIABETIC RETINOPATHY RINGAN
(7,6
NI WAYAN SEDANI NIM 1014128105
PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR 2014
ASTAXANTHIN SECARA KLINIS MENURUNKAN
KADAR NITRIC OXIDE SERUM PADA NON PROLIFERATIF DIABETIC RETINOPATHY
RINGAN
Tesis Ini Untuk Memperoleh Gelar Magister Pada Program Magister, Program Studi Ilmu Biomedik
Program Pascasarjana Kedokteran Universitas Udayana
NI WAYAN SEDANI NIM 1014128105
PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR
2014
Lembar Pengesahan
TESIS INI TELAH DISETUJUI
PADA TANGGAL : 8 Juli 2014
Pembimbing I, Pembimbing II,
dr. I Putu Budhiastra, SpM(K) Prof.DR.Dr.I Gde Raka
Widiana,SpPD-KGH
NIP. 19540508 1980121001 NIP. 19560707 1982111001
Mengetahui,
Ketua Program Studi Ilmu Biomedik Direktur, Program Pascasarjana Program Pascasarjana Universitas Udayana Universitas Udayana
Prof.Dr.dr.Wimpie,I.Pangkahila,SpAnd,FAACS Prof.Dr.dr.A.A.Raka Sudewi,SpS(K) NIP. 19461213 1971071001 NIP. 19590215 1985102001
Tesis Ini Telah Diuji Pada
Tanggal 8 Juli 2014
Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Direktur Program Pascasarjana
Universitas Udayana No: 1987/UN 14.4/HK/2014 , Tanggal 30 Juni 2014
Panitia Penguji Tesis adalah :
1. dr. I W.Gede Jayanegara, Sp.M(K)
2. dr. A.A.A. Sukartini Djelantik, Sp.M(K)
3. Prof. Dr. dr. N. Adiputra, M.OH
4. Prof. dr. N.K. Niti Susila,Sp.M(K)
5. dr. Made Agus Kusumadjaja. Sp.M(K)
UCAPAN TERIMA KASIH
Pertama-tama perkenankanlah penulis memanjatkan puji syukur kepada
Tuhan Yang Maha Esa, atas berkah-Nya, sehingga tesis ini dapat terselesaikan.
Penulis menyadari sepenuhnya tesis ini tidak mungkin dapat selesai tanpa bantuan
dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini, izinkan penulis dengan setulus hati
menghaturkan rasa terima kasih yang tak terhingga kepada :
1. Rektor Universitas Udayana Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, SpPD-KEMD dan
Dekan Fakultas Kedokteran Udayana, Prof. Dr. dr. Putu Astawa, Sp.OT(K),
M.Kes yang telah memberikan kesempatan dan fasilitas untuk mengikuti dan
menyelesaikan Program Magister Pascasarjana dan Program Pendidikan
Dokter Spesialis 1 di Universitas Udayana.
2. Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. AA Raka
Sudewi, SpS(K) atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan sebagai
mahasiswa Program Pascasarjana Universitas Udayana.
3. Ketua Program Studi Ilmu Biomedik Combined Degree, Prof. Dr. dr.
Wimpie, I. Pangkahila, SpAnd., FAACS yang telah memberikan kesempatan
untuk mengikuti pendidikan Program Studi Ilmu Biomedik combined degree.
4. Direktur RSUP Sanglah Denpasar, dr. Anak Ayu Sri Saraswati, M.kes atas
kesempatan dan fasilitas yang diberikan dalam menjalani Program
Pendidikan Dokter Spesialis 1 di Bagian Ilmu Kesehatan Mata.
5. Kepala Bagian Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran Universitas
Udayana, dr. Putu Budhiastra, SpM (K) yang telah memberikan kesempatan
mengikuti program pendidikan spesialisasi dan memberikan bimbingan
selama menjalani pendidikan spesialisasi.
6. Ketua Program Studi Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran Universitas
Udayana, dr. AAA Sukartini Djelantik, SpM(K) yang telah memberikan
kesempatan mengikuti program pendidikan spesialisasi, memberi petunjuk,
serta bimbingan selama menjalani pendidikan spesialisasi.
7. dr. Putu Budhiastra, SpM (K), sebagai pembimbing I yang telah meluangkan
waktu, memberikan petunjuk dan pengarahan, sejak awal penulisan sampai
dapat menyelesaikan tesis ini.
8. Prof.DR.Dr.I Gde Raka Widiana,SpPD-KGH selaku pembimbing II yang
selalu memberikan bimbingan dan pengarahan hingga terselesaikannya tesis
ini.
9. Prof. dr. N. Tigeh Suryadhi, MPH, Ph.D, dr. AAA Sukartini Djelantik,
SpM(K), dan dr. I W.Gede Jayanegara, Sp.M(K) selaku penguji atas semua
masukan, koreksi dan saran dalam penyelesaian tesis ini.
10. Seluruh Konsulen Ilmu Kesehatan Mata serta dosen Pascasarjana Program
Studi Ilmu Biomedik Combined Degree atas segala bimbingannya.
11. Seluruh teman sejawat residen di Bagian Ilmu Kesehatan Mata Fakultas
Kedokteran Universitas Udayana atas bantuan dan kerjasamanya selama ini
12. Seluruh paramedik di Poliklinik Mata RSUP Sanglah atas bantuan dan
kerjasamanya dalam pengumpulan sampel penelitian.
13. Seluruh paramedik di bagian Laboratorium Patologi Klinik RSUP Sanglah
Denpasar atas kerjasamanya dalam pengumpulan sampel penelitian.
Rasa syukur dan sujud kepada Ayahanda dan Ibunda kami I Nengah Joter
dan Ni Nyoman Notin, yang telah memberikan doa, kasih-sayang, motivasi dan
semangat kepada penulis. Ayahanda dan Ibunda Mertua I Wayan Japa dan Ni
Wayan Wanderi, terimakasih atas dorongannya selama ini. Akhirnya kepada
suami tercinta I Made Suardika,SE dan Ananda tersayang Putu Esha Manahcika
Putri dan Made Prayoga Wacika Diputra atas doa, dorongan semangat, dan
pengertian selama penulis menyelesaikan pendidikan dan penelitian ini.
Semoga tesis ini memberikan manfaat dan sumbangan yang berguna bagi
perkembangan pelayanan kesehatan mata serta bagi pendidikan IImu Kesehatan
Mata. Terakhir, semoga Sang Hyang Widhi Wasa – Tuhan Yang Maha Esa, selalu
melimpahkan rahmat-Nya kepada kita semua.
Denpasar, Juli 2014
Penulis
ABSTRAK
ASTAXANTHIN SECARA KLINIS MENURUNKAN
KADAR NITRIC OXIDE SERUM PADA
NON PROLIFERATIF DIABETIC RETINOPATHY RINGAN
Diabetic retinopathy (DR) adalah komplikasi mikrovaskuler yang paling banyak dari diabetes melitus, dan merupakan penyebab kebutaan dan gangguan penglihatan usia produktif. Nitric oxide (NO) merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi progresifitas DR akibat terjadinya stres oksidasi pada keadaan hiperglikemia kronis. Penelitian ini bertujuan mengetahui pemberian astaxanthin 8 mg dapat menurunkan kadar NO serum penderita Non Proliferative Diabetic Retinopathy (NPDR) ringan. Penelitian ini merupakan penelitian uji klinis dengan perluasan Randomized, Double Blinded, Placebo-Control, Pre and Posttest Group Design yang dilakukan di poliklinik Mata RSUP Sanglah Denpasar, Bali, mulai bulan Juli 2013 sampai bulan Desember 2013. Sampel diambil dengan teknik consecutive sampling dan dikelompokkan menjadi kelompok NPDR ringan dengan pemberian astaxanthin 8 mg dan pemberian plasebo dan masing-masing kelompok dilakukan pengambilan sampel darah vena untuk pemeriksaan kadar NO serum. Perbedaan kadar NO serum dianalisis dengan uji t tidak berpasangan. Penurunan kadar NO pada kelompok astaxanthin adalah 7,67 ± 8,07 µmol/L lebih besar daripada kelompok plasebo adalah 3,12 ± 7,63 µmol/L dengan beda rerata 4,56 µmol/L, dengan nilai p>0,05 yang tidak bermakna signifikan secara statistik. Perbedaan hasil klinis (effect size) pada penelitian ini didapatkan 60%. Berdasarkan hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa penurunan kadar NO serum pada kelompok NPDR ringan dengan astaxanthin 8 mg sekitar 60% lebih besar dibandingkan dengan kelompok NPDR ringan dengan plasebo.
Kata kunci : Diabetic Retinopathy, Non Proliferative Diabetic Retinopathy, Nitric Oxide (NO) serum
ABSTRACT
ASTAXANTHIN CLINICALLY DECREASED
SERUM NITRIC OXIDE LEVEL IN
MILD NON PROLIFERATIF DIABETIC RETINOPATHY
Diabetic retinopathy (DR) is the most common microvascular complications of diabetes mellitus, and is the leading cause of blindness and visual impairment in the working-age population. Nitric oxide (NO) is one of the factors that influences the progression of DR due to oxidative stress in a state of chronic hyperglycemia. This study aimed to determine the administration of 8 mg astaxanthin that decreased serum NO levels in patients with mild Non-Proliferative Diabetic Retinopathy (NPDR). This study is a randomized clinical trial by extension, Double Blinded, Placebo-Control, Pre and Posttest Group Design performed in the clinic Sanglah Eye Hospital, Bali, from July 2013 to December 2013. Samples were taken with consecutive sampling technique and classified into mild NPDR group with administration of 8 mg astaxanthin and placebo administration and each group venous blood samples were taken for examination of serum NO levels. Differences in serum NO levels were analyzed by unpaired t test. Difference in serum NO levels in the astaxanthin group was 7.67 ± 8.07 µmol / L greater than the placebo group was 3.12 ± 7.63 µmol / L with a mean difference 4.56 µmol / L, with p> 0, 05 were not statistically significant. Differences clinical outcome (effect size) in this study obtained 60%. The results of this study concluded that clinically the decrease in serum NO levels in mild NPDR with 8 mg astaxanthin group approximately 60% greater than mild NPDR with placebo group.
Keywords : Diabetic Retinopathy (DR), Non Proliferative Diabetic Retinopathy (NPDR), serum Nitric Oxide (NO)
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL………………………………………………………
PRASYARAT GELAR……………………………………………………
LEMBAR PENGESAHAN……………………………………………….
PENETAPAN PANITIA PENGUJI ……………………………………...
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT……………………………
UCAPAN TERIMA KASIH ……………………………………………..
ABSTRAK ………………………………………………………………..
ABSTRACT………………………………………………………………...
i
ii
iii
iv
v
vi
ix
x
DAFTAR ISI ……………………………………………………………...
DAFTAR TABEL…………………………………………………………
xi
xiv
DAFTAR GAMBAR……………………………………………………... xv
DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG……………….……………. xvi
DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................... xvii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang……………………………………………………. 1
1.2 Rumusan Masalah………………………………………………… 6
1.3 Tujuan Penelitian…………………………………………………. 6
1.4 Manfaat Penelitian……………………………………………...… 7
1.4.1 Manfaat teoritis ..………………………………………...… 7
1.4.2 Manfaat praktis…………………………………….....…….. 7
BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1 Diabetic Retinopathy……............................................................... 8
2.1.1. Definisi dan klasifikasi .................……………………….. 8
2.1.2. Patogenesis......……......…………………………………… 8
2.1.3. Gambaran Klinis........................…………………………… 9
2.1.4. Faktor Risiko..............................…………………………… 10 2.2 Non Proliferatif Diabetic Retinopathy Ringan……….................... 12
2.2.1 Diagnosis.....………………………………………………... 12
2.2.2 Penatalaksanaan....…………………...................................... 13
2.3 Stres oksidasi…………………………………................................. 14
2.3.1 Definisi ..…………………………………………………..... 14
2.3.2 Stres oksidasi pada retinopati diabetika……….........…….. 14
2.4 Nitric Oxide…….………………………………………………….. 15
2.4.1 Definisi………………………………………………………. 15
2.4.2 Disregulasi NOS....…….......................................................... 17
2.5 Antioksidan………………………………………………………... 19
2.5.1 Definisi………………………………………………………. 19
2.5.2 Klasifikasi dan Mekanisme Kerja…………………………… 20
2.6 Astaxanthin………………………………………………………... 21
2.6.1 Definisi……………………………………………………….. 21
2.6.2 Komposisi Kimia, Absorpsi, dan Metabolisme……………… 21
2.6.3 Astaxanthin sebagai Antioksidan……………………………. 23
2.6.4 Peranan Astaxanthin Terhadap Mata………………………… 24
BAB III KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN
3.1 Kerangka Berpikir .………………………………………………. 28
3.2 Kerangka Konsep …………...........………………………………. 29
3.3 Hipotesis Penelitian ………….………………………………...... 30
BAB IV METODE PENELITIAN
4.1 Rancangan Penelitian……………………………………………... 31
4.2 Tempat dan Waktu Penelitian…………………………………….. 31
4.3 Populasi dan Sampel Penelitian……........………………………... 32
4.3.1 Populasi penelitian........…………………………………….. 32
4.3.2 Sampel penelitian ……………………………………......... 32
4.3.2.1 Kriteria inklusi dan eksklusi penelitian ...................... 32
4.3.2.2 Besar sampel...…………………………………....…. 33
4.3.2.3 Cara pemilihan sampel…..................………………... 34
4.4 Variabel Penelitian………………………………………………... 35
4.4.1 Klasifikasi dan identifikasi variabel……………………........ 35
4.4.2 Definisi operasional variabel……………………………….. 35
4.5 Instrumen Penelitian......................................................................... 39
4.6 Prosedur Penelitian........................................................................... 39
4.6.1 Tahap persiapan...................................................................... 39
4.6.1.1 Pengacakan.................................................................. 39
4.6.1.2 Blinding....................................................................... 40
4.6.2 Pelaksanaan penelitian........................................................... 40
4.7 Alur Penelitian ................................................................................ 43
4.8 Analisis Data Statistik………………………..………….……....... 45
BAB V HASIL PENELITIAN
5.1 Karakteristik Subjek Penelitian…………………………………... 48
5.2 Perbedaan Kadar NO Serum Awal dan 4 Minggu Pemberian
Astaxanthin dan Plasebo pada NPDR Ringan …………………..
49
BAB VI PEMBAHASAN
6.1 Subjek Penelitian………………………………………………… 51
6.2 Perbedaan Kadar NO Serum Awal dan 4 Minggu Pemberian
Astaxanthin dan Plasebo pada NPDR Ringan …………………..
59
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN
7.1 Simpulan…………………………………………………………. 66
7.2 Saran……………………………………………………………… 66
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………....…….
67
LAMPIRAN-LAMPIRAN ....................................................................... 72
DAFTAR TABEL
5.1 Karakteristik Subjek Penelitian ……………………………………… 48
5.2 Perbedaan Kadar NO Serum Awal dan 4 Minggu Pemberian
Astaxanthin dan Plasebo pada NPDR Ringan
........................................
49
DAFTAR GAMBAR
Halaman
2.1 Patogenesis terjadinya Retinopati Diabetika......................................... 9
2.2 NPDR Ringan ...................................................................................... 13
2.3 Molekul Nitric Oxide....…………………………………………….. 16
2.4 Skema faktor-faktor dalam patogenesis retinopati diabetika........ 18
2.5 Molekul astaxanthin ……………………………………………… 22
3.1 Bagan Konsep Penelitian ...................................................................... 29
4.1 Rancangan Penelitian ............................................................................ 31
4.2 Skema Hubungan Antar Variabel ........................................................ 35
4.3
5.1
Skema Alur Penelitian ...........................................................................
Profil Penelitian ……………………………………………………….
44
47
DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG
AGE = Advanced Glication End Product
DCCT = Diabetes Control and Complication Trial
DM = Diabetes Mellitus
DME = Diabetic Macular Edema
DNA = Deoxyribosa Nucleic Acid
DR = Diabetic Retinopathy
HBA1C = Haemoglobin Adult 1c
IDF = International Diabetes Federation
IL- = Interleukin
NOS = Nitric Oxide Synthase
eNOS = endothelial Nitric Oxide Synthase
iNOS = inducible Nitric Oxide Synthase
nNOS = neuronal Nitric Oxide Synthase
NPDR = Non Proliferative Diabetic Retinopathy
O2- = Superoksida
OH- = Hidroksil
PDR = Proliferative Diabetic Retinopathy
ROS = Reactive Oxygen Species
RNS = Reactive Nitrogen Species
SD = Sekolah Dasar
SMP = Sekolah Menengah Pertama
SMA = Sekolah Menengah Atas
SOD = Super Oxide Dismutase
SPSS = Stastical Package for The Social Sciences
TNF-α = Tumor Necrosing Factor-α
UKPDS = United Kingdom Prospective Diabetes Study
WESDR = Wisconsin Epidemiologic Study of Diabetic Retinopathy
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1 Penjelasan Penelitian ............................................... 72
Lampiran 2 Lembar Persetujuan Setelah Penjelasan ................. 75
Lampiran 3 Kuisioner Penelitian ..........………......................... 76
LLampiran 4 Tabel Induk Penelitian............................................
LLampiran 5 Hasil Pemeriksaan NO ……………………………
LLampiran 6 Out Put SPSS ……………………………………..
LLampiran 7 Kelaikan Etik ……………………………………..
LLampiran 8 Surat Ijin Penelitian ………………………………
78
80
82
87
88
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Retinopati diabetika (Diabetic retinopathy; DR) merupakan penyebab kebutaan
terutama pada usia produktif. Retinopati diabetika didefinisikan sebagai kelainan
retina yang terjadi akibat komplikasi dari penyakit diabetes mellitus (DM) berupa
gangguan mikrovaskular yang disebabkan oleh hiperglikemia dalam jangka waktu
lama. Retinopati diabetika menjadi penyebab kebutaan yang paling sering setelah
katarak, baik di negara industri maupun di negara berkembang dan golongan umur
yang paling sering terkena adalah 25-74 tahun (American Academy of
Ophthalmology and Staff, 2011-2012a; Zhang dkk., 2011).
International Diabetes Federation (IDF) (2009) melaporkan bahwa
penderita DM mencapai 285 juta orang diseluruh dunia, dan diperkirakan
mencapai 438 juta orang tahun 2030 (Zhang dkk., 2011). Di Indonesia dilaporkan
pada tahun 2000 terdapat 8 juta lebih penderita DM dan menurut perhitungan,
pada tahun 2030 diperkirakan akan meningkat menjadi lebih dari 21 juta. Suatu
studi epidemiologi di Bali oleh Divisi Endokrin Metabolik FK Unud tahun 2005-
2010 memperoleh prevalensi DM sebesar 5,9% (Dwipayana dkk., 2010).
