232
PERSPECTIVE A Pentecostal JURNAL TEOLOGI OKTOBER 2018 - IN D O - N A E I S S I E A N N O P D E N N I T K E I C T O A S M T S I A R L A / C K / H A A T R S I S O M K A A T T I N C E P S C A H N O A L J A R R A S S I A S S A S I O S C O S IA A T I O N - K R I S N E P S A A S C P I -

ASP NKRIS - pglii.or.id filea pentecostalperspective jurnal teologi oktober 2018 e - in d - o a n i e

  • Upload
    vandat

  • View
    216

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: ASP NKRIS - pglii.or.id filea pentecostalperspective jurnal teologi oktober 2018 e - in d - o a n i e

PERSPECTIVEA Pentecostal

JURNAL TEOLOGIOKTOBER 2018

- INDO - N A EI SS IE ANN O PD EN NI TK EI CT OA

SM TSI A

R L

A /CK/ H

A A

T RS ISO MK

AA TT

IN CE P S CA H

N O

A LJ AR RA SS I AS SA SI OS COS IAA TION-

KRISNEPSA

AS CPI -

Page 2: ASP NKRIS - pglii.or.id filea pentecostalperspective jurnal teologi oktober 2018 e - in d - o a n i e

1

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI .............................................................1

KATA SAMBUTAN ..................................................3

“DISCERNING THE SPIRIT (S)” DALAM KUASA

POLITIK: SEBUAH PERSPEKTIF TEOLOGI

PENTAKOSTAL

oleh Minggus M. Pranoto..........................................4

MENEMUKAN KEMBALI RELEVANSI AKTIVITAS

KEBANGUNAN ROHANI BAGI GEREJA PANTEKOSTA

MASA KINI

Oleh: Yohanes S. Praptowarso ................................ 31

RAHIM KONSEPTUAL GERAKAN KHARISMATIK:

KEMUNGKINAN & TANTANGANNYA

Oleh: Rhesa N. Sigarlaki ......................................... 61

SENJAKALA TEOLOGI PENTAKOSTA

Oleh: Sonny Ei Zaluchu .......................................... 91

TEOLOGI MISI PENTAKOSTAL IN THE MAKING

Oleh: Junifrius Gultom ......................................... 113

"Pentecostal Ressourcement" Menuju Ontologi

Sakramental Perjumpaan

Oleh: Pdt. Oyan Simatupang, Ph.D. (c) .................. 149

MENGHAYATI KARUNIA ROH KUDUS DI DALAM

SEMANGAT KEADILAN LABA

Oleh: Michael Krissusanto .................................... 168

Page 3: ASP NKRIS - pglii.or.id filea pentecostalperspective jurnal teologi oktober 2018 e - in d - o a n i e

2

VISI PENYEMBAHAN DAUD DALAM KITAB

TAWARIKH : SEBUAH PROPOSAL TEOLOGI

PENYEMBAHAN PENTAKOSTAL

Oleh : Hendrik Timadius ...................................... 198

Page 4: ASP NKRIS - pglii.or.id filea pentecostalperspective jurnal teologi oktober 2018 e - in d - o a n i e

3

KATA SAMBUTAN

ita patut bersyukur kepada Tuhan Yesus Kristus

dan kepada Roh Kudus yang telah

memungkinkan diselenggarakan Sarasehan

Perdana Asosiasi Sarjana Pentakostal/Karismatik

Indonesia (ASPENKRIS) pada tanggal 17-19 September

2018 yang lalu di Wujil Resort, Ungaran, Jawa Tengah.

Para peserta yang berjumlah lebih dari 30an

tersebut menjadi penanda penting dimulainya

konsolidasi para sarjana Pentakostal/Karismatik dalam

pengembangan diskursus teologi dan spiritualitas

pentakostal dan dialognya secara ekumenis.

Pada pertemuan perdana ini 9 paper

dipresentasikan oleh para sarjana Pentakostal/

Karismatik yang telah memunculkan diskusi hangat dan

memberi masukan diantara peserta. Diharapkan ini

akan menstimuli rekan-rekan di kalangan Pentakostal

/Karismatik untuk menulis, dan berbicara dalam kancah

yang lebih luas.

Paper-paper ini dibukukan agar dapat menjadi

berkat bagi banyak kalangan.

Jakarta, 30 Oktober 2018

Team Kepemimpinan ASPENKRIS

Yohanes S. Praptowarso, Ph.D - Junifrius Gultom, Ph.D

- Oyan Simatupang, Ph.D (cand.)

K

Page 5: ASP NKRIS - pglii.or.id filea pentecostalperspective jurnal teologi oktober 2018 e - in d - o a n i e

4

“DISCERNING THE SPIRIT (S)” DALAM KUASA

POLITIK:

SEBUAH PERSPEKTIF TEOLOGI PENTAKOSTAL

OLEH MINGGUS M. PRANOTO1

Abstract: tulisan ini menyampaikan sebuah pesan

bahwa pentingnya gereja-gereja pentakosta memiliki

‘Discerning’ terhadap spiritualitas dalam kehidupan politik

di Indonesia, hal tersebut dalam rangka menolak

penghayatan terhadap Roh Kudus yang cenderung

melahirkan sikap ramah dan jinak terhadap kuasa demonik

di dalam kehidupan berpolitik. Tulisan yang mendasarkan

pada pneumatologi dalam melihat dinamika politik ini

memberikan peran penting bagi gereja-gereja untuk

membangun sikap yang kritis terhadap kondisi politik, sesuai

dengan pimpinan dan kuasa Roh Kudus.

1Minggus Minarto Pranoto adalah Pendeta Gereja Isa

Almasih Weleri, Kendal Jateng, yang diutus menjadi dosen di STT

Abdiel sejak tahun 1997 sampai sekarang ini. Studi S1 di STT

Abdiel Ungaran 1991-1995; S2 di STT Bandung (M.Div) 1995-

1997 dan Asia Graduate School of Theology, Philippines (Th.M.)

2004-2006; dan studi S3 atau program doktoral di ATESEA/ATU &

STT Jakarta 2015-2018. Pernah menjadi ketua di STT Abdiel dari

tahun 2009-2015 dan terpilih lagi sebagai ketua STT Abdiel 2018-

2022; ketua Balitbang Sinode GIA tahun 2012-2016; dan Ketua

KKPD LAI Semarang tahun 2011-2018. Buku-buku yang diedit

adalah “Gerakan Pemuja Nama Yahwe”; “Spiritualitas dan

Kepemimpinan Kristiani”; dan “Melampaui Sekat: Pneumatologi

dan Dialog Agama-Agama”. Juga menulis artikel teologi di

beberapa jurnal teologi dan majalah Kristen. Bidang yang menjadi

minatnya adalah teologi Klasik/Patristik, teologi Pentakostal, dan

teologi Entrepreneurship.

Page 6: ASP NKRIS - pglii.or.id filea pentecostalperspective jurnal teologi oktober 2018 e - in d - o a n i e

5

Keywords: Pentakostal, Roh Kudus, Politik,

Gereja, Spirit

Pendahuluan

ejak beberapa dekade belakangan ini, pemikiran

teologi Pentakostal telah berkembang begitu

pesat. Isu-isu yang dibahas tidak saja terkait

dengan teologi karunia-karunia rohani, eskhatologi,

kesalehan atau kesucian hidup, pekabaran Injil atau

misi, tetapi telah berkembang sedemikian rupa tema-

tema berteologinya. Seperti misalnya teologi

Pentakostal telah dikembangkan dialognya terkait

dengan teologi Religionum atau agama-agama2, teologi

hospitalitas3, kajian ilmu pengetahuan (alam dan

sosial)4, filsafat, teologi Patristik5, isu-isu jender6, dan

2 Lihat Amos Yong, Discerning the Spirit (s): A Pentecostal-

Charismatic Contribution to Christian Theology of Religions, peny.

John Christopher Thomas, Rickie D. Moore, Steven J. Land

sheffield, England: Sheffield Academic Press, 2000). 3 Lihat Amos Yong, Hospitality and the Other: Pentecost,

Christian Practices, and the Neighbor (Maryknoll, NY: Orbis

Books, 2008). 4 Lihat James K.A. Smith, Pentecostal Contribution to

Christian Philosophy (Grand Rapids, MI & Cambridge, U.K.:

William B. Eerdmans, 2010), 5 Lihat Gregory W. Lee, “The Spirit’s Self Testimony:

Pneumatology in Basil of Caesarea and Augustine of Hippo”,

dalam Spirit of God: Christian Renewal in the Community of Faith

(Downer Grove, IL: IVP Academic, 2015) dan Minggus M.

Pranoto, “Doktrin Perikhoresis Sabda-Roh untuk Mendukung

Pandangan dan Praktik Kepemimpinan Feminis di dalam Konteks

S

Page 7: ASP NKRIS - pglii.or.id filea pentecostalperspective jurnal teologi oktober 2018 e - in d - o a n i e

6

sebagainya. Perkembangan ini menunjukkan bahwa

para teolog Pentakostal telah memiliki keberanian

untuk memiliki dignity dan identitasnya sendiri, yang

tidak saja sekadar mengikuti teologi Protestan,

khususnya teologi Calvinism.7 Metode berteologi

Pentakostal berangkat dari perspektif, yang disebut

Amos Yong sebagai foundational pneumatology,8 karya

dan Pribadi Roh Kudus, namun tidak terlepas dari dua

Pribadi Trinitas lainnya, yaitu Allah Bapa dan Sang

Sabda. Teologi ini disebut juga sebagai pneumatologi

Trinitaris.

Teologi Pentakostal menaruh perhatian juga

terhadap realitas kuasa politik dari perspektif

pneumatologis. Teologi Politik Pentakostal menegaskan

bahwa realitas kuasa politik adalah masalah etis

spiritualitas juga. Suatu anggapan yang keliru jika

realitas kuasa politik hanya dapat dianalisa dari

pendekatan metode sosial akademis saja. Hal ini

Gereja” (disertasi D.Th., Asia Theological Union & Sekolah Tinggi

Filsafat Theologi Jakarta, Mei 2018). 6 Lihat Annelin Eriksen, “Sarah’s Sinfulness Egalitarianism,

Denied Difference, and Gender in Pentecostal Christianity”,

Current Anthropology Volume 55, Supplement 10 (December

2014):5262-5270. 7 Lihat Walter J. Hollenweger, “Priorities in Pentecostal

Research: Historiography, Missiology,Hermeneutics and

Pneumatology”, dalam Experiences of the Spirit: Conference on

Pentecostal and Charismatic Research in Europe at Utrech

University (Frankfurt am Main, Bern, New York, & Paris: Peter

Lang, 1989), 16. 8 Lihat Amos Yong, Beyond Impasse: Toward A

Pneumatological Theology of Religions (Grand Rapids, MI: Baker

Academic, 2003)

Page 8: ASP NKRIS - pglii.or.id filea pentecostalperspective jurnal teologi oktober 2018 e - in d - o a n i e

7

karena pertanyaan-pertanyaan tentang keadilan,

penderitaan, ekspolitasi, pembebasan, kesetaraan juga

terbuka untuk dihubungkan dengan pertanyaan-

pertanyaan transenden.9

Teologi Pentakostal mempercayai bahwa bukan

hanya Roh Kudus saja yang dapat dikaitkan dengan

adanya realitas kuasa politik, namun ada kuasa-kuasa

lain yang berasal dari kuasa demonis di balik

kehidupan politik (Ef. 6:10-20). Ogbu U Kalu

menegaskan:

The events in human life are connected to events in

the spiritual or supranatural realm. The things that

are seen are made of things that are not seen. Some

may want to blame social structures for the suffering

of the vulnerable. Pentecostal image social structure

as being capable of being hijacked by demonic

forcess. People serve as tools of such forces. Thus,

certain leaders could be profiled as being

possessed.10

Tulisan ini membahas mengenai kuasa yang dinyatakan

oleh Roh Kudus terkait dengan kehidupan politik.

Bagaimana Gereja melakukan “discerning the Spirit (s)”

terhadap realitas kuasa yang bersifat demonis di dalam

kehidupan politik? Selanjutnya, penulis akan mencoba

9 Lihat Ruth Marshall, “The Sovereignty of Miracles:

Pentecostal Political Theology in Nigeria”, Constellation, Volume

17, No. 2 (2010):199. 10 Ogbu U. Kalu, “Faith and Politics in Africa: Emergent

Political Theology of Engagement in Nigeria”, paper yang

dipresentasikan di “the Paul B. Henry Lecture” (Grand Rapids,MI,

2003), 11.

Page 9: ASP NKRIS - pglii.or.id filea pentecostalperspective jurnal teologi oktober 2018 e - in d - o a n i e

8

memberikan refleksi kritis teologis tentang kuasa politik

dari perspektif teologi Pentakostal.

Pandangan Awal Teologi Pentakostal Tentang Realitas

Kuasa Politik

Irvin G Chetty mengatakan bahwa sejarah

Pentakostal awal merefleksikan “ a conspicuous

absence of socio-political engagement”.11 Hal ini

karena teologinya didasari oleh konsep eskhatologi

yang sudah dekat (imminent eschatology) dan filsafat

dualistik.12 Chetty menjelaskannya sebagai berikut:

An eschatology that focuses on an imminent parousia

leaves no room for dabbling with what has been been

deemed ‘non-essential’. The parousia is the sole

determinant that shapes ones existence. One has to be

prepared for this sudden rapture. Such a ‘heavenly’

orientation feeds the second frames of reference of a

dualistic separation of the secular from spiritual. Engaging

with social-political issues was tantamout to ‘soiling ones

hand’. True believers should only focus on the spiritual as

the ‘end is nigh’.13

Akibat pengaruh dari kedua pandangan pemikiran di

atas, umumnya respon gereja-gereja beraliran

Pentakostal terhadap realitas kuasa politik tidak

11 Irvin G. Chetty, “Pentecostals and Socio-political

Engagement: An Overview from Azusa Street to the New Kairos

Movement”, Journal of Theology for Southern Africa 143 (July

2012):23(-47). 12 Ibid. 13 Ibid.

Page 10: ASP NKRIS - pglii.or.id filea pentecostalperspective jurnal teologi oktober 2018 e - in d - o a n i e

9

memiliki telaah dasar mengenai nilai-nilai etis

spiritualitas sebagai respon kritis dan aktif terhadap

kuasa politik yang riil dan kongkrit yang dihadapinya.

Allan Anderson membenarkan pendapat ini saat

menguraikan respon para penginjil Pentakostal awal

terhadap realitas kuasa politik yang dihadapi oleh

mereka di ladang misi. Mereka sering berpihak kepada

para penguasa atau penjajah (kolonial), yang dipercaya

sebagai bagian ketentuan rencana Allah14, yang

memberikan mereka perlindungan dan kebebasan

dalam memberitakan Injil tanpa perlu memperhatikan

penindasan yang dialami oleh orang-orang di bawah

rejim penjajahan tersebut. Anderson mengatakan,

“Pentecostals generally tried to stay out of political

affairs, but this approach lay them open to the charge

that they were “pie-in-the sky’ preachers who were not

really concerned about the oppression under which the

people they professed to love were suffering”.15

Dalam konteks Indonesia sesudah masa

kolonialisme, beberapa kasus tentang hal ini dapat

ditunjukkan melalui contoh keberpihakan gereja

beraliran Pentakostal tertentu untuk merapat kepada

rejim Orde Baru namun tanpa sikap kritis terhadap

rejim yang korup dan yang menekankan pendekatan

militerisme serta mengabaikan hak-hak azazi manusia.

Di pemilu tahun 2014, beberapa gereja beraliran

Pentakostal berpihak kepada calon presiden dan wakil

14 Allan Anderson, Spreading Fires: The Missionary Nature

of Early Pentecostalism (London: SCM Press, 2007), 247. 15 Ibid., 249.

Page 11: ASP NKRIS - pglii.or.id filea pentecostalperspective jurnal teologi oktober 2018 e - in d - o a n i e

10

presiden tertentu. Bahkan para pemimpin gereja

tersebut mengklaim tentang kemenangan pemilu oleh

calon presiden dan wakil presiden tertentu dalam suatu

ibadah bersama. Klaim kemenangan tersebut ternyata

salah dan tidak menjadi kenyataan. Saat pemilihan

gubernur DKI Jakarta 2017, komunitas gereja

interdenominasi Pentakostal tertentu mendukung salah

satu kandidat calon gubernur dan wakil gubernur saat

itu yang didukung juga oleh kelompok Islam radikal.16

Latarbelakang keberpihakan gereja-gereja

beraliran Pentakostal untuk mendukung suatu rejim

politik tertentu tanpa sikap kritis umumnya dengan

tujuan untuk memohon perlindungan terutama terkait

dengan pembangunan dan izin mengadakan kegiatan

gereja yang dirasakan oleh mereka semakin dipersulit.17

Memang tidak semua gereja beraliran Pentakostal di

Indonesia bersikap pragmatis dan pro status quo. Hal

ini karena gereja-gereja beraliran Pentakostal di

Indonesia terfragementasi pandangannya baik itu dalam

soal keterlibatan dalam berpolitik maupun pilihan atau

preferensi politiknya. Benarlah pendapat Paul Freston

16 Lihat

https://www.youtube.com/watch?v=jAVMS9aT4t8;https://www.yo

utube.com/results?search_query=pgpi+and+prabowo 17 Bnd. Karl-Wilhelm Westmeier, “Themes of Pentecostal

Expansion in Latin America”, International Bulletin of Missionary

Research (April 1993):72.

Page 12: ASP NKRIS - pglii.or.id filea pentecostalperspective jurnal teologi oktober 2018 e - in d - o a n i e

11

bahwa, “Pentecostals are often unable to develop a

more universalist reflection on public life”.18

Pada umumnya, pandangan awal teologi

Pentakostal cenderung memahami realitas kuasa

demonis hanya dalam dimensi spiritual saja. Realitas

kuasa demonis umumnya dipahami dalam konteks

peperangan rohani, terutama ada di ladang pekabaran

Injil dan terkait dengan pertumbuhan rohani orang-

orang percaya. Realitas kuasa ini tidak terkait dengan

perkara-perkara dalam suatu struktur politik atau sosial

ekonomi lainnya. Perspektif teologis ini memahami

realitas kuasa demonis hanya mengganggu kehidupan

rohani orang-orang percaya secara pribadi dan misi

pekabaran Injil gereja.

Pandangan teologis tentang realitas kuasa

demonis dalam konteks kehidupan politik belum

terefleksi secara gamblang dalam pemikiran awal

teologi Pentakostal. Dan oleh karena itu munculah

kecenderungan dari gereja-gereja beraliran Pentakostal

untuk melakukan ketaatan total kepada pemerintah

yang dianggap sebagai wakil Allah untuk menjalankan

pemerintahannya di bumi ini. Keyakinan teologis ini

umumnya tanpa didukung studi eksegesi yang

mendalam terhadap beberapa teks seperti di Kitab

18 Paul fresteon, “Pentecostals and Politics in Latin

America”, paper presented in Conference “Pentecostalism and

Politics” Conference, held October 6th 2006. Dikutip dalam Natalia

Vlas dan Simona Sav, “Pentecostalism and Politics”, Journal for the

Study of Religions and Ideologies, vol. 13, issue 37 (Spring

2014)148-177.

Page 13: ASP NKRIS - pglii.or.id filea pentecostalperspective jurnal teologi oktober 2018 e - in d - o a n i e

12

Roma 13:4 dan 1 Timotius 1:1-4. Mereka melupakan

bahwa di Kitab Wahyu 13 ada teks-teks yang berbicara

mengenai suatu pemerintah yang memiliki kuasa politik

dari Iblis dan bertindak secara otoriter dan kejam dalam

menyatakan kuasa politiknya.19 Dari perspektif awal

teologi Pentakostal, pembaruan yang paling penting

bukanlah pembaruan struktural tetapi pembaruan

spiritual. Pemahaman teologis ini menjadikan teologi

Pentakostal tidak menyadari pentingnya untuk memiliki

“discernment” terhadap adanya kuasa demonis dalam

realitas kehidupan politik.

Kuasa Roh Kudus dan Kuasa Demonis dalam konteks

Kehidupan Politik

Secara umum, arti realitas kuasa adalah

berbicara mengenai kemampuan atau kesanggupan

untuk melakukan sesuatu yang baik maupun sesuatu

yang jahat. Realitas kuasa terkait dengan siapa yang

memegangnya dan kepada siapa kuasa dinyatakan serta

apa karakteristik mode-mode kuasa yang

diaktualisasikan. Dengan memiliki kuasa, suatu tujuan

dapat dicapai dan hasil yang diinginkan dapat

diaktualisasikan. Christopher J. H. Wright mengatakan

bahwa realitas kuasa pada dasarnya adalah netral, itu

19 Lihat Helmut Thielicke, Theological Ethics Volume 2:

Politics, peny. William H. Lazareth (Grand Rapids, MI: William B.

Eerdmans), 53-70.