Retinopati diabetika adalah satu dari komplikasi DM yang mengakibatkan
gangguan penglihatan dan berakhir dengan kebutaan. Proporsi kebutaan yang
disebabkan oleh DR dari 0% di negara-negara Afrika, 3-7% di Asia Tenggara dan
Pasifik Barat, 15-17% di Amerika dan Eropa (Resnikoff dkk., 2004; Zhang
dkk.,2011).
The Wisconsin Epidemiologic Study of Diabetic Retinopathy (WESDR)
menyatakan setelah 20 tahun menderita DM, angka kejadian DR mencapai 99%
pada DM tipe 1 dan 60% pada DM tipe 2 (American Academy of Ophthalmology
and Staff, 2011-2012a). Data DR di Indonesia dan di Bali sampai saat ini belum
banyak dilaporkan (Dwipayana dkk., 2010).
Retinopati diabetika merupakan penyakit yang tidak mempunyai gejala
yang mengkhawatirkan pada keadaan awal, namun progresifitas DR akan berakhir
dengan kebutaan (Dutta, 2005; Hala dkk., 2011). Retinopati diabetika dapat
diklasifikasikan menjadi stadium Non Proliferative Diabetic Retinopathy (NPDR)
dan Proliferative Diabetic Retinopathy (PDR) (American Academy of
Ophthalmology and Staff, 2011-2012a ; Hala dkk., 2011). Stadium NPDR sendiri
diklasifikasikan menjadi stadium ringan, sedang dan berat. Gambaran klinis
NPDR stadium ringan adalah ditemukan adanya microaneurysms pada daerah
inner nuclear layer dan tanda ini merupakan tanda klinis awal adanya suatu lesi
retina pada penderita DM (American Academy of Ophthalmology and Staff,
2011-2012a).
Mekanisme terjadinya DR sampai saat ini belum dapat dijelaskan secara
pasti. Beberapa teori menyebutkan, kondisi hiperglikemia dalam jangka waktu
lama dapat menyebabkan perubahan biokimia dan fisiologi pada pembuluh darah
retina. Retina mempunyai asam lemak tidak jenuh yang tinggi, kemampuan
mengikat oksigen dan oksidasi glukosa yang tinggi dibandingkan jaringan yang
lain. Fenomena ini menyebabkan retina lebih rentan terhadap stres oksidasi dan
peroksidasi lemak (Hala dkk., 2011).
Hubungan antara hiperglikemia, stres oksidasi, jalur polyol, pembentukan
advanced glycation end products (AGEs), dan jalur protein kinase C diperkirakan
sebagai kunci pada patogenesis DR. Stres oksidasi menyebabkan kerusakan pada
makromolekul dengan meningkatkan produksi reactive oxygen species (ROS)
atau reactive nitrogen species (RNS) yang merupakan radikal bebas. Mekanisme
ini tergantung pada banyaknya transport glukosa ke dalam sel retina yang
menyebabkan peningkatan kadar glukosa intraselular. Radikal bebas secara
kontinyu diproduksi oleh semua sel aerob, dan terdiri dari superoxide radical,
hydrogen peroxide, dan hydroxyl radical. Metabolit ini menyebabkan kerusakan
lemak, protein, karbohidrat dan deoxyribosa nucleid acid (DNA) yang merupakan
struktur penyusun sel (Ali Khan dkk., 2012).
Dua kelainan yang mendasar pada DR adalah leukostasis dan rusaknya
sawar darah retina yang menyebabkan peningkatan permeabilitas pembuluh darah
retina dan obstruksi pembuluh darah retina yang progresif. Hal ini menyebabkan
terjadinya iskemia dan hipoksia jaringan yang akan menginduksi inducible Nitric
Oxide Synthase (iNOS). Induksi ini mengakibatkan perubahan pada lingkungan
mikro retina penderita DM yang menghasilkan produksi Nitric Oxide (NO) yang
tinggi (Hala dkk., 2011).
Nitric oxide dibentuk dari oksidasi arginin bersama kofaktor NADPH dan
oksigen dengan katalisis enzim NOS. Waktu paruh NO sangat singkat dan cepat
akan dioksidasi membentuk nitrit, kemudian berikatan dengan hemoglobin
membentuk nitrat. Kadar nitrat dan nitrit relatif stabil di dalam darah, sehingga
total kadar nitrit dan nitrat serum (NOx) dipakai sebagai indikator sintesis NO
tubuh ( Lundberg and Weitzberg, 2005). Penelitian Ghasemi dkk (2007) di Iran
pada 60 orang normal mendapatkan kadar NO serum berkisar 14-57 µmol/L.
Peningkatan pelepasan NO menyebabkan oksidasi dan produksi
peroxynitrite yang berlebihan. Penelitian Doganay dkk (2002) di Turki
mendapatkan kadar NO serum meningkat sesuai dengan derajat keparahan DR,
dimana kadar NO serum pada DM tipe II tanpa DR (115,9 ± 5,8 (80-150)
µmol/L), dengan NPDR (149,5 ± 2,1(125-162) µmol/L), dan dengan PDR (166,8
± 3,2 (135-188) µmol/L) dengan nilai p < 0,001. Dimana telah dilaporkan
menyebabkan disfungsi sel endotel pembuluh darah dan rusaknya sawar darah
retina yang merupakan komponen penting pada perkembangan DR (Hala dkk.,
2011).
Penderita NPDR ringan hingga saat ini belum banyak diberikan intervensi
pengobatan untuk mencegah progresifitas DR. Penderita NPDR ringan biasanya
hanya dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan rutin setiap 9 bulan atau setiap 1
tahun untuk menilai progersifitas derajat DR dan kontrol gula darah yang baik
(American Academy of Ophthalmology and Staff, 2011-2012a). Beberapa
penelitian telah dilakukan pada hewan coba mengenai pemberian antioksidan
namun hal ini masih kontroversial mengenai efektifitasnya dalam mencegah
progresifitas DR (Kowluru dkk., 2008).
Antioksidan yang popular belakangan ini adalah astaxanthin (3,3’-
dihydroxy-β,β-carotene-4,4’-dione) merupakan pigmen karotenoid utama yang
dapat ditemukan pada hewan yang hidup di dalam air (Marcello dkk., 2007).
Astaxanthin sangat resisten terhadap autooksidasi, tetapi tidak dijelaskan bahwa
efek antioksidan yang lebih tinggi akan meningkat dengan pertambahan dosis
astaxanthin (Suseela dkk.., 2006). Astaxanthin juga memiliki efek anti inflamasi
dengan menghambat sitokin dan chemokin, seperti TNF-α, prostaglandin E-2
(PGE-2), IL-6 dan NO (Hussein dkk., 2005). Astaxanthin tidak pernah menjadi
prooksidan dan hal ini merupakan faktor penting yang membedakan astaxanthin
dengan antioksidan lain, sehingga dikatakan astaxanthin memiliki efek yang luar
biasa. (Mc.Nulty dkk., 2006).
Dalam praktek sehari-hari hal ini sangat kontroversial dikalangan para
dokter mata. Jenis antioksidan dan dosis yang diberikan selama ini sangat
bervariasi. Studi klinis pada manusia menggunakan astaxanthin oral,
menggunakan dosis bervariasi, dengan rentang dari 4 mg hingga 100 mg/hari, dan
pemberian dari sekali saja hingga durasi setahun penuh. Dosis aman yang pernah
dilaporkan yaitu hingga 40 mg/hari selama 8 minggu atau 4 mg/hari selama satu
tahun (Fasset and Coombes, 2011).
Suatu penelitian oleh Nakamura (2004), didapatkan hasil perbaikan yang
signifikan pada penurunan astenofia dan akomodasi yang positif pada kelompok
yang diberi astaxanthin 4 mg (p<0,05) dan 12 mg (p<0,01). Penelitian Fassett dkk
(2008) di Australia menunjukkan pemberian astaxanthin 8 mg/hari berpengaruh
terhadap stres oksidasi dan inflamasi yang merupakan faktor resiko penyakit
vaskular.
Perhatian dunia kedokteran didalam penangan suatu penyakit akhir-akhir
ini dimulai tingkat selular. Perhatian ini terutama ditimbulkan oleh kesadaran
bahwa radikal bebas dapat menimbulkan kerusakan sel, dan menjadi penyebab
atau mendasari berbagai keadaan patologik dalam tubuh termasuk DR.
Kasus DM yang diperkirakan semakin meningkat menyebabkan
kemungkinan untuk terjadinya peningkatan komplikasi DR. Patogenesis DR
sampai saat ini belum jelas, dimana terjadi suatu jalur patologis yang saling
mempengaruhi satu sama lain salah satunya adalah terjadinya stres oksidasi. Stres
oksidasi akan menghasilkan radikal bebas (NO) yang berlebihan yang berperan
penting pada patogenesis DR. Pemberian antioksidan untuk menurunkan kadar
radikal bebas dapat menghambat kemungkinan terjadinya progresifitas DR ke
stadium yang lebih lanjut. Astaxanthin sebagai salah satu antioksidan dan anti-
inflamasi dapat sebagai pilihan terapi NPDR, tetapi hal ini masih kontroversial
mengenai pemberian dan dosisnya. Dari latar belakang tersebut diatas dapat di
buat rumusan masalah sebagai berikut.
1.2.Rumusan Masalah
Apakah pemberian astaxanthin 8 mg dapat menurunkan kadar NO serum
pada penderita NPDR ringan lebih besar dibandingkan dengan plasebo?
1.3.Tujuan penelitian
Untuk mengetahui pemberian astaxanthin 8 mg selama 4 minggu dapat
menurunkan kadar NO serum pada penderita NPDR ringan.
1.4.Manfaat Penelitian
Dengan mengetahui adanya penurunan kadar NO serum setelah pemberian
astaxanthin pada penderita NPDR ringan, maka penelitian ini bermanfaat
dalam hal:
1.4.1. Manfaat teoritis:
1. Dapat diketahui hubungan antara NO pada penderita DM terhadap
perkembangan terjadinya NPDR ringan
2. Dapat memberikan solusi penanganan yang optimal pada penderita NPDR
ringan
1.4.2. Manfaat Praktis:
1. Memberikan informasi mengenai pilihan antioksidan yang dapat
membantu penanganan pasien NPDR stadium ringan sehingga dapat
mencegah perkembangan menjadi stadium yang lebih berat.
2. Memberikan informasi pilihan dosis antioksidan yang dapat diberikan
untuk penderita NPDR ringan, sehingga dapat menjadi prosedur standar.
3. Penanganan penderita NPDR ringan lebih optimal, tidak hanya evaluasi
rutin setiap 9 bulan saja.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1.Diabetik Retinopathy
2.1.1.Definisi dan klasifikasi
Retinopati Diabetika merupakan satu komplikasi yang paling sering terjadi pada
mata akibat penyakit DM dan penyebab kebutaan pada usia produktif di negara
maju (Zhang dkk., 2011). Retinopati diabetika akan memberikan gambaran
kelainan pada retina yang bermacam-macam tergantung dari tingkat
keparahannya. Retinopati diabetika diklasifikasikan menjadi Non Proliferative
Diabetic Retinopathy (NPDR) dan Proliferative Diabetic Retinopathy (PDR).
NPDR sendiri diklasifikasikan menjadi stadium ringan, sedang dan berat,
sedangkan PDR diklasifikasikan menjadi stadium awal, resiko tinggi dan lanjut.
Diabetic Macular Edema (DME) merupakan salah satu manifestasi RD yang
dapat menyebabkan turunnya tajam penglihatan (American Academy of
Ophthalmology and Staff, 2011-2012b; Hala dkk., 2011).
2.1.2 Patogenesis
Patogenesis terjadinya DR adalah adanya perubahan patologis berupa
oklusi dan kebocoran (leakage) dari pembuluh darah retina. Adapun perubahan
pada pembuluh darah kapiler berupa hilangnya perisit, penebalan membran
basalis dan kerusakan serta proliferasi sel endotel (American Academy of
Ophthalmology and Staff, 2011-2012b; Joanna dkk., 2012).
Gambar 2.1. Patogenesis terjadinya Retinopati Diabetika ( Kanski, 2007 ).
2.1.3 Gambaran Klinis
Penderita DM akan mengalami DR dalam jangka waktu yang berbeda-
beda. Lamanya pasien menderita DM berhubungan erat dengan peningkatan
prevalensi DR. Dua puluh lima persen pasien Insulin Dependent Diabetes Melitus
(IDDM) akan mengalami DR dalam jangka waktu 5 tahun, meningkat menjadi
60% dalam jangka waktu 10 tahun dan hampir semua (97%) dalam jangka waktu
25 tahun. Pasien Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM) 60% akan
mengalami DR dalam jangka waktu lebih dari 20 tahun (Zhang dkk., 2011).
Gambaran klinis pada pasien DR berbeda-beda sesuai derajat keparahan
DR. Pasien NPDR menunjukkan gambaran berupa mikroaneurisma, perdarahan
intraretina berupa dot dan blot, hard exudates, venous beading, infark pada nerve
fiber layer dan area nonperfusi. Pasien PDR menunjukkan adanya suatu
proliferasi jaringan fibrovaskuler yang melewati lapisan internal limiting
membrane (ILM) pada retina. The Early Treatment Diabetic Retinopathy Study
(ETDRS) mengatakan bahwa pasien NPDR berat akan memiliki peluang 15%
untuk menjadi PDR resiko tinggi, sedangkan pasien NPDR sangat berat memiliki
peluang sebesar 45% untuk menjadi PDR resiko tinggi dalam jangka waktu 1
tahun (American Academy of Ophthalmology and Staff, 2011-2012a).
2.1.4 Faktor risiko
Faktor-faktor yang berpengaruh dalam kejadian DR adalah lamanya
seseorang menderita DM, kadar gula darah, hipertensi, dan dislipidemia. Kadar
gula darah memegang peranan penting dalam timbulnya DR. Gula darah yang
tidak terkontrol akan menyebabkan seseorang lebih cepat mengalami DR
(American Academy of Ophthalmology and Staff, 2011-2012a; Zhang dkk.,
2011).
The Diabetes Control and Complication Trial (DCCT) dan United
Kingdom Prospective Diabetes Study (UKPDS) menunjukkan bahwa kadar gula
darah yang terkontrol akan menurunkan resiko terjadinya DR. Selain itu DCCT
juga melaporkan bahwa pengendalian gula darah secara intensif akan mengurangi
progresifitas DR ke arah NPDR berat, PDR dan insiden edema makula (Joanna
dkk., 2012).
Glycated hemoglobin (HbA1C) merupakan salah satu indikator yang
digunakan dalam melihat pengontrolan kadar gula darah. Dalam hemoglobin ini
terdapat ikatan antara glukosa dengan asam amino valin yang terdapat pada
hemoglobin, dimana ikatan ini bersifat irreversibel. Sifat yang irreversibel ini
menyebabkan HbA1C digunakan sebagai monitoring penatalaksanaan DM.
HbA1C juga tidak dipengaruhi oleh fluktuasi gula darah harian dan memiliki
umur yang cukup panjang yaitu 120 hari sesuai dengan usia eritrosit (Dwipayana,
dkk., 2010). Kadar HbA1C tidak memiliki korelasi dengan derajat keparahan DR
seseorang. Penelitian retrospektif terhadap 607 pasien yang dilakukan oleh Maa
dan Sullivan, (2007) menunjukkan bahwa kadar HbA1C seseorang tidak
mencerminkan keadaan DR pasien tersebut.
Beberapa penelitian menyebutkan bahwa hipertensi merupakan salah satu
faktor resiko mayor dari DR. Walaupun mekanisme pasti belum diketahui, tetapi
hipertensi berperan dalam patogenesis DR dengan meningkatkan reaksi inflamasi.
Sehingga tekanan darah yang terkontrol akan menurunkan insiden dan
progresifitas DR (Zhang dkk., 2011). The Wisconsin Epidemiologic Study
Diabetic Retinopathy melaporkan bahwa 17% pasien IDDM akan memiliki
hipertensi dan ini akan meningkat menjadi 25% dalam 10 tahun. United Kingdom
Prospective Diabetes Study juga menunjukkan bahwa hipertensi yang terkontrol
akan menurunkan resiko terjadinya progresifitas retinopati hingga 34% (American
Academy of Ophthalmology and Staff, 2011-2012a).
Dislipidemia merupakan faktor resiko yang lain dari DR, tetapi peranan
spesifiknya pada DR belum jelas. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa ekspresi
vascular cell adhesion molecule -1 (VCAM-1) basal meningkat pada pembuluh
darah retina tikus dengan hiperlipidemia, menunjukkan bahwa hiperlipidemia
merupakan penyebab inflamasi pada pembuluh darah retina ( Zhang dkk., 2011).
Obesitas juga dikatakan merupakan faktor resiko yang memperberat DR.
Obesitas ditentukan dari nilai indeks massa tubuh (IMT) seseorang. Beberapa
penelitian menemukan peningkatan indeks massa tubuh secara signifikan
berhubungan dengan penurunan visus dan peningkatan keparahan DR.
Mekanisme yang mendasari hubungan antara peningkatan IMT dengan DR belum
jelas, namun terdapat beberapa teori diantaranya melibatkan fungsi platelet,
viskositas darah, dan aktivitas aldosa reduktase (Dirani dkk., 2011).
2.2.NPDR Ringan
Stadium NPDR diklasifikasikan menjadi stadium ringan, sedang dan berat.
Gambaran yang dapat ditemui pada NPDR dapat berupa mikroaneurisma,
perdarahan intraretina berupa dot dan blot, hard exudates,venous beading, infark
pada nerve fiber layer dan area nonperfusi. Pada NPDR stadium ringan gambaran
klinis yang ditemukan yaitu hanya berupa mikroaneurisma pada daerah inner
nuclear layer dan tanda ini merupakan tanda klinis awal adanya suatu lesi retina
pada penderita DM (American Academy of Ophthalmology and Staff, 2011-
2012a).
2.2.1. Diagnosis
Diagnosis NPDR ringan ditegakkan melalui anamnesa yaitu ditemukan
adanya riwayat DM dan pada pemeriksaan fisik menggunakan slit-lamp
biomicroscopy dengan lensa condensing 78 atau dengan fundus photography
ditemukan adanya microaneurysms satu kuadran pada daerah inner nuclear layer
berupa gambaran titik kemerahan (dots) dengan batas tegas, ukuran kurang dari
1/12 dari diameter optic disc, diameternya bervariasi 12-100 mikron, dan lokasi
tersering pada posterior pole, area temporal dari fovea (Chibber dkk., 2007; Gupta
dkk., 2007). Pemeriksaan Fundus Fluorescein Angiography (FFA) merupakan
gold standar untuk skrining dan menentukan stadium DR, tetapi pemeriksaan ini
mahal dan memerlukan waktu yang lama. Gambaran FFA menunjukkan adanya
daerah nonperfusion pada kapiler retina dan pembentukan mikroaneurisma
(Joanna dkk., 2013). Mikroaneurisma ini merupakan tanda klinis awal adanya
suatu lesi retina pada penderita DM (American Academy of Ophthalmology and
Staff, 2011-2012a; Joanna dkk., 2013 ).
A B
Gambar 2.2 NPDR ringan. A, Fundus Photography. B, Fundus Fluorescein
Angiography (FFA). ( Chibber dkk., 2007; Joanna dkk.,2013 )
2.2.2. Penatalaksanaan
Penderita NPDR ringan hingga saat ini belum banyak memperoleh intervensi
pengobatan. Penderita NPDR ringan hanya dianjurkan untuk melakukan
pemeriksaan rutin setiap 9 bulan untuk menilai progresifitasnya dan yang
terpenting adalah pasien dengan NPDR ringan dikonsultasikan ke ahli endokrin
untuk menilai kontrol terhadap gula darah (Gupta dkk.. 2007).
2.3. Stres Oksidasi
2.3.1. Definisi
Stres oksidasi adalah ketidakseimbangan antara kadar reactive oxygen species
(ROS) dan atau reactive nitrogen species (RNS) dengan mekanisme pertahanan
antioksidan pada sistem biologis tubuh. Stres oksidasi akibat kerusakan jaringan
merupakan suatu tanda dari adanya penyakit kronik dan kematian sel. Reactive
oxygen species (superoxide dan hydrogen peroxide) dan RNS (NO dan
peroxynitrite) merupakan 2 tipe mayor dari oksidan dalam tubuh. ( Johansen dkk.,
2005; Son, 2012).
Pada kondisi fisiologi normal, ROS didetoksifikasi oleh interaksi antara
berbagai bahan-bahan yang menurunkan dan menangkal oksidan seperti
thioredoxin, glutathione (GSH), dan tocopherol (vitamin E), atau oleh enzym
seperti superoxide dismutase (SODs), catalase, glutathione peroxidase, dan
thioredoxin reductase. Peningkatan stres oksidasi yang diinduksi hiperglikemia
merupakan rangkaian penting dari komplikasi mikrovaskular DM. Hal ini
menunjukkan bahwa hubungan antara hiperglikemia, perubahan pada
keseimbangan redoks, dan stres oksidasi adalah kunci dari patogenesis DR
(Joanna dkk., 2012).
2.3.2. Stres oksidasi pada retinopati diabetika
Retina mempunyai asam lemak tidak jenuh yang tinggi dan mempunyai
kemampuan menangkap oksigen dan oksidasi glukosa yang relatif tinggi
dibandingkan jariangan tubuh yang lain. Fenomena ini menyebabkan retina lebih
rentan terhadap stres oksidasi. Dalam kondisi fisiologi normal sekitar 0,1%-5%
oksigen yang masuk pada rantai transport elektron direduksi menjadi superoxide
dan sisanya digunakan untuk proses metabolisme. Reactive oxygen species
diproduksi secara terus menerus pada semua sel untuk menyokong fungsi normal
sel. Sumber ROS endogen adalah mitokondria, NADPH oxidase, dan nitric oxide
synthase. Akibat dari stres oksidasi kronik meliputi kerusakan pada makromolekul
biologi seperti DNA, lemak, protein dan karbohidrat, gangguan pada
keseimbangan sel, dan menghasilkan ROS yang lain yang menyebabkan
kerusakan lebih lanjut (Kowluru dkk., 2007).
Sumber oksidasi pada DM meliputi autooksidasi glukosa, perubahan
keseimbangan redoks, penurunan konsentrasi molekul-molekul antioksidan
jaringan seperti GSH dan vitamin E, dan gangguan aktifitas enzym-enzym
pertahanan antioksidan seperti SOD dan katalase ( Zhang dkk., 2011).
Penelitian pada binatang menunjukkan bahwa stres oksidasi tidak hanya
mempengaruhi perkembangan DR tetapi juga pada resistensi DR untuk kembali
setelah kontrol gula darah yang normal yang disebut dengan metabolic memory
phenomenon. Resistensi DR untuk kembali kemungkinan disebabkan oleh
akumulasi molekul-molekul yang rusak dan ROS yang tidak mudah dihilangkan
setelah kontrol gula darah yang normal didapatkan (Johansen dkk.,2005; Hala
dkk., 2011).
2.4. Nitric Oxide
2.4.1. Definisi
Nitric oxide (NO) adalah suatu radikal bebas yang merupakan mediator penting
pada proses fisiologi dan patologi tubuh. Nitric oxide disintesis oleh NOS yang
merubah L-arginin menjadi L-citrulline dan NO. Reaksi pembentukan NO adalah
sebagai berikut:
L-arginine + 3/2 NADPH + H+ + 2 O2 → L-citrulline + nitric oxide + 3/2 NADP+
Tiga isoform mayor NOS yaitu neuronal NOS (nNOS), endothelial NOS (eNOS),
dan inducible NOS (iNOS). Endothelial NOS dan nNOS berperan penting pada
kondisi normal. Kedua isoform ini terdapat didalam sel dan secara cepat diaktivasi
oleh Ca2+ dan calmodulin intrasel dan menghasilkan NO dalam jumlah yang kecil.
Neuronal NOS mempunyai fungsi pada neurotrasmiter, sedangkan eNOS
berperan pada relaksasi otot polos pembuluh darah. Inducible NOS tidak
diekspresikan pada kondisi normal tetapi diinduksi oleh sitokin dan atau
endotoksin selama proses inflamasi dan menghasilkan jumlah NO yang
berlebihan dalam jangka waktu yang lama (Hala dkk., 2011; Zhang dkk., 2011).
Nitric oxide
Gambar 2.3. Molekul Nitric Oxide ( Hala dkk., 2011 ).
2.4.2 Disregulasi NOS
Inflamasi pembuluh darah yang diinduksi DM pada keadaan stres oksidasi
berhubungan erat dengan NO, yang meregulasi beberapa proses fisiologi dan
patologi, termasuk dilatasi dan inflamasi pembuluh darah. Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa NO memiliki peran ganda pada penyakit dan inflamasi
pembuluh darah yang tergantung pada sumber tertentu dan jumlah yang
diproduksi. Akibatnya pengeluaran enzym NOS, eNOS dan nNOS tergantung
Ca2+ dan meregulasi produksi NO pada level yang rendah. Nitric oxide dari nNOS
terlibat didalam perantaraan saraf dan juga diekspresikan pada sel-sel otot polos
yang mempunyai peran penting pada regulasi respon pembuluh darah terhadap
hipoksia jaringan. Nitric oxide dari eNOS menjaga aliran darah dan mencegah
agregasi platelet dan leukostasis (Zhang dkk., 2012).
Penurunan eNOS menyebabkan peningkatan ekpresi iNOS pada retina
yang dihubungkan dengan perkembangan dan derajat keparahan DR. Berbeda
dengan eNOS dan nNOS, iNOS merupakan enzym yang tidak tergantung Ca2+,
bekerja secara aktif dan diproduksi dalam jumlah yang banyak. Inducible NOs
tidak diekpresikan pada retina normal, tetapi diinduksi selama keadaan inflamasi
termasuk DR. Nitric oxide dari iNOS berperan penyebab kerusakan jaringan dan
inflamasi. Tingginya kadar NO yang diproduksi oleh iNOS dapat bekerja secara
tidak langsung melalui pembentukan RNS. Reactive nitrogen species dibentuk
melalui interaksi NO dengan oksigen atau superoxide. Reactive nitrogen species
merupakan molekul proinflamasi yang kuat dan dapat menyebabkan kerusakan
jaringan (Zhang dkk., 2011).
Peningkatan kadar NO pada retina penderita DM dapat mengakibatkan
neurotoksik dan angiogenesis. Nitric oxide bersifat menguntungkan dalam
perannya sebagai vasodilatator, tetapi pada konsentrasi tinggi NO yang diproduksi
oleh iNOS bersifat neurotoksik. Toksisitas NO telah dihubungkan dengan
beberapa mekanisme meliputi kerusakan DNA, pembentukan peroksinitrit, dan
kehilangan energi ( Hala dkk., 2011).
Gambar 2.4. Skema faktor-faktor yang terlibat dalam patogenesis retinopati
diabetik (Zhang dkk.,2011).
Penelitian Doganay, dkk (2002) di Turki mendapatkan kadar NO serum
meningkat sesuai dengan derajat keparahan DR, dimana kadar NO serum pada
DM tipe II tanpa DR (115,9 ± 5,8 (80-150) µmol/L), dengan NPDR (149,5 ±
2,1(125-162) µmol/L), dan dengan PDR (166,8 ± 3,2 (135-188) µmol/L) dengan
nilai p < 0,001.
2.5. Antioksidan
2.5.1. Definisi
Antioksidan adalah suatu zat yang dapat menghambat atau memperlambat proses
oksidasi. Oksidasi adalah jenis reaksi kimia yang melibatkan oksigen, pelepasan
hidrogen atau pelepasan elektron. Proses oksidasi adalah peristiwa alami yang
terjadi di alam dan dapat terjadi dimana-mana tak terkecuali di dalam tubuh kita
(Halliwell and Gutteridge, 2007).
Antioksidan secara kimia adalah senyawa-senyawa pemberi elektron,
tetapi dalam arti biologis antiosidan adalah semua senyawa yang dapat meredam
dampak negatif oksidan, termasuk enzim-enzim dan protein-protein pengikat
logam (Pangkahila, 2007).
Antioksidan cenderung bereaksi dengan radikal bebas terlebih dahulu
dibandingkan dengan molekul yang lain karena antioksidan bersifat sangat mudah
teroksidasi atau bersifat reduktor kuat dibanding dengan molekul yang lain.
Keefektifan antioksidan tergantung dari seberapa kuat daya oksidasinya dibanding
dengan molekul yang lain. Semakin mudah teroksidasi maka semakin efektif anti
oksidan tersebut (Halliwell and Gutteridge, 2007).
2.5.2. Klasifikasi dan Mekanisme Kerja Antioksidan
Antioksidan terdiri dari antioksidan internal dan antioksidan eksternal.
Antioksidan internal disebut juga antioksidan primer, yaitu antioksidan yang
diproduksi oleh tubuh sendiri. Secara alami tubuh mampu menghasilkan
antioksidan sendiri, tetapi kemampuan inipun ada batasnya. Sejalan bertambahnya
usia, kemampuan tubuh untuk memproduksi antioksidan alami akan semakin
berkurang. Hal inilah yang menyebabkan stres oksidatif, yaitu suatu keadaan
dimana jumlah radikal bebas melebihi kapasitas kemampuan netralisasi
antioksidan. Antioksidan internal bekerja dengan cara menangkal terbentuknya
radikal bebas. Yang termasuk antioksidan internal adalah Super Oxide Dismutase
(SOD), Glutation Peroxidase (GPx), Katalase (Cat). Antioksidan eksternal
disebut juga antioksidan sekunder, yaitu antioksidan yang berasal dari makanan
atau didapat dari luar tubuh. Antioksidan yang tidak dihasilkan oleh tubuh tetapi
berasal dari makanan seperti vitamin A, beta karoten, vitamin C, vitamin E,
Selenium, Flavonoid dan lain-lain. Antioksidan eksternal bekerja dengan cara
meredam atau menetralisir antioksidan yang sudah terbentuk (Winarsi, 2007;
Pham-Huy dkk., 2008).
Mekanisme kerja antioksidan memiliki dua fungsi meliputi fungsi pertama
yang merupakan fungsi utama dari antioksidan yaitu sebagai pemberi atom
hidrogen. Antioksidan (AH) yang mempunyai fungsi utama tersebut sering
disebut sebagai antioksidan primer. Senyawa ini dapat memberikan atom hidrogen
secara cepat ke radikal lipida (R*, ROO*) atau mengubahnya ke bentuk lebih
stabil, sementara turunan radikal antioksidan (A*) tersebut memiliki keadaan lebih
stabil dibanding radikal lipid. Fungsi kedua merupakan fungsi sekunder
antioksidan, yaitu memperlambat laju autooksidasi dengan berbagai mekanisme
diluar mekanisme pemutusan rantai autooksidasi dengan pengubahan radikal
lipida kebentuk lebih stabil (Setiati, 2003; Subramaniam and Jay, 2004).
Penambahan antioksidan (AH) primer dengan konsentrasi rendah pada
lipida dapat menghambat atau mencegah reaksi autooksidasi lemak dan minyak.
Penambahan tersebut dapat menghalangi reaksi oksidasi pada tahap inisiasi
maupun propagasi. Radikal-radikal antioksidan (A*) yang terbentuk pada reaksi
tersebut relatif stabil dan tidak memiliki cukup energi untuk dapat bereaksi dengan
molekul lipida lain membentuk radikal lipida baru (Setiati, 2003).
2.6. Astaxanthin
2.6.1. Definisi
Astaxanthin (3,3’-dihydroxy-β,β-carotene-4,4’-dione) merupakan suatu pigmen
karotenoid alami yang dapat ditemukan pada hewan-hewan yang hidup dalam air.
Astaxanthin bisa ditemukan di mikroalga yang hidup di perairan seluruh dunia
mulai dari daerah tropis sampai padang salju Antartika, atau di hewan laut seperti
salmon segar, udang, dan lobster. Astaxanthin ini yang memberikan warna merah
muda pada hewan-hewan laut tersebut (Capelli dkk., 2007; Suseela dkk., 2006).
2.6.2. Komposisi Kimia, Absorpsi, dan Metabolisme
Astaxanthin, seperti karotenoid lainnya, terbentuk dari rantai 40-karbon poliene,
yang menjadi tulang punggung molekulnya. Rantai ini diakhiri dengan kelompok
siklik (cincin) yang dilengkapi dengan kelompok oksigen fungsional ( Gappeli
dkk., 2007 ).
,
Gambar 2.5. Molekul Astaxanthin ( Capelli dkk., 2007).
Struktur karotenoid berbeda potensinya berdasarkan pigmen yang dimiliki.
Penyerapan karotenoid pada sel mukosa usus disertai dengan pembentukan asam
empedu pada lumen usus kecil dan terjadilah penyerapan pasif. Setelah memasuki
peradaran darah, karotenoid terdapat diberbagai jaringan tubuh, yaitu hati, lemak,
pankreas, ginjal, paru adrenal, lien, jantung, tiroid, testis, ovarium, dan mata.
Jumlah terbesar karotenoid terdapat di hati dan jaringan lemak, yang merupakan
tempat penyimpanan terbesar karotenoid. Konsentrasi karotenoid pada serum atau
plasma dapat atau tidak mencerminkan efek biologis dari organ tersebut
(Marianne dkk., 2000; Odeberg dkk., 2003).
Astaxanthin, seperti golongan karotenoid lainnya, memiliki sifal lipofilik
dengan bioavailabilitas oral yang rendah (Johanna dkk., 2003; Susan and John,
2002). Penelitian pada manusia yang dilakukan oleh Osterlie dkk. (1999)
menyatakan kadar maksimum astaxanthin tercapai dalam waktu kira-kira 6 jam
setelah mengkonsumsi astaxanthin oral, dengan masa paruh kira-kira 21 jam
lamanya.
2.6.3. Astaxanthin sebagai Antioksidan
Astaxanthin alami dipertimbangkan sebagai antioksidan yang paling baik dengan
berbagai keuntungan penting dalam bidang kesehatan terutama dalam hal anti-
aging. Aktivitas antioksidan astaxanthin dikatakan lebih kuat dibandingkan
antioksidan lainnya seperti beta karoten, lutein, likopen, dan vitamin E. Sebagai
antioksidan, astaxanthin memiliki aktivitas menetralkan singlet oxygen dan
peroksida lipid. Astaxanthin menunjukkan aktivitas kuat dalam mencerna radikal
bebas dan memberikan perlindungan melawan peroksidasi lipid dan kerusakan
oksidasi oleh kolesterol LDL, membran sel, sel, dan jaringan (Suseela dkk.,
2006). Senyawa ini lebih kuat 550 kali dibandingkan vitamin E dan 40 kali lebih
kuat dibandingkan beta karoten dalam mengikat singlet oksigen. Untuk
menghambat peroksidasi lipid, astaxanthin bahkan lebih kuat dibandingkan
vitamin E (Johanna dkk., 2003). Astaxanthin menetralkan singlet oksigen melalui
mekanisme fisik, dimana energi yang berlebihan dari singlet oksigen tersebut
ditransfer ke struktur karotenoid yang kaya akan elektron dan mengubah
energinya menjadi panas sehingga tidak terbentuk singlet oksigen lagi. Serta
bereaksi dengan radikal lain untuk mencegah dan menghentikan reaksi rantai,
sehingga mampu melindungi komponen sel lain (lemak, protein, DNA) dari
kerusakan oleh radikal bebas (Nishida dkk., 2007).
Ada beberapa jenis antioksidan yang dapat menjadi prooksidan sehingga
memiliki efek negatif dengan menyebabkan oksidasi di dalam tubuh. Antioksidan
dari golongan karotenoid yang dapat menjadi prooksidan yaitu β-karoten,
lycopene, dan xeaxanthin. Antioksidan seperti vitamin C, vitamin E dan zinc
dapat menjadi prooksidan, sedangkan astaxanthin tidak pernah menjadi
prooksidan. Hal ini merupakan faktor penting lain yang membedakan astaxanthin
dari antioksidan lain dan dikatakan bahwa astaxanthin memiliki kekuatan
antioksidan yang luar biasa. Astaxanthin sangat resisten terhadap autooksidasi,
tetapi tidak dijelaskan bahwa efek antioksidan yang lebih tinggi akan meningkat
dengan pertambahan dosis (Mc.Nulty dkk., 2006) .
2.6.4. Peranan Astaxanthin Terhadap Mata
Kematian sel ganglion retina (retinal ganglion cell;RGC) merupakan gambaran
yang sering pada berbagai kelainan mata seperti glaukoma, neuropathi optik, dan
berbagai penyakit pembuluh darah retina (DR) (Nakajima dkk., 2008). Kematian
RGC dapat terjadi melalui keterlibatan berbagai mekanisme seperti ROS, eksitasi
asam amino, NO, dan apoptosis. Astaxanthin memiliki efek neuruprotektif
melawan kerusakan retina secara in-vivo dan in-vitro dengan menangkal hydrogen
peroxide (H2O2), superoxide anion (O2-), dan hydroxil radical (HO-) (Nakajima
dkk., 2008).
Astaxanthin juga memiliki efek antiinflamasi dengan menghambat sitokin
dan chemokin, seperti TNF-α, prostaglandin E-2 (PGE-2), IL-6 dan NO (Hussein
dkk., 2006). Selain itu juga sebagai imunomodulator, pelindung terhadap oksidasi
asam lemak polisaturasi, perlindungan terhadap efek sinar ultra violet, aktivitas
provitamin A dan pengelihatan, respon kekebalan pigmentasi dan komunikasi
sampai dengan gerakan reproduktif dan peningkatan kemampuan reproduksi.