Page 14: ASP NKRIS - pglii.or.id filea pentecostalperspective jurnal teologi oktober 2018 e - in d - o a n i e

13

dibutuhkan saat kita ingin melakukan hal-hal yang baik

atau sebaliknya.20

Dalam perspektif teologi Kristen, semua realitas

kuasa berasal dari Allah dan oleh karena itu mengapa

Allah disebut sebagai Mahakuasa atau sanggup

memberikan kuasa kepada ciptaan-Nya (bnd. Kej. 1:28;

Hak. 14:9, 15:4; 1 Sam. 10:6-10, 16:3, 18:10, 19;9;

Mark. 5:20; Why. 16:14 dsb.). Dalam ketidaktaatan dan

pemberontakan, baik roh-roh jahat maupun manusia

menggunakan kuasa yang bertentangan dengan

kehendak Allah.

Sumber kuasa Roh Kudus, sebagaimana juga

sumber kuasa dari Yesus Kristus, selalu terkait dengan

Allah Bapa. Allah Bapa adalah fons divinitatis (the font

of divinity) atau sumber Roh Kudus (juga Sang Anak).21

Allah Bapa adalah sumber kuasa dari aktivitas-aktivitas

Roh Kudus (Kis. 2:17-18). Karya-karya Roh Kudus

selalu terkait dengan munculnya karakteristik mode-

mode kuasa yang memberikan kehidupan, pembaruan,

keselamatan, keadilan, kebaikan, kebenaran,

keteraturan, dan yang paling utama adalah kasih (1Kor.

13).

Dalam konteks Perjanjian Lama, Roh Kudus

bersama dengan dua Pribadi Trinitas lainnya

20 Christopher J.H. Wright, Knowing the Holy Spirit

through the Old Testament (Oxford, UK: Monarch Books,

2006),35. 21 Catherine Mowry LaCugna, God for Us: The Trinity and

Christian Life (New York: HarperSanFrancisco, 1993), 215.

Page 15: ASP NKRIS - pglii.or.id filea pentecostalperspective jurnal teologi oktober 2018 e - in d - o a n i e

14

menyatakan kuasa penciptaan yang menghasilkan

karya-karya yang baik dan amat baik (Kej. 1:9,31). Roh

Kudus menyatakan kuasa yang memberi kehidupan

(Ayb. 34:14-15; Mzm. 104:27-30). Roh Kudus juga

memberikan kuasa untuk memberdayakan orang-orang

percaya dalam konteks kehidupan politik (Kel.35:30-

36:1;Hak. 3:10, 6:34,11:29,13:24,25,14:6,19,15:14-

15). Roh Kudus memberi kuasa kepada nabi-nabi untuk

bernubuat, menyatakan kebenaran, keadilan, hukuman,

janji-janji, dan berita keselamatan (Mi. 3:8; Neh. 9:20;

Zak. 7:7-12, Yes. 11:2, 28:6, 42:1, 48:16, 61:1 dst.).

Dalam konteks politik di Perjanjian Lama, Roh Kudus

memberikan kuasa kepada para nabi supaya mereka

menyatakan kebenaran hukum Allah yang berisi

keadilan kepada umat Israel (Zak. 7:7-12). Kebenaran

dan keadilan yang dinyatakan oleh Roh Kudus

merupakan esensi utama karakter dari Allah. Wright

berkata:

The prophetic Spirit of truth is also the Spirit of justice.

Truth and justice are of the very essence of the character

of the God of the Bible (Isaiah 5:16). His Spirit inevitable

highlights truth and justice whenever he speaks. He could

not be the Spirit of the Lord and not speak of what the lord

God delights in and longs for. So any person who claims

to speak in the name of the Lord, but whose message lacks

truth or is unconcerned for justice, is not speaking by the

LORD’s Spirit.22

Kitab Mikha 3:8 menegaskan bahwa kuasa Roh Allah

dalam diri nabi Mikha memampukan dia untuk

22 Wright, Knowing the Holy Spirit, 82.

Page 16: ASP NKRIS - pglii.or.id filea pentecostalperspective jurnal teologi oktober 2018 e - in d - o a n i e

15

menyatakan kebenaran dan keadilan dalam hal

membela orang-orang miskin dan tereksploitasi di

bangsa Israel waktu itu. Roh Allah memberikan

kekuatan dari dalam (power within) kepada para nabi

supaya mereka dapat menyatakan kuasa (power to)

demi munculnya pembaruan kehidupan sosial politik.

Roh Allah juga memberikan kekuatan kepada umat-

Nya untuk menyatakan pembaruan dalam kehidupan

mereka sebagai bangsa (Yeh. 37:114). Saat nabi-nabi

menerima kuasa Roh Allah, mereka diminta untuk

menghadirkan pemerintahan Allah yang menyatakan

keadilan, kebenaran, kebaikan, ketertiban atau

keteraturan, dalam kehidupan sosial politik bangsa

Israel waktu itu. Frank D. Machica berkata:

The Old Testament connects the coming of God to

redeem the world and to establish God’s reign as Lord

with a final outpouring of the divine breath on all flesh

(Joel 2:28). God states that the Spirit will one day reveal

God’s presence to Israel: “I will no longer hide my face

from them, for I will pour out my Spirit on the house of

Israel” (Ezek. 39:29). God will cleanse Israel and give

them the divine Spirit so that they can follow the law

(36:25– 27). The lordship of God will be revealed as the

Spirit grants new life like the coming up out of the grave of

despair: “Then you, my people, will know that I am the

LORD, when I open your graves and bring you up from

them. I will put my Spirit within you and you will live”

(37:13–14a). This divine breath is said to rest on God’s

chosen messenger (Isa. 61:1–3), a promise that takes on

Page 17: ASP NKRIS - pglii.or.id filea pentecostalperspective jurnal teologi oktober 2018 e - in d - o a n i e

16

messianic significance.23

Di Perjanjian Baru, Roh Kudus memenuhi dan

memimpin Yesus Kristus untuk melayani dan

melakukan jus talionis (the administration of justice).24

Kehadiran Roh Kudus di dalam diri Yesus Kristus

menjadikan Ia dapat menyatakan kuasa dan otoritas

pembebasan Kerajaan Allah: “Tetapi jika Aku mengusir

Setan dengan kuasa Roh Allah, maka sesungguhnya

Kerajaan Allah sudah datang kepadamu” (Mat. 12:28;

bnd. Luk. 4:18-19). Leonardo Boff berkata:

. . . it is Jesus’ actions and his liberating practice that the

Holy Spirit is revealed . . . The very incarnation of the Son

is presented as the work of the Spirit (Luke 1:35; Matt.

1:20), so Jesus is full of the Holy Spirit from the start. The

Spirit comes down on him when he is baptised by John in

the Jordan (Mark 1;9-11; Luke 3:21-22; John 1:32-33); he

launches his messianic programme with the quote “the

Spirit of the Lord has been given to me” (Luke 4:1, 14).25

Senada dengan kutipan di atas, dapat dilihat juga

dalam pendapat Yong yang mengatakan:

The the Spirit descends on the Son at his baptism in the

Jordan (Luke 3:22) so that he can be filled with the Spirit

for his public ministry, which is launched by his spiritual

23 Frank D. Machica, Baptized in the Spirit: A Global

Pentecostal Theology (Grand Rapids, MI: Zondervan, 2006),135-

136. 24 Archie Penner, The Christian, The State, and the New

Testament (Scottdale, Pennsylvania, 1959), 39. 25 Leonardo Boff, Trinity and Society, transl. Paul Burns

(Maryknoll, NY: Orbis Books, 1988), 32-33.

Page 18: ASP NKRIS - pglii.or.id filea pentecostalperspective jurnal teologi oktober 2018 e - in d - o a n i e

17

confrontation with the demonic powers of the world (Luke

4;1,14). Hence, Jesus announces that his mission is that of

the Spirit: “The Spirit of the Lord is upon me, because he

has anointed me to bring good news to the poor. He has

sent me to proclaim release to the captives and recovery

of sight to the blind, to let the oppressed go free, to

proclaim the year of the Lord’s favour” (Luke 4;18-19).

The rest of his public ministry unfolds this agenda

according to the power of the Holy Spirit (Act 10:38).26

Berbeda dengan karakteristik manifestasi kuasa yang

dinyatakan oleh Roh Kudus, pada arah yang sebaliknya

kuasa demonis dalam kehidupan politik bersifat

destruktif karena manifestasinya berlawanan dengan

nilai-nilai keadilan, kebenaran, kebaikan, ketertiban

atau keteraturan, dalam suatu realitas sosial politik.

Bagaimana memiliki “discernment” terhadap realitas

kuasa demonis dalam suatu konteks politik?

Realitas kuasa demonis memiliki banyak wajah.

Realitas kuasa demonis tidak dapat dilepaskan

manifestasinya dalam bentuk yang kongkrit, baik itu

bisa mewujud dalam “diri seseorang, sebuah peristiwa,

sebuah lembaga, sebuah organisasi, sebuah simbol,

sebuah ritual, atau sebuah fakta alamiah atau materi”.27

Amos Yong memberikan dasar teologis tentang

kesatuan antara kuasa demonis dalam bentuk yang

kongkrit, atau yang diistilahkan dengan kesatuan antara

26 Amos Yong, “Primed for the Spirit: Creation,

Redemption and the Missio Spiritus”, International Review of

Mission, volume 100 Number 2 (November, 2011): 360. 27 Yong, Beyond the Impasse, 134.

Page 19: ASP NKRIS - pglii.or.id filea pentecostalperspective jurnal teologi oktober 2018 e - in d - o a n i e

18

“concrete form dan inner spirit”.28 Oleh karena itu,

menurut Yong, kuasa demonis adalah “nothing if not

personally incarnate in demoniacs and is irrelevant if

not manifest concretely in space and time”. Pemikiran

Yong ini diambil dari konsep Irenaeus mengenai “the

two hands of God”, yaitu kesatuan Sang Sabda (Logos),

yang disebut concreteness and dynamism of all things

dan Roh Kudus (pneuma) menunjuk kepada “an effort

to articulate a fully public account of spiritual reality in

general and of the Holy Spirit in particular” yang

mewujud dalam “the thing’s inner habits, tendencies,

and laws”.29

Tentu saja, tidak seperti kesatuan “dipolarity”30

dari “the two hands of God” yang harmonis yang selalu

menyatakan kehendak Allah Bapa, sebaliknya

manifestasi demonis dalam bentuk yang kongkrit itu

menunjukkan sesuatu yang berlawanan dengan

kebenaran Allah. Yong mengatakan bahwa kriteria

mengenai adanya kehadiran yang Ilahi dan demonis

ditandai dengan adanya hal-hal seperti:

truth, goodness, beauty, and holiness that characterize the

reality of God, that of divine absence registers the

destructive, false, evil, ugly, and profane existence of the

fallen and demonic world. The symbol of divine activity is

thus dynamic and mediational, calling attention to the fact

that things move continously either to or away from their

divinely instituted reason for being”.31

28 Ibid. 29 Ibid., 130-133. 30 Ibid. 31 Ibid., 165.

Page 20: ASP NKRIS - pglii.or.id filea pentecostalperspective jurnal teologi oktober 2018 e - in d - o a n i e

19

Manifestasi demonis selalu mewujud dalam bentuk

kongkrit serta menunjukkan dinamika destruksinya

sendiri. Yang penting bagi Gereja adalah mengetahui

kebiasaan, kecenderungan, dan hukum-hukumnya saat

suatu realitas kuasa demonis dinyatakan dalam bidang

politik.

Kuasa demonis dalam realitas kehidupan politik

memanifestasi melalui misuse of power yang

menciptakan pemujaan kepada kekuasaan manusia

(otoriterisme) dan juga kepada kuasa kegelapan (Mat.

4:1-10); pemberhalaan atas uang atau materi

(mamonisme, Mat. 6:24; Lk. 16:13) yang mewujud

dalam tingkah laku korupsi; proganda melalui strategi

dan aksi yang licik untuk menciptakan kekacauan dan

keonaran (1 Taw 21:1-17; bnd.Yoh. 8:44); penggunaan

kekerasan yang memunculkan ketidakadilan dan

penderitaan (Why. 13:1-8); dan seterusnya. Ini adalah

karakteristik mode-mode tindakan demonis yang nyata

terjadi dalam kehidupan manusia. Kebiasaan,

kecenderungan, dan hukum-hukum kuasa demonis

menimbulkan ketakutan, teror, kebencian, kekacauan,

kekerasan, kejahatan, penderitaan, dan seterusnya.

Cara-cara untuk menarik orang-orang melakukan hal-

hal di atas dapat melalui pembenaran-pembenaran

yang dibuat atas nama agama dan kebenaran ideologi

radikal tertentu yang ditafsir menurut versi sendiri atau

kelompoknya. Wajah demonis dalam realitas

kehidupan politik dapat dilihat dari misuse of power

Page 21: ASP NKRIS - pglii.or.id filea pentecostalperspective jurnal teologi oktober 2018 e - in d - o a n i e

20

dan karakteristik mode-mode tindakan destruktif yang

muncul. Daniel Day Williams berkata:

We can recognize the reality of demonic modes of

experience and forms of power without committing

ourselves to belief in demons as supranatural beings flying

about the world at the command of arch-fiend, one of

whose names is Satan. Rather, we are seeking to

understand demonic as an experienced mode of action; it

enters our human history with describable effects.32

Misuse of power dan karakteristik mode-mode tindakan

destruktif terkait dengan kuasa demonis mungkin

selaras dengan analisa yang dijabarkan oleh William

melalui perspektif pendekatan fenomenalogikal

(phenomenological approach) mengenai beberapa

karakteristik struktur demonis.33 Ia mengatakan bahwa

karakteristik pertama dari kuasa demonis dapat

dideteksi melalui mempelajari struktur cara kerjanya

yang memberikan daya tarik (fascination). “The

demonic possesses a mode of fascination that casts a

spell over our attention, releases our passionate

energies, and drives us beyond our will under the guise

32 Daniel Day William, The Demonic and the Divine,

peny. Stacy A. Evans (Minneapolis: Fortress Press, 1990), 3. 33 Meskipun perlu diberikan catatan di sini bahwa William

tidak menjelaskan realitas demonis atau Setan sebagai “a person”.

Ia setuju dengan konsep dari filsuf Ernst Bloch dan menjelaskan

bahwa “Satan, therefore, is not a person. We personalize him as

we participate in the demonic powers. He is the mask of the

plunge toward annihilation” (Ibid., 5). Namun demikian cara kerja

struktur demonis dalam pendekatannya dapat didialogkan dengan

cara kerjanya kuasa demonis sebagaimana dipaparkan di Alkitab

(lihat ayat-ayat Alkitab yang dipaparkan).

Page 22: ASP NKRIS - pglii.or.id filea pentecostalperspective jurnal teologi oktober 2018 e - in d - o a n i e

21

of fulfilling our freedom”.34 Karakteristik kedua dari

kuasa demonis memunculkan distorsi persepsi (the

distortion of perception), artinya bahwa “the demonic

gains its power to shape, exploit, and ultimately destroy

our personal being by causing us to see falsely. . .This

aspect of the confusion of our perception is critical for

our analysis”.35 Dua karateristik yang pertama ini

mungkin dapat dipadankan referensinya dengan kisah

pencobaan Tuhan Yesus di padang gurun saat Yesus

ditawari dan dibujuk oleh Iblis untuk memiliki kuasa

atas kerajaan dunia dan kemegahannya (bnd. Mat. 4:1-

10).36 Karakteristik ketiga disebut aggrandizement,37

yang diterjemahkan oleh Webster dictionary sebagai

“1: to make great or greater : increase, enlarge

aggrandize an estate; 2 : to make appear great or

greater : praise highly; 3: to enhance the power, wealth,

position, or reputation of exploited the situation to

aggrandize himself”.38 Karakteristik ini dapat

dicontohkan dengan kisah Raja Daud yang dibujuk

34 Ibid., 7. Untuk masing-masing karakteristik ini, William

memberi contoh dari kajian filsafat, psikologi, ilustrasi olah raga

khususnya sepak bola, dan antropologi. Penulis berpendapat

bahwa masing-masing karakteristik ini dapat diaplikasikan juga

dalam dunia politik (lihat penjelasan detailnya di hl. 6-14). 35 Ibid., 8. 36 Kasus Korupsi tidak ada habis-habisnya di Indonesia

dan yang paling mengagetkan kejadian baru-baru ini di bulan

Sepetember 2018 mengenai 41 anggota DPRD kota Malang yang

tertangkap dalam kasus korupsi anggaran daerah. 37 Ibid., 9. 38 Lihat https://www.merriam-

webster.com/dictionary/aggrandizement. Diakses 5

Septermber2018.

Page 23: ASP NKRIS - pglii.or.id filea pentecostalperspective jurnal teologi oktober 2018 e - in d - o a n i e

22

oleh Iblis untuk membanggakan dirinya atas kekuatan

politik dan militer Israel waktu itu (lihat 1 Taw 21:1-

17). William berkata “the demonic ecstasy feeds upon

itself and demands more and more. This is partly

because the demonic structure is swollen with the lust

for power. Its craving is insatiable because it feeds upon

its power of dominion”.39 Arogansi negara-negara

adidaya atas kekuatan senjata nuklir mereka mungkin

dapat dikatakan sebagai manifestasi dari karakteristik

kuasa demonis ini. Karakteristik yang keempat adalah

inersia sistem kontrol yang dibangun tetapi tidak

beroperasi dengan baik dan akibatnya membawa

kehancuran pribadi-pribadi.40 William menekankan

bahwa: “What we should say is that when the inertial

character takes hold, it tends to corrupt the spirit. When

we accept it without resistance, the demonic power is

winning. It uses these inertial tendencies to gratify our

craving for power and to exploit our fear of

annihilation” (bnd. Wahyu 13:1-8).41 Karakteristik

demonis ini mungkin contohnya seperti kekacauan

yang terjadi di Indonesia saat turunnya Presiden

Soeharto, kerusuhan Mei 1998. Aparat militer di Jakarta

tidak bekerja sama sekali untuk menjaga Jakarta

ataupun mereka beroperasi sangat terlambat sekali

setelah kehancuran terjadi; dan akibatnya kerusuhan

serta pertumpahan darah terjadi yang menimpa

kelompok etnis Tionghoa. Karakteristik yang terakhir

disebut “ontological depth”, yang menurut William

39 Williams, The Demonic, 9. 40 Ibid., 11. 41 Ibid., 11.

Page 24: ASP NKRIS - pglii.or.id filea pentecostalperspective jurnal teologi oktober 2018 e - in d - o a n i e

23

terhubung dengan karakteristik struktur kuasa demonis

sebelumnya yaitu “fascination”.42 Hal ini karena

struktur kuasa ini dapat memunculkan “creative power”

(dalam arah destruktif) yang memunculkan pesona

tertentu namun sebenarnya berisi campuran “both

horror and with the frenzy and ecstasy of the

destructive impulse. We see more clearly why the

demons are fascinating. They reach the roots of our

being. They fuse life and death in the heat of

consuming passion”.43 Untuk menjelaskan karakteristik

struktur kuasa demonis ini, Williams memakai teori

Paul Tillich tentang tiga relasi mendasar yang tidak

terpisahkan antara “love, power, and justice” yang

terkait dengan semua keberadaan, termasuk di dalam

kehidupan manusia.44 Kuasa demonis terus berusaha

untuk memisahkan tiga relasi yang mendasar itu

sebagai bagian ontologi kehidupan manusia. Williams

berkata:

The demonic powers try to pull love, power, and justice

apart from each other. Power without justice and charity is

oppression and violence. Love without power or justice is

sentimentality . . . Justice without love lacks the most

important ingredient of justice itself, compassionate

openness toward the other”.

Jika kita memiliki kesatuan dari tiga relasi tersebut

maka, menurut Williams, “It is the test of victory over

demonic corruption”.45

42 Ibid., 13. 43 Ibid., 13. 44 Ibid., 13. 45 Ibid.

Page 25: ASP NKRIS - pglii.or.id filea pentecostalperspective jurnal teologi oktober 2018 e - in d - o a n i e

24

Kuasa Politik dalam Perspektif Teologi Pentakostal

Teologi Pentakostal mempercayai bahwa Roh

Kudus berkarya dalam kehidupan politik juga. Roh

Kudus menyediakan kuasa untuk Gereja, yang adalah

bait-Nya dan persekutuan-Nya, untuk melakukan

karya-karya pembaruan yang tidak dibatasi dalam

lingkup gereja saja. Kuasa Roh kudus tidak saja dibatasi

dalam konteks ekklesia yang berfokus pada operasional

karunia-karunia di dalam konteks Gereja saja, tetapi

Roh kudus berkarya secara luas di dalam kehidupan

dunia ini yang terbuka untuk intervensi-Nya, termasuk

di dalam bidang politik. Yong berkata tujuan karya Roh

Kudus bukan hanya terkait dengan charismata—

manifestasi karunia-karunia di dalam Gereja—tetapi

juga menyatakan kebenaran, kedamaian, dan keadilan

sebagaimana ditulis dalam Yesaya15-17.46

Gereja tidak dapat membatasi gerak karya Roh

Kudus atau mendomestikan kehadiran dan akitivitas

Roh Kudus dalam konteks pelayanan gereja saja.

Karena jika Gereja bersikap demikian maka Gereja

menjadikan dirinya sendiri terjebak dalam sikap yang

egois dan sektarian. Hal ini seperti yang dikatakan oleh

Serene Jones sebagai berikut:

The church is the temple of the Spirit and a holy

priesthood when the gift of authority given to the entire

community is exercised authentically and received in

46 Yong, Beyond the Impasse, 41.

Page 26: ASP NKRIS - pglii.or.id filea pentecostalperspective jurnal teologi oktober 2018 e - in d - o a n i e

25

various ways by all the members of the church. But the

church as temple and priesthood, become corrupt when

either the charismatic gifts of the faithful or the gifts of

leadership and office are not ordered to the good of the

community but are turned into the goods of the individual

or selected groups within the community. The graces of

the charism and leadership become problematic when the

authority of one is pitted against the authority of the other.

The power associated with charismatic gifts and office can

be corrupted by egoism and sectarianism as well as by the

tyranny of the mob or the majority.47

Kuasa Roh Kudus diberikan kepada Gereja-Nya untuk

melayani di wilayah publik juga. Teologi Pentakostal

mendasari refleksi kritisnya tentang teologi Politik

dengan keyakinan, sebagaimana Yong katakan, bahwa

“. . . the Spirit is already at work in the publik, social,

and economic spheres of human life, thereby enabling

the redemption and transfiguration of these dimensions

of human existence consistent with the gospel”.48

Di konteks Asia, sebagaimana dikatakan oleh

Simon Chan seorang teolog Pentakostal dari Singapura,

Gereja sering diperhadapkan dengan suatu pemerintah

atau negara yang sering mengklaim dan mengekang

aspek-aspek kehidupan anggota masyarakatnya. Gereja

perlu memikirkan bentuk aksi dan partisipasinya dalam

konteks masyarakat atau negara di mana Gereja berada

47 Serene Jones, Constructive Theology: A Contemporary

Approach to Classic Themes: A Project of The Workgroup on

Constructive Christian Theology, peny. Paul Lakeland

(Minneapolis: Fortress Press, 2005), 205 48 Yong, “Primed for the Spirit”, 365.

Page 27: ASP NKRIS - pglii.or.id filea pentecostalperspective jurnal teologi oktober 2018 e - in d - o a n i e

26

sebagai implikasi praksis dari teologi politiknya. Chan

berpendapat, sebagaimana disarikan oleh Christopher

A. Stephenson, bahwa: “discusion of the kind of

political theology required in Asian contexts, namely,

one that envisions the church as an alternatif

community that bear witness to the radical message of

the gospel against the state’s totalizing claims over its

citizens”.49

Dalam perspektif teologi Pentakostal, Gereja

menjadi sebuah komunitas alternatif berarti Gereja

menyerahkan dirinya untuk diperbarui, dipimpin, dan

diberi kuasa oleh Roh Kudus. Karya Roh Kudus

berimplikasi bagi kehidupan Gereja untuk melakukan

perjuangan sosial politik dalam kehidupannya.

Kekudusan Gereja tidak sekadar mewujud dalam

kehidupan pietis pribadi saja, namun manifestasi

kekudusannya harus juga menjadi tanda-tanda luar

yang kelihatan (outward signs of holiness) dalam

berbagai konteks kehidupan, termasuk kehidupan

politik. Dengan demikian prinsip etis spiritualitas

Pentakostal menjadi komprehensif yang mencakup

nilai-nilai imanen-transenden, natural-supranatural,

kehidupan dan kesalehan personal-sosial, bersifat

presentis-futuris, dan seterusnya yang dinyatakan dalam

berbagai area kehidupan. Tidak ada lagi pemikiran

dualisme dikotomi dalam teologi Pentakostal karena

49 Lihat Steven J. Land and Simon K.H. Chan, “Sistematic

Theology and Christian Spirituality”, dalam Types of Pentecotal

Theology: Method, System, Spirit, peny. Christopher A.Stephenson

(Oxford, New York: Oxford University Press, 2013), 54-55.

Page 28: ASP NKRIS - pglii.or.id filea pentecostalperspective jurnal teologi oktober 2018 e - in d - o a n i e

27

Roh Kudus berkarya mencakup keseluruhan kehidupan

ini.

Jürgen Moltmann, yang pemikiran teologianya

banyak diacu oleh para teolog Pentakostal,

menghubungkan karya Roh Kudus sebagai Sang

Pembebas melalui karya-Nya yang membebaskan iman

dan mengokohkan orang-orang percaya sebagai subjek

dan bukan sekadar objek atau tawanan bagi yang

lain.50 Oleh kuasa Roh Kudus, Gereja menjadi sebuah

komunitas alternatif yang dapat memunculkan

perlawanan publik (public resistence) terhadap

kekuatan-kekuatan demonis yang ada dalam kehidupan

politik. Gereja harus berani melawan kuasa-kuasa

demonis yang mewujud melalui orang-orang atau

kelompok yang menyalahgunakan kekuasaan dan

mempraktikan mode-mode tindakan destruktif dalam

kehidupan politik. Roh Kudus membaptis orang-orang

percaya untuk diberi kuasa, hikmat akal budi, keahlian,

dan strategi untuk berpraksis dalam kehidupan politik.

Teologi Pentakosta menekankan pentingnya

mempunyai “discernment” untuk mengklarifikasi dan

mengoreksi kehidupan politik dengan landasan

wawasan-wawasan (insights) yang mendalam

berdasarkan kebenaran Allah; dan selanjutnya

mengambil tindakan-tindakan yang berhikmat dan

berani untuk membuat pembaruan dalam kehidupan

politik. Orang-orang percaya dibaptis dalam kuasa Roh

Kudus agar memiliki keberanian iman untuk

50 Jürgen Moltmann, The Spirit of Life (London: SCM Press,

1992), 114

Page 29: ASP NKRIS - pglii.or.id filea pentecostalperspective jurnal teologi oktober 2018 e - in d - o a n i e

28

menyatakan kuasa Kerajaan Allah, yang lebih superior

atau unggul dari kuasa-kuasa demonis.

Roh Kudus menuntun orang-orang percaya

untuk mengikuti teladan hidup dan pelayanan Yesus

Kristus yang menang atas kuasa demonis. Pelayanan

Yesus Kristus yang disertai Roh Kudus itu memiliki

implikasi adanya pembaruan politis dalam konteks

kehidupan agama Yahudi dan kuasa pemerintah

Romawi waktu itu (Luk. 13:32; 22:25; Mat. 9:10;

18:17; 21:31).51 Yesus Kristus yang dipimpin oleh Roh

Kudus menyatakan suara kenabian kepada pemerintah

Romawi waktu itu. Yesus kristus tidak pernah

menganggap suatu pemerintah dalam pengertian

sebagai “a final, divine institution”.52 Artinya suatu

pemerintah dapat salah dan menyimpang karena

ditunggangi oleh kuasa demonis untuk misuse of power

dan menyatakan karakteristik mode-mode tindakan

demonis yang destruktif. Pada ada arah sebaliknya

Yesus Kristus juga menolak segala usaha yang mencoba

untuk menggulingkan suatu pemerintah dengan aksi

revolusi atau kekerasan53 (sekalipun pemerintah

tersebut menyatakan karakteristik mode-mode tindakan

demonis yang destruktif). Praksis teologi politik

Pentakosta mengikuti teladan praksis hidup dan

pelayanan nir-kekerasan dari Yesus Kristus.Teologi

51 Lihat Oscar Cullmann, The State in the New Testament

(New York: Charles Scribner’s Sons, 1956), 8-23. 52 Ibid. 53 Ibid., 18.

Page 30: ASP NKRIS - pglii.or.id filea pentecostalperspective jurnal teologi oktober 2018 e - in d - o a n i e

29

Pentakosta tidak setuju dengan praksis teologi

Pembebasan sebagaimana muncul di Amerika Latin.

Memang selama ini teologi Pentakostal telah

dikritik karena pneumatologinya terkait dengan

kristologi yang penekanannya hanya sebatas “the

fivefold gospel”,54 yang tidak terhubung dengan

pergumulan Gereja dalam kehidupan politik. Akibatnya

pneumatologi pentakostal, menggunakan istilah T.

David Beck, cenderung terlalu ramah dan jinak, dan

menjadikan pribadi Roh Kudus, yang terpisah dari

kristologi yang komprehensif, sebagai a vanilla third

Person. . . a caricature in which the Spirit—becomes

overly friendly and benign. The danger is that the

Comforter can become too comfortable”.55 Hasilnya,

pneumatologi pentakostal cenderung memunculkan

pesan dan praksis pelayanan yang tidak terkait dengan

konteks politik. Moltmann memberikan kritik sebagai

berikut:

54 Pengajaran ini juga disebut sebagai Full Gospel, yang

menekankan Yesus Kristus sebagai Juruselamat, Sang Pengudus,

Pembaptis dalam Roh Kudus, Sang Penyembuh, dan Raja yang

akan datang. Bnd. Donald W. Dayton, “Theological Roots of

Pentecostalism,”Pneuma: the Journal of the Society for Pentecostal

Studies (Spring, 1980):4. Jesus saves us according to John 3:16. He

baptizes us with the Holy Spirit according to Acts 2:4. He heals

our bodies according to James 5:15-15. And Jesus is coming again

to receive us unto Himself according to I Thessalonians 4:16-17". 55 T. David Beck, “The Divine Dis-Comforter: The Holy

Spirit's Role in Transformative Suffering”, Journal of Spiritual

Formation & Soul Care vol. 2 no. 2 (2009): 200.

Page 31: ASP NKRIS - pglii.or.id filea pentecostalperspective jurnal teologi oktober 2018 e - in d - o a n i e

30

But we have to put a critical question to the ‘charismatic

movement’: what about the neglect of charismata? Where

are the charismata of the ‘charismatics’ in the everyday

world, in the peace movement, in the movement for

liberation, in the ecology movement? If charismata are not

given to us so that we can flee from this world into a

world of religious dream, but if they are intended to

witness to the liberating lordship of Christ in this world’s

conflicts, then the charismatic movement must not

become a non-political religion, let alone a de-politicized

one.56

Kesimpulan

Teologi Pentakostal harus memiliki “discerning

the Spirit (s)” dalam konteks kehidupan politik. Teologi

Pentakostal bertanya secara mendalam, “Apakah suatu

kuasa politik sedang benar-benar dijalankan sesuai

pimpinan Roh Kudus atau sebaliknya?” Gereja-gereja

beraliran Pentakosta di Indonesia acapkali bersikap

baik itu apolitik maupun bersikap pragmatis dan tanpa

sikap kritis kepada kelompok atau partai politik

tertentu. Sikap yang demikian adalah sikap yang tidak

sesuai dengan pelayanan yang dinyatakan oleh Yesus

Kristus, yang dipimpin dan diberi kuasa oleh Roh

Kudus.

56Moltmann, The Spirit of Life, 186.

Page 32: ASP NKRIS - pglii.or.id filea pentecostalperspective jurnal teologi oktober 2018 e - in d - o a n i e

31

MENEMUKAN KEMBALI RELEVANSI AKTIVITAS

KEBANGUNAN ROHANI BAGI GEREJA PANTEKOSTA

MASA KINI

OLEH: YOHANES S. PRAPTOWARSO

Abstrak: Kebangunan Rohani adalah kata

familiar bagi kita semua. Penulisan ini untuk

mengingatkan kembali praktek dan ‘roh’ yang

menghidupkan kebangunan rohani di lingkungan

gereja Pantekosta. Kebangunan rohani adalah aktivitas

yang muncul secara natural dari proses rohani yang

cukup Panjang dan berkesinambungan, bukan sekedar

event yang tidak berdampak pada kehidupan nyata.

Bahkan Kebangunan rohani menjadi bagian penting

dalam membangun hermeneutik Pantekosta yang dapat

memberi arti theologi yang segar bagi eksegesa Alkitab.

Sehingga gereja Pantekosta semakin diperbaiki dalam

meng-expresikan Kerajaan Allah yang di sini dan

sekarang.

Keywords: Kebangunan Rohani, Gereja,

Pantekosta.

Pendahuluan

ebagunan Rohani adalah Bahasa gereja yang

diterima oleh lintas denominasi dengan persepsi

masing-masing. sehingga hampir tidak ada

satupun institusi gerejawi yang menolak kebangunan

rohani baik secara konsep maupun praktis. Meskipun

praktek kebangunan rohani itu terjadi pertama kali di

Amerika Serikat secara massive, dalam puluhan

K

Page 33: ASP NKRIS - pglii.or.id filea pentecostalperspective jurnal teologi oktober 2018 e - in d - o a n i e

32

dekade, tetapi puncak dari gerakan kebangunan rohani

ini adalah lahirnya gerakan Pantekosta di Asuza Street

312, LA. Sejak saat itu pertumbuhan gerakan

Pantekosta tidak dapat dipisahkan dengan terjadinya

kebangunan rohani di seluruh dunia. Warna ini masih

dominan dalam gerakan Pantekosta mengawali

millennium ke tiga.

Dengan masing-masing Lembaga dan institusi,

denominasi dan asosiasi memahami persepsi yang

berbeda sehubungan dengan kebangunan rohani, maka

presentasi ini berusaha untuk mencari ‘jalan tengah’

sebagai standard bersama-sama maksud yang

dikandung di dalamnya serta korelasinya dengan

kehidupan bergereja saat ini. Penulis melihat bahwa

urgensi kebangunan rohani bukan lagi menjadi

kebutuhan utama gereja sehingga doing a church

without revivals adalah menjadi normal dalam

kehidupan gereja Tuhan. Lebih dalam lagi adalah

situasi ini bukan saja terjadi pada gereja-gereja non-

Pantekosta namun juga terjadi di dalam gereja-gereja

yang menamakan diri gereja Pantekosta dan

Kharismatik. Beberapa usaha dilakukan supaya

kebangunan rohani tampak terjadi di dalam gereja

dengan memprogramkan pertemuan-pertemuan ibadah

khusus yang sering disebut ‘Kebaktian Kebangunan

Rohani’ atau KKR, event-event khusus yang

berkesinambungan sehubungan dengan hari-hari

tertentu yang special dalam jemaat local, pembicara-

pembicara yang dianggap dapat mendatangkan

kebangunan rohani di beri kesempatan untuk

menyampaikan pesan-pesan yang membangkitkan

Page 34: ASP NKRIS - pglii.or.id filea pentecostalperspective jurnal teologi oktober 2018 e - in d - o a n i e

33

spiritualitas, namun kehidupan gereja kembali kepada

business as usual.

Inikah usaha maksimal gereja yang dapat

dilakukan untuk terjadinya kebangunan rohani? Apakah

yang disebut dengan sebuah gereja sedang mengalami

kebangunan rohani? Apakah ada standard khusus

sebuah jemaat local atau denominasi sedang

mengalami kebangunan rohani? Dan apakah

kebangunan rohani adalah kehidupan gereja yang

sesungguhnya harus dijalani ataukah sebuah opsi? Ada

banyak pertanyaan dibenak kita yang harus kita jawab

dan kita gumuli bersama dalam hal ini. Presentasi ini

tidak dapat menjawab semua yang kita perlukan, tetapi

memberikan pandangan kepada kita semua supaya

memiliki persepsi yang lebih dalam untuk memahami

kebangunan rohani dan mempraktekkannya di dalam

gereja kita. Karena kita semua yakin bahwa jika

kebagunan rohani terjadi diantara kita akan lebih baik

dari yang sebaliknya. Kebangunan rohani yang sehat

mulai menggerakkan sebagaian anggota masyarakat

yaitu gereja yang kemudian akan berdampak pada

masyarakat pada umumnya.

Memberi Usulan Arti Kebangunan Rohani

Kebangunan rohani adalah suatu atmosfir

spiritual yang terjadi pada sebuah atau sekelompok

gereja yang mengalami “ Suatu periode dimana

ketertarikan terhadap kehidupan rohani bertambah

besar … terutama membawa pemurnian juga

Page 35: ASP NKRIS - pglii.or.id filea pentecostalperspective jurnal teologi oktober 2018 e - in d - o a n i e

34

merevitalisasi kehidupan gereja yang bersangkutan.”57

Dua elemen penting dimulainya kebangunan rohani

adalah doa yang berkualitas dan Firman semakin yang

dicintai. Kebangunan rohani selalu terjadi karena

kegiatan doa dan pengenalan Firman Tuhan. Kegiatan

doa ini tidak sekedar formalitas tetapi “ doa dengan

intensitas tinggi, sering dilakukan dalam waktu yang

lama dan terus menerus, sampai kemudian terjadilah

kebangunan rohani…”58 Mengapa kebangunan rohani

bisa terjadi dimulai dengan doa. Karena “doa adalah

yang dikehendaki oleh Tuhan untuk dipersembahkan

kepada-Nya. ‘ mintalah maka akan diberikan

kepadamu, carilah maka kamu akan mendapat,

ketuklah maka pintu akan dibukakan bagimu.’ .”59

Kebangunan rohani di Eropa, Korea dan Amerika selalu

dimulai dengan “Tahun-tahun yang Panjang dilalui

dengan membaca Firman Tuhan dengan teliti di rumah-

rumah dan di gereja-gereja … menemukan bahwa

Tuhan itu sumber segala kebenaran dan kasih,

menekuni doa untuk kebangunan rohani, etika

kehidupan mencapai tingkat yang tinggi bagi yang

terbagun imannya, ketertarikan yang dalam tentang

sharing keselamatan, menikmati kenyataan Roh Kudus,

dan banyak lagi aspek kebangunan rohani Kristen yang

tidak akan muncul dan terjadi tanpa pengertian

Firman.”60 Meskipun kebanguan rohani secara global

57 Donald A. McGavran, ed. By C. Peter Wagner,

Understanding Church Growth (Grand Rapids, Michigan:

William B. Eerdmans Publishing Company, 1990), 133. 58 Ibid, 134. 59 Ibid, 135. 60 Ibid 136.

Page 36: ASP NKRIS - pglii.or.id filea pentecostalperspective jurnal teologi oktober 2018 e - in d - o a n i e

35

terjadi dua ribu tahun yang lampau dan diulangi seratus

tahun yang lalu, namun pentingnya bagi kehidupan

bergereja tidak pernah pudar. Robeck bahkan dengan

tegas mengatakan: “Sampai pada jaman era post-

modern, orang-orang masih tetap lapar dengan

pengalaman hidup yang diubahkan melalui

perjumpaan dengan Tuhan Yang Hidup.”61 Jaman

boleh berubah, namun kebutuhan gereja tentang

kebangunan rohani tetap tidak dapat tergantikan.

Kebangunan Rohani Antara Otoritas Tuhan dan Respon

Manusia

Mari kita melihat dari dekat gerakan

kebangunan rohani yang terjadi pada abad yang telah

lalu. Inkubasi terjadinya kebangunan rohani di abad ke

duapuluh, melalui Tuhan mempersiapkan pribadi-

pribadi seperti Charles F. Parham, Agnes N. Ozman

dan Joseph W. Seymour untuk memulainya sebagai

tonggak gerakan Pantekosta di akhir millennium ke

dua. Peristiwa ini sesungguhnya tidak terpisahkan

dengan terjadinya kebangunan-kebangunan rohani di

seluruh dunia yang juga menjadi alat Tuhan untuk

proses peristiwa di Los Angeles ini dapat terlaksana.

Bahkan Kebangunan rohani abad ke duapuluh sudah

dimulai dari saat Roh Tuhan yang telah bekerja selama

belasan dekade lamanya mendahului peristiwa Los

Angeles seperti pernyataan Jeon: “ Gerakan Pantekosta

61 Cecil M. Robeck, Jr., The Azusa Street Mission and

Revival (Nashville, TN: Nelson Reference & Electronic, 2006),

p.16.

Page 37: ASP NKRIS - pglii.or.id filea pentecostalperspective jurnal teologi oktober 2018 e - in d - o a n i e

36

berakar sangat dalam kepada Kebangunan Rohani di

Amerika, yang telah mendominasi kehidupan bergereja

di disana selama hampir dua ratus tahun.”62 Tokoh-

tokoh yang sering disebut revivalist, seperti John

Wesley, Jonathan Edward, D. L. Moody, Charles

Finney, dan R. a. Torrey adalah sebagian kecil nama-

nama para pioneer revivalist yang berperan besar pada

masa rentang waktu tersebut. Masa yang dinamakan

periode kebangunan rohani ini terakulminasi pada

dekade di awal abad ke duapuluh dengan kegerakan

Kebangunan Rohani yang dimulai dari Australia 1903,

dan di tahun yang sama juga terjadi di Wonsan, Korea,

kemudian disusul dengan kebangunan rohani di India

dan Welsh di tahun 1905, dan di Keswick Inggris di

tahun yang sama, serta diikuti Pyongyang dan seluruh

Korea, Manchuria dan China 1907. Namun eskalasi

terbesar terjadi di Los Angeles 1906-1909. (Hal 29,

Spreading fires).

Di Amerika kita tidak dapat melewatkan sejarah

yang mencatat bahwa Roh Kudus bekerja dengan cara

Pantekosta melalui Charles Fox Parham dan para murid

Sekolah Alkitab yang dipimpinnya di Houston Texas.

Pengalaman Agnes N. Osman yang lebih dahulu

dibaptis dengan Roh Kudus, dan diiukuti Cahrles F.