Kegunaan dibidang kesehatan mata, astaxanthin bisa mencegah kelelahan mata,
katarak diabetik, dan mempertajam penglihatan (Denise and Thomas, 2002;
Shiratori dkk., 2005; Marcello dkk., 2007). Penelitian tentang manfaat
astaxanthin ini baru dilakukan kurang dari 10 tahun sehingga banyak khasiat lain
dari suplemen makanan ini yang belum diketahui secara pasti.
Penelitian tentang manfaat astaxanthin yang banyak dilakukan pada hewan
percobaan dan menunjukkan hasil positif. Beberapa penelitian kemudian
ditingkatkan pada manusia. Penelitian-penelitian dilakukan pada tikus dengan
diabetes tipe 2, didapatkan bahwa astaxanthin mengurangi keparahan penyakit
dengan memperlambat toksisitas glukosa dan melindungi sel β pancreas dari
gangguan fungsi akibat kerusakan oksidatif (Renu dkk., 2008). Studi klinis pada
manusia menggunakan astaxanthin oral, menggunakan dosis bervariasi, dengan
rentang dari 4 mg hingga 100 mg/hari, dan pemberian dari sekali saja hingga
durasi setahun penuh. Dosis aman yang pernah dilaporkan yaitu hingga 40
mg/hari selama 8 minggu atau 4 mg/hari selama satu tahun (Fasset and Coombes,
2011). Beberapa penelitian juga dilakukan dalam bidang kesehatan mata. Studi
yang dilakukan di Jepang oleh Nagaki dkk., (2002) yang meneliti penggunaan
astaxanthin 5 mg selama 4 minggu untuk kelelahan mata atau astenofia. Hasil
penelitian tersebut menunjukkan keluhan kelelahan mata menurun 54%. Suatu
penelitian oleh Nakamura (2004), didapatkan hasil perbaikan yang signifikan pada
penurunan astenofia dan akomodasi yang positif pada kelompok yang diberi
astaxanthin 4 mg (p<0,05) dan 12 mg (p<0,01). Penelitian oleh Nitta dkk., (2005)
didapatkan dosis optimum per hari yaitu 6 mg (n=10) selama periode 4 minggu
dengan membandingkan kelelahan mata menggunakan skala analog visual (VAS)
berdasarkan pertanyaan dan nilai akomodasi. Penelitian randomized placebo
controlled lainnya oleh Nagaki dkk., (2005) didapatkan terjadi peningkatan aliran
darah retina pada kelompok yang diberi astaxanthin 6 mg selama 4 minggu (n=14,
p<0,01). Penelitian pada mata kolaborasi antara Hokkaido, Yokohama dan Tokyo
di Jepang (Alex dkk., 2004; Ohgami dkk., 2003) diamati sifat antiinflamasi
astaxanthin pada uveitis yang diinduksi oleh endotoksin (UIE) baik pada
percobaan in vivo maupun in vitro, didapatkan bahwa penanda inflamasi seperti
NO, prostaglandin E2 (PGE2) dan factor nekrosis tumor (TNF)-α menurun secara
signifikan. Penelitian Fassett dkk (2008) di Australia menunjukkan pemberian
astaxanthin 8 mg/hari berpengaruh terhadap stres oksidasi dan inflamasi yang
merupakan faktor resiko penyakit vaskular. Efek samping pemberian astaxanthin
yang pernah dilaporkan terjadi penurunan tekanan darah, peningkatan pigmentasi
kulit, perubahan hormonal, penurunan kadar kalsium darah, penurunan libido, dan
pembesaran payudara pada laki-laki, tetapi dikatakan tidak bermakna secara
statistik. Toksisitas astaxanthin belum pernah dilaporkan pada beberapa penelitian
klinik (Fasset and Coombes, 2011).
Kondisi hiperglikemia dalam jangka waktu lama pada DR dapat
menyebabkan perubahan biokimia dan fisiologi pada pembuluh darah sehingga
terjadi kerusakan pada endotel kapiler retina. Gangguan pada endotel
menyebabkan meningkatnya oxidative stress dan peningkatan pada NO, sitokin
inflamasi yaitu tumor necrosis factor-alpha (TNF-α) dan interleukin. Nitric oxide
dan sitokin inflamasi ini bekerja bersama-sama dalam patofisiologi dan
progresifitas DR, sehingga molekul ini dapat dijadikan target terapi dalam
penatalaksanaan dan pencegahan komplikasi DM secara sistemik dan
mikrovaskular mata (Doganay dkk., 2002).
Astaxanthin diketahui menekan aktivitas yang merusak sel-sel dan mengakibatkan
komplikasi-komplikasi yang berhubungan dengan diabetes. Astaxanthin mampu
menghalangi peroksidasi lemak (kerusakan pada lemak-lemak di membran sel
oleh radikal bebas) dan kadar dari spesies reaktif total, superoksid, dan nitrat
oksida (molekul-molekul yang menyebabkan kerusakan sel yang luas) serta
menghambat peningkatan faktor pertumbuhan pada sel endotel pembuluh darah
adhesi molekul, yang seluruhnya berhubungan dengan patogenesis DR. Para
peneliti meyakini bahwa kemampuan sebagai antioksidan kuat dari astaxanthin
yang dapat mengurangi kerusakan akibat stres oksidatif pada retina, keradangan
dan kematian sel adalah alasan mengapa astaxanthin dapat menjadi suplemen
yang efektif untuk membantu mencegah progresifitas DR (Nagaki dkk., 2006).
BAB III
KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN
3.1 Kerangka Berpikir
Retinopati diabetika merupakan salah satu penyebab kebutaan di dunia. Beberapa
teori menyebutkan bahwa terpaparnya hiperglikemia dalam jangka waktu lama
akan menyebabkan gangguan biokimia, hemodinamik dan endokrin yang
mengakibatkan terjadi perubahan pada endotel pembuluh darah kapiler termasuk
pada pembuluh darah retina. Progresifitas DR dipengaruhi oleh faktor internal dan
eksternal. Faktor internal yang berpengaruh antara lain umur dan genetik
sedangkan yang termasuk faktor eksternal adalah penyakit sistemik kronis,
merokok, penggunaan obat antiinflamasi non steroid, penggunaan kortikosteroid
(obat imunosupresan), penggunaan vitamin antioksidan, infeksi atau inflamasi
intraokular.
Beberapa penelitian menyebutkan peranan NO dalam perkembangan DR,
berdasarkan asumsi bahwa hiperglikemia menyebabkan aktivasi NO. Dua
kelainan yang mendasar pada DR adalah peningkatan permeabilitas pembuluh
darah retina dan penutupan pembuluh darah retina yang progresif. Hal ini
menyebabkan terjadinya iskemia dan hipoksia jaringan yang akan menginduksi
iNOS. Induksi ini mengakibatkan perubahan pada lingkungan mikro retina
penderita DM yang menghasilkan produksi NO yang tinggi. Peningkatan
pelepasan NO menyebabkan oksidasi dan produksi peroxynitrite yang berlebihan.
Hal tersebut didukung oleh laporan tentang disfungsi sel endotel pembuluh darah
dan rusaknya sawar darah retina yang merupakan komponen penting pada
perkembangan DR.
Pemberian terapi antioksidan dapat menjadi salah satu pilihan pada
pencegahan penyakit mikrovaskular dan makrovaskular pada penderita DM.
Antioksidan dianggap mempunyai efek yang potensial karena bekerja pada dua
level yang berbeda yaitu dengan menghambat terbentuknya ROS/RNS dan
meningkatkan pertahanan antioksidan melalui beberapa enzym yang capable.
Berdasarkan masalah yang dihadapi serta kajian pustaka di atas, disusunlah
konsep dasar penelitian seperti di bawah ini:
3.2 Kerangka Konsep
Dari kajian pustaka dan kerangka berpikir yang telah diuraikan sebelumnya, maka
selanjutnya dapat dirumuskan kerangka konsep penelitian seperti yang
dicantumkan dalam Gambar 3.1:
Gambar 3.1 Bagan kerangka konsep penelitian
Diabetes Melitus tipe II
Retinopati Diabetika
Astaxanthin
Kadar NO
Faktor Eksternal: - Lama menderita
DM - Penyakit sistemik
kronis - Merokok - Tekanan darah - Obesitas - Penggunaan obat
anti inflamasi non steroid
- Kortikosteroid (obat imunosupresan)
Faktor Internal: - Umur
- Jenis Kelamin
3.3 Hipotesis Penelitian
Pemberian astaxanthin 8 mg selama 4 minggu dapat menurunkan kadar NO
serum pada penderita NPDR ringan lebih besar dibandingkan dengan plasebo.
BAB IV
METODE PENELITIAN
4.1 Rancangan Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian uji klinis dengan perluasan
Randomized, Double Blinded, Placebo-Control, Pre and Posttest Group Design
(Poccok, 2008) untuk mengetahui penurunan kadar NO pada penderita Non
Proliferative Diabetic Retinopathy (NPDR) ringan antara kelompok plasebo
dengan kelompok yang mendapat astaxanthin 8 mg. Rancangan penelitian secara
skematis digambarkan sebagai berikut:
Rancangan penelitian secara skematis digambarkan sebagai berikut:
Gambar 4.1 Rancangan Penelitian
Keterangan: P = Populasi; KS = Konsekutif Sampling; S = Sampel; RA = Random Alokasi. O0 danO1 = Pengamatan kadar NO sebelum perlakuan. K : Kontrol dengan pemberian plasebo per hari selama 4 minggu. P1 : Perlakuan dengan pemberian 8 mg astaxanthin per hari selama 4 minggu. O2 dan O3 = Pengamatan kadar NO setelah perlakuan
4.2 Tempat dan Waktu Penelitian
O2
OP
K
O1
O0
RA
KS
P S
Penelitian dilakukan di Poliklinik Mata dan Poliklinik Ilmu Penyakit Dalam divisi
Endokrin Metabolik Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah (RSUP) Denpasar mulai
Juli 2013 sampai dengan Desember 2013.
4.3 Populasi dan Sampel Penelitian
4.3.1 Populasi Penelitian
Populasi target penelitian ini adalah semua pasien DM tipe II dengan
komplikasi NPDR. Populasi terjangkau penelitian ini adalah semua pasien DM
tipe II dengan komplikasi NPDR yang datang ke poliklinik Mata dan poliklinik
Ilmu Penyakit Dalam divisi Endokrin Metabolik RSUP Sanglah Denpasar mulai
Juli 2013 sampai dengan Desember 2013.
4.3.2 Sampel Penelitian
Sampel penelitian adalah semua pasien DM tipe II dengan komplikasi
NPDR yang datang ke poliklinik Mata dan poliklinik Ilmu Penyakit Dalam divisi
Endokrin Metabolik RSUP Sanglah Denpasar mulai Juli 2013 sampai dengan
Desember 2013 yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.
4.3.2.1 Kriteria Inklusi dan Eksklusi
4.3.2.1.1 Kriteria inklusi
a. Pasien DM tipe II dengan NPDR ringan pada satu dan atau kedua mata
berusia antara 40-75 tahun.
b. Pasien bersedia mengikuti penelitian dan menandatangani informed
consent.
4.3.2.1.2 Kriteria eksklusi
a. Subyek sedang menderita penyakit sistemik yang kronis.
b. Subyek sedang mendapat pengobatan antiinflamasi non steroid,
kortikosteroid atau obat imunosupresan lainnya dalam satu bulan terakhir.
c. Subyek sedang mengkonsumsi vitamin antioksidan (vitamin A dan E)
dalam satu bulan terakhir.
d. Subyek yang merokok.
e. Subyek dengan infeksi dan atau inflamasi intraokular.
f. Subyek dengan kelainan pada segmen anterior dan posterior mata yang
dapat mengganggu visualisasi saat pemeriksaan retina.
g. Subyek dengan tekanan intraokular >21 mmHg atau dengan glaukoma
sekunder.
h. Subyek yang alergi terhadap obat astaxanthin.
i. Subyek dengan kadar Haemoglobin Adult 1c (Hba1c) ≥ 8%, kadar gula
darah puasa ≥ 126 mg/dl dan gula darah 2 jam setelah makan ≥ 200 mg/dl
4.3.2.2 Besar Sampel
Besar sampel yang diperlukan untuk masing-masing kelompok dihitung
berdasarkan rumus (Pocock, 2008) :
n = 2σ 2 f(α,β)
( µ2-µ1 )2
1. Tingkat kemaknaan yang dikehendaki sebesar 95%, yaitu α = 0,05
2. Power penelitian yang direncanakan sebesar 80%, yaitu β = 0,20
3. Nilai f(α,β) pada tabel = 7,9 (Pocock, 2008)
4. Standar deviasi (σ) = 11,31 (dikutip dari kepustakaan Ghosh, et al.,
2011)
5. µ2-µ1 = (58,85-43,83) adalah rerata hasil akhir – rerata awal (dikutip
dari kepustakaan Ghosh, et al., 2011).
Besar sampel berdasarkan kadar NO :
n = 2σ 2 f(α,β)
( µ2-µ1 )2
n = 2 x (11,31)2 x 7,9
(58,85-43,83 ) 2
n = 17,92 ~ 18 subjek (individu)
Perhitungan besar sampel kadar NO serum yang dipakai sebagai dasar
pengambilan sampel yaitu 18 orang (individu) sebagai kelompok kontrol dan 18
orang (individu) sebagai kelompok perlakuan, sehingga jumlah total sampel
penelitian sebesar 36 sampel (individu).
4.3.2.3 Cara Pemilihan Sampel
Sampel dipilih dengan tehnik randomisasi blok permutasi dari populasi
terjangkau. Sampel yang dipilih adalah pasien DM tipe II dengan komplikasi
NPDR ringan pada satu atau kedua mata, namun bila salah satu mata ternyata
sudah termasuk moderate atau severe NPDR, maka pasien tidak termasuk dalam
sampel.
4.4 Variabel Penelitian
4.4.1 Klasifikasi dan Identifikasi Variabel
1. Variabel bebas adalah astaxanthin 8 mg
2. Variabel tergantung adalah kadar NO dalam darah
3. Variabel kendali adalah umur, jenis kelamin, lama menderita DM, kepatuhan
minum obat penelitian.
Gambar 4.2 Skema Hubungan antar Variabel
4.4.2 Definisi Operasional Variabel
1. Diabetes mellitus tipe II yaitu suatu penyakit metabolik yang ditandai dengan
peningkatan kadar gula dalam darah plasma puasa > 126 mg/dL dan gula darah
plasma 2 jam setelah makan glukosa > 200 mg/dL selama tes oral toleransi
glukosa atau glukosa plasma sewaktu > 200 mg/dL, disertai keluhan klasik seperti
poliuria, polifagia, polidipsia (Perkumpulan Endokrinologi Indonesia, 2011);
Variabel Bebas
Astaxanthin 8 mg
Variabel Tergantung
Kadar NO dalam darah
Variabel Kendali Umur, jenis kelamin, lama menderita DM,
kepatuhan minum obat penelitian
sedang dan atau memiliki riwayat mendapat terapi obat-obatan anti diabetes dari
dokter penyakit dalam yang didapat dari wawancara dan rekam medis pasien.
2. Non Proliferatif Diabetic Retinopathy (NPDR) ringan adalah suatu keadaan
awal yang terjadi di retina berupa mikroaneurisma pada daerah inner nuclear
layer karena adanya dilatasi pembuluh darah retina pada penderita DM (American
Academy of Ophthalmology and Staff, 2011-2012a). Pemeriksaan menggunakan
slit lamp biomikroskopi dengan lensa condensing 78 dioptri dan dengan
pemeriksaan foto fundus-retina (“Visucam Carl Zeiss”) yang dilakukan oleh
dokter spesialis mata (dr PB dan dr AN).
3. Nitric oxide adalah suatu radikal bebas yang disintesis secara berlebihan pada
suatu keadaan inflamasi kronik dalam tubuh yang menyebabkan oksidasi dan
produksi yang berlebihan dari ROS/RNS dimana merupakan komponen penting
pada perkembangan DR (Hala et al., 2011). Kadar NO diukur dengan metode
Elisa, menggunakan reagen Griess I dan II (Assay Design) Total Nitric Oxide
Assay Kit. dan satuan NO dinyatakan dalam mmole/L. Pemeriksaan dikerjakan di
Laboratorium terpusat yang sudah terakreditasi yaitu laboratorium Patologi Klinik
Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar.
4. Astaxanthin merupakan suatu pigmen karotenoid alami yang memiliki
aktivitas biologis sebagai antioksidan yang kuat (Osterlie et al., 2000).
Astaxanthin diberikan dengan dosis 8 mg per hari selama 4 minggu dengan
sediaan kapsul 4 mg.
5. Umur adalah lama waktu hidup terhitung dari tanggal kelahiran sampai saat
dilakukan penelitian, umur dinyatakan dalam tahun. Data diperoleh dari anamnesa
dan data rekam medis.
6. Jenis kelamin adalah perbedaan antara perempuan dengan laki-laki secara
biologis sejak seseorang lahir, diperoleh dari melihat fenotip dan data rekam
medis.
7. Lama menderita DM adalah lamanya pasien mengetahui dirinya terkena DM
sampai dengan penelitian dilakukan. Data diperoleh dari anamnesa dan data
rekam medis pasien, dinyatakan dalam tahun.
8. Tekanan darah adalah nilai rerata tiga kali hasil pengukuran tekanan darah
sistolik dan diastolik subyek menggunakan stetoskop dan sfigmomanometer air
raksa.
9. Obesitas adalah suatu keadaan terakumulasinya jaringan lemak secara
berlebihan dalam tubuh. Obesitas diukur dengan indeks massa tubuh (IMT) yaitu
berat badan dalam kilogram (kg) dibagi tinggi badan dalam meter (m), disebut
obesitas bila IMT lebih besar atau sama dengan 30 kg/m2.
10. Penyakit sistemik yang kronis adalah penyakit lainnya yang diderita subyek
seperti hipertensi, hiperlipidemia, penyakit kardiovaskular, atau penyakit
keganasan, yang diperoleh melalui catatan rekam medis pasien.
11. Perokok adalah subyek dengan riwayat sedang atau pernah mengkonsumsi
rokok dalam kurun waktu lebih dari atau sama dengan empat minggu sebelumnya,
yang diperoleh melalui anamnesa.
12. Pengguna kortikosteroid adalah subyek dengan riwayat sedang atau pernah
mengkonsumsi obat kortikosteroid dalam kurun waktu lebih dari atau sama
dengan empat minggu sebelumnya, diperoleh melalui teknik wawancara dan
rekam medis.