Parham sendiri, dan juga para murid dan staff Sekolah

Alkitab tersebut menjadi breeding ground yang di

kemudian hari terhubung dengan Kebangunan Rohani

62 Yongnan Jeon Ahn, Interpretation of Tongues and

Prophecy in 1 Corinthians 12-14 (Dorset, UK: Deo Publishing,

2013), p.11.

Page 38: ASP NKRIS - pglii.or.id filea pentecostalperspective jurnal teologi oktober 2018 e - in d - o a n i e

37

terbesar Pantekosta abad ke duapuluh. Sebagai

kelengkpannya, Tuhan yang sama juga menemukan

seorang yang meresponi rencana Tuhan dengan

kehidupan yang lapar dan haus akan Tuhan paling

tidak selama satu dekade dalam hidupnya, ia dipilih

untuk menjadi pemimpin yang mendorong terjadinya

gerakan terbesar di abad ke duapuluh di kota Los

Angeles, yaitu William Joseph Seymour.63

Tuhan juga bekerja dengan kuasa-Nya sehingga

membuat sebuah Kota siap bagi Kebangunan Rohani

dengan menciptakan atmosfir yang kondusif bagi

sebuah kegerakan yang besar. “Sejak 1904 banyak

orang Kristen di Los Angeles mendengar tentang

kebangunan rohani yang besar di Wales. Sementara itu

banyak kelompok-kelompok orang Kristen yang

mendoakan supaya kebangunan rohani terjadi juga di

63 William Joseph Seymour dilahirkan pada tanggal 2 Mei

1870 di Centerville, Lousiana.

Dibesarkan dalam lingkungan sosial keluarga budak dan

lingkungan religious Katholik. Seymour bergabung dengan Bathel

Methodist Church di Indiana. Tetapi dikemudian hari ia lebih

aktif di gerakan Holiness karena persesuaian doktrin yang ia

yakini. Selama satu dekade ia mengalami proses yang semakin

hari semakin mengalami keintiman dengan Tuhan, sejak

berpindah ke Cincinnati, Ohio. Seymour percaya pada special

revelation seperti mimpi dan visi yang datang dari Tuhan, yang

tidak diakomodasi di Methodist. “selama dua setengah tahun ia

berdoa lima jam sehari karena lapar dan haus akan Tuhan.”

Sampai ia tiba di Houston, Texas dan selanjutnya melayani di Los

Angeles. Cecil M. Robeck, JR. The Azusa Street Mission and

Revival (Nashville, Tenesse: Nelson Reference and Electronic,

2006), 17-35.

Page 39: ASP NKRIS - pglii.or.id filea pentecostalperspective jurnal teologi oktober 2018 e - in d - o a n i e

38

Los Angeles.”64 Di saat berbarengan dengan gairah

rohani yang sedang tumbuh seorang tokoh rohani di

kota itu, Joseph Smale menggerakkan jemaat dan para

pendengarnya untuk bertindak secara rohani dengan

iman untuk sebuah lawatan Tuhan yang lebih. “Orang-

orang didorong untuk bertindak dan berdoa secara

spontan sesuai dengan pimpinan Roh Kudus. Smale

mendorong jemaatnya supaya mengaku dosa di depan

umum, dan saling menjangkau satu dengan yang

lainnya untuk memulihkan perpecahan.”65 Terutama

perpecahan dan pemisahan inter-rasial pada masa

pelayanannya adalah persoalan yang akut dalam

kehidupan social kota dan masyarakat yang tinggal di

dalamnya. “Smale memutuskan bahwa First Baptist

Church harus memimpin Los Angeles untuk merasakan

Kebangunan rohani, dan mereka melakukannya dengan

doa.”66 Sasaran Smale yang jelasa adalah jika

kebangunan rohani terjadi di First Baptist Church, maka

masyarakat di kota itu akan menerima dampak

berkatnya.

Apa yang dilakukan oleh First Baptist Church

bukanlah satu-satunya usaha untuk mengaktifkan Kuasa

Tuhan lebih besar lagi bekerja bagi gereja-gereja Los

Angeles. “Ditempat lain di kota Los Angeles, …orang-

orang muda di gereja First Methodist church

mengadakan doa sepanjang malam.’… ini

menggambarkan betapa dengan sangat dalam

64 Robeck, Jr. The Azusa Street Mission, 57. 65 Ibid, 58. 66 Ibid.

Page 40: ASP NKRIS - pglii.or.id filea pentecostalperspective jurnal teologi oktober 2018 e - in d - o a n i e

39

penduduk kota itu merasakan kerinduan yang besar

secara rohani. ‘Tuhan menaruh di hati orang-orang

tersebut untuk berdoa supaya ada pencurahan Roh

Kudus.”67 Komunitas Rusia yang disebut Molokan “

mereka melakukan apa yang sering disebut kebiasaan

ekstasi , melompat dan menari, jatuh ke lantai saat

mereka percaya sedang dikendalikan oleh Roh Kudus

…”68 Tidak terkecuali dengan beberapa komunitas-

komunitas yang responsive terhadap pekerjaan Roh

Kudus dari kalangan Hispanic, China dan etnis Asia

lainnya yang tinggal di kota Los Angeles. Sehingga

atmosfir rohani di kota itu benar-benar matang untuk

terjadinya sebuah kebangunan rohani sebelum William

J. Semour datang.

Hasil yang dicapai dari intervensi Tuhan dengan

menggerakkan institusi-institusi, pribadi – pribadi dan

juga masyarakat di sebuah kota adalah, sebuah

kebangunan rohani yang ekplosif dan juga reaktif bagi

pekerjaan misi. Saatnya tiba ketika tanggal 9 April

1906 di rumah Edward Lee seorang kulit hitam tukang

sapu, dimana Seymour menumpang berkata

kepadanya; bahwa dalam penglihatan para rasul datang

kepada Lee dan memberitahu bagaimana cara

menerima bahasa Roh. Karena sampai saat itu juga

Seymour dan saudara-saudara yang sehati itu belum

menerima Baptisan Roh Kudus. Namun malam itu

ketika persiapan ibadah di Bonnie Brae, dua orang itu

berdoa dan disertai dengan beberapa jemaat yang

67 Ibid, 60. 68 Ibid, 57.

Page 41: ASP NKRIS - pglii.or.id filea pentecostalperspective jurnal teologi oktober 2018 e - in d - o a n i e

40

sudah hadir, Bahasa Roh turun atas mereka dan salah

satu yang mengucapkannya adalah William Joseph

Seymour sendiri! Selanjutnya yang terjadi adalah

peristiwa kebangunan rohani terbesar di Azusa street

yang dimulai 18 April 1906 dan berakhir tiga setengah

tahun kemudian. Aktivitas ibadah berjalan tujuh kali

dalam seminggu, setiap kali ibadah dimulai dari pagi

hingga selesai pada malam hari. Orang-orang Meksiko,

orang-orang Jerman yang tidak sanggup berbahasa

Inggris, mereka dengan iman berdiri dan bersaksi,

semua telinga mendengar seperti dikampung

halamannya sendiri, karena Roh Kudus

menterjemahkan kepada setiap telinga, dan mereka

yang mendengar berkata amen!

Karena itu jelas bahwa Kebangunan Rohani

bukanlah usaha sebuah individu tanpa terkait dengan

komunitas Gereja Tuhan secara global. Tetapi sebuah

karya Tuhan yang komprehensif yang melibatkan

banyak elemen di dalam Tubuh Kristus sehingga tidak

ada seorangpun yang merasa ditinggalkan dan tidak

dilawat oleh Tuhan. Namun Tuhan selalu mendorong

orang-orang percaya yang rela untuk dipakai-Nya

memiliki gairah yang responsive dan reaktif terhadap

rencana Tuhan. Dari generasi ke generasi, selalu akan

ada orang-orang yang responsive terhadap Tuhan.

Namun hanya jika dalam satu gerenasi, lebih banyak

orang-orang yang demikian, maka kebangunan rohani

akan terjadi pada generasi itu. Kebangunan rohani

adalah memiliki nilai vital bagi gereja untuk bertumbuh

dalam segala hal, karena setiap aktivitas, program,

strategi dan system yang dibangun akan menjadi

Page 42: ASP NKRIS - pglii.or.id filea pentecostalperspective jurnal teologi oktober 2018 e - in d - o a n i e

41

berkualitas jika dikerjakan dan dihidupi oleh orang-

orang yang sedang mengalami kuasa kebangunan

rohani.

“Revival Outcomes”

“ Saat Tuhan memberikan kebangunan rohani

kepada umat-Nya, biasanya yang terjadi adalah;

kehidupan kudus bertambah-tambah, kuasa yang baru

dialami orang percaya, dan Injil diberitakan dengan

semangat yang baru. ”69 sehingga kehidupan yang

kudus dan semakin dikuduskan adalah impact yang

signifikan dari kebangunan rohani bagi gereja.

“karena kebangunan rohani bukan sekedar ranah

emosional. Tetapi pemulihan Kekristenan Perjanjian

Baru yang sesungguhnya. Kerendahan hati,

kehancuran hati dan rindu akan Tuhan Bapa Segala

kebenaran di Sorga, sehingga membawa pengakuan

dosa dan restitusi terhadap yang berdosa.”70 Charles

Finney seorang Revivalist bersaksi bagaimana proses

“perjuampaan muka dengan muka dengan Kristus dan

pengalaman yang ia sebut sebagai ‘a mighty baptism of

the Holy Spirit’. Ketika Roh turun atasnya, Finney

menyaksikannya sebagai berikut: ‘ Seperti gelombang

listrik mengalir dan mengalir ke seluruh tubuh. Tetapi

saat melanda benar-benar seperti gelombang-

gelombang cairan kasih … saya secara literal peristiwa

itu dapat dikatakan dari dalam dasar hati keluar

desahan yang tidak dapat terkatakan. … Ia (Charles

69 Ibid. 70 Ibid.

Page 43: ASP NKRIS - pglii.or.id filea pentecostalperspective jurnal teologi oktober 2018 e - in d - o a n i e

42

Finney) bukanlah pengkhotbah yang menawarkan

sesuatu yang mengambang di awan-awan, tetapi pesan-

pesan Firmannya membawa perubahan social yang

dalam.”71 Dapat disimpulkan bahwa pengalaman

kebangunan rohani yang dikerjakan oleh Roh Kudus

adalah sebuah peristiwa adikodrati yang terjadi dalam

hati manusia, termanifestasi dalam fenomena ilahi yang

menghasilkan sebuah kehidupan kuaitas Kerajaan

Allah.

Sebagai pekerja misi, “The Christian and

Missionary Alliance (CMA) mendorong para

misionarinya mengalami kebangunan rohani yang

biasanya disertai dengan karunia-karunia Roh Kudus

sebagai buktinya.”72 Tidak dapat dipisahkan antara

kebangunan rohani dan pekerjaan misi. “Kebangunan

rohani mendorong bertambahnya aktivitas misi. Bukan

hanya terjadi dari negara barat menuju ke belahan

bumi lainnya. Laporan-laporan kebangunan rohani

yang terjadi di India contohnya, disertai dengan berita-

berita bahwa dari kebangunan rohani itu gereja asli

India mendirikan badan-badan misi untuk

memberitakan injil baik ke India maupun ke luar negri

oleh orang-orang Kristen India sendiri.”73 Peter Wagner

merumuskan pola strategi gereja mendirikan badan-

badan misi ini dengan apa yang disebut hubungan

sodality dan modality. Inilah dua institusi penting yang

71 Allan Anderson, Spreading Fires (Maryknoll, New

York: Orbis Books, 2007), 23. 72 Anderson, Spreading, 25. 73 Anderson, Spreading, 26.

Page 44: ASP NKRIS - pglii.or.id filea pentecostalperspective jurnal teologi oktober 2018 e - in d - o a n i e

43

dibangun oleh Tuhan sehingga menjadi lembaga yang

handal dalam mengembangkan misi gereja. Di dalam

context gereja modality adalah sebuah jemaat local

atau sekumpulan jemaat local, dan sodality adalah

badan-badan misi. “Supaya dapat memenuhi misi

gereja, badan-badan sodality dan modality saling

membutuhkan dalam hubungan simbolik.”74 Yang

dimaksud dengan saling membutuhkan adalah bahwa

Modality tanpa Sodality akan kesulitan untuk

mengemban tugas bersaksi dan memenangkan dunia

bagi Kerajaan Allah, sementara itu Sodality tanpa

Modality akan sulit bekerja karena tidak adanya

support yang cukup baik secara financial maupun

tenaga pekerja misi itu sendiri untuk melakukan

tugasnya. Kebangunan rohani tidak hanya menjadikan

Modality membentuk Sodality, tetapi juga

menghidupinya dengan kuasa Roh Kudus sehingga

kualitas tugas yang diemban masing-masing institusi ini

lebih berhasil.

Bagi gereja local kebangunan rohani adalah

berkat tersendiri yang membawa gairah hidup dalam

bergereja yang dinyatakan dengan banyak hal.

Pertama selalu disertai dengan pertobatan dalam

jumlah yang cukup besar. “Kebangunan Rohani di

Wales (1904-5)-sebagai contoh, yang mirip dengan

kebangunan rohani dimana saja – pada waktu itu

Kebangunan Rohani terjadi diantara para pekerja

tambang yang berbahasa Wales, selama kebangunan

74 C. Peter Wagner. Leading Your Church to Growth,

(Ventura, California: Regal Books, 1984), 150.

Page 45: ASP NKRIS - pglii.or.id filea pentecostalperspective jurnal teologi oktober 2018 e - in d - o a n i e

44

rohani terjadi pertobatan 87.000 jiwa terbagi di dalam

empat gereja yang disiplin dengan kehidupan rohani di

seluruh negri.”75 Masih sehubungan dengan

kebangunan rohani di Wales, “saat kehadiran kuasa

Pantekosta dan kuasa Roh Kudus ditekankan, ibadah

berlangsung berjam-jam, spontan, sepertinya emosional

dan tidak teratur, dengan ‘nyanyi dalam roh’

menggunakan istilah-istilah Wales kuno, saat yang

bersamaan doa dinaikkan dengan suara keras,

pernyataan visi dan nubuat-nubuat, semua

menekankan kehadiran Tuhan secara langsung dalam

ibadah-ibadah. Pemimpin kebangunan rohani Evan

Roberts (1878-1951) mengajarkan pengalaman pribadi

dibaptis Roh Kudus mengawali terjadinya kebangunan

rohani.”76 Fenomena yang terjadi di Korea tidak jauh

berbeda dengan yang terjadi di Wales. “Khusus

dampak kebangunan rohani di Korea masih secara

karakteristik terjadi baik di gereja Pantekosta maupun

gereja protestan (non-Pantekosta) sampai hari ini: doa

pagi setiap hari, doa sepanjang malam, doa bersama

dengan suara yang keras dari masing-masing para

pendoa, belajar Alkitab yang intensif dan menekankan

kepada pemberitaan Injil dan misi.”77 Praktek iman

gereja lokal Korea yang positif adalah sebagian dari

warisan kebangunan rohani yang terjadi melalui proses

yang unik dan tipikal Korea. Donald McGavran dan

Peter Wagner menyaksikan:

75 Anderson, Spreading, 28. 76 Ibid. 77 Anderson, Spreading, 30.

Page 46: ASP NKRIS - pglii.or.id filea pentecostalperspective jurnal teologi oktober 2018 e - in d - o a n i e

45

“Ceritanya terjadi minggu pertama bulan januari 1907.

Semua merasakan bahwa Tuhan akan memberkati doa

mereka dalam minggu doa menyeluruh itu. Tetapi

sampai pada hari terakhir rangkaian doa itu tidak ada

tanda khusus adanya manifestasi kehadiran Tuhan.

Sekitar 1500 jemaat berkumpul pada minggu sore itu di

gereja central presbiterian. Namun langit di atas mereka

seperti tembaga. Tampaknya Tuhan akan menolak

permohonan mereka untuk terjadinya pencurahan kuasa

Tuhan. Sampai semunya dimulai dari tua-tua sidang yang

bernama Kil, pemimpin di gereja itu tiba-tiba berdiri dan

berkata dengan suara lantang: ‘Saya Akhan’ Tuhan tidak

dapat memberkati doa kita ini karena saya. Kira-kira satu

tahun yang lalu teman saya sakit parah, ia memanggil saya

ke rumahnya dan berkata: ‘pak penatua, saya akan segera

mati, tolong tangani bisnis saya; karena istriku tidak

sanggup. Lalu saya menjawab; tenangkan hatimu, saya

akan mengurusnya. Saya menangani pekerjaan ibu janda

itu, tetapi saya mencuri 100 $ untuk saya pakai sendiri.

Saya telah menjadi penghalang bagi Tuhan bekerja. Saya

akan mengembalikan uang itu kepada janda teman saya

besok pagi.’

Seketika itu juga, semua merasakan bahwa

penghalang spiritual itu telah gugur, dan Tuhan yang

Maha Kudus datang melawat. Suasana pengakuan dosa

melanda semua jemaat. Ibadah yang dimulai jam tujuh

malam itu belum juga selesai ketika jam sudah pukul dua

dini hari, karena selama ibadah itu belasan orang berdiri

sembari menangis, menunggu giliran untuk mengaku

dosanya dihadapan Tuhan. Hari demi hari orang terus

berkumpul, dan selalu ada pemurnian di bait Allah… dosa

menghalangi hadirat Tuhan jika tetap disimpan dan

Page 47: ASP NKRIS - pglii.or.id filea pentecostalperspective jurnal teologi oktober 2018 e - in d - o a n i e

46

disembunyikan, tetapi setelah dibuka di hadapan Tuhan,

kemuliaan Tuhan nyata; ”78

Kebangunan Rohani selalu membawa dampak positif

terhadap kehidupan bergereja. Kehidupan rohani yang

dinamis, pemurnian spiritual, semangat baru dalam

hidup kristen dan pekerjaan misi. Pantekosta adalah

identik dengan aktivitas kebangunan rohani yang

disertai dengan tanda-tanda ajaib, kesembuhan,

baptisan Roh Kudus dan aktivasi karunia-karunia

rohani. Kehidupan gereja yang dinamis dan aktif

adalah kehidupan religiusitas Pantekosta yang

sesungguhnya.

Kebangunan Rohani dan Pertumbuhan Gereja

Kerajaan Allah itu diberitakan oleh Yohanes

pembaptis, Yesus, Paulus dan rasul-rasul lainnya.

Kerajaan Allah ini terdiri dari present dan future.

Kepenuhannya adalah yang akan datang dimana tidak

akan ada lagi dosa, tidak ada lagi sakit, kerasukan

setan, air mata dan tekanan. Tetapi yang present saat

ini masih tercampur, karena kuasa kejahatan masih

aktif bekerja. Tanggungjawab bagi orang Kristen

adalah: membawa seseorang sebanyak mungkin

bergabung ke dalam Kerajaan Allah. Dengan melalui

Lahir baru (Yoh.1:12; Yoh.3:3; Rom.9:9-10). Mandat

ini bukan sebuah option bagi orang percaya. Jika

mandate ini yang sering disebut sebagai mandate

78 Donald A. McGavran rev. and ed. By C. Peter Wagner,

Understanding Church Growth (Grand Rapids, Michigan:

William B. Eerdmans Publishing Company, 1990) 136-137.

Page 48: ASP NKRIS - pglii.or.id filea pentecostalperspective jurnal teologi oktober 2018 e - in d - o a n i e

47

budaya dilaksanakan gereja Tuhan dengan setia dan

benar, maka Kerajaan Allah akan semakin dilebarkan

dan jumlah orang-orang yang menjadi percaya

bertambah jumlahnya maka inilah yang disebut

Pertumbuhan Gereja. Kebangunan rohani akan

mengubah kualitas gereja yang bertumbuh, karena

melawan kuasa dosa, sakit penyakit, kelemahan,

kelepasan bagi yang terikat, berkat bagi yang miskin

dan pembebasan bagi yang terpenjara sehingga kualitas

kehidupan terus bertambah di hadapan Tuhan.

Pantekosta dengan posisi theologi bahwa proses gereja

dimulai dengan lahir baru dan dilanjutkan dengan

penyucian hidup melalui pengalaman Bersama Roh

Kudus sejak menerima Baptisan Roh Kudus dan

mengaktifkan karunia-karunia Roh Kudus, akan

membentuk gereja berpotensi mengalami kebangunan

rohani.

Saya sangat setuju dengan McGavran dan Peter

Wagner yang berpendapt bahwa Pertumbuhan Gereja

tidak dapat dipisahkan dengan Kebangunan Rohani.

Karena segala system yang dibangun, strategi yang

diterapkan dan prinsip-prinsip yang dipakai dalam

pertumbuhan gereja tidak akan pernah berhasil tanpa

potensi rohani yang hidup. “Saat Tuhan

membangkitkan kebangunan rohani kepada umat-Nya

maka, biasanya yang terjadi adalah kehidupan yang

kudus bertambah-tambah, kuasa yang segar dialami,

Page 49: ASP NKRIS - pglii.or.id filea pentecostalperspective jurnal teologi oktober 2018 e - in d - o a n i e

48

dan Injil diberitakan dengan semangat yang besar.”79

Mereka menegaskan bahwa:

Kebangunan Rohani membuat gereja memiliki jemaat

yang berpotensi untuk tumbuh.

Kebangunan Rohani membawa terang baru bagi

kehidupan Kristen

Kebangunan Rohani membawa jemaat lebih terbuka

bagi Firman dan pemahamannya, serta doa yang lebih

bertekun.

Kebangunan Rohani membawa jemaat mengaku dosa

di hadapan Tuhan dan manusia serta menerima restitusi

dosa.

Kebangunan Rohani menyediakan Kuasa rohani kepada

jemaat untuk bersaksi dengan orang yang terhubung

dengan mereka.

Berita tentang Kebangunan Rohani mengaktifkan para

pemimpin Kristen lainnya untuk hal yang sama terjadi

di context pelayanannya.

Kebangunan Rohani akan membuat panen jiwa

berkesinambungan bagi gereja yang sedang bertumbuh

dan terbuka.

Kebangunan Rohani yang terjadi bersama-sama pada

gereja-gereja di sebuah kota, akan memberikan

79 Ibid.

Page 50: ASP NKRIS - pglii.or.id filea pentecostalperspective jurnal teologi oktober 2018 e - in d - o a n i e

49

pertumbuhan yang lebih signifikan bagi Kerajaan

Allah.80

“Kebangunan Rohani adalah sumber energi dari sebuah

mesin. Tanpa sumber energi tersebut sebuah mesin

akan tidak dapat bergerak. Namun dengan Sumber

tenaga itu dapat menggerakkan, piston, air, minyak,

jadwal perjalanan, pengendali jalannya mesin, dan

elemen yang lain, sehingga mesin itu dapat bergerak

kemanapun dengan cepat. Pertumbuhan Gereja yang

besar terjadi saat Kebangunan Rohani terjadi pada

kondisi yang tepat.”81 Elmer Town menambahkan:

“Langkah awal menjadikan gereja menembus rintangan

untuk bertumbuh adalah mengambil keuntungan dari

dinamisasi rohani yang terjadi pada setiap jemaat.”82

Kebangunan rohani dapat mengaktivasi semua potensi

dynamic spiritual yang dimiliki gereja. Berita sedihnya

adalah bahwa kebangunan rohani yang sesungguhnya

sebagai mana terjadi pada abad pertama di Yerusalem

maupun awal abad ke duapuluh di Los Angeles adalah

80 Ibid, 138-142. Theologi Peter Wagner tentang

Pertumbuhan gereja jelas: Tidak semua gereja punya potensi

bertumbuh; tidak semua gembala menghendaki gerjanya

bertumbuh, karena ingin melayani secara personal kepada

jemaatnya. Ada yang Karena area yang tidak memungkinkan

untuk bertumbuh, gereja di dalam camp militer, atau kota tempat

pelajar juga tidak mudah bertumbuh dalam jumlah. “Tetapi ada

banyak ribuan gembala yang gerejanya tidak bertumbuh, tetapi

memiliki potensi untuk bertumbuh. Penghalang-penghalang

pertumbuhan itu dapat diidentifikasi dan didisingkirkan.” 81 Ibid, 143. 82 Elmer Towns, et all, The Every Church Guide to Growth

(Nashville, Tennessee: Broadman & Holman Publishers, 1998), 5.

Page 51: ASP NKRIS - pglii.or.id filea pentecostalperspective jurnal teologi oktober 2018 e - in d - o a n i e

50

sebuah gerakan yang akan melawan status quo gereja.

“pada awalnya diperlukan untuk berenang melawan

arus tradisi agamawi.”83 Itulah sebabnya kebangunan

rohani akan mengubah masyarakat karena perubahan

status quo ini dengan memperkenalkan nilai-nilai

Kerajaan Allah. “Masyarakat akan mengalami

transformasi jika Kerajaan Allah bekerja aktif saat ini

dan disini.”84

Kebangunan Rohani Dan Hermeneutik Pantekosta

Gerakan Pantekosta berakar sangat dalam pada

Kebangunan Rohani di Amerika, yang telah

mendominasi kehidupan bergereja di Amerika selama

hampir dua ratus tahun.85 Setengah abad kemudian

setelah gerakan Pantekosta di Los Angeles terjadi,

Patekosta menjadi kekuatan kekristenan yang mulai

diperhitungkan. “Godaan” pernah datang saat

Pantekosta diterima sebagai bagian dari World Council

of Churches 1961. Sehingg dengan tanpa sadar

berusaha membangun theology dan menerangkan

fenomena pengalamannya sebagai gereja dengan

menjadi evangelical plus dan fundamentalist plus yang

berarti menggunakan methode kedua segmen

kekristenan tersebut sebagai alat hermeneutiknya.

83 C. Peter Wagner, Dominion. How Kingdom Action

Can Change the World (Grand Rapids, Michigan: Chosen Books,

2008), 98. 84 Ibid, 101. 85 Yongnan Jeon Ahn. Interpretation of Tongues and

Prophecy in 1 Corinthians 12-14 (Dorset, UK: Deo Publishing,

2013), 11.

Page 52: ASP NKRIS - pglii.or.id filea pentecostalperspective jurnal teologi oktober 2018 e - in d - o a n i e

51

“Dengan menggunakan pendekatan yang ketat prinsip-

prinsip tradisi hermeneutic evangelical atau

fundamentalis secara positif gerakan Pantekosta abad

ke duapuluh terkesan baik, tetapi tidak diperlukan:

penting tetapi tidak vital dalam kehidupan bergereja.

Justru efek negatifnya adalah mengakibatkan penolakan

total terhadap fenomena Pantekosta.”86 Situasi ini

membuat Pantekosta mulai kehilangan identitasnya.

Pantekosta adalah menggunakan akar yang sama

dengan gereja-gereja lainnya dalam hal otoritas Alkitab

sebagai Firman Tuhan dan juga menggunakan methode

exegesa yang tidak jauh berbeda. Tetapi keunikan

yang membedakan dengan Protestan lainnya dan juga

Katholik adalah bahwa dengan menekankan

‘pengalaman rohani’ yang terpisah dengan ‘pertobatan’.

Pantekosta focus pada transformasi kehidupan dalam

proses sanctification atau penyucian hidup melalui

baptisan dan kepenuhan Roh Kudus. “Karena itu

Krister Stendahl menamakannya ‘high-volt religion’

yang mengutamakan perlunya dinamisasi dan

pengalaman rohani yang penuh kuasa yang

menstimulasi pertumbuhan Kristen.”87 Sesungguhnya

Kebangunan rohani adalah manifestasi theologi

Pantekosta yaitu gereja melalui proses regenerasi yang

dilanjutkan dengan penyucian hidup sebagai prasyarat

untuk dibaptis dengan Roh kudus dan mempraktekkan

karunia-karunia Roh Kudus yang secara aktif bekerja

dalam kehidupan sehari-hari dan ibadah.

86 McLean, Mark D. “Toward a Pentecostal

Hermeneutic” Pneuma 6, no. 2 (1984), 37. 87 Ahn, Interpretation of Tongues,9.

Page 53: ASP NKRIS - pglii.or.id filea pentecostalperspective jurnal teologi oktober 2018 e - in d - o a n i e

52

Perbedaan selanjutnya yang menonjol adalah

seperti yang dikatakan oleh Archer: “narrative yang

berbeda-khususnya ketidaksamaan dalam sejarah

Kristen. Gerakan Pantekosta adalah kelangsungan dari

gerakan Holiness praxis yang berkonfrontasi dengan

cessationist fundamentalism dan experiential liberalism

sehingga menciptakan context yang subur cerita

autentik Pantekosta dapat muncul.”88 “Hermeneutik

Pantekosta pada tahap dasar intepretif adalah

keunikannya dalam cerita. … story itu telah

membentuk hermeneut-in-community dan pada

gilirannya dapat menghasilkan arti theologi.”89 Apa

yang dilakukan masyarakat Pantekosta adalah

pengulangan yang biasa dilakukan orang Yahudi pada

umumnya sejak jaman terbentuknya bangsa itu di

jaman Musa. Mereka menekankan story yang diajarkan

mulai dari masa kanak-kanak dan diberi arti untuk

menjalani kehidupan. Sebagaimana Cox menyatakan:

“Itulah sebabnya salah satu perintah yang utama jaman

itu – dan masih dilaksanakan – adalah menceritakan

story itu berluang-ulang. … tetapi perlu di revisi dan

diperbaharui dari waktu ke waktu. Karena jaman

berubah. … Bangsa Israel perlu mendengar cerita-cerita

lama dengan penuturan yang baru, untuk menjawab

tantangan jaman yang membingungkan yang sedang

88 Kenneth J. Archer, The Gospel Revisited. Toward a

Pentecostal Theology of Worship and Witness. (Eugene, OR:

Pickwick Publications, 2011),20. 89 Ibid.

Page 54: ASP NKRIS - pglii.or.id filea pentecostalperspective jurnal teologi oktober 2018 e - in d - o a n i e

53

mereka jalani dan mereka alami.”90 Story adalah tetap

menjadi pillar penting hermeneutic Pantekosta untuk

menemukan arti Firman bagi kehidupan.

Cerita dan pengalaman adalah bagian elemen

utama bagi Pantekosta dalam membangun eksegesa

Alkitab untuk menemukan arti theologi maupun

penerapannya. Paling tidak ada empat elemen utama

dalam Hermeneutik Pantekosta yaitu: “Narrative,

tradisi, nilai-nilai kebaikan, dan pengalaman.”91 Dari

empat elemen hermeneutik ini jelas pengalaman

menjadi salah satu bagian utama dalam membangun

hermeneutik Pantekosta Bersama dengan cerita, tradisi

dan arti nilai-nilai. William McDonald meyakinkan

kita bahwa “Cara Pantekosta klasik memberi

interpretasi kepada Firman adalah berdasarkan

kesaksian.”92 Scott A. Ellington menambahkan

“Pantekostalism secara explisit adalah bentuk

pengalaman biblical yang secara terus-menerus

terulang kembali saat mereka menerima pengalaman

Bersama Roh Kudus.”93 Dengan perkataan lain

“Kekuatan hermeneutik Pantekosta adalah bersumber

pada pengalaman aktivitas Tuhan sendiri yang sedang

dialami dalam kehidupan sekarang.”94 Disamping

dalam kehidupan spiritualitas sehari-hari, terlihat juga

90 Harvey Cox, When Jesus Came to Harvard (Boston,

New York: A Mariner Book Houghton Mifflin Company, 2004),

120. 91 Ibid, 22. 92 Ahn. Interpretation of Tongues, 34. 93 Ibid. 94 Ibid.

Page 55: ASP NKRIS - pglii.or.id filea pentecostalperspective jurnal teologi oktober 2018 e - in d - o a n i e

54

dalam expresi beribadah kepada Tuhan, Pantekosta

tidak terlepas dari pengalaman Bersama Roh kudus.

“pengalaman dalam komunitas yang menyembah

menyajikan sebuah hermeneutik yang tepat dalam

memahami kata-kata dalam firman.”95

Kebangunan rohani yang adalah pengalaman

utama Pantekosta menjadi begitu penting untuk tetap

exist bagi kestabilan hermeneutik Pantekosta untuk

tetap solid. Pengalaman kebangunan rohani dalam

gereja adalah pengalaman yang dimulai dari Penyucian

Hidup setelah Lahir Baru yang dilanjutkan dengan

Baptisan Roh Kudus, dipenuhi dan diperlengkapi oleh

Roh yang sama. Kehidupan yang diperlengkapi adalah

tidak terpisahkan dengan manifestasi karunia-karunia

Roh Kudus dalam praktek hidup Kristen. Sehingga,

cara hidup Kristen yang diurapi dan mempraktekkan

karunia-karunia Roh kudus ini menjadi dominan dalam

praktek hidup Kristen yang mempengaruhi seseorang

dalam membaca Alkitab. Tanpa pengalaman dengan

Tuhan dalam kehidupan sehari-hari dan ibadah,

Pantekosta akan memahani Firman dengan

hermeneutik yang menyimpang. Kehidupan

kebangunan rohani dalam gereja adalah manifestasi

pengalaman dengan Tuhan dan Roh Kudus. Jika kita

meninggalkannya, kita telah kehilangan salah satu pilar

hemeneutik Pantekosta kita. Karena pengalaman ini

termasuk di dalamnya baptisan Roh kudus,

kesembuhan, mengusir setan, mengaktifkan karunia-

karunia Roh kudus dan pelayanan kuasa lainnya, yang

95 Ibid, 35.

Page 56: ASP NKRIS - pglii.or.id filea pentecostalperspective jurnal teologi oktober 2018 e - in d - o a n i e

55

membangkitkan kebangunan rohani dalam gereja. Jika

pengalaman ini sudah tidak kita alami, maka eksegesa

kitapun akan semakin melenceng dari arti Alkitabiah

yang murni. Eksegesa yang dingin, kaku, tidak ada

kehidupan menjadikan gereja menuju kepada hal yang

sama.

Pantekosta Manifesto Kerajaan Allah

Pantekosta adalah gereja yang unik dalam

Tubuh Kristus. Secara theologis kita established

sebagai gereja Injil Sepenuh atau full gospel church

dengan ciri khusus memproklamasikan Yesus sebagai

Juru Selamat, Sanctifier, Pembaptis dengan Roh Kudus,

Penyembuh dan Raja Yang Akan Datang. Meskipun

tidak pernah secara sempurna semua tercakupi, tetapi

Pantekosta terus bergerak maju menuju manifestasi

Kerajaan Allah di bumi. Pantekosta adalah Gereja

Tuhan yang pertama. Namun bergulirnya sejarah telah

menentukan bahwa kehidupan gereja Pantekosta

ditemukan kembali pada awal abad ke duapuluh.

“Dari awal terjadinya kebangunan rohani di seluruh

dunia kita melihat manifestasi gerakan Kuasa Roh

Kudus menandai titik balik sejarah kehidupan gereja.

… Pantekosta dilahirkan kembali, terulang lagi dan

ditemukan kembali.”96 Gereja dibangun untuk

menyatakan Kerajaan Allah. Ditemukannya kembali

gereja dengan kegerakan Pantekosta, maka

pengharapan Kerajaan Allah semakin nyata. “Sebab

96 Wolfgang Vondey, Pentecostal Theology. Living The

Full Gospel (London, UK: T&T Clark, 2017), 225.

Page 57: ASP NKRIS - pglii.or.id filea pentecostalperspective jurnal teologi oktober 2018 e - in d - o a n i e

56

Kerajaan Allah bukanlah soal makan dan minum tetapi

kebenaran, damai sejahtera dan sukacita oleh Roh

Kudus.” (Roma 14:17). “Pantekosta dan Kerajaan Allah

adalah komplimentari akhir dari gereja sebagai gerakan

dalam sejarah menuju kepada kepenuhan keselamatan.

… sejak hari Pantekosta diikuti kenaikan Kristus sampai

Ia datang kembali adalah terbangunnya jembatan

sejarah gereja.”97 Sebagai gereja yang salah satu pilar

hermeneutiknya melibatkan sejarah maka, “Pantekosta

tidak membedakan antara gereja yang kelihatan dan

yang tidak kelihatan karena dapat dengan salah

membedakan antara spiritualitas dan historis gereja.”98

Dari pengalaman inilah kita dapat memahami

perkembangan “Perjalanan gereja melintasi sejarah

sebagai kegerakan apokaliptik dalam ekspresi dinamis

yang berkesinambungan mulai dari pengalaman

Pantekosta menjangkau dunia dan menuju kepenuhan

Kerajaan Allah.”99

Pendapat Vondey jelas, bahwa gereja yang

mulai dingin, formalitas, orthodox dan statis bukanlah

gereja yang diharapkan meng-expresikan Kerajaan

Allah dan kepenuhan-Nya. Alarm bagi kita semua

sebab tanda-tanda ini sudah mulai dialami oleh gereja-

gereja yang memiliki nama Pantekosta tetapi sudah

tidak mengalami kebangunan rohani di dalam hidup

bergereja. Sebab Kerajaan Allah adalah dinamis, selalu

bergerak, tidak terduga dan hangat dengan hadirat

97 Ibid, 249. 98 Ibid, 250. 99 Ibid, 251.

Page 58: ASP NKRIS - pglii.or.id filea pentecostalperspective jurnal teologi oktober 2018 e - in d - o a n i e

57

Tuhan. (Yoh.3:8; Wahyu 3:16). Kebangunan Rohani

adalah kehidupan bagi gereja Tuhan. Gereja yang

meninggalkan dan tidak mengalami kebangunan rohani

adalah bukan gereja yang menuju penyempurnaan

Kerajaan Allah. Mengupayakan kebangunan rohani

trjadi dengan kuasa Tuhan yang bekerja aktif dan besar

adalah jawaban bagi gereja Pantekosta masa kini.

Karena kebangunan rohani memerlukan bayaran

yang mahal; doa dan puasa yang berkesinambungan,

kehidupan kudus yang terus ditingkatkan, kesatuan hati

dan keterbukaan hidup di hadapan Tuhan dan

manusia. Ketika hal-hal itu tidak dapat dicapai dalam

realitas bergereja, maka gereja mulai mencari solusi

yang seolah-olah menciptakan kebangunan rohani.

Diadakan perkumpulan masa yang besar, music

dengan kualitas super canggih dan super modern,

fasilitas yang semakin dipernyaman dalam beribadah,

kemakmuran yang terus menjadi tujuan utama

kehidupan, untuk menggantikan ‘roh’ kebangunan

rohani yang sudah menjauh dari kehidupan bergereja,

beribadah dan kehidupan sehari-hari.

Situasi ini tidak hanya menjauhkan umat Tuhan

dari menikmati Tuhan, tetapi semakin meleset dalam

memahami Firman Tuhan, karena exsegesa Firman

yang dilakukannya, sudah tidak lagi dalam pengalaman

bersama Tuhan yang sudah tergantikan dengan

formalitas dan bangunan system yang mapan. Baptisan

Roh Kudus dan Bahasa Roh sudah hanya sekedar

fenomena, supaya masih terlihat ada Tuhan di tengah-

tengah ibadah. Untuk menciptakan kebangunan rohani

Page 59: ASP NKRIS - pglii.or.id filea pentecostalperspective jurnal teologi oktober 2018 e - in d - o a n i e

58

yang palsu. Ibadah-ibadah yang dinamakan

Kebangunan Rohani dipersiapkan oleh panitia, dengan

perhitungan biaya yang luar biasa, seting panggung

yang menawan, pengumpulan masa yang hiruk-pikuk,

namun tidak dipersiapkan dengan pengorbanan diri,

pemahaman Firman yang dalam, serta support doa

siang dan malam, hasilnya adalah perkumpulan dengan

sejumlah besar massa, namun tidak terjadi Kebangunan

Rohani seperti yang kita harapkan dan tidak masuk

dalam standard Tuhan. Karena hasil dari semua

aktivitas itu adalah hidup yang tidak berubah, gereja

kembali kepada ‘business as usual’, perpecahan,

kecurigaan, iri hati dan hidup berdosa terus masih tetap

berkuasa dalam kehidupan pribadi dan gereja dalam

komunitas. Namun menemukan kembali gambaran

jelas Kerajaan Allah adalah membangkitkan

kebangunan rohani yang berdampak nyata bagi

kehidupan, komunitas dan dunia.

Kesimpulan

Kebangunan rohani bukanlah sebuah event bagi

Gereja Pantekosta, tetapi adalah sebuah kehidupan

yang dipergumulkan setiap saat sehingga intensitasnya

semakin besar. Karena Tuhan bekerja melalui Kuasa

Roh Kudus dengan kapasitas yang terus semakin besar

bagi gereja yang sejati. Kebangunan rohani adalah

sebuah kebahagiaan, sukacita dan semangat kehidupan

Kristen dalam kekudusan yang adalah refleksi Kerajaan

Allah itu sendiri. Kehidupan gereja tanpa kebangunan

rohani adalah sedang mengalami demolisasi rohani.

Sebagaimana Wagner berkata “Karena gereja adalah

Page 60: ASP NKRIS - pglii.or.id filea pentecostalperspective jurnal teologi oktober 2018 e - in d - o a n i e

59

organism bukan organisasi. Sesuatu yang hidup! jika

gereja tidak bertumbuh, berarti dying.”100 Namun

kebangunan rohani yang dihidupi gereja akan menjadi

solusi akhir dari gereja Tuhan akhir jaman. Berita

baiknya adalah bahwa “kuasa supernatural tidak hanya

rutin terjadi pada gereja-gereja apostolic tetapi akan

terus meningkat kapasitasnya tersebar dalam gereja.

Tanda-tanda heran dan mujizat bukan lagi milik

superstar atau penginjil kesembuhan; tetapi akan

menjadi pengalaman yang dikerjalan oleh semua orang

kudus.”101 Jika implementasi hermeneutik Pantekosta

ini terjadi dalam gereja masa kini, jelas kebangunan

rohani dengan kapasitas yang lebih besar sedang akan

terjadi.

Daftar Pustaka

Anderson, Allan. Spreading Fires Maryknoll, New

York: Orbis Books, 2007.

Archer, Kenneth J. The Gospel Revisited. Toward a

Pentecostal Theology of Worship and Witness.