13. Pengguna antiinflamasi non steroid adalah subyek dengan riwayat sedang
atau pernah mengkonsumsi antiinflamasi non steroid, dalam kurun waktu lebih
dari atau sama dengan empat minggu sebelumnya, yang diperoleh melalui teknik
wawancara.
14. Pengguna vitamin antioksidan adalah subyek dengan riwayat sedang atau
pernah mengkonsumsi vitamin antioksidan (vitamin A dan E) dalam kurun waktu
lebih dari atau sama dengan empat minggu sebelumnya, yang diperoleh melalui
teknik wawancara.
15. Infeksi intraokular adalah subyek yang sedang menderita peradangan pada
segmen anterior dan atau segmen posterior bola mata, antara lain konjungtivitis,
keratitis, ulkus kornea, uveitis anterior dan posterior, yang ditentukan dengan
pemeriksaan slit lamp dan funduskopi
16. Plasebo adalah sediaan yang diberikan kepada subyek selama penelitian tidak
mengandung bahan farmakologis dan tidak memiliki efek terapi.
17. Kepatuhan minum obat adalah kepatuhan subyek dalam mengkonsumsi
astaxanthin yang dinilai dengan melihat jumlah sisa obat yang diberikan pada
akhir follow up. Patuh adalah apabila sisa obat kurang dari 20%.
18. Efek samping obat adalah semua efek obat yang dikeluhkan pasien yang
terjadi selama penelitian, seperti reaksi alergi, gangguan pencernaan, jantung
berdebar, dan lainnya.
4.5 Instrumen Penelitian
Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara, pemeriksaan fisik,
pemeriksaan oftalmologi, dan pengambilan sampel darah. Untuk menegakkan
diagnosis NPDR ringan digunakan lembar pemeriksaan status oftalmologis dan
lembar kuisioner penelitian, E chart atau snellen chart, tonometri schiotz,
funduskopi atau lensa 78, slit lamp, anestesi topikal (pantocain 0,5%), dan
sikloplegik (mydriatil 0,5%). Peralatan yang digunakan dalam pengambilan
sampel darah untuk pengukuran kadar NO adalah sarung tangan steril, kapas
alkohol, tourniket, spuit 3 cc disposible, reagen Griess I dan II (Assay Design)
Total Nitric Oxide Assay Kit dan diukur dengan metode Elisa.
4.6 Prosedur Penelitian
4.6.1 Tahap persiapan
4.6.1.1 Pengacakan
Subyek penelitian diseleksi di poliklinik Mata dan poliklinik Ilmu
Penyakit Dalam divisi Endokrin Metabolik RS Sanglah Denpasar. Wawancara
dan pemeriksaan mata dilakukan oleh peneliti. Setelah diperoleh sampel yang
memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi penelitian, selanjutnya dijelaskan tentang
maksud dan tujuan penelitian serta menandatangani informed consent. Sampel
dibagi secara acak berdasarkan randomisasi blok permutasi dengan komputer
terdiri atas dua kelompok, yaitu kelompok plasebo dan kelompok pemberian
astaxanthin 8 mg.
4.6.1.2 Blinding
Peneliti maupun subyek tidak mengetahui obat yang diberikan. Sediaan
obat dibuat sama dalam bentuk, ukuran, warna maupun rasa dan dikemas dalam
kemasan botol yang sama. Obat dipesan dipabrik obat yang digunakan oleh
peneliti. Obat diberi label menggunakan etiket yang bertuliskan A dan B yang
hanya diketahui oleh pabrik obat. Botol obat diurut dan penderita mendapat obat
sesuai dengan urutan blok permutasi komputer.
4.6.2 Pelaksanaan Penelitian
Adapun urutan pelaksanaan penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Anamnesis meliputi nama, umur, jenis kelamin, riwayat penyakit
sebelumnya (riwayat diabetes melitus, hipertensi), riwayat penyakit sekarang,
riwayat pengobatan berdasarkan lembar kuisioner penelitian. Data kemudian
dicatat dalam tabel induk.
2. Diagnosis pasien NPDR ringan ditegakkan berdasarkan anamnesis dan
pemeriksaan dengan menggunakan slit lamp dan funduskopi. Pada anamnesis
dilakukan dengan melihat catatan rekam medis untuk mengetahui riwayat DM,
berapa lama menderita DM, terapi yang diperoleh, kontrol terhadap DM, hasil
kadar gula berdasarkan pengecekan laboratorim yang dilakukan. Dilanjutkan
dengan pemeriksaan visus menggunakan E chart atau snellen chart, kemudian
dilakukan pemeriksaan tekanan intraokular dengan tonometri schiotz dan bila
hasilnya kurang dari 21 mmHg, pupil penderita kemudian dilebarkan dengan
sikloplegik (mydriatil 0,5%). Setelah pupil lebar, dilakukan pemeriksaan
menggunakan slit lamp biomikroskopi dengan lensa condensing 78 dioptri dan
fotofundus-retina (“Visucam Carl Zeiss”) untuk menentukan stadium NPDR.
Subyek penelitian selanjutnya dialokasi menjadi 2 kelompok secara randomisasi
blok permutasi menjadi kelompok dengan pemberian plasebo dan kelompok
dengan pemberian astaxanthin 8 mg dan masing-masing dilakukan pengukuran
terhadap kadar NO.
3. Pengambilan Sampel Darah
Pengambilan sampel darah dilakukan dua kali yaitu sebelum perlakuan dan
sesudah perlakuan. Pengambilan sampel darah dilakukan melalui vena cubiti yaitu
sebanyak 3 cc dengan menggunakan spuite 3 cc setelah sebelumnya dilakukan
desinfeksi pada tempat pengambilan. Selanjutnya darah ditampung dalam
vacutainer, disentrifugasi dengan kecepatan 3000 rpm selama 15 menit, dan
didapatkan sebanyak 1 mL serum selanjutnya dimasukkan dalam tabung untuk
segera diperiksa. Prosedur pemeriksaan laboratorium menggunakan kit
pemeriksaan Colorimetric Griess dan pembacaan absorbance 520-560 nm
menggunakan Elisa reader. Sampel darah akan diberikan label sesuai dengan
nomor randomisasi blok masing-masing dari kedua kelompok yaitu kelompok
plasebo dan kelompok astaxanthin 8 mg. Pengambilan sampel darah dilakukan
oleh petugas laboratorium, kemudian sampel darah yang telah berisi plasma
dimasukkan ke dalam kotak styrofoam yang berisi es kering (dry ice) untuk segera
dibawa ke Laboratorium Patologi Klinik Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah dan
disimpan pada suhu -80 oC hingga dilakukan pemeriksaan.
4. Pemeriksaan NO Serum
Reaksi Griess melibatkan interaksi dari ion nitrit dengan 2 molekul organik dan
melibatkan reaksi oksidasi dan nukleopilik. Buffer atau komponen sampel yang
bereaksi dengan reaksi oksidasi dan nukleopilik menjadi bereaksi dengan
pembentukan warna. Perubahan nitrat menjadi nitrit melibatkan enzym Nitrate
Reductase. Reagensia yang dipakai adalah reagen Griess I dan II (Assay Design)
Total Nitric Oxide Assay Kit untuk mengukur kadar NO manusia secara
kuantitatif di dalam serum dan pembacaan absorbance 520-560 nm dengan
menggunakan Elisa reader. Reagensia ini dipakai hanya untuk penelitian, tidak
untuk keperluan diagnostik maupun terapi. Hasil pemeriksaan yang didapat
kemudian akan dikumpulkan oleh peneliti, selanjutnya dianalisis untuk
mengetahui perbedaan rerata kadar NO serum pada saat awal dengan kadar NO 4
minggu kemudian antara pasien NPDR ringan yang diberikan plasebo dan
diberikan astaxanthin 8 mg setiap hari selama 4 minggu.
5. Pemberian sediaan obat
Sediaan obat dipesan dipabrik obat farmasi yang digunakan oleh peneliti. Sediaan
obat dibuat sama dalam bentuk,ukuran,warna maupun rasa dan dikemas dalam
kemasan botol yang sama. Sediaan obat tidak diketahui baik oleh peneliti maupun
subyek. Botol obat diberi label menggunakan etiket yang bertuliskan A dan B
yang hanya diketahui oleh pabrik obat. Botol obat diurut dan penderita mendapat
obat sesuai dengan urutan blok permutasi komputer. Obat A dan B diberikan
sekali sehari 2 kapsul pada pagi hari setelah makan selama empat minggu. Semua
subyek di follow up pada minggu ke dua pemberian obat untuk meyakinkan
kepatuhan subyek dalam mengkonsumsi obat dan bila subyek tidak datang saat
follow up, subyek akan diingatkan melalui telpon atau dikunjungi ke rumahnya.
Semua peristiwa yang terjadi selama follow up pada kedua kelompok dicatat dan
dibandingkan satu sama lain. Apabila terdapat subyek yang mengalami reaksi
alergi selama penelitian, subyek akan dikeluarkan dari penelitian. Setelah
penelitian selesai, pabrik obat akan menyampaikan kepada peneliti komposisi obat
A dan B.
4.7 Alur Penelitian
Untuk lebih mempermudah dalam pelaksanaan penelitian maka dibuat alur
penelitian yang ditunjukkan dengan bagan alur penelitian pada Gambar 4.3
Gambar 4.3 Skema Alur Penelitian
4.8 Analisis Data Statistik
Data yang diperoleh dimasukkan ke dalam formulir penelitian kemudian
direkam dalam tabel induk. Selanjutnya dilakukan serangkaian tahapan analisis
data untuk menjawab permasalahan penelitian. Adapun tahapan analisis data
sebagai berikut:
1. Seleksi data yaitu editing, coding dan tabulasi dimasukkan pada file navigator
program Stastical Package for The Social Sciences (SPSS).
Persetujuan Komisi Etik PPS Unud
Informed Consent
Randomisasi blok permutasi
Kelompok K Plasebo
Kelompok P1 Astaxanthin 8
mg
Pemeriksaan kadar NO awal dan 4 minggu
Analisi
Kesimpula
Sample
Kriteria Eksklusi Subyek sedang menderita penyakit
sistemik yang kronis Subyek sedang mendapat
pengobatan antiinflamasi non steroid, kortikosteroid atau obat imunosupresan lainnya dalam satu bulan terakhir.
Subyek mengkonsumsi vitamin antioksidan (vitamin A dan E) dalam satu bulan terakhir.
Subyek yang merokok Subyek dengan infeksi intraocular Subyek alergi dengan astaxanthin Subyek dengan kadar Hba1c > 8%,
kadar BSN/BS2jpp >200mg/dl
Hasil
Penderita DM tipe II dengan komplikasi NPDR
Penderita DM tipe II dengan komplikasi NPDR yang datang ke
poliklinik Mata dan poliklinik Ilmu Penyakit Dalam RSUP
Sanglah antara Juli 2013-
Kriteria Inklusi Pasien DM tipe II
dengan komplikasi NPDR ringan usia 40-75
tahun
Eligible Sample
2. Untuk menggambarkan karakteristik umum dan distribusi berbagai variabel.
Data berskala kategorik dideskripsikan dalam bentuk frekuensi dan
persentase sedangkan untuk data berskala numerik dalam bentuk rerata dan
standar deviasi.
3. Uji Normalitas menggunakan Shapiro-Wilk, untuk jumlah sampel < 50 untuk
menguji apakah data penelitian berdistribusi normal.
4. Uji Homogenitas Varians antar Kelompok dengan Uji-Levene untuk
menganalisis varians variabel antar kelompok pemberian placebo dan
astaxanthin 8 mg apakah data penelitian homogen.
5. Menguji perbedaan kadar NO antara kelompok yang diberikan placebo
dengan kelompok yang diberikan astaxanthin 8 mg, dianalisis dengan uji-t
untuk 2 kelompok tidak berpasangan jika distribusi data normal, dan
distribusi data tidak normal dapat dilakukan uji non parametrik atau dapat
dilakukan transformasi data lebih dahulu (dengan logaritme, akar, atau teknik
lain) sebelum dilakukan uji parametrik seperti uji-t. Batas kemaknaan yang
digunakan dalam penelitian ini adalah sebesar 5% dan tidak bermakna
dengan nilai p ≥0,05. Besar efek (effect size; ES) dari Astaxanthin 8 mg
dibandingkan plasebo dinyatakan dalam beda rerata antara penurunan kadar
NO dalam kelompok Astaxanthin dan placebo.
Dengan rumus :
ES = beda rerata kelompok perlakuan – bedarerata kelompk kontrol x 100 % Beda rerata kelompok perlakuan
Secara klinis beda rerata > 50 % dapat dianggap bermakna (clinically
important).
Analisis akhir pada kedua kelompok berdasarkan alokasi awal (intend-to-treat).
BAB V
HASIL PENELITIAN
Subjek penelitian dipilih secara konsekutif dari populasi terjangkau, yaitu
pasien NPDR ringan yang datang ke RSUP Sanglah, Denpasar selama periode 1
Juli 2013–31 Desember 2013. Tiga puluh enam orang terkumpul yang memenuhi
kriteria inklusi dan eksklusi, telah diberi informed consent, dan bersedia
mengikuti penelitian dengan menandatangani surat persetujuan. Berikut profil
penelitian ditampilkan dalam gambar 5.1 di bawah ini :
Pasien DM tipe II dg NPDR yg datang ke Poli Mata & Poli Ilmu Penyakit Dalam Divisi Endokrin Metabolik RSUP Sanglah Dps mulai Juli 2013 s/d Des 2013 (n=48 subjek)
Informed consent
Randomisasi blok permutasi
Kelompok Astaxanthin 8 mg (n=18) Pemeriksaan kadar NO awal dan 4 minggu
Kelompok Plasebo (n=18) Pemeriksaan kadar NO awal dan 4 minggu
Drop out =0
Sample n=37
Kriteria Eksklusi n=11 -3 hipertensi -1 hipertensi & hiperkolesterol -1 cancer -2 hiperkolesterol -4 katarak
Kriteria Inklusi n=37
Eligible sample n=36
Refused Informed consent=1
Drop out =0
Gambar 5.1 Profil Penelitian
5.1 Karakteristik Subjek Penelitian
Karakteristik subjek penelitian ini, meliputi umur, jenis kelamin,
pendidikan, lama Diabetes Mellitus (DM), kadar Haemoglobin Adult 1c (HbA1C),
dan Indeks Massa Tubuh (IMT). Karakteristik subjek penelitian ditampilkan pada
Tabel 5.1. Subjek penelitian berjenis kelamin laki-laki pada kelompok
astaxanthin sama dengan pada kelompok plasebo masing-masing sebanyak 12
(66,7%) dan wanita masing-masing sebanyak 6 (33,3%). Pada variabel umur,
rerata umur pasien 59,22±8,70 tahun pada kelompok astaxanthin dan 64,28±8,25
tahun pada kelompok plasebo. Status pendidikan Sekolah Menengah Atas
Tabel 5.1 Karakteristik Subjek Penelitian
Karakteristik Kelompok NPDR ringan dengan astaxanthin 8 mg
n=18
Kelompok NPDR ringan dengan plasebo
n=18 Umur (tahun) (Rerata±SD) 59,22±8,70 64,28±8,25 Jenis kelamin (n (%))
Laki-laki Perempuan
12 (66,7%) 6 (33,3%)
12 (66,7%) 6 (33,3%)
Pendidikan (n(%)) Tidak Sekolah SD SMP SMA Diploma/Sarjana
0(0%) 4(22,2%) 1(5,6%) 9(50%) 4(22,2%)
1(5,6%)
3(16,7%) 3(16,7%) 4(22,2%) 7(38,8%)
Lama DM (tahun) (Rerata±SD)
7,86±8,45 11,44±11,10
Kadar HbA1C (%) (Rerata±SD)
6,79±0,80 6,44±0,69
Indeks Massa Tubuh (kg/m2) (Rerata±SD)
28,89±7,02 27,40±9,39
18 subjek dianalisis 18 subjek dianalisis
ditemukan paling banyak, yaitu 50,0% dan paling sedikit Sekolah Menengah
Pertama, yaitu 5,6% pada kelompok astaxanthin sedangkan Diploma/Sarjana
ditemukan paling banyak, yaitu 38,8% dan paling sedikit Tidak Sekolah, yaitu
5,6% pada kelompok plasebo. Rerata lama DM pada kelompok astaxanthin adalah
7,86±8,45 tahun sedangkan pada kelompok plasebo adalah 11,44±11,10 tahun.
Rerata kadar HbA1C adalah 6,79±0,80% pada kelompok astaxanthin dan
6,44±0,69% pada kelompok plasebo. Rerata Indeks Massa Tubuh adalah
28,89±7,02 kg/m2 pada kelompok astaxanthin dan 27,40±9,39 kg/m2 pada
kelompok plasebo.
5.2 Perbedaan Kadar NO Serum Awal dan 4 Minggu Pemberian Astaxanthin
dan Plasebo pada NPDR Ringan
Perbedaan kadar NO antara kelompok dengan pemberian placebo dan
astaxanthin 8 mg dianalisis dengan uji-t untuk 2 kelompok tidak berpasangan.
Tabel 5.2. Perbedaan Kadar NO Serum pada NPDR Ringan
Kelompok NPDR ringan dengan
astaxanthin 8 mg
Kelompok NPDR ringan tanpa astaxanthin
Beda Rerata Nilai p 95%CI
Kadar awal NO serum (µmol/L)
Rerata±SD
14,43 ± 8,05 10,90 ± 4,80 3,53 0,119* -0,96 s.d.8,02
Kadar NO serum setelah 4 minggu
(µmol/L) Rerata±SD
6,76 ± 1,39 7,79 ± 6,32 1,028 0,505* -4,13 / 2,07
Selisih kadar NO awal - 4 minggu
7,67 ± 8,07 3,12 ± 7,63 4,56 0,090* -0,76 / 9,88
* Uji –t independent
Pada Tabel 5.2 ditampilkan penurunan kadar NO pada kelompok astaxanthin
adalah 7,67 ± 8,07 µmol/L lebih besar daripada kelompok plasebo adalah 3,12 ±
7,63 µmol/L dengan beda rerata 4,56 µmol/L, dengan nilai p>0,05 yang tidak
bermakna signifikan secara statistik. Perbedaan hasil klinis (effect size) pada
penelitian ini didapatkan x 100% = 59,45% ~ 60%.
BAB VI
PEMBAHASAN
6.1 Subjek Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian uji klinis dengan perluasan Randomized,
Double-Blinded, Placebo-Control, Pre and Posttest Group Design, melibatkan 36
subjek penelitian yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi yang terdiri dari
dua kelompok yaitu 18 pasien Non Proliferative Diabetic Retinopathy (NPDR)
ringan yang mendapat astaxanthin 8 mg dan 18 pasien NPDR ringan yang
mendapat plasebo. Subjek penelitian kemudian dilakukan pengambilan darah vena
untuk mengukur kadar Nitric Oxide (NO) serum awal dan 4 minggu pemberian
astaxanthin 8 mg dan plasebo. Karakteristik subjek dalam penelitian ini meliputi
umur, jenis kelamin, pendidikan, lama Diabetes Mellitus (DM), kadar
(Haemoglobin Adult 1C) HbA1C, dan Indeks Massa Tubuh (IMT).