Eugene, OR: Pickwick Publications, 2011.

Cox. Harvey. When Jesus Came to Harvard Boston, New

York: A Mariner Book Houghton Mifflin Company,

2004.

100 Towns, et all., The Every Church Guide, 27. 101 Wagner, Dominion, 112.

Page 61: ASP NKRIS - pglii.or.id filea pentecostalperspective jurnal teologi oktober 2018 e - in d - o a n i e

60

Jeon, Yongnan Ahn. Interpretation of Tongues and

Prophecy in 1 Corinthians 12-14 Dorset, UK:

Deo Publishing, 2013.

D., McLean, Mark. “Toward a Pentecostal

Hermeneutic” Pneuma 6, no. 2, 1984.

McGavran, Donald A. and ed. By C. Peter Wagner.

Understanding Church Growth Grand Rapids,

Michigan: William B. Eerdmans Publishing

Company, 1990.

Robeck, Jr., Cecil M. The Azusa Street Mission and

Revival Nashville, TN: Nelson Reference &

Electronic, 2006.

Towns, Elmer and friends. The Every Church Guide to

Growth Nashville, Tennessee: Broadman &

Holman Publishers, 1998.

Wagner, C. Peter. Dominion. How Kingdom Action

Can Change the World Grand Rapids, Michigan:

Chosen Books, 2008.

Wagner, C. Peter. Leading Your Church to Growth

(Ventura, California: Regal Books, 1984

Vondey, Wolfgang. Pentecostal Theology. Living The

Full Gospel London, UK: T&T Clark, 2017.

Page 62: ASP NKRIS - pglii.or.id filea pentecostalperspective jurnal teologi oktober 2018 e - in d - o a n i e

61

RAHIM KONSEPTUAL GERAKAN KHARISMATIK:

KEMUNGKINAN & TANTANGANNYA

OLEH: RHESA N. SIGARLAKI

Abstract: tulisan ini merupakan upaya untuk

memetakan konteks budaya pragmatisme Amerika,

khususnya di dalam tradisi romatisme-liberal yang

menjadi ‘rahim’ bagi lahirnya Gerakan Kharismatik.

Tulisan ini juga memaparkan sisi multi dimensi dari

Gerakan Kharismatik (konseptual, kelembagaan,

kepemimpinan dan kejemaatan) sebagai implikasi fusi

dari superanturalisme dan pragmatisme serta tantangan

yang harus dihadapi Kekristenan (termasuk Gerakan

Kharismatik) dalam pasca sekularisme. Tulisan ini

berguna bagi kancah teologis-filosofis dalam melihat

keberagaman varietas di dalam kekristenan.

Key Words: Gerakan, Kharismatik, Pragmatisme,

tradisi, supernaturalisme

Pendahuluan: Profil Yang Ilahi

aya selalu menyimpan satu keheranan dan

kuriositas atas gerakan, atau lebih tepatnya

fenomena karismatik, khususnya bagaimana kaum

kharismatik membayangkan dan menggambarkan

Tuhan. Semua gambaran, hipotesis ataupun working

assumption tentang Tuhan pada gilirannya akan

mempengaruhi pola perilaku dan sikap penganutnya

secara ekstensif. Apa sebenarnya penggambaran khas

gerakan kharismatik [selanjutnya: “GK”] perihal Tuhan?

S

Page 63: ASP NKRIS - pglii.or.id filea pentecostalperspective jurnal teologi oktober 2018 e - in d - o a n i e

62

Hemat saya gambaran Tuhan dalam GK hadir

dalam dua dimensi: 1] Allah digambarkan sebagai

pribadi yang bukan manusia. Ia adalah the wholly other

yang maha kudus, bijaksana, dan maha kuasa, olehnya

mampu melakukan segala sesuatu. 2] Allah

digambarkan sebagai being yang “maha membawa

benefit”, khususnya bagi umatNya yang percaya dan

setia kepadaNya. Perihal “benefit” disini, GK memiliki

keyakinan yang cukup unik. Sementara gereja-gereja

mainstream memaknai welas asih Tuhan bagi umatNya

dalam terma-terma umum seperti providensi ilahi dan

gift of life, jangkauan benefit Ilahi bagi GK sendiri “ter-

radikalisasi” sampai ke dimensi yang sangat rinci,

konkret dan materiil, misalnya Allah akan memberikan

umatnya parking spot ketika mereka berdoa

memintanya sembari memasuki kawasan pusat

perbelanjaan.

Lazimnya wholly other yang ilahi digambarkan

oleh tradisi sebagai sosok yang terpencil dari urusan

sehari-hari dunia, bahkan Ia bisa saja bukan merupakan

pribadi, melainkan daya yang menjamin keteraturan

mekanisme kosmos, sebagaimana pandangan Spinoza

dan Einstein. Maka dalam formasi konseptual semacam

apa figur semacam ini lantas dapat menjadi being yang

maha membawa benefit dalam regularitas kehidupan

harian?. Teologi tradisional kerap digambarkan

mengandung tegangan transendensi dan imanensi,

adalah menarik untuk ditelusuri, kalau-kalau identitas

ganda Tuhan dalam penggambaran GK diatas juga

bermuara pada suatu tegangan sejenis atau justru

tidak?.

Page 64: ASP NKRIS - pglii.or.id filea pentecostalperspective jurnal teologi oktober 2018 e - in d - o a n i e

63

Maka bagi saya adalah penting untuk memiliki

pemahaman perihal penggambaran tersebut, karena

melaluinya bukan kita dapat memahami identitas GK

namun barangkali juga melaluinya kita dapat meraba

orientasi dan arah transformasinya ke masa depan.

Guna memahami penggambaran partikular atas Tuhan

tersebut beserta implikasi kekininannya, kita harus

menggali akar-akar historis filosofis dan kultural yang

melahirkannya.

Enigma Identitas Gerakan Kharismatik

Sebagaimana kita ketahui bahwa akar dari gerakan

Pentekosta yang menjadi cikal bakal GK, adalah

evangelikalisme, namun dalam perjalanannya gerakan

Pentekosta merambah jalur-jalur yang mandiri, walau

mereka tetap “bersenyawa”. MacCulloch mencatat

bahwa pada 1943, Assemblies of God di Amerika

bergabung dengan satu organisasi evangelikal

konservatif baru, yakni National Associations of

Evangelicals, yang salah satu tujuan utamanya adalah

melawan pengaruh protestanisme liberal dan gerakan

ekumenikal [MacCulloch. 2009:961].

Namun jika gerakan pentekosta dan kemudian GK

dikatakan dapat dibedakan dari gerakan injili

mainstream, apa yang membedakannya? Sesungguhnya

tak mudah menjawab pertanyaan ini, MacCulloch

sendiri mengaku “Indeed, it is difficult for outsiders to

keep track of movements which have generated a

bewildering array of names, acronyms and slogans. All

were intended to express their multiform identities and

Page 65: ASP NKRIS - pglii.or.id filea pentecostalperspective jurnal teologi oktober 2018 e - in d - o a n i e

64

zestful efforts to capture experieces life-transforming

but, by their very nature, often difficult to put into

words..” [MacCulloch, ibid. 959].

GK dalam banyak hal seperti gerakan tanpa

identitas yang jelas, mereka hadir secara masif,

sekaligus incognito. Jika Azusa Street dianggap secara

tradisional sebagai titik awal gerakan ini, maka baru

pada akhir 1950-an, masyarakat Amerika menjadi sadar

akan eksistensinya. [MacCulloch,loc it]. Sesuatu yang

barangkali tetap mengherankan banyak orang adalah

bahwa tampaknya sampai saat ini identitas GK, dengan

ragam gerejanya yang tersebar di seluruh dunia, tetap

merupakan sesuatu yang licin untuk dapat ditangkap

lalu di-klasifikasi secara rapi dan purna.

Paper ini merupakan upaya saya untuk

memetakan isi dari “rahim budaya” yang melahirkan

GK, yang pada gilirannya melahirkan gambaran

partikular-khas perihal Tuhan sebagaimana disinggung

diatas.

Pragmatisme: Enam Karakteristik Fundamental

Hemat saya GK dapat dan musti dihami dari

budaya yang melingkupi kemunculannya, dan bagi

saya ekosistem kultural yang melingkupi hal itu adalah

pragmatisme Amerika. Mengapa demikian? Saya hanya

mengetengahkan dua sebab singkat yang

membutuhkan eksplorasi lebih lanjut, yakni:

1] Waktu

Page 66: ASP NKRIS - pglii.or.id filea pentecostalperspective jurnal teologi oktober 2018 e - in d - o a n i e

65

Pragmatisme adalah filsafat yang bahkan kerap

disebut sebagai nilai Amerika itu sendiri, West

mengatakan bahwa ia dimulai dari pikiran Emerson

[1803-1882], sedang Riley menyatakan pragmatisme

primitif dimulai dari pikiran Charles Pierce pada 1878

[Riley. 1959:281]. Gerakan kharismatik sendiri sering

dikatakan bermula di Topeka, Kansas pada 1 Januari

1909 tatkala Agnes Ozman berbahasa roh di dalam

sebuah ibadah gereja yang dipimpin Charles Parham.

West berkata bahwa pada masa John Dewey [1859-

1952], pragmatisme Amerika mencapai tahap

kematangannya [West. 1989:6]. Maka dapat dikatakan

bahwa GK bermula pada tahap dimana pragmatisme

mengalami evolusinya. Pragmatisme adalah ekosistem

kultural dari kelahiran GK di Amerika.

2] Ajaran

Penekanan kepada kesuksesan dan kemakmuran,

seperti yang ditunjukkan Full Gospel Business Men’s

Fellowship International membuat MacCulloch berkata

bahwa pantekostalisme kharismatik merupakan bentuk

[lain] dari mimpi Amerika [MacCulloch. Ibid. 961]

Pragmatisme sendiri menurut Riley terbagi dalam

3 percabangan: 1] Logis. Yakni yang berisi metode cara

berpikir jernih sebagaimana diajarkan Charles Peirce,

2] Instrumental. Yang berisi seperangkat alat untuk

tindakan sebagaimana digagas John Dewey & 3]

Temperamental. Yakni suatu cara meraih kepuasan

pribadi sebagaimana diajar William James. [Riley. Ibid

:280]. Dan di masa modern kita meihat 4] Neo-

Page 67: ASP NKRIS - pglii.or.id filea pentecostalperspective jurnal teologi oktober 2018 e - in d - o a n i e

66

pragmatisme diskursif dari Richard Rorty dan 5]

Pragmatisme profetik dari Cornel West.

Sementara sejarah gerakan ini berada di luar

cakupan dan fokus paper ini, ada baiknya sejenak kita

tinjau kembali secara singkat enam karakteristik

fundamental pemikiran ini.

1] Praktikalitas

Pragmatisme bukanlah suatu aliran filsafat,

melainkan sejenis metode sistem pengecekan perihal

apakah suatu ide atau aktifitas itu berdaya guna, dalam

hal ini membuahkan hasil yang diinginkan. Riley

mengistilahkannya sebagai “a business philosophy

which demands results...whise prime criterion is

success” [Riley. ibid:279]

2] Individualisme

Pragmatisme menekankan kemandirian individual

sebagai lawan kepasrahan diri, oleh karenanya sikap

individual yang agresif mendapat pujian. [Riley, loc

cit]. Berkenaan dengan hal ini pragmatisme memuji

sikap-sikap yang berani mengambil resiko, karena

dalam situasi semacam ini, individualisme akan

menguat, bahkan menjadi heroik. Pragmatisme

memandang dunia, alih-alih “sudah terberi/ter-

kodratkan”, melainkan sebagai “yang sedang dijadikan”

oleh sang individu, [Riley, ibid. 282]. Di awal

kemerdekaan Amerika, pengalaman pribadi akan

keselamatan menjadi syarat mutlak keanggotaan gereja

Page 68: ASP NKRIS - pglii.or.id filea pentecostalperspective jurnal teologi oktober 2018 e - in d - o a n i e

67

[Bellah et al. 1986:233]. Thomas Jefferson berkata “I

am a sect myself”, sementara Thomas Paine berkata

“My mind is my church” [Bellah et al. Loc cit].

Cornel West pun mengawali paparannya perihal

pragmatisme dari Ralph Waldo Emerson, sang pemikir

Amerika yang mengedepankan gagasan individu

sebagai “the oversoul”, yang mengilhami gagasan

ubermensch dari Nietszche. Di masa modern, Richard

Rorty pernah menulis bait-bait pemujaan terhadap

individualisme yang menggemakan lirik Emerson, ia

berkata “the poet, in the general sense of the maker of

new words, the shaper of new languages, as the

vanguard of the species” [dalam West, ibid:204]. Juga

“What is really distinctive about us is that we can rise

above question of truth or falisty. We are the poetic

species, the one which can change itself...” [West, ibid.

269]

3] Non-Referensialisme

Pragmatisme menekankan bahwa kita

menghadapi dunia ini tanpa referensi apapun, baik itu

tradisi, dogma ataupun kebiasaan semua tidak berarti

dibandingkan dengan penemuan apa yang bermanfaat

dan berguna bagi diriku?. Itu sebabnya pragmatisme

adalah gerakan anti esensialisme. Maknanya bagi

kaum pragmatis kebenaran tidak memiliki sejenis

esensi tertentu, sesuatu yang “lebih dalam”. ia adalah,

dalam bahasa James “what is good in the way of

belief”. Rorty berkata bahwa kebenaran bukanlah

Page 69: ASP NKRIS - pglii.or.id filea pentecostalperspective jurnal teologi oktober 2018 e - in d - o a n i e

68

korespondensi dengan realita, ia adalah praktek yang

dianggap baik bagi penuturnya [Rorty, 1982: 162-163].

4] Empirisme Anti-Dualis

Pragmatisme tak mengenal pemilahan antara apa

yang ada [das sein] dan apa yang mustinya ada [das

sollen], antara fakta dan nilai, bahkan antara moralitas

dan science. Pragmatisme mencela proyek Plato untuk

mencari esensi dari kebaikan, atau Kant dalam mencari

prosedur tertentu bagi suatu tindakan moral yang

otentik. Bagi kaum pragmatis, mencari dasar dari

pertanyaaan “mengapa aku percaya sesuatu?” atau

“mengapa aku mengganggap sesuatu benar” diluar hal-

hal sehari-hari yang bersifat konkret, adalah sesuatu

yang tidak perlu. [Rorty, 1982:163-164].

Olehnya pragmatisme menekankan kejadian

kekinian. Riley berkata “according to pragmatism, truth

happens to an idea; it becomes true, it made true by

events. In fine, pragmatism as radical empiricism means

simply truth as you go along” [Riley, ibid. 330]

5] Fleksibilitas-Sinkretik

Bagi James semua yang baik itu berada di tengah,

dibawah ini ia memetakan dua jenis pikiran [West.

Ibid. 57]

Page 70: ASP NKRIS - pglii.or.id filea pentecostalperspective jurnal teologi oktober 2018 e - in d - o a n i e

69

The Tender-Minded The Tough-Minded

Rationalistic [going by

“principles”]

Empiricist [going by

“facts”]

Intellectualistic Sensationalistic

Idealistic Materialistic

Optimistic Pessimistic

Religious Irreligious

Free-Willist Fatalistic

Monistic Pluralistic

Dogmatical Sceptical

James hendak menghapus pemilahan ketat antara

keduanya, baginya pragmatisme adalah kombinasi

yang terbaik dari kedua jenis pikiran diatas, karena

moderasi, alih-alih ekstremisme adalah apa yang ia

unggulkan. Menurut James fungsi pragmatisme adalah

“a happy harmonizer...she has in fact no prejudices

whatever, no obstructive dogmas, no rigid canons of

what shall count as proof...she will entertain any

hypothesis, she will consider any evidence” [West loc

cit]

6] Komunitarianisme

Kaum pragmatis tidak percaya bahwa kebenaran

itu adalah sesuatu yang ditentukan oleh “hakekatnya”,

mekanisme pikiran kita ataupun kategori bahasa kita,

namun ia dibentuk oleh paradigma komunitas

Page 71: ASP NKRIS - pglii.or.id filea pentecostalperspective jurnal teologi oktober 2018 e - in d - o a n i e

70

pencarinya. Bagi Rorty satu-satunya sumber kebenaran

adalah berasal dari pembicaraan dengan sesama

manusia. Filsafat baginya mengambil langkah keluar

dari manusia. Plato mencarinya dalam ide-ide, orang

Kristen dalam “suara Tuhan”, Descartes dalam

pengosongan pikiran dan menanti apa yang tetap

tampak dan Kant dalam kategori apriori. Pragmatisme

menekankan prioritas pada masyarakat kita, tradisi

politik kita & warisan intelektual kita. [Rorty, 1982:165-

166]

Pragmatisme tentunya tak muncul dari ruang

hampa, ia merupakan “anak jamannya”, hal mana

berarti ia membawa DNA dari “rahim” yang

melahirkannya?, apa rahim tersebut?

Latar Belakang Filosofis Pragmatisme Amerika

Filsafat agama Amerika dalam banyak hal

merupakan kontinuitas, sekaligus modifikasi, dari

filsafat agama Eropa Kontinental. Wieman & Meland

mencatat terdapat 4 tradisi besar filsafat agama Eropa

yang lalu masuk ke daratan Amerika, yakni:

1] Tradisi Supernaturalisme

Tradisi ini berbentuk suatu cara pandang dunia

yang bersifat absolut, statis dan dirawat oleh

kelembagaan agama yang bersifat hirarkial, birokratis

dan otoriter. Pandangan dunia ini diandaikan bersifat

Page 72: ASP NKRIS - pglii.or.id filea pentecostalperspective jurnal teologi oktober 2018 e - in d - o a n i e

71

supra-human, karena sumber pengetahuannya berasal

dari wahyu. Maka peran akal disini disambut tatkala ia

merupakan bentuk turunan dari wahyu tersebut, namun

akal tak disambut jika ia digunakan untuk mencari

premis-premis baru. [Wieman & Meland. 1936:36]. Di

Amerika, tokoh-tokoh pandangan ini antara lain

Gresham Machen, Paul Tillich, Niebuhr bersaudara dll.

2] Tradisi Naturalisme

Tradisi ini mengedepankan ilmu pasti dan

observasi empiris guna korespondensi dengan realitas

sebagai metodologi dan kriterium kebenaran. Ajaran

yang awalnya absen dari unsur supernatural ini lantas

menjadi suatu paham yang direngkuh kaum deis, guna

menjembatani atesime dan theisme. Lantas tatkala ia

berubah menjadi sebuah teologi, coraknya adalah

penjembatanan ilmu pasti dan iman, misalnya dalam

kontroversi perihal evolusi. [Weiman & Meland. Ibid.

47-48]. Kolakowski bahkan mengatakan bahwa yang

disebut teologi natural itu tak berbeda dengan filsafat

agama [Kolakowski: 1982:13], yakni suatu ikhtiar untuk

menjelaskan pertanyaan-pertanyaan teologis dengan

bantuan nalar belaka, minus wahyu.

3] Tradisi Idealisme

Tradisi ini berupaya untuk menjaga ideal-ideal

filsafat klasik sembari menjembatani supernaturalisme

Page 73: ASP NKRIS - pglii.or.id filea pentecostalperspective jurnal teologi oktober 2018 e - in d - o a n i e

72

abad pertengahan dengan ilmu alam modern. Tradisi

ini walau menghargai masukan ilmu alam, namun

mereka sadar keseluruhan segala sesuatu tak dapat

hanya dilihat dari ilmu alam. Olehnya mereka

mengedepankan logika spekulatif. Dapat dikatakan

tradisi ini adalah semacam filsafat yang melayani

supernaturalisme. Di Amerika tokoh-tokohnya antara

lain Josiah Royce, William Hocking, Rufus Jones &

Charles A. Bennett. [Wieman & Meland. 1936:37-41].

4] Tradisi Romantisme-Liberal

Tradisi ini muncul sebagai bentuk koreksi atas

penekanan berlebih atas akal dalam beragama, alih-

alih logika, ia menekankan perasaan [seperti

Schleichermacher] dan pengalaman [seperti dalam

tulisan Albrecht Ritschl]. Coleridge mengingatkan

keterbatasan bahasa untuk mengungkapkan

pengalaman agama, Horace Bushnell menekankan

pentingnya pendekatan intuitif dalam beragama dan

William Clarke mengedepankan semangat pemahaman

simpatik dan semangat inklusif untuk merengkuh

kebenaran agama lain [Wieman & Meland. Ibid. 41-

44]. Tradisi romantis menjadi cikal bakal teologi liberal

karena alih-alih dogma, ia menekankan imajinasi dan

kreatifitas.

Romantisme memuja estetika, bukannya

sistematika. Bagi Wieman & Meland [ibid. 46], ada 2

Page 74: ASP NKRIS - pglii.or.id filea pentecostalperspective jurnal teologi oktober 2018 e - in d - o a n i e

73

percabangan romantisme: a] Tradisional. Yakni estetika

yang terpatri pada satu nilai tertentu & b] Progresif.

Yakni estetika yang menyambut realitas dan

kemungkinan baru.

Gerakan Kharismatik Sebagai Supernaturalisme

Pragmatis

Pertanyaan yang sekarang muncul adalah, dimana

kira-kira pengaruh 4 tradisi besar ini atas GK, pertama

tampaknya agak mudah untuk menilai bahwa tradisi

natural pasti bukan salah satunya, karena tradisi ini di-

identifikasikan bersifat empiris melulu, ia menolak

segala varian supranaturalisme. Pun juga tampaknya

dengan tradisi idealisme, karena GK tidak pernah

nampak memiliki misi untuk menjembatani filsafat

akademik dengan iman, GK dalam level gereja, bahkan

bisa dikatakan nyaris tanpa corak dan isi filsafat, orang

Russia menyebut hal ini sebagai bezideinye, yang

artinya “tanpa gagasan”.

Hemat saya GK secara alamiah muncul dari

gerakan romantis, hal ini karena beberapa ciri gerakan

romantis berikut ini:

1] Proksimitas dengan Teologi Kristen

Romantisme adalah aliran sastra dan budaya yang

walaupun bercorak semi-pagan, namun ia mengambil

banyak inspirasi dari kisah Alkitab ataupun doktin

Page 75: ASP NKRIS - pglii.or.id filea pentecostalperspective jurnal teologi oktober 2018 e - in d - o a n i e

74

Kristen. Eksponen romantisisme seperti William

Wordsworth, William Blake, Henry Crabb Robinson

dan John Milton mengakui betapa mereka terpengaruh

oleh semua itu [Abrams, 1973:32]. Abrams berkata

bahwa “...romantic philosophy and literature are a

displaced and reconstituted theology, or else a

secularized form of devotional experience” [Abrams,

ibid. 65]

2] Penekanan pada Inspirasi Personal

Lantaran lebih mengutamakan emosi,

temperamen dan pengalaman, ketimbang rasionalisme,

aliran romantisme mengagungkan momen-momen

inspiratif dalam penciptaan suatu karya, Wordsworth

mengistilahkan momen itu sebagai “prophetic spirit”,

dimana dalam momen itu sang artis menjadi “transitory

being” yang menerima “visi” [Abrams, ibid. 23 & 28].

Oleh karena itu aliran ini menekankan kreatifitas

personal, hal mana misalnya nampak dalam karya

worship John Newman di gereja Katolik [Wieman &

Meland. Ibid. 46].

3] Kaitan Konseptual dengan Pragmatisme

Romantisme mistik di Amerika menurut Wieman

& Meland digawangi oleh para Boston Brahmin, yakni

Emerson & Thoreau [Wieman & Meland. Ibid. 47].

Page 76: ASP NKRIS - pglii.or.id filea pentecostalperspective jurnal teologi oktober 2018 e - in d - o a n i e

75

Emerson seperti ditulis diatas, dalam kacamata West

adalah forerunner dari pragmatisme Amerika.

Penghadiran The Wholly Other dalam Imajinasi

Kharismatik

Jika romantisme itu memiliki tendensi liberal,

sedangkan pragmatisme terarah kepada empirisme dan

materialisme, maka darimana gambaran Allah sebagai

the wholly other dalam imajinasi kharismatik itu?. Bagi

saya ada 3 praktek GK dalam pokok ini:

1] Datumisasi Kesan

Berbicara mengenai “Yang Kudus”, salah satu

paparan atasnya yang telah menjadi klasik adalah buku

The Idea of the Holy [1917] karya Rudolf Otto. Disana

Otto menyebut Allah sebagai “the wholly other”

[Gooch: 2000:2]. Dengan istilah itu, Otto

mempertahankan transendensi ilahi, yakni bahwa sifat

mysterium dari numen [yang ilahi] adalah suatu misteri

tak tertembus apapun. Namun demikian misteri ini

dapat dirasakan dan hal itu terbit dalam kesadaran

manusia [Gooch, ibid. 113]. Baginya numen adalah

sesuatu yang dialami [erlebt] secara langsung disini

[praesens], olehnya wholly other adalah sesuatu yang

“alive in feeling” [lebendig im gefuhl]. [Gooch.

Ibid.143]. Hal ini mungkin karena roh manusia adalah

Page 77: ASP NKRIS - pglii.or.id filea pentecostalperspective jurnal teologi oktober 2018 e - in d - o a n i e

76

suatu finitum capax infiniti, keterbatasan yang mampu

mencandra apa yang tak terbatas.

Hemat saya, GK memiliki basis operasional yang

nyaris sama dengan zeitgeist ini, bahwa transendesi

Allah itu dialami, dan pengalaman itu lantas dijadikan

datum dan pengetahuan. Pengetahuan model GK

adalah pengetahuan kesaksian, bukan pengetahuan

sistematik, hal mana terkait dengan poin berikut.

2] Modifikasi Makna Wahyu

Bagi saya GK tak hanya menimba dari mata air

romantisisme, ia juga mengambil elemen-elemen dari

tradisi supernaturalisme, namun disini dapat dikatakan

bahwa GK adalah suatu gerakan subversif, lantaran ia

memisakan diri dari tradisi supernaturalisme abad

pertengahan, untuk lantas menciptakan pemahaman

baru perihal “wahyu” yang bersifat personal, arbitrer

dan kreatif, seturut ciri inspiratif dari romantisisme,

sebagaimana dilawankan dengan model wahyu yang

bersifat doktrinal dan historis.

Hal ini seturut penggambaran Karl Jaspers perihal

dua jenis iman atas pewahyuan: 1] Orthodox.

Pandangan ini meyakini bahwa wahyu itu bersifat tetap

dan permanen serta telah terjadi purna di masa lalu,

sesuatu yang membuatnya harus serta merta diterima,

tanpa ada perubahan dan pertanyaan, serta 2] Liberal.

Page 78: ASP NKRIS - pglii.or.id filea pentecostalperspective jurnal teologi oktober 2018 e - in d - o a n i e

77

Pewahyuan melibatkan perjumpaan misterius dengan

yang transenden, dan hal itu mengundang penyelidikan

lebih lanjut bagi penetrasi yang lebih dalam. [Dulles.

1992:276-277]

Wahyu personal berbasis perjumpaan ini

ditujukan untuk menembus misteri Allah yang selama

ini didekati oleh teologi, sekaligus merupa ruang kudus

dalam GK. Titik ekstrem dalam pokok ini adalah bahwa

para tokoh GK menjadi “perupa transendental”, artinya

mereka yang terus menghasilkan gambaran-gambaran

“baru perihal Allah. Disini kita harus menyadari bahwa

setiap karya seni dapat dibedakan dalam mutu, pertama

karya seni tinggi [fine art] dan kedua kitsch. Fine art

dihasilkan oleh seniman [artist], sedang kitsch dibuat

oleh tukang [handyman].

3] Strategi Mnemonik

Semua negara, kesatuan militer atau lembaga

menganggap penting narasi asal-usul [origin] mereka,

dari asal-usul itulah identitas tercipta, sekalian beserta

nilai-nilai tertentu yang menjadi kode budayanya. Asal-

usul ini kemudian akan dijadikan narasi agung, dan

dilakukan repetisi atasnya. Repetisi itu menciptakan

sejenis ikatan antara teks dengan komunitas

pengingatnya.

Page 79: ASP NKRIS - pglii.or.id filea pentecostalperspective jurnal teologi oktober 2018 e - in d - o a n i e

78

Hal inilah yang menurut Zerubavel diistilahkan

sebagai “tradisi mnemonik” [Zerubavel. 2003:4].

Pengingatan itu bukan sekedar aktifitas mental untuk

mereproduksi kejadian di masa silam, namun ia

difungsikan untuk menata kenangan tersebut lewat

seleksi mnemonik. Apa yang dipilih untuk diingat

memiliki signifikasi dengan peristiwa-peristiwa lainnya

[Zerubavel: ibid:108]. Hal mana menciptakan

“kepadatan mnemonik” dalam sejarah. Lewat

kepadatan ini, masing-masing anggota komunitas

pengingat melakukan peleburan kisah hidupnya

[Zerubavel. Ibid.3].

Dari sejak dahulu kala ada kaitan erat antara

pengingatan dan spiritualitas. Cara sufis terkenal asal

Persia Syekh ‘Abd Allah al-ansari al-Herat (1006-1089)

dalam mendekati keilahian adalah dengan metode

penghafalan ratusan aforisma, maksim dan ajaran suci

dengan ekspresi yang emosional [Sviri &

Farhadi.2003:70].

Sufis Persia lainnya ahl Ibn Abdullah Tustari

[w.869] memandang waktu sebagai sebuah busur yang

tertancap dalam keabadian di awal dan di akhirnya,

dan mencapai puncaknya dalam ingatan sang mistikus.

Sementara Bayazid Bistami [w.848] memandang

momen ekstatis serupa dengan jam pasir yang dua

ruang koniknya, waktu dan keabadian, terhubung pada

Page 80: ASP NKRIS - pglii.or.id filea pentecostalperspective jurnal teologi oktober 2018 e - in d - o a n i e

79

leher sempit. Leher itu adalah kesadaran sang mistikus.

[Bowering. 2003:33-35].

Kaum kharismatik selalu mengembalikan segala

kejadian kepada peristiwa pentakostal dalam KPR 2:3.

Dengan mengidentifiksasikan diri kepada kejadian ini,

mereka merasa sebagai bagian dari komunitas

Yerusalem tersebut, dan melaluinya mereka terhubung

dengan mysterium yang nyata secara historis, dapat

dialami dan membawa transformasi hidup sehari-hari.

Momen ekstase dalam ibadah baik personal maupun

korporat, makin mengafirmasi perasaan mnemonik-

transendental ini, sensus numinis dalam bahasa Otto.

Singkatnya hal ini adalah partisipasi ke dalam the

unknown yang ter-akses bukan melalui kognisi,

melainkan rekognisi.

Implikasi Fusi The Wholly Other dan Pragmatisme

Hemat saya secara ringkas terdapat 4 dimensi

implikasi fusi supernaturalisme dan pragmatisme dalam

GK, yakni:

1] Secara Konseptual. Terdapat hubungan checks and

balances. Segala isi “wahyu pribadi” yang di-klaim

diterima oleh tokoh GK, ataupun anggota GK, akan

diuji dalam dimensi kegunaan konkretnya di tingkat

jemaat. Maka hal ini akan mengendalikan segala

Page 81: ASP NKRIS - pglii.or.id filea pentecostalperspective jurnal teologi oktober 2018 e - in d - o a n i e

80

bentuk klaim bombastik-fantastik yang keluar dari

delusi dan subyektifisme absolut.

2] Secara Kelembagaan. Terdapat ketegangan antara

manajemen organisasi berbasis kehendak pribadi tokoh

GK dengan tuntutan yang makin kuat perihal

transparansi organisasi seturut regulasi nasional,

misalnya UU Yayasan atau juga Charity Law. Hemat

saya gereja kharismatik modern akan makin

memperkuat kredibilitasnya, apabila organisasinya

diatur, misalnya berbasis OECD Principles of Corporate

Governance khususnya yang berkaitan dengan keadaan

keuangan, kinerja serta tata pemerintahan organisasi.

3] Secara Kepemimpinan. Secara internal, tokoh GK

akan menjadi figur otoriter-tiranikal, karena “akses” ke

semesta mysterium-nya yang dihormati semua pihak,

namun demikian secara eksternal, ia justru menjadi

fleksibel, khususnya dalam konteks budaya setempat

maupun hubungannya dengan tokoh dalam lapangan

yang sama. Hal ini karena adaptasi dengan konteks

dapat membawa manfaat bagi organisasi/gereja yang

dipimpinnya.

4] Secara Kejemaatan. Jemaat hidup dalam “realisme

yang berpengharapan”, selain itu terdapat shared

identity yang cukup kuat, hal mana merupakan derivasi

dari “wahyu khusus” yang diterima sang pemimpin.

Namun sebaliknya dengan ter-ekspose nya ajaran

Page 82: ASP NKRIS - pglii.or.id filea pentecostalperspective jurnal teologi oktober 2018 e - in d - o a n i e

81

pemimpin GK ke dunia luar, maka publik dapat

memberi opini dan bahkan koreksi atas ujaran-

ujarannya. Feedback dari dunia luar, entah yang negatif

atau konstruktif, dapat menjadi sejenis check atas sense

of identity yang dimiliki jemaat.

Pasca-sekulerisme. Tantangan & Kemungkinan.

Secara ringkas pasca-sekulerisme adalah

fenomena sosial yang lahir dari kritik atas proses

modernisasi. Modernisasi dimaknai sebagai sekularisasi

yang bertumpu pada munculnya masyarakat birokratis

dan menempatkan agama sebagai musuh rasionalisme.

Namun demikian ternyata modernisme sedemikian

dapat menicptakan implikasi-implikasi yang tak

dikehendaki, dan disana masyarakat sadar bahwa

agama memiliki peran sebagai pembimbing moral dan

pemandu etis, dan peran itu tak bisa ditinggalkan.

Filsuf ateis Inggris Simon Critchley bertanya “Can

politics become effective as a way of shaping,

motivating, and mobilizing a people...without some

sort of dimension-if not foundation-that is religious...?”,

untuknya ia menjawab “I do not think so” [Critchley.

2012:24]. Jurgen Habermas mengakui bahwa “the

political community officially recognizes that religious

utterance can make a meaningful contribution to

clarifying controversial questions of principle”

[Habermas: 2010:22].

Page 83: ASP NKRIS - pglii.or.id filea pentecostalperspective jurnal teologi oktober 2018 e - in d - o a n i e

82

Masuknya kembali agama dalam modernisme

mewajibkan mereka menampilkan “nilai tambah

korektif-komunikatif” atas masyarakat sekuler, dan hal

ini serta merta menjadi sekaligus tantangan bagi GK

untuk berada dalam tataran yang sama. Menurut saya

pasca-sekulerisme menampilkan 3 tantangan, yakni:

1] Tantangan Islam

Modernisme yang bertumpu pada antinomi

kehidupan privat-kehidupan publik dan rasio-wahyu

[seperti yang selalu ditulis Rorty], dibantah oleh

pemikir Islam Eric Walberg. Ia berkata revolusi Iran

menciptakan persenyawaan politik dan agama secara

apik, sesuatu yang juga dipuji oleh Michel Foucault

dengan meyakini efeknya sebagai “much stronger than

the effect of giving [revolution] a Marxist, Leninist, or

Maoist character”[Weiner. 2013324]. Islam lanjut

Weiner “recognizes no demarcation between the

spiritual and the temporal realms” [Weiner, ibid. 321]

Jika GK adalah sebentuk “supernaturalisme

pragmatis”, maka justru inilah yang dapat menantang

tauhidisme Islam. Banyak tokoh GK adalah profesional

di marketplace, dan walau hal ini banyak dikritik dari

sisi wawasan teologi, namun bersenyawanya yang

sekuler dan yang spiritual dalam GK membawa

alternatif yang seimbang dengan tauhidisme Islam.

Page 84: ASP NKRIS - pglii.or.id filea pentecostalperspective jurnal teologi oktober 2018 e - in d - o a n i e

83

Fitur terkuat Islam dalam masa pasca-sekulerisme

adalah sifatnya yang anti-imperialis [sehingga ia dapat

bersanding dengan gerakan kiri sekuler], dan anti-

kapitalisme yang diyakini menjadi akar dari krisis

finansiil global lantaran kapitalisme bertumpu pada

eksploitasi [Weiner. Ibid. 331]. Disini GK dengan

organisasi kaum awamnya seperti FGBMFI dapat

menjadi wahana terciptanya pengusaha-pengusaha etis

yang menghargai kehidupan. Adalah tantangan bagi

GK untuk secara konkret melahirkan pengusaha

sedemikian.

2] Tantangan Buddhisme

Menurut Dollimore budaya barat terhilang dalam

dialektika nafsu dan kematian [desire and death], kedua

hal ini saling mengandaikan. Apa yang

menghubungkan nafsu dan kematian adalah kefanaan

[mutability]. W.B. Yeats berkata “Man is in love, and

loves what vanishes” [Dollimore. 1998:xiii]. Dilain sisi

nafsu adalah suatu pergerakan, dan lantaran ia selalu

bergerak, maka ia sendiri yang menghalangi

pemenuhannya. Maka dalam Sonnet 177, Shakespeare

berkata “desire is death” [Dollimore. Ibid. xvii]

Disinilah Buddhisme memiliki daya tariknya,

dalam keadaan letihnya manusia modern terjebak

dalam dialektika desire/death, sang Buddha

menawarkan cara agar manusia bisa terlepas dari

Page 85: ASP NKRIS - pglii.or.id filea pentecostalperspective jurnal teologi oktober 2018 e - in d - o a n i e

84

kemelekatan [upadana] yang ditengerainya sebagai

akar segala dukkha. Dengan mendasarkan emansipasi

tidak pada sosok ilahi, melainkan kepada manusia itu

sendiri, Buddhisme dianggap sangat humanis dan

relevan.

Saya melihat ciri pietisme GK yang tidak

mengandalkan akal, namun hanya kepercayaan akan

welas asih dari the wholly other yang diyakini memiliki

dampak konkret bagi individu, hal itu dapat menjadi

alternatif dari fitur yang sangat menarik dari Zen &

Buddhisme. Namun tepat di titik ini terdapat pula

tantangan yang sangat sehat dari Buddhisme, yakni

bilamana gaya hidup tokoh-tokoh GK mencerminkan

pengendalian diri, bahkan upadana?

Teolog protestan liberal asal Prancis, Auguste

Sabatier berkata “the object of the revelation of God

can only be God Himself, and if a definition must be

given of it, it may be said to consist of the creation, the

purification, and the progressive clearness of the

consciousness of God in man” [Dulles. Ibid. 72]. Jika

tokoh GK meng-klaim memiliki akses ke surga dan

menerima “wahyu khusus”, maka mustinya hidupnya

nampak mengalami transformasi konkret berkelanjutan

[baca: integritas moral].

3] Tantangan Sekuler

Page 86: ASP NKRIS - pglii.or.id filea pentecostalperspective jurnal teologi oktober 2018 e - in d - o a n i e

85

Dalam esai terkenalnya “Religion as

Conversation-stopper” [1994], Rorty mendalilkan

bahwa komunitas demokratis-politis tak bisa hidup jika

penganut agama tidak menyimpan keyakinannya bagi

dirinya sendiri, dan tak membawanya ke ruang publik.

Hal ini terjadi lantaran agama adalah “conversation

stopper” [1999:171]. Komunitas demokratis

menyelenggarakan hidupnya lewat pembuatan

kebijakan publik, dan bahasa serta logika agama tak

memiliki relevansi disana.

Namun bagi saya hal ini mereduksi totalitas

kehidupan masyarakat, tidak semua aspek kehidupan

bersangkut dengan proses regulasi, namun juga

apresiasi. Kekaguman atas alam merupakan sesuatu

yang selalu ada sejak purbakala. Paul Davies adalah

seorang astrofisikawan yang membuka ruang bagi

adanya “allah” dalam bentuk “timeless-something

outside of time, indeed space, altogether...something

like that which underpins or guarantees this

mathematical law-like order in nature” [Davies.

1996:146 & 150]. Sedang Ursula Goodman, seorang

cell biologist dalam bukunya The Sacred Depth of

Nature berkata bahwa ia merayakan “covenant with

mystery” yang bersangkut dengan asal mula kehidupan

[Grigg. 2006:40]. GK dengan kreatifitas worship-nya

dapat memfasilitasi kehausan manusia modern atas the

wonder of mystery. Tantangan bagi GK adalah

Page 87: ASP NKRIS - pglii.or.id filea pentecostalperspective jurnal teologi oktober 2018 e - in d - o a n i e

86

mengartikulasikan kekaguman dalam nalar dan batin

manusia modern dalam puji-pujiannya.

Penutup

Senja adalah garis batas antara siang dan malam,

ia merupakan transisi yang menghadirkan segalanya,

berkas cahaya siang hari, dan permulaan bintang di

langit, di dalamnya hadir sisa matahari dan awal

kelahiran bulan, olehnya senja adalah oikos kosmos, ia

bukan hanya mediasi dua dimensi waktu, melainkan

juga wadah benda-benda langit penanda waktu. Ia

bagaikan simulakrum ruang-waktu, miniatur dari

keserentakan keduanya dalam big bang. Maka tak

heran ada sesuatu tentang senja yang tak pernah habis

menggugah hati dan pikiran manusia, rahasianya tak

pernah terkuras. Singkatnya senja adalah regularitas

yang selalu hadir dalam natalitas/kebaruan.

Fenomena kharismatik adalah fenomena multi-

dimensi, namun utamanya ia adalah kesaksian atas

pengalaman akan yang transenden, ia selalu

merupakan data pengalaman yang mendahului segala

perenungan. Pengalaman ini menjadi suatu fenomena

unik, lantaran ia bukan kejadian acak, melainkan ia

merupakan sesuatu yang diyakini, dinanti dan dihidupi.

Ia adalah kejadian iman yang tak pernah berhenti.