Diabetic Retinopathy (DR) merupakan komplikasi mayor pada mata
penderita DM dan dianggap sebagai penyebab utama kebutaan pada orang dewasa
usia 20-65 tahun. Penelitian yang dilakukan oleh Enrique dkk.(2009) di Spanyol
mendapatkan rerata umur pasien NPDR ringan 53,8±9,2 tahun. Doganay dkk.
4,56 7,67
(2002) menemukan rerata umur pasien NPDR adalah 55,0±1,2 tahun dan PDR
66,6±0,7 tahun. Nagaoka dkk.(2010) di Jepang mendapatkan rerata umur pasien
dengan NPDR ringan adalah 62,4±8,8 tahun. Penelitian ini didapatkan rerata umur
kelompok pasien NPDR ringan yang mendapat astaxanthin 8 mg lebih rendah
yaitu 59,2±8,7 tahun dibandingkan kelompok pasien NPDR ringan yang mendapat
plasebo yaitu 64,3±8,3 tahun.
Umur merupakan salah satu faktor risiko terjadinya DR pada penderita
DM. Beberapa penelitian melaporkan prevalensi DR mengalami peningkatan
dengan bertambahnya umur. Hal ini dapat terjadi karena dengan bertambahnya
umur terjadi penurunan fungsi tubuh oleh proses apoptosis sel yang dimulai pada
umur > 45tahun. Penelitian lain mendapatkan bahwa NPDR terjadi lebih awal
pada yang didiagnosis DM setelah usia 40 tahun dibanding yang lebih
muda(Gaafar, 2013). Selain itu pada keadaan hiperglikemia yang kronis terjadi
reaksi inflamasi dan stres oksidatif yang mempercepat terjadinya apoptosis sel di
retina sehingga mengakibatkan terjadinya keadaan retinopati. Kedua hal tersebut
menjelaskan mengapa orang tua lebih rentan terhadap kejadian DR yang akhirnya
ditemukan meningkat dengan bertambahnya usia (Kowluru dan Chan, 2007).
Beberapa penelitian yang dilakukan diberbagai negara menunjukkan tidak
ada perbedaan prevalensi antara laki-laki dengan perempuan pada penderita DR
(Grauslund dan Green., 2009). Menurut American Medical Association 2010,
jenis kelamin laki-laki merupakan salah satu faktor resiko DR. Enrique
dkk.(2009) di Spanyol melaporkan prevalensi antara laki-laki dengan perempuan
penderita NPDR ringan adalah sama yaitu sebesar 50%. Penelitian oleh Hala dkk.
(2011) di Cairo dari 20 penderita NPDR ditemukan lebih banyak pada perempuan
yaitu 11(55%) dan pada laki-laki sebesar 9(45%). Penelitian yang dilakukan oleh
Nagaoka dkk. (2010) di Jepang mendapatkan hasil yang berbeda yaitu NPDR
ringan ditemukan lebih banyak pada laki-laki sebesar 30(54,5%) dan perempuan
sebesar 25(45,5%). Hal yang sama juga didapatkan oleh Jew dkk. (2012) di
Malaysia melaporkan penderita NPDR lebih banyak ditemukan pada laki-laki
sebesar 81(54%) dan perempuan sebesar 69(46%). Pada penelitian ini ditemukan
kelompok pasien NPDR ringan yang mendapat astaxanthin 8 mg diperoleh
persentase subjek berjenis kelamin laki-laki 66,7% dan perempuan sebesar 33,3%.
Hal yang sama juga didapatkan pada kelompok pasien NPDR ringan yang
mendapat plasebo diperoleh persentase subjek berjenis kelamin laki-laki 66,7%
dan perempuan sebesar 33,3%.
Pada penelitian ini didapatkan NPDR ringan lebih banyak terjadi pada
jenis kelamin laki-laki. Hal ini dapat disebabkan karena gaya hidup dan status
sosial ekonomi seperti kebiasaan laki-laki yang sebagian besar merupakan
perokok, mengkonsumsi kopi, alkohol dan minuman ringan/bersoda sehingga DM
dengan komplikasinya berupa DR ditemukan lebih banyak pada laki-laki
berbanding terbalik dengan perempuan yang tidak memiliki kebiasaan tersebut.
Beberapa faktor lainnya seperti variasi metabolisme masing-masing individu, ras,
pemeriksaan terhadap retina sampai ditegakkannya diagnosa dan perbedaan
sampel masing-masing penelitian dapat mempengaruhi predileksi jenis kelamin
pasien DR (Javadi dkk, 2009).
Wisconsin Epidemiologic Study of Diabetic retinopathy (WESDR)
menemukan bahwa lama DM secara signifikan berhubungan dengan terjadinya
DR. Insiden DR setelah 4 tahun follow-up adalah sekitar 50% pada DM tipe 1 dan
tipe 2, dan setelah 10 tahun follow-up menjadi 74% (Gaafar,2013; Hala dkk.,
2011). Hal ini menunjukkan bahwa durasi DM yang lebih lama dikaitkan dengan
insiden yang lebih tinggi dari DR. Jew dkk. (2012) di Malaysia melaporkan rerata
lama DM pasien NPDR adalah 8,57±5,66 tahun. Nagaoka dkk. (2010) di Jepang
menemukan rerata lama DM pasien NPDR ringan adalah 13,4±8,1 tahun.
Penelitian oleh Hala dkk. (2010) yang dilakukan di Cairo mendapatkan rerata
lama DM pasien NPDR dan PDR masing-masing 7,08±0,38 tahun dan 8,98±0,51
tahun. Enrique dkk. (2009) di Spanyol menemukan rerata lama DM pasien NPDR
ringan adalah 14,9±8,3 tahun berbeda dengan pasien DM tanpa DR yaitu 10,1±7,5
tahun dengan nilai p<0,01. Penelitian ini memperoleh rerata lama DM kelompok
pasien NPDR ringan yang mendapat astaxanthin 8 mg lebih singkat yaitu 7,9±8,5
tahun, sedangkan kelompok pasien NPDR ringan yang mendapat plasebo lebih
lama yaitu 11,4±11,1 tahun.
Lama DM merupakan salah satu faktor yang berhubungan dengan
peningkatan terjadinya DR. Paparan hiperglikemia dalam waktu lama dapat
meningkatkan perubahan biokimiawi dan fisiologi, berupa perubahan seluler pada
membran basalis sel retina sehingga terjadi kerusakan pada pembuluh darah
kapiler retina berupa hilangnya perisit, proliferasi sel endotel dan penebalan
membran basement yang mengakibatkan oklusi kapiler dan nonperfusi pada retina
(Chibber dkk, 2007; American Academy of Opthalmology and Staff, 2011-
2012a). Satu penelitian mendapatkan lama DM 5 sampai 10 tahun mempunyai
resiko NPDR 5 kali dibandingkan DM kurang dari 5 tahun dan DM lebih dari 10
tahun mempunyai resiko 32 kali menjadi NPDR (Niazi dkk, 2010). Insiden
terjadinya DR puncaknya terjadi pada 5-<10 tahun menderita DM sedang pada
penelitian yang lain pada 10-14 tahun menderita DM dan pada 20 tahun lebih
insiden lebih rendah. Gambaran DR didapat 15% saat awal menderita, 55%
setelah menderita 10 tahun dan 70% setelah menderita diatas 15 tahun (Soegondo
dkk., 2006; Gaafar, 2013).
Progresifitas DR berhubungan dengan tingginya kadar HbA1C. Data
United Kingdom Prospective Diabetes Study (UKPDS) menunjukkan bahwa
setiap 1% penurunan kadar HbA1C dapat menurunkan 35% resiko komplikasi
akibat DM. Penelitian oleh Jew dkk. (2012) memperoleh rerata kadar HbA1c pada
pasien NPDR adalah 7,86±0,32%. Enrique dkk. (2009) mendapatkan rerata kadar
HbA1c pada pasien NPDR ringan adalah 8,4±1,5%, sedangkan pasien DM tanpa
DR adalah 7,9±1,5%. Penelitian oleh Hala dkk.(2010) mendapatkan kadar HbA1C
meningkat sesuai dengan tingkat keparahan DR yaitu 7,86±0,32%, 8,37±0,28%,
9,59±0,29%, secara berturut-turut pada DM tipe 2 tanpa DR, NPDR, dan PDR.
Penelitian ini didapatkan rerata kadar HbA1C kelompok pasien NPDR ringan
yang mendapat astaxanthin 8 mg lebih tinggi yaitu 6,8±0,8%, sedangkan rerata
kadar HbA1C kelompok pasien NPDR ringan yang mendapat plasebo ditemukan
lebih rendah yaitu 6,5±0,7%.
Haemoglobin Adult 1C (HbA1C) merupakan salah satu indikator indeks
biokimia yang paling baik dipergunakan dalam pengontrolan kadar gula darah
karena merupakan rerata gula darah dalam 3-4 bulan terakhir (Gomero dkk,
2008). Kadar HbA1C berbanding lurus dengan kadar gula darah, artinya bila
kadar gula darah meningkat maka pembentukan HbA1C semakin cepat, yang
akhirnya dapat mempercepat terjadinya komplikasi mikrovaskular. Sesuai dengan
kriteria yang dipakai oleh Konsensus Penatalaksanaan Diabetes Melitus di
Indonesia, maka yang dianggap kadar gula darah terkontrol buruk adalah mereka
dengan kadar HbA1C >8%. Kadar gula darah yang tidak terkontrol akan
menyebabkan seseorang lebih cepat mengalami komplikasi berupa DR. The
Diabetes Control and Complication (DCCT) dan United Kingdom Prospective
Diabetes Study (UKPDS) menyatakan kontrol gula darah yang baik akan
mengurangi resiko terjadinya DR (American Academy of Ophalmology and Staff,
2011-2012a; Ozmen dkk.,2007) melaporkan bahwa kadar HbA1C>10% dapat
mengakibatkan DR sebesar 82,2%. Varma dkk. (2007) menemukan setiap
peningkatan kadar HbA1C 1% mempunyai resiko terjadinya DR sebesar 1,22 kali.
Kadar HbA1C tidak memiliki korelasi dengan derajat keparahan DR. Penelitian
oleh Maa dan Sullivan (2007) mendapatkan bahwa kadar HbA1C seseorang tidak
mencerminkan keadaan DR pasien tersebut.
Indeks Massa Tubuh (IMT) diperoleh dengan suatu pengukuran yang
membandingkan antara berat badan (kg) dan tinggi badan (m2). Jew dkk. (2012)
dalam penelitiannya di Malaysia mendapatkan rerata IMT pasien NPDR adalah
25,66±4,13 kg/m2 sedangkan Nagaoka dkk. (2010) mendapatkan rerata IMT
pasien NPDR ringan adalah 24,6±4,4 kg/m2 dan DM tanpa DR 25,1±4,9 kg/m2.
Pada penelitian ini ditemukan rerata IMT kelompok pasien NPDR ringan yang
mendapat astaxanthin 8 mg adalah 28,9±7,0 kg/m2, sedangkan kelompok pasien
NPDR ringan yang mendapat plasebo 27,4±9,4 kg/m2.
Indeks Massa Tubuh (IMT) merupakan indikator untuk mengidentifikasi
obesitas pada orang dewasa. Satu penelitian melaporkan bahwa selain
hiperglikemia faktor-faktor lainnya seperti tekanan darah, obesitas dan
peningkatan tigliserida berhubungan dengan prevalensi retinopati (Van Leiden
dkk, 2002). Endotel secara primer terlibat pada regulasi dari adhesi dan agregasi
trombosit dan platelet. Hal ini secara luas dipengaruhi oleh NO yang disintesis
oleh endothelial NOS. Obesitas akan menyebabkan disfungsi endotel melalui
reaksi inflamasi dengan melepaskan tissue growth factor yang kemudian
menyebabkan perubahan biologi dinding pembuluh darah, oksidasi lemak, dan
pengikatan NO. Hasil akhir dari disfungsi endotel adalah kerusakan sawar darah
retina, menyebabkan terjadinya eksudasi, dan berhubungan dengan progresifitas
DR(Jew dkk, 2012).
Gaafar (2012) dalam penelitiannya di Kuwait menemukan DR paling
banyak ditemukan pada tingkat pendidikan sekunder yaitu masing-masing 31,7%
dan paling sedikit pada tingkat universitas atau diatasnya yaitu 18,3%. Kitriastuti
(2007) dalam penelitiannya di Surabaya mendapatkan DR lebih banyak ditemukan
pada pasien dengan tingkat pendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA) atau
sederajat yaitu sebesar 32,5% dan paling sedikit pada tingkat Diploma/Sarjana
yaitu sebesar 17%. Penelitian ini didapatkan sebagian besar pasien pada kelompok
NPDR ringan yang diberikan astaxanthin 8 mg memiliki status pendidikan SMA
yaitu sebesar 50% dan pada NPDR ringan yang diberikan plasebo sebagian besar
pasien memiliki status pendidikan Diploma/Sarjana yaitu sebesar 38,8%.
Beberapa peneliti menghubungkan tingkat pendidikan pasien DR dengan
pemahaman pasien tentang penyakitnya, deteksi dini, pemeriksaan
rutin,pengobatan yang dicari, resiko komplikasi yang terjadi, gaya hidup, dan
status sosial ekonomi, (Kitriastuti, 2007; Gaafar, 2013). Tingkat pendidikan dapat
dihubungkan dengan kecepatan untuk memperoleh pelayanan kesehatan. Pasien
dengan tingkat pendidikan tinggi biasanya lebih cepat mencari pelayanan
kesehatan, sehingga NPDR lebih banyak ditemukan pada stadium yang lebih
awal. Tingkat pendidikan yang tinggi mempengaruhi kewaspadaan terhadap
meningkatnya penderita DR yang akan semakin meningkat dengan perubahan
gaya hidup, kondisi sosial ekonomi dan meningkatnya usia harapan hidup
(Kitriastuti, 2007).
6.2 Perbedaan Kadar Nitric Oxide (NO) Serum Awal dan 4 Minggu
Pemberian Astaxanthin dan Plasebo pada Pasien NPDR Ringan
Peningkatan stres oksidasi yang diinduksi hiperglikemia
merupakan rangkaian penting dari komplikasi mikrovaskular DM. Hal ini
menunjukkan bahwa hubungan antara hiperglikemia, perubahan pada
keseimbangan redoks, dan stres oksidasi adalah kunci dari patogenesis DR
(Joanna dkk., 2012).
Akibat dari stres oksidasi kronik meliputi kerusakan pada makromolekul
biologi seperti DNA, lemak, protein dan karbohidrat, gangguan pada
keseimbangan sel, dan menghasilkan ROS yang lain yang menyebabkan
kerusakan lebih lanjut (Kowluru dkk., 2007). Inflamasi pembuluh darah yang
diinduksi DM pada keadaan stres oksidasi berhubungan erat dengan NO, yang
meregulasi beberapa proses fisiologi dan patologi, termasuk dilatasi dan inflamasi
pembuluh darah. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa NO memiliki peran
ganda pada penyakit dan inflamasi pembuluh darah yang tergantung pada sumber
tertentu dan jumlah yang diproduksi. Tingginya kadar NO yang diproduksi oleh
inducible NOS dapat bekerja secara tidak langsung melalui pembentukan RNS.
Reactive nitrogen species dibentuk melalui interaksi NO dengan oksigen atau
superoxide. Reactive nitrogen species merupakan molekul proinflamasi yang kuat
dan dapat menyebabkan kerusakan jaringan (Zhang dkk., 2011).
Beberapa peneliti meyakini, dengan pemberian antioksidan seperti
astaxanthin dapat mencegah terjadinya penyakit mikrovaskular dan
makrovaskular pada penderita DM (Pennathur dan Heinecke, 2004). Antioksidan
berperan dalam menetralisir kerja radikal bebas sehingga proses oksidasi tidak
terjadi. Antioksidan seperti astaxanthin merupakan antioksidan eksternal
mempunyai pigmen karotenoid alami dengan aktivitas biologisnya 1000 kali lebih
efektif dari vitamin E dan 10 kali lebih kuat dibandingkan beta karoten dan tidak
pernah menjadi prooksidan di tubuh (Denise dan Thomas, 2002; Suseela dan
Toppo, 2006). Astaxanthin menetralkan singlet oksigen melalui mekanisme fisik,
dimana energi yang berlebihan dari singlet oksigen tersebut ditransfer ke struktur
karotenoid yang kaya akan elektron dan mengubah energinya menjadi panas
sehingga tidak terbentuk singlet oksigen lagi. Serta bereaksi dengan radikal lain
untuk mencegah dan menghentikan reaksi rantai, sehingga mampu melindungi
komponen sel lain (lemak, protein, DNA) dari kerusakan oleh radikal bebas
(Nishida dkk., 2007). Beberapa penelitian tentang astaxanthin pada hewan coba
menunjukkan hasil yang baik kemudian penelitian ditingkatkan pada manusia.
Diharapkan dengan pemberian astaxanthin terjadi penurunan kadar NO dalam
tubuh dan mencegah kerusakan fungsi sel, yang berarti memperbaiki perfusi
seluler dan mencegah kerusakan lebih lanjut akibat DM (Kowluru dan Chan,
2007).
Peningkatan kadar NO pada retina penderita DM dapat mengakibatkan
neurotoksik dan angiogenesis. Nitric oxide bersifat menguntungkan dalam
perannya sebagai vasodilatator, tetapi pada konsentrasi tinggi NO yang diproduksi
oleh iNOS bersifat neurotoksik. Toksisitas NO telah dihubungkan dengan
beberapa mekanisme meliputi kerusakan DNA, pembentukan peroksinitrit, dan
kehilangan energi ( Hala dkk., 2011). Penelitian Doganay dkk. (2002) di Turki
mendapatkan kadar NO serum meningkat sesuai dengan derajat keparahan DR,
dimana kadar NO serum pada DM tipe II tanpa DR (115,9 ± 5,8 (80-150)
µmol/L), dengan NPDR (149,5 ± 2,1(125-162) µmol/L), dan dengan PDR (166,8
± 3,2 (135-188) µmol/L) dengan nilai p < 0,001. Penelitian Hala dkk. (2011) di
Cairo mendapatkan kadar NO serum NPDR adalah 40,34±3,51 mmole/L.