Page 88: ASP NKRIS - pglii.or.id filea pentecostalperspective jurnal teologi oktober 2018 e - in d - o a n i e

87

Sementara sejarah teologi seringkali

mempertentangan dua hal ini, tradisi dan keterarahan

batin, akal dan gairah, iman dan bukti, siang dan

malam. Fenomena kharismatik adalah periode senja

dalam sejarah ke-Kristenan, ia berdiri diantara dua

kemungkinan; pertama terang pagi dari nalar analitis,

serta kedua malam pekat dari emosionalisme dan

subyektifitas. GK harus menjadi senja yang

menampilkan di horizon baik matahari dan bulan. GK

musti menjadi etalase segala kekayaaan ke-Kristenan,

segala benda langit itu, walau dalam penampang

penuh bayang senja.

Page 89: ASP NKRIS - pglii.or.id filea pentecostalperspective jurnal teologi oktober 2018 e - in d - o a n i e

88

DAFTAR PUSTAKA:

Abrams, M.H. Natural Supernaturalism. Tradition and

Revolution in Romantic Literature. W.W. Norton &

Company. New York. 1973.

Bellah, Robert N, Richard Madsen, William M. Sullivan, Ann

Swidler & Steven M. Tipton. Habit of the Heart.

Individualism and Commitment in American Life.

Perrenial Library. New York. 1986.

Bowering, Gerhard. Sufisme Persia dan Gagasan Tentang

Waktu. Pustaka Sufi. Yogyakarta. 2003

Critchley, Simon. The Faith of the Faithless. Experiments in

Political Theology. Verso. London. 2012.

Davies, Paul. The Big Questions. In Conversation with

Phillip Adams. Penguin Books. Victoria. 1996

Dollimore, Jonathan. Death, Desire and Loss In Western

Culture. Penguin Books. London. 1999.

Dulles, Avery. Models of Revelation. Orbis Books. New

York. 1992

Gooch, Todd A. Numinous and Modernity. An Interpretation

of Rudolf Otto’s Philosophy of Religion. Walter de

Gruyter. Berlin. 2000.

Grigg, Richard. Gods After God. An Introduction to

Contemporary Radical Theologies. State University of

New York Press. Albany. 2006.

Page 90: ASP NKRIS - pglii.or.id filea pentecostalperspective jurnal teologi oktober 2018 e - in d - o a n i e

89

Habermas, Jurgen et al. An Awareness of What Is Missing.

Polity. Cambridge. 2010.

Kolakowski, Leszek. Religion. Fontana Paperbacks.

Glasgow. 1982.

MacCulloch, Diarmaid. Christianity. The First Three

Thousand Years. Penguin Books. New York. 2009.

OECD Principles of Corporate Governance. OECD, Paris.

2004.

Rorty, Richard. Pragmatism, Relativism, and Irrationalism.

Dalam Richard Rorty. Consequences of Pragmatism.

University of Minnesota Press. Minneapolis. 1982.

Rorty, Richard. Religious Faith, Intellectual Responsibility

and Romance. Dalam Richard Rorty. Philosophy and

Social Hope. Penguin Books. London. 1999.

Rorty, Richard. Religion As Conversation-Stopper. Dalam

Richard Rorty. Philosophy and Social Hope. Penguin

Books. London. 1999.

Riley, Woodbridge. American Thought. From Puritanism to

Pragmatism and Beyond. Peter Smith.Massachussets.

1959.

Sviri, Sara & A.G. Ravan Farhadi. Tirmizi dan Ansari: Kajian

Atas Malamati dan Tafsir Mnemonik. Pustaka Sufi.

Yogyakarta. 2003.

Page 91: ASP NKRIS - pglii.or.id filea pentecostalperspective jurnal teologi oktober 2018 e - in d - o a n i e

90

Weiman, Henry Nelson & Bernard Eugene Meland.

American Philosophies of Religion. Willett, Clark &

Company. Chicago. 1936.

Walberg, Eric. From Postmodernism to Postsecularism. Re-

emerging Islamic Civilization. Clarity Press. Atlanta.

2013.

West, Cornel. The American Evasion of Philosophy. A

Genealogy of Pragmatism. The University of

Wisconsin Press. Wisconsin. 1989.

Zerubavel, Eviatar. Time Maps. Collective Memory and the

Social Shape of the Past. The University of Chicago

Press. Chicago. 2003.

Page 92: ASP NKRIS - pglii.or.id filea pentecostalperspective jurnal teologi oktober 2018 e - in d - o a n i e

91

SENJAKALA TEOLOGI PENTAKOSTA

OLEH: SONNY EI ZALUCHU

Abstrak: di dalam tulisan hendak meyakinkan

bahwa di dalam masa transisi antara era modern dan

postmodern, teologi memiliki kesempatan untuk

mengartikulasikan cara-cara baru dan keyakinan

Kristen dari realitas Allah yang transenden-imanen.

Penulis artikel ini menawarkan theology platform based

yaitu sebuah strategi yang dapat dimanfaatkan teologi

Pentakosta dalam menghadapi karakter great shifting

yaitu melalui menjunjung tinggi kuasa dan kehadiran

Roh Kudus di dalam keterbukaannya dalam cara

penghayatan dan merespon isu-isu yang progresif dan

mutatif. Tulisan ini dapat dijadikan trigger bagi

pencaharian geliat berteologi pentakosta.

Kata-kata kunci: Teologi, Teologi Pentakosta,

Pentacostalism, Platform

Pendahuluan

alah satu diantara sekian banyak aliran teologi

yang mengalami krisis di dalam bertindak dan

meresponi perubahan zaman adalah Teologi

Pentakosta. Mengapa demikian? Pendapat berikut ini

dapat menjadi sebuah jawaban menarik. Menurut

Archer, problem di dalam eksistensi Teologi Pentakosta

atau Pentakostalisme adalah tampilan sajian dalam

bentuk primitif dan dianggap hanya sebagai gerakan

kebangunan rohani yang berada di dalam jalur

S

Page 93: ASP NKRIS - pglii.or.id filea pentecostalperspective jurnal teologi oktober 2018 e - in d - o a n i e

92

apokaliptik. Menurutnya, sebagai sebuah gerakan

keagamaan, Pentakostalisme kuat secara spiritualitas

tetapi tidak memiliki kemampuan intelektual dan

kecanggihan akademik yang diperlukan untuk

membuatnya dapat diterima di dalam lingkup teologi

yang lebih luas.102

Salah satu contohnya adalah minimnya peran

teologis Pentakostalisme di dalam meresponi isu-isu

humanitas yang sekarang menglobal di dunia. Ramalan

Kant, sewaktu menggabungkan kerjasama rasionalisme

dan empirisme dalam membentuk pengetahuan,

berdampak di dalam penyusunan konstruksi teologis

pada umumnya dan khususnya Pentakostalisme.

Rasionalisme dan empirisme dicurigai sebagai serangan

terhadap bangun teologi tradisi sebagaimana selama ini

dikenali sebagai jatidiri Pentakostalisme.103

Braaten and Jenson dengan tegas mengatakan

bahwa realitas bagi teologi adalah menggunakan

humanitas sebagai pintu masuk untuk membangun

Kerajaan Allah dan manusia memiliki hak untuk

bertindak bebas dalam mewujudkan maksud

102 Kenneth J. Archer, “A Pentecostal Way of Doing

Theology: Method and Manner,” International Journal of

Systematic Theology 9, no. 3 (2007): 301–14,

https://doi.org/10.1111/j.1468-2400.2006.00244.x. 103 D. Lyle Dabney, “Saul’s Armor: The Problem and the

Promise of Pentecostal Theology Today,” Pneuma 23, no. 1–2

(2001): 115–46, https://doi.org/10.1163/157007401X00113.

Page 94: ASP NKRIS - pglii.or.id filea pentecostalperspective jurnal teologi oktober 2018 e - in d - o a n i e

93

tersebut.104 Pentakostalisme ditantang untuk melakukan

hal yang sama, membangun kerajaan Allah di bumi.

Kenyataannya, para pemain yang terlihat dari tanggap

kemanusiaan adalah politik, politisi, para pemimpin

negara dan pekerja kemanusiaan dan kelompok ini

justru tidak pernah bersinggungan dengan pemahaman

teologis. Gereja, dan para teolog, bahkan hampir tidak

terdengar melakukan sesuatu menghadapi krisis

kemanusiaan yang semakin menjadi fenomena global.

Teologi seolah tidak berdaya melakukan sesuatu dan

seperti terkunci di dalam dinding tinggi keangkuhan

bersama Tuhan. Aquinas pernah mengatakan bahwa

teologi diajar oleh Tuhan, mengajarkan tentang Tuhan

dan membawa kepada Tuhan.105 Jika kenyataannya

teologi tidak melakukan apapun di dalam humanitas

dan menghadirkan Tuhan didalamnya, maka pendapat

Aquinas tersebut patut didefinisikan ulang, khususnya

dalam mengaplikasikan kerangka ‘Kerajaan Allah’ di

dunia ini di tengah-tengah umat manusia.

Sesungguhnya, Matius dengan gamblang telah

memberitahu siapa kita dengan mengutip perkataan

Yesus sendiri. “Kamu adalah garam dunia. Jika garam

itu menjadi tawar, dengan apakah ia diasinkan? Tidak

ada lagi gunanya selain dibuang dan diinjak

orang. Kamu adalah terang dunia. Kota yang terletak di

104 Carl E. Braaten and Robert W. Jenson, eds., A Map of

Twentieth Century Theology, 1st ed. (Minneapolis: Fortress Press,

1995), 16. 105 Sinclair B. Ferguson, David F. Wright, and J.I Packer,

eds., New Dictionary of Theology, 1st ed. (Malang: Literatur SAAT,

2015), 265.

Page 95: ASP NKRIS - pglii.or.id filea pentecostalperspective jurnal teologi oktober 2018 e - in d - o a n i e

94

atas gunung tidak mungkin tersembunyi” (Matius 5:13-

14). Disitu Matius sengaja menggunakan kata kerja

aktif-sekarang (present active) este) yang menjelaskan

eksistensi kita di tengah dunia, yang hadir sebagai

garam dan terang. Garam membawa rasa dan terang

menghadirkan cahaya. Untuk bisa dirasakan maka

garam perlu disebar, sementara itu, cahaya harus

berada di tempat yang tinggi supaya menerangi

sekitarnya. Persoalannya hakikat tersebut tidak

menyentuh dunia. Nordlander mengatakan bahwa

Pentakostalisme tradisional tidak pernah berpikir

tentang hal-hal praktis.106 Disitu masalahnya.

Ketidakpedulian teologis terhadap humanitas dan isu-

isu dunia lainnya memberitahu batasan dari Teologi

Pentakostalisme itu sendiri. Ada tiga penyebabnya.

Pertama, Pentakostalisme memang tidak memiliki

kepedulian kecuali segala hal yang bersifat rohani dan

berurusan dengan Tuhan semata. Pandangan ini

tergolong dalam transendensi radikal. Teologi

mengambil jarak dengan dunia, dan hanya

membangun kerajaan Allah di lingkungan yang

dianggapnya rohani secara eksklusif. Berdoa dan

mempelajari firman, mengkhotbahkannya, dianggap

jauh lebih penting daripada tindakan di tengah

masyarakat. Kedua, Pentakostalisme gagal memahami

aktualisasi ketuhanan secara sosial, politik dalam

mensosialisasikan diri sebagai terang dan garam dunia.

Pandangan ini terjadi karena kuatnya fundamentalisme

106 Andreas Nordlander, “Pentecostal Theology: A Theology

of Encounter,” Reviews in Religion and Theology 17, no. 4 (2010):

614–17.

Page 96: ASP NKRIS - pglii.or.id filea pentecostalperspective jurnal teologi oktober 2018 e - in d - o a n i e

95

mencengkeram paradigma para teolog sehingga gagal

menyesuaikan diri terhadap perubahan zaman yang

terus terjadi. Kedua poin ini pada akhirnya bertumpu

pada kesimpulan akhir: Gereja telah semakin berjarak

dari dunia yang seharusnya menjadi tanggung-

jawabnya untuk digarami dan diterangi. Jarak ini

semakin membentang luas, ketika doa berbahasa roh

dianggap cukup sebagai tanggap sosial perubahan

zaman. Dalam pandangan antropologi agama, hal

semacam itu dianggap sebagai praktek rumit

bermeditasi untuk membuat Tuhan hadir dan bertindak,

padahal sebetulnya Dia sangat dekat.107

Fundamentalisme dan Rasionalitas Universal

Persoalan yang paling utama dalam

Pentakostalisme adalah sikap fundamental. Hal ini

menjadi semacam tali yang mengikat tangan dan kaki

para teolog sehingga tidak bebas berkarya untuk

membangun ‘Kerajaan Allah’ di dalam dunia nyata atau

di dalam melakukan tanggap sosial atas problem

kemanusiaan. Paham ini tidak dapat dilepaskan dari

sejarah munculnya Pentakostalisme itu sendiri.

Pentakosta muncul sebagai hasil perjumpaan

dengan kuasa dengan Allah melalui karya Roh

107 Joel Robbins, “Keeping God’s Distance: Sacrifice,

Possession, and the Problem of Religious Mediation,” American

Ethnologist 44, no. 3 (2017): 464–75,

https://doi.org/10.1111/amet.12522.

Page 97: ASP NKRIS - pglii.or.id filea pentecostalperspective jurnal teologi oktober 2018 e - in d - o a n i e

96

Kudus.108 Hal ini membentuk nilai-nilai dan sikap hidup

beragama yang baru karena sebagai hasil pertobatan.

Secara normatif Pentakostalisme kembali kepada iman

Kristen Alkitabiah yang ditandai dengan baptisan Roh

Kudus sebagai titik awal pertobatan dan hadirnya

kemampuan berbahasa lidah secara supernatural.109

Sebagaimana kehidupan kristen di zaman para rasul,

Talumewo mengatakan bahwa tanda berbahasa roh ini,

bukanlah sesuatu yang baru di tengah tata cara

beragama yang sarat liturgis sehingga tidak boleh

dipandang sebagai inovasi agama yang membuatnya

eksklusif. Fenomena yang sama telah dialami oleh

komunitas mula-mula di zaman para rasul di

Yerusalem.110

Di dalam bukunya A Handbook of Contemporary

Theology, Smith memaparkan bagaimana gerakan ini

dipelopori oleh Charles Parham di awal tahun 1900an

di Topeka Kansas, yang kemudian diteruskan oleh

muridnya dari sebuah kelompok yang sebetulnya

menentang bahasa lidah sebagai berkat kedua,

Holiness Black, yang bernama William J. Seymour.

108 Adam Dodds, “The Mission of the Spirit and the Mission

of the Church: Towards a Trinitarian Missiology.,” Evangelical

Review of Theology 35, no. 3 (2011): 209–26,

http://search.ebscohost.com/login.aspx?direct=true&db=afh&AN=6

4152211&site=ehost-live&scope=site. 109 Allan Anderson, “The Origins of Pentecostalism and Its

Global Spread in the Early Twentieth Century,” Transformation: An

International Journal of Holistic Mission Studies 22, no. 3 (2005):

175–85, https://doi.org/10.1177/026537880502200307. 110 Steven Talumewo, Sejarah Gerakan Pentakosta

(Yogyakarta: Andi Offset, 2008), 18.

Page 98: ASP NKRIS - pglii.or.id filea pentecostalperspective jurnal teologi oktober 2018 e - in d - o a n i e

97

Setelah terusir dari kelompok itu, Seymour

melaksanakan ibadahnya di sebuah gudang tua di

Azusa 312 Los Angeles111 dan gerakan ini kemudian

mendunia setelah terlebih dahulu membawa

kebangunan rohani di Amerika Utara. 112 Catatan

tentang pertemuan di Azusa adalah sebagai berikut:

setan-setan diusir, orang sakit disembuhkan, orang-

orang mengalami pertobatan dan keselamatan,

dipulihkan dan dibaptis dalam Roh Kudus dan

kuasaNya, terbaring di dalam hadirat Tuhan dan

lawatan demi lawatan terjadi.113

Persoalan yang kemudian terjadi setelah gerakan

ini eksis di seluruh dunia adalah sikap fundamentalisme

skeptik. Ada dua ironi yang terjadi. Ironi pertama,

Pentakostalisme mencurigai setiap gerakan baru

kebangunan rohani dan menganggapnya sebagai

sebuah kesesatan, baik dari segi tata cara terlebih

dalam hal doktrin. Hal inilah yang menjadi katalis

berkembangnya gerakan karismatik di dunia dan

menggeser supremasi Teologi Pentakosta hingga

dewasa ini. Kedua, terjadi kesenjangan di dalam

gerakan Pentakosta di generasi kedua dan ketiga.

Sementara generasi pertama terbiasa dengan

pengalaman bersama Roh Kudus, zaman yang telah

111 Edith Blumhofer, “Azusa Street Revival,” The Christian

Century 123, no. 5 (2006): 20–22,

http://search.proquest.com/docview/217241012?accountid=13678

1. 112 David L. Smith, A Handbook of Contemporary Theology

(Grand Rapids, Michigan: Baker Books, 2000), 41–44. 113 Smith, 43.

Page 99: ASP NKRIS - pglii.or.id filea pentecostalperspective jurnal teologi oktober 2018 e - in d - o a n i e

98

berubah menghadirkan banyak sekali tantangan-

tantangan baru, sehingga generasi berikutnya dari

Pentakostalisme, tidak mampu melakukan penyesuaian

doktrin dan ajaran, dan mulai keluar dari cengkraman

sektarian. ‘Bapa mencurigai anak’ telah terjadi di dalam

gerakan ini. Wagner menguatkan kesimpulan ini

melalui penelitiannya, bahwa pentakosta generasi

kedua dan ketiga telah menjadi terbiasa untuk melihat

gerakan mereka sebagai sebuah gerakan restorasionis-

sektarian. Identitas ini berakar pada awal

Pentakostalisme dan menciptakan rasa diskontinuitas

antara Pentakosta awal dan Kristen dalam tradisi arus

utama. Pandangan sektarian dan restorasi dari identitas

dan pengalaman Pentakosta menyulitkan Pentakosta

untuk menerima hadirnya gerakan lain dan agenda

yang berbeda dari mereka.114

Jebakan fundamentalisme adalah kebenaran diri

sendiri dan keengganan untuk melakukan percakapan

interdisipliner kepada mahzab teologi lainnya.115

Termasuk di dalamnya sikap tidak mau menerima

114 Benjamin A Wagner, “‘Pentecost Outside Pentecost’:

Classical Pentecostal Responses to the Charismatic Renewal

Movement in the United States, 1960--1982,” ProQuest

Dissertations and Theses 2009,

https://doi.org/10.1017/CBO9781107415324.004. 115 Michael O. Emerson and David Hartman, “The Rise of

Religious Fundamentalism,” Annual Review of Sociology 32, no. 1

(2006): 127–44,

https://doi.org/10.1146/annurev.soc.32.061604.123141.

Page 100: ASP NKRIS - pglii.or.id filea pentecostalperspective jurnal teologi oktober 2018 e - in d - o a n i e

99

perubahan dan mencurigai modernisme.116 Pentakosta

memandang dirinya sebagai pemilik kebenaran satu-

satunya, yang mendasar, yang universal dan tidak

menerima kebenaran perspektif (platform).

Pentakostalisme dan ajarannya, meminjam istilah

Müller, telah terjebak di dalam paham rasionalitas

universal. Paham ini berkembang dari pemahaman

fundamental tentang realitas, yang mengambil posisi

bahwa 'pandangan mata Tuhan' telah tersedia (artinya

tidak ada lagi yang baru) dan hanya terdapat satu

kebenaran teoretis yang eksis di dalamnya. Jika tesis

Müller ini diterapkan maka percakapan interdisipliner

di dalam dialog teologis yang bertujuan mencari

kesepahaman, menjadi sangat sulit dan bahkan tidak

mungkin dilakukan, karena pandangan diri sendiri

diterima begitu saja dan dianggap sebagai kebenaran.117

Great Shifting

Harapan Menzies terhadap kelangsungan hidup

Pentakosta patut dipikirkan. Dia berkata orang-orang

Pentakosta perlu menyerukan dan melakukan reformasi

baru, baik secara teologis maupun di dalam

mengkomunikasikan warisan teologis itu kepada

116 Peter Herriot, Religious Fundamentalism: Global, Local

and Personal, Religious Fundamentalism: Global, Local and

Personal, 2008, https://doi.org/10.4324/9780203929872. 117 Julian C. Müller, “Practical Theology as Part of the

Landscape of Social Sciences and Humanities – A Transversal

Perspective,” HTS Teologiese Studies / Theological Studies 69, no.

2 (2013), https://doi.org/10.4102/hts.v69i2.1299.

Page 101: ASP NKRIS - pglii.or.id filea pentecostalperspective jurnal teologi oktober 2018 e - in d - o a n i e

100

gereja-gereja dan generasi.118 Hal ini hanya dapat

dilakukan dengan dua langkah praktis, membuka diri

dan melakukan pembaharuan. Kalau tidak, maka yang

terjadi adalah melawan perubahan zaman dengan cara

yang keras. Pilihannya adalah bertahan sekuat-kuatnya

atau mati.

Merosotnya perkembangan kekristenan di Eropa

dapat dijadikan studi kasus. Benua ini sedang

memperlihatkan transformasi. Dari kantong terbesar

kekristenan dunia, kini memperlihatkan