Penelitian ini ditemukan rerata kadar NO serum awal pada kelompok
NPDR ringan yang diberikan astaxanthin 8 mg sebesar 14,43±8,05mmole/L dan
pada kelompok NPDR ringan yang diberikan plasebo sebesar 10,90±4,80
mmole/L. Rerata kadar NO serum awal pasien NPDR ringan pada kelompok
yang diberikan astaxanthin 8 mg dan pada kelompok NPDR ringan yang
diberikan plasebo pada penelitian ini lebih rendah dibandingkan penelitian Hala
dkk. (2011) di Cairo, kemungkinan karena adanya perbedaan etnik dan ras yang
dapat mempengaruhi hasil yang didapat.
Beberapa penelitian tentang astaxanthin awalnya dicobakan pada hewan
coba menunjukkan hasil yang baik, kemudian penelitian ditingkatkan pada
manusia. Penelitian Fassett dkk. (2008) di Australia menunjukkan pemberian
astaxanthin 8 mg/hari berpengaruh terhadap stres oksidasi dan inflamasi yang
merupakan faktor resiko penyakit vaskular. Iwabayashi dkk. (2009) melaporkan
konsumsi astaxanthin 12 mg/hari selama 8 minggu menurunkan kortisol 23 %
(p<0,05), mereduksi LDH 6,5% (p<0,01) dan menurunkan kadar HbA1C 4 %
(p<0,01).
Pada penelitian ini dilakukan pengukuran kadar NO serum awal dan 4
minggu setelah diberikan astaxanthin dan plasebo untuk mengetahui perbedaan
kadar NO sebagai respon stres oksidatif dalam progresivitas DR. Penelitian ini
ditemukan rerata kadar NO serum awal sebesar 14,43±8,05 mmole/L dan 4
minggu setelah diberikan astaxanthin 6,76±1,39 mmole/L. Selisih rerata kadar NO
awal dan 4 minggu pada kelompok NPDR ringan yang diberikan astaxanthin 8 mg
sebesar 7,67±8,07 mmole/L. Pada kelompok NPDR ringan yang diberikan
plasebo didapatkan rerata kadar NO serum awal sebesar 10,90±4,80 mmole/L dan
4 minggu setelah diberi plasebo 7,79±6,32 mmole/L. Selisih rerata kadar NO awal
dan 4 minggu pada kelompok NPDR ringan yang diberikan plasebo sebesar
3,12±7,63 mmole/L. Perbedaan rerata kadar NO pada kedua kelompok tidak
bermakna secara statistik (p>0,05). Hal ini kemungkinan disebabkan oleh waktu
pemberian astaxanthin yang relatif pendek, walaupun terjadi penurunan kadar NO
serum lebih besar pada kelompok astaxanthin dibandingkan kelompok plasebo.
Perbedaan hasil klinis pada kedua kelompok secara absolut didapatkan sebesar
60%. Hal ini menunjukkan bahwa dengan 4 minggu pemberian astaxanthin 8 mg
telah menunjukkan efek yang secara klinis bermakna. Apabila pemberian
astaxanthin lebih lama dari 4 minggu dan efek klinisnya kemungkinan konsisten
akan memberikan efek yang bermakna secara statistik. Hal ini dapat terjadi karena
antioksidan seperti astaxanthin dengan efek anti inflamasi dan antioksidannya
menyebabkan penurunan reaksi inflamasi maupun stress oksidatif dalam tubuh
yang mengakibatkan produksi NO menurun.
Beberapa hal yang dapat mempengaruhi kadar NO serum adalah umur,
obesitas/kegemukan, keadaan inflamasi atau infeksi yang kronis, penyakit
autoimun, keganasan, konsumsi obat antioksidan, konsumsi obat Anti Inflamasi
Non Steroid (OAINS), konsumsi obat kortikosteroid, perokok, alkoholik.
Beberapa faktor tersebut telah dikontrol pada desain penelitian ini melalui kriteria
eksklusi, sehingga faktor-faktor tersebut diharapkan tidak berpengaruh terhadap
kadar NO serum pasien NPDR ringan. Belum ada penelitian yang meneliti kadar
NO serum pasien NPDR ringan pada etnik atau ras yang berbeda sehingga perlu
dibuktikan melalui penelitian dengan jumlah sampel yang lebih besar dan
melibatkan multisenter. Perlunya pemeriksaan kadar NO serum pada populasi
normal di Bali karena adanya perbedaan populasi, etnik dan ras tentunya akan
memberikan rentang nilai NO yang bervariasi.
Nilai aplikatif dari penelitian ini adalah NO serum dapat digunakan
sebagai indikator dalam menilai progresivitas DR serta pemberian astaxanthin
perlu diberikan pada NPDR ringan karena dapat menurunkan kadar NO.
Pemeriksaan kadar NO serum secara rutin tidak perlu dilakukan pada setiap
pasien NPDR stadium ringan karena selain pemeriksaan ini tergolong mahal
terdapat masa kadaluarsa dari kit NO. Hal selanjutnya yang dapat
dipertimbangkan adalah pemberian antioksidan seperti astaxanthin sebagai salah
satu strategi dalam memperlambat progresivitas DR. Pentingnya edukasi kepada
pasien DM mengenai gaya hidup, pola makan, asupan nutrisi yang mengandung
antioksidan sehingga komplikasi DM berupa DR dapat dihindari.
Kadar NO serum pada penelitian ini dipengaruhi oleh banyak faktor.
Kelemahan dari penelitian ini adalah riwayat penyakit sistemik, merokok,
penggunaan obat-obatan pada pasien didapatkan melalui wawancara, kepatuhan
minum obat penelitian serta tidak dilakukan analisis mengenai faktor-faktor resiko
pada DM yang memang sangat sulit untuk dikendalikan sehingga hal ini dapat
sebagai sumber bias dalam penelitian. Penelitian ini tidak dilakukan penilaian
terhadap kadar NO serum pada populasi normal. Nilai normal (cut off point) kadar
NO serum pada populasi normal di Bali belum pernah diteliti, sehingga belum
diketahui berapa sebenarnya kadar NO serum pada populasi normal di Bali.
Pada penelitian ini semua subjek di follow-up pada minggu kedua
pemberian obat dan diakhir penelitian jumlah obat dihitung untuk menilai
kepatuhan subjek dalam mengkonsumsi obat. Menurut laporan WHO pada tahun
2003, kepatuhan rata-rata pasien pada terapi jangka panjang terhadap penyakit
kronis di negara maju hanya sebesar 50% sedangkan di negara berkembang,
jumlah tersebut bahkan lebih rendah. Kepatuhan pasien sangat diperlukan untuk
mencapai keberhasilan terapi utamanya pada penyakit kronis salah satunya adalah
DM. Hayers dkk.(2009) menunjukkan bahwa berbagai penyakit kronis, pasien
yang tergolong tidak patuh mengkonsumsi obat lebih dari 50% menunjukkan
bahwa pasien yang tidak patuh pada akhirnya akan diikuti dengan berhentinya
pasien untuk mengkonsumsi obat.
Tidak ada drop out yang terjadi pada subjek di kedua kelompok. Terdapat 16
subjek yang menyisakan obat, yaitu 10 subyek pada kelompok NPDR ringan
dengan pemberian astaxanthin 8 mg dan 6 subyek pada kelompok NPDR ringan
dengan pemberian plasebo. Pada penelitian ini didapatkan kelompok NPDR
ringan dengan astaxanthin 8 mg kepatuhan pasien sebesar 94,4% dan pasien yang
tidak patuh sebesar 5,6%, sedangkan pada kelompok NPDR ringan dengan
plasebo semua pasien patuh minum obat (100%).
Kepatuhan pasien berpengaruh terhadap keberhasilan suatu pengobatan. Hasil
terapi tidak akan mencapai tingkat optimal tanpa adanya kesadaran dari pasien itu
sendiri, bahkan dapat menyebabkan kegagalan terapi, serta dapat pula
menimbulkan komplikasi yang sangat merugikan dan pada akhirnya akan
berakibat fatal. Terapi obat yang aman dan efektif akan terjadi apabila pasien
diberi informasi yang cukup tentang obat-obat dan penggunannya(Strand dan
Morley, 2004).
Beberapa efek samping pemberian astaxanthin yang pernah dilaporkan
berupa terjadinya peningkatan pigmentasi kulit, perubahan hormonal, penurunan
libido, penurunan tekanan darah, penurunan kadar kalsium darah, pembesaran
payudara pada laki-laki. Belum pernah dilaporkan tentang adanya toksisitas pada
pemberian astaxanthin di beberapa studi klinis yang telah dilakukan (Fasset dan
Coombes, 2011). Selama penelitian berlangsung tidak ditemukan adanya efek
samping tersebut namun 1 subjek merasakan kesemutan pada kaki dan tangan
setelah mengkonsumsi obat penelitian.
BAB VII
SIMPULAN DAN SARAN
7.1 Simpulan
Berdasarkan penelitian yang sudah dilakukan dapat disimpulkan bahwa
penurunan kadar NO serum pada kelompok NPDR ringan dengan astaxanthin 8
mg sekitar 60% lebih besar dibandingkan dengan kelompok NPDR ringan dengan
plasebo. Walaupun secara statistik tidak bermakna terdapat kecenderungan
astaxanthin 8 mg dapat menurunkan kadar NO serum pada NPDR ringan.
7.2 Saran
Astaxanthin dapat digunakan sebagai terapi tambahan pada penderita
NPDR ringan untuk menurunkan kadar NO serum.
DAFTAR PUSTAKA
Ali Khan, M., Kamalpreet, B., and Wahid, A.K. 2012. Gluco-Oxidation of
Proteins in Etiology of Diabetic Retinopathy. Cited at February, 2012. Available from: http://www.intechopen.com/books/diabetic-retnopathy/gluco-oxidation-of-proteins-in-etiology-of-diabetic-retinopathy
American Academy of Ophthalmology and staff. 2011-2012a. Retina and Vitreus. United State of America: American Academy of Ophthalmology, pp. 109-132.
American Academy of Ophthalmology Staff. 2011-2012b. Fundamental and Priciples of Ophthalmology. United State of America: American Academy of Ophthalmology, pp. 273-318.
Annal, D.M., Elvira, A., Chi, C.C., George, F.R., Kiran, A., Gordon, B. 2005.
Serum inflammatory markers in diabetic retinopathy. Investigative ophthalmology & visual science, 46, pp. 4295-4301.
Antonetti, D.A., Klein, R., Gardner, T.W. 2012. Mechanisms of disease Diabetic
Retinopathy. The New England Journal of Medicine, 366, pp. 1227-1239. Barcelo A, Aedo C, Rajpathak S, Robles S. 2003. The cost of diabetes in Latin
America andthe Caribbean. Bulletin of the World Health Organization, 81:19–27.
Capelli, B and Cysewski, G. 2007. Natural Astaxanthin concentrated in
Haematoccocus microalgae. Natural Astaxanthin:King of the carotenoids, pp. 37-94.Chibber, R., Ben-Mahmud, B.M., Chibber, S., Kohner, E.M. 2007. Leukocyte in Diabetes Retinopathy. Current Diabetes Review, 3, pp. 3-14.
Dirani, M., Xie, J., Fenwick, E., Benarous, R., Rees, G., Wong, T.Y., and
Lamoureux, E.L. 2011. Are Obesity and Anthropometry Risk Factors for Diabetic Retinopathy?: The Diabetes Management Project. nvestigative Ophthalmology & Visual Science, vol. 52(7), pp.4416-4421.
Doganay, S., Evereklioglu, C., Er, H., Tϋrköz, Sevinç, A., Mehmet, M., Şavli, H. 2002. Comparison of serum NO, TNF-α, IL-1β, sIL-2R, IL-6 and IL-8 levels with grades of retinopathy in patient with diabetes mellitus. Eye Nature publishing group, 16, pp. 164-170.
Dutta, L.C. 2005. Modern Ophthalmology. 3rd edition. New Delhi: Jaypee Brothers. 1605-1621.
Dwipayana, P.M., Suastika, K., Saraswati, I.M.R., Gotera, W.B., Budhiarta, A.A.G., Sutanegara, Gunadi, I.G.N., Badjra, I.K., Wita, W., Rina, K., Santoso, A., Kajiwara, N., Taniguchi, H. 2010. Prevalensi sindroma
metabolik pada populasi penduduk Bali, Indonesia. Naskah Lengkap Joint symposium Surabaya metabolic syndrome update-6 Metabolic cardiovascular disease Surabaya update, pp. 282-288
Enrique, S.P., Maria, C.H., dan Vasquez, J.A. 2009. Six-Year Retrospective Follow-Up Study of Safe Screening Intervals for Sight-Threatening Retinopathy in Patients with Dabetes Mellitus. Journal of Diabetes Science and Technology, 3(4): 812-818
Fasset, R.G and Coombes, J.S. 2011. Astaxanthin: A Potential Therapeutic Agent in Cardiovascular Disease. Marine Drugs, 9: 447-465
Gaafar M. dan Khattab A. 2013. Prevalence and Predictors of Diabetic Retinopathy Among Elderly type II diabetics. Journal of American Science,9(4): 639-646
Ghasemi, A,. Hedayati, M,. and Biabani, H. 2007. Protein Precipitation Methods Evaluation for Determination of Serum Nitric Oxide End Product by Griess Assay. Journal of Medical Sciences Research, 2: 29-32
Ghosh, A., Sherpa, M.L., Bhutia, Y., Pal, R., and Dahal, S. 2011. Serum nitric oxide status in patients with type 2 diabetes mellitus in Sikkim. International Journal of Applied and Basic Medical Research. Vol 1, pp. 31-34.
Gupta, V., Gupta, A., Dogra, M.R., Singh, R. 2007. Diabetic Retinopathy: Atlas and text. 1st edition. New Delhi: Jaypee Brothers, pp. 23-50.
Hala, O., El-Mesallamy., Kareem A. R., and Ingy, M.H. 2011. Role of Oxidative Stress, Inflamation and Endothelial Disfunction in the Pathogenesis of Diabetic Retinopathy. The IIOAB Journal. 2: 91-97
Halliwell, B., Gutteridge, J.M.C. 2007. Free Radicals in Biology and Medicine. Fourth edition, New York: Oxford University Press, pp. 19-633 Hayers, T.L., Larimer, N., Adami, J.A. 2009. Medication Adherence in Healthy Elders: Small Cognitive Changes Make a Big Difference. Jornal of Aging & Health, 21(4): 567-580
Hussein, G., Sankawa,U., Goto, H., Matsumoto, K., Watanabe, H. 2006. Astaxanthin, a carotenoid with potential in human health and nutrition. J. Nat. Prod, 69: 443-449
Jew, O.M., Peyman M., Chen, T.C., dan Visvaraja S. 2012. Risk factors for clinically significant macular edema in a multi-ethnics population with type 2 diabetes. Int J Ophthalmol, 5(4): 499-504
Joanna M.T., Kirti, K., Mohit, C., Eva, M. K., and Rakesh, C. 2012. Pathophisiology of Diabetic Retinopathy. ISSRN Opthalmology. Vol 2013, pp. 1-13.
Johanna, M.O., Ake, L., Annette, P., Peter, H. 2003. Oral bioavailability of the antioxidant astaxanthin in human is enhanced by incorporation of lipid based formulations. European journal of pharmaceutical sciences, 19, pp. 299-304.
Johansen, J.S., Harris, A.K., Rychly, D.J., and Ergul, A. 2005. Oxidative stress and the use of antioxidants in diabetes: Linking basic science to clinical practice. Cardivascular Diabetology, 4:5, pp.1-8.
Kanski, J.J. 2007. Clinical Ophthalmology, A Systematic Approach. 6th ed. Edinburgh: Butterworth-Heinemann.
Kidd, P. 2011. Astaxanthin, Cell Membran Nutrient with Diverse Clinical Benefits and Anti-Aging Potential. Alternative Medicine Review; 16(4), pp. 355-364. Kitriastuti, M. 2007. Gambaran Retinopati Diabetik pada Kunjungan Pertama Penderita Diabetes Melitus di Unit Rawat Jalan Mata RSU DR. Soetomo Surabaya. Jurnal Oftalmologi Indonesia, 5: 147-155
Lundberg, J.O and Weitzberg, E. 2005. NO Generation From Nitrite and Its Role in Vascular Control. Arterioscler Thromb Vasc Biol, 25:915-22
Marcello, S., Monica, Z., Marco, B., Donatella, F., Giancarlo, F. 2007. Lutein, Zeaxanthin and astaxanthin protect against DNA damage in SK-N-SH human neuroblastoma cells induced by reactive nitrogen species. Journal of photochemistry and photobiology, 88: 1-10.
Nagaki Y., Hayasaka, S., Yamada, T., Hayasaka, Y., Sanada, M., Uonomi, T. 2002. Effects of astaxanthin on accommodation, critical flicker fusions, and pattern evoked potential in visual display terminal workers. J. Trad. Med, 19(5): 170-173
Nagaki, Y., Mihara, M., Tsukahara, H., Ono, S. 2006. The supplementation effect of astaxanthin on accommodation and asthenopia. J. Clin. Therap. Med, 22(1): 41-54
Nagaoka T., Sato E., Takahashi A., Yokota H., Kenji Sogawa K., dan Yoshida A. Impaired Retinal Circulation in Patients with Type 2 Diabetes Mellitus: Retinal Laser Doppler Velocimetry Study. Investigative Ophthalmology & Visual Science, 51(12): 6729-6734
Nakajima, Y., Inokuchi, Y., Shimazawa, M., Otsubo,K., Ishibashi, T., and Hara, H. 2008. Astaxanthin, a dietary carotenoid, protects retinal cells against
oxidative stress in-vitro and in mice in-vivo. Journal of Pharmacy and Pharmacology, 60: 1365-1374.
Nakamura, A., Isobe, R., Otaka, Y., Abematsu, Y., Nakata, D., Honma, C., Sakurai, S., et al. 2004. Changes in Visual Function Following Peroral Astaxanthin. Japan J. Clin. Ophthal., 58(6), pp. 1051-1054.
Nishida, Y., Yamashita, E., Miki, W. 2007. Quenching Activities of Common Hydophilic and Lipophilic Antioxidants Againts Singlet Oxygen Using Chemiluminescence Detection System. Carotenoid Science. Vol 11, pp. 16-20.
Osterlie, M., Bjerkeng, B., Liaaen-Jensen, S. 1999. Bioavailability and Deposition of Bent Z-Isomers of Astaxanthin. Proceeding of the First International Congress on Pigments in Food Technology. Sevilla, Spanyol 24-26 Maret 1999.
Pangkahila, W. 2007. Anti Aging Medicine : Memperlambat Penuaan, Meningkatkan Kualitas Hidup. Cetakan ke-1. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, pp. 8-17.
Pham-Huy, L.A.P, He, H., and Pham-Huy, C. 2008. Free Radicals, Antioxidants in Disease and Health. Int J Biomed Sci. 4, pp. 89-96.
Renu, A.K., Bindu, M., Dennis, L.G. 2008. Beneficial effect of zeaxanthin on retinal metabolic abnormalities in diabetic rats. Investigative ophthalmology & visual science, 49, pp. 1645-1650.
Renu, A.K., Pooi, S.C. 2007. Oxidative stress and diabetic retinopathy. Hindawi publishing corporation experimental diabetes research, pp. 1-8.
Rohilla, A., Kumar, R., Rohilla, S., and Kushnoor, A. 2012. Diabetic Retinopathy: Origin and Complications. European Journal of Experimental Biology, vol 2 (1), pp. 88-94.
Setiati, S. 2003. Radikal Bebas, Antioksidan, dan Proses Menua: Medika no. 6 tahun XXIX. Jakarta, p. 366.
Shiratori, K., Ohgami, K., Nitta, T., Shinmei, Y., Chin, S., Yoshida, K., Tsukahara, H., et al. 2005. Effects of astaxanthin on accommodation and asthenopia-Dose finding study in healthy volunteers. J. Clin. Therap. Med., 21(6), pp. 637-650.
Son, S.M. 2012. Reactive Oxygen and Nitrogen Species in Pathogenesis of Vascular Complication of Diabetes. Diabetes Metab J. Vol 36, pp. 190-198.
Suseela, M.R. and Toppo, K. 2006. Haematococcus pluvialis A Green Alga, Richest Natural Source of Astaxanthin. Current Science. Vol 90 (12), pp. 1602-1603.
Swenarchuk, L.E., Whetter, L.E., Adamis, A.P. 2008. The role of inflamation in the pathophysiology of diabetic retinopathy. In: Duh, E.J. (ed) Diabetic Retinopathy. New Jersey: Humana press, pp. 303-326.
Wilkinson-Berka, JL., Miller, A.G. 2008. Update on the Treatment of Diabetic Retinopathy. The Scientific World Journal, 8, pp. 98-120.
Winarsi, H. 2007. Antioksidan Alami dan Radikal Bebas. Jakarta: Kanisius. pp. 11-25.
Zhang, W., Liu, H., Rojas, M., Caldwell, R.W., and Caldwell, R.B. 2011. Anti-inflammatory Therapy for DiabeticRetinopathy.Immunotherap, vol 3(5), pp.609-628.
Zhang, W., Liu, H., Al-Shabrawey, M., Rojas, M., Caldwell, R.W., and Caldwell, R.B. 2012. Inflamation and diabetic retinal microvascular complications. Journal of Cardiovascular Disease Research, vol 2(2), pp. 96-103.
Lampiran 1. Penjelasan Penelitian
INFORMASI YANG DIBERIKAN KEPADA SUBYEK PENELITIAN
Astaxanthin Secara Klinis Dapat Menurunkan Kadar NO Serum Pada
Penderita Non Proliferatif Diabetic Retinopathy Ringan
Bapak dan ibu Yth,
Non Proliferatif Diabetic Retinopathy (NPDR) Ringan merupakan salah
satu stadium Diabetic retinopathy (DR) yaitu komplikasi dari penderita Diabetes
Mellitus (DM) berupa kelainan retina akibat hiperglikemia dalam jangka waktu
lama. Sampai saat ini DR merupakan salah satu penyebab kebutaan di dunia dan
diperkirakan semakin meningkat seiring dengan lamanya menderita DM.
Mekanisme terjadinya DR belum dapat dijelaskan secara pasti. Diduga
hiperglikemia yang lama memicu inducible Nitric Oxide Synthase (iNOS) untuk
mensintesis nitric oxide (NO) dalam jumlah yang berlebihan yang akhirnya
berdampak pada kerusakan retina. Selain itu hiperglikemia dapat memicu stres
oksidatif yaitu tidak seimbangnya antara radikal bebas dengan antioksidan di
dalam tubuh. Hiperglikemia tidak hanya membentuk reactive oxygen species
(ROS) tetapi juga melemahkan mekanisme antioksidan tubuh yang dapat
mempercepat kematian sel retina dan mengakibatkan DR.
Pemberian terapi antioksidan dapat menjadi salah satu pilihan pada
pencegahan DR. Antioksidan dianggap mempunyai efek yang potensial karena
dapat menghambat terbentuknya ROS dan meningkatkan pertahanan antioksidan
tubuh. Astaxanthin merupakann antioksidan yang popular saat ini. Astaxanthin
memiliki aktifitas antioksidan 10 kali lipat lebih tinggi dari beta carotene, 550 kali
lipat lebih efektif dari vitamin E, memiliki efek anti inflamasi dan tidak menjadi
prooksidan. Terdapat penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa astaxanthin
sebagai anti inflamasi dan dapat mengurangi kerusakan pada retina akibat stres
oksidatif.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan kadar NO dengan
perkembangan stadium DR. Diharapkan dengan penelitian ini pemahaman
mengenai bagaimana terjadinya dan perkembangan DR akan menjadi lebih baik,
sehingga penanganan berupa pencegahan dapat dilakukan.
Bila bapak/ibu bersedia menjadi sampel penelitian, kami mohon untuk
menandatangani surat persetujuan dan datang kontrol pada waktu yang telah kami
tentukan. Data mengenai bapak/ibu akan kami rahasiakan. Pada penelitian ini
kami akan melakukan pemeriksaan kadar NO melalui pengambilan darah vena,
selanjutnya bapak/ibu memperoleh astaxanthin dalam bentuk kapsul yang
dikonsumsi 2 kapsul/hari selama 4 minggu dan pada akhir minggu ke 4 (saat
astaxanthin habis) kami akan periksa kembali kadar NO dalam darah bapak/ibu.
Biaya yang diperlukan untuk pemeriksaan akan ditanggung oleh peneliti. Jika
hasil pemeriksaan kadar NO telah diketahui, maka hasil pemeriksaan tersebut
akan kami sampaikan kepada bapak/ibu. Hasil pemeriksaan akan dianalisis sesuai
dengan tujuan penelitian seperti yang dimaksud diatas. Dengan ikut serta dalam
penelitian ini, berarti bapak/ibu ikut berperan serta dalam pengembangan ilmu
pengetahuan khususnya etiopatogenesis dan perkembangan stadium DR.
Demikian penjelasan ini kami sampaikan, dan atas kesediaan bapak/ibu
ikut serta menjadi sampel atau koresponden dalam penelitian ini, kami sampaikan
banyak terima kasih. Bila ada hal-hal yang belum jelas atau terdapat keluhan,
bapak/ibu dapat datang kapan saja atau menghubungi dokter yang merawat
selama penelitian ini. Bapak/ibu dapat menghubungi peneliti:
dr. Ni Wayan Sedani Bagian Ilmu Kesehatan Mata Fk UNUD/RSUP Sanglah Denpasar Telepon : 081 339 521333
Lampiran 2. Lembar Persetujuan Setelah Penjelasan (Informed Consent)
Yang bertanda tangan dibawah ini:
Nama :
Umur :
Alamat :
Telepon :
Setelah mendapatkan penjelasan yang lengkap mengenai maksud, tujuan dan
manfaat penelitian ini, maka menyatakan setuju dan bersedia ikut serta dalam
penelitian ini. Saya bersedia mentaati semua peraturan yang diberikan. Saya
mempunyai hak untuk mengundurkan diri dari penelitian ini bila saya
menginginkan dan tidak akan merusak hubungan dokter-pasien dengan saya.
Denpasar, ............................ 2013 Tanda tangan pasien Peneliti ................................... Dr. Ni Wayan Sedani Saksi ....................................
Lampiran 3. Kuisioner Penelitian
1. No Sampel :
2. No CM :
3. Tgl pemeriksaan :
4. Nama :
5. Umur :
6. Jenis Kelamin :
7. Pekerjaan :
8. Pendidikan :
9. Alamat :
Tlp
10. Riwayat merokok : merokok / tidak; jumlah ...... ; lama .......
11. Riwayat penyakit lain :
a. DM : Ada / tidak; lama ......
b. Hipertensi : Ada / tidak; lama ......
c. Jantung : Ada / tidak
d. Keganasan : Ada / tidak; jenis .......
12. Riwayat terapi :
a. AISN : Ada / tidak; lama ......
b. Kortikosteroid : Ada / tidak; lama ......
c. Imunosupresan : Ada / tidak; lama ......
d. Antioksidan (vitamin A & E) : Ada / tidak; lama ......
13. Vital sign : TD: ............ mmHg; N: ........ X/mnt; R: ........ X/mnt;
t: .........°C; BB:……….Kg; TB……..Cm
14. Status General :
15. Status oftalmologi
OD OS
VA PH
Palpebra Konjungtiva
Kornea AC
Iris/Pupil Lensa
Vitreus Fundus
16. Diagnosis :
17. Kadar NO :
Lampiran 6. Output SPSS
KARAKTERISTIK SUBYEK KELOMPOK ASTAXANTHIN 8 MG
Frequency Table
JenisKelamin
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid Laki-laki 12 66.7 66.7 66.7
Perempuan 6 33.3 33.3 100.0
Total 18 100.0 100.0
Pendidikan
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid Tidak Sekolah
SD
SMP
0
4
1
0
22.2
5.6
0
22.2
5.6
0
22.2
27.8
SMA 9 50.0 50.0 57.8
Diploma/Sarjana 4 22.2 22.2 100.0
Total 18 100.0 100.0
PatuhObat
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid Patuh 17 94.4 94.4 94.4
Tidak Patuh 1 5.6 5.6 100.0
Total 18 100.0 100.0
KARAKTERISTIK SUBYEK KELOMPOK PLACEBO
Frequency Table
JenisKelamin
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid Laki-laki 12 66.7 66.7 66.7
Perempuan 6 33.3 33.3 100.0
Total 18 100.0 100.0
Pendidikan
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid Tidak sekolah 1 5.6 5.6 5.6
SD 3 16.7 16.7 22.3
SMP 3 16.7 16.7 39.0
SMA 4 22.2 22.2 61.2
Diploma/Sarjana 7 38.8 38.8 100.0
Total 18 100.0 100.0
PatuhObat
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid Patuh 18 100.0 100.0 100.0
Lampiran 4
TABEL INDUK PENELITIAN
No Nama Sampel Umur (th)
Sex Pendidikan Lama DM
HbA1C BB TB IMT Sisa Obat
side effect Kadar
NO Selisih
Pre Post
1 SPM A 45 P SMP 1 7.70 64 115 48.39 0 16.00 5.00 11.00
2 UTL A 44 P SMA 2 6.50 74 147 34.24 1 9.55 5.91 3.64
3 GMS A 47 L SMA 2 6.90 69 165 25.34 2 6.82 4.91 1.91
4 MWL A 70 L SMA 2 7.00 75 169 26.26 0 8.64 7.73 0.91
5 WKD A 59 P SD 4 7.20 50 159 19.78 2 8.18 5.45 2.73
6 IBS A 66 L D2 2.5 7.57 69 175 22.53 14 8.18 6.36 1.82
7 AGO A 63 L SMA 3 5.70 87 165 31.96 1 11.00 6.82 4.18
8 ADA A 65 L SD 30 5.23 83 161 32.02 2 12.00 9.09 2.91
9 IMS A 62 P SMA 10 6.90 93 154 39.21 0 7.27 5.91 1.36
10 KGD A 66 L SD 0.25 5.80 59 160 23.05 0 9.55 5.45 4.09
11 WSM A 59 P SD 0.25 6.50 71 154 29.94 0 9.09 7.27 1.82
12 LNW A 49 P S1 14 7.80 74 156 30.41 6 25.00 7.27 17.73
13 RDT A 63 L D3 0.5 6.74 78 156 32.05 10 21.00 5.91 15.09
14 IMG A 67 L SMA 10 5.60 64 159 25.32 7 9.09 13.00 -3.91
15 NSW A 59 L SMA 15 7.50 55 165 20.20 2 15.00 7.73 7.27
16 WMG A 73 L SMA 22 7.20 62 160 24.22 0 23.00 9.09 13.91
17 KMN A 58 L S1 9 6.50 66 156 27.12 4 Kesemutan 19.00 7.27 11.73
18 SND A 51 L SMA 14 7.88 88 177 28.09 0 37.50 5.45 32.05
19 MSD B 65 P SMP 13 6.90 54 120 37.50 0 5.91 5.00 0.91
20 NAS B 50 L S1 2.5 6.70 97 126 61.10 0 6.82 4.82 1.99
21 PJW B 65 L D3 37 5.40 74 160 28.91 0 6.82 4.91 1.91
22 SJK B 71 L Akpol 8 6.40 62 166 22.50 0 18.00 4.91 13.09
23 KSD B 68 L SD 7 5.70 64 155 26.64 0 6.82 5.91 0.91
24 DMR B 70 L D3 10 7.60 70 168 24.80 0 9.55 6.82 2.73
25 SAD B 63 P SD 7 7.30 66.5 154 28.04 0 7.73 5.45 2.27
26 MPT B 71 L SD 24 6.70 65 169 22.76 4 8.64 4.91 3.72
27 KRG B 60 P Tdk sekolah 4 5.60 54 155 22.48 2 15.00 9.09 5.91
28 NSD B 60 L SMA 20 7.00 67 168 23.74 8 7.27 22.00 -
14.73
29 FDN B 45 L SMA 1 7.00 69 163 25.97 1 9.09 7.73 1.36
30 WDN B 70 L S1 10 7.30 85 168 30.12 0 10.00 5.00 5.00
31 AMB B 77 L S1 26 5.70 53.5 165 19.65 4 8.64 6.36 2.27
32 KST B 60 P SMP 0.5 5.70 58 168 20.55 0 8.18 7.27 0.91
33 NKT B 64 P SMA 0.5 5.60 59 151 25.88 0 24.00 8.64 15.36
34 GMS B 75 L SMP 29 6.60 58 167 20.80 0 16.00 6.82 9.18
35 IMW B 67 P D2 6 6.20 58 151 25.44 0 10.00 5.91 4.09
36 GSB B 56 L SMA 0.5 6.60 70 163 26.35 10 15.00 8.18 6.82
KARAKTERISTIK DAN DISTRIBUSI KELOMPOK ASTAXANTHIN 8 MG
Descriptive Statistics
N
Minim
um
Maxim
um Mean
Std.
Deviation
Umur 18 44 73 59.22 8.695
Lama DM
(tahun)
18 .25 30.00 7.861
1
8.45151
Kadar HbA1C 18 5.23 7.88 6.790
0
.79801
Kadar NO
Pre
18 6.82 37.50 14.43
22
8.04736
Kadar NO
Post
18 4.91 9.09 6.761
7
1.39217
Selisih (Pre -
Post)
18 .91 32.05 7.670
0
8.06914
Indeks massa
tubuh
18 19.78 48.39 28.89
61
7.02476
One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test
Um
ur
Lam
a DM
(tahu
n)
Kada
r
HbA
1C
Kada
r NO
Pre
Kada
r NO
Post
Selisi
h (Pre
-
Post)
Indeks
massa
tubuh
N 18 18 18 18 18 18 18
Normal
Parametersa,,b
Mean 59.2
2
7.86
11
6.79
00
14.4
322
6.76
17
7.670
0
28.8961
Std.
Deviation
8.69
5
8.45
151
.798
01
8.04
736
1.39
217
8.069
14
7.02476
Most Extreme
Differences
Absolute .166 .232 .136 .182 .174 .278 .160
Positive .106 .232 .115 .182 .174 .278 .160
Negative -
.166
-.184 -.136 -.172 -.119 -.201 -.097
Kolmogorov-Smirnov Z .706 .983 .577 .771 .739 1.181 .679
Asymp. Sig. (2-tailed) .702 .289 .894 .592 .646 .123 .746
a. Test distribution is Normal.
b. Calculated from data.
KARAKTERISTIK DAN DISTRIBUSI KELOMPOK PLASEBO
Descriptive Statistics
N Minimum Maximum Mean Std. Deviation
Umur 18 45 77 64.28 8.245
Lama DM (tahun) 18 .50 37.00 11.4444 11.10232
Kadar HbA1C 18 5.40 7.60 6.4444 .68790
Indeks massa tubuh 18 19.65 61.10 27.4017 9.38745
Kadar NO Pre 18 5.91 24.00 10.7483 4.87269
Kadar NO Post 18 4.82 22.00 7.2072 3.94367
Selisih (Pre - Post) 18 -14.73 15.36 3.5389 6.18254
Valid N (listwise) 18
One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test
Umur
Lama DM
(tahun)
Kadar
HbA1C
Indeks
massa
tubuh
Kadar NO
Pre
Kadar NO
Post
Selisih
(Pre -
Post)
N 18 18 18 18 18 18 18
Normal Parametersa,,b
Mean 64.28 11.4444 6.4444 27.4017 10.7483 7.2072 3.5389
Std. Deviation 8.245 11.10232 .68790 9.38745 4.87269 3.94367 6.18254
Most Extreme
Differences
Absolute .135 .218 .194 .275 .283 .272 .280
Positive .096 .218 .194 .275 .283 .261 .131
Negative -.135 -.162 -.145 -.204 -.160 -.272 -.280
Kolmogorov-Smirnov Z .574 .927 .822 1.167 1.202 1.156 1.187
Asymp. Sig. (2-tailed) .897 .357 .509 .131 .111 .138 .119
a. Test distribution is Normal.
b. Calculated from data.
INDEPENDENCE T-TEST UNTUK ANALISA KADAR VEGF PLASMA (AWAL-4 MINGGU)
Group Statistics
Kelompok N Mean Std. Deviation Std. Error Mean
Kadar NO Pre Astaxantin 18 14.4322 8.04736 1.89678
Placebo 18 10.9000 4.80000 1.13137
Kadar NO Post Astaxantin 18 6.7617 1.39217 .32814
Placebo 18 7.7906 6.32068 1.48980
Selisih (Pre - Post) Astaxantin 18 7.6700 8.06914 1.90191
Placebo 18 3.1072 7.63398 1.79935
Independent Samples Test
Levene's Test for
Equality of
Variances t-test for Equality of Means
95% Confidence
Interval of the
Difference
F Sig. T df
Sig. (2-
tailed)
Mean
Difference
Std. Error
Difference Lower Upper
Kadar NO Pre Equal variances
assumed
3.261 .080 1.599 34 .119 3.53222 2.20857 -.95613 8.02058
Equal variances
not assumed 1.599 27.737 .121 3.53222 2.20857 -.99376 8.05820
Kadar NO Post Equal variances
assumed
2.026 .164 -.674 34 .505 -1.02889 1.52551 -4.12909 2.07131
Equal variances
not assumed -.674 18.646 .508 -1.02889 1.52551 -4.22592 2.16815
Selisih (Pre -
Post)
Equal variances
assumed
1.025 .318 1.743 34 .090 4.56278 2.61819 -.75803 9.88358
Equal variances
not assumed 1.743 33.896 .090 4.56278 2.61819 -.75863 9.88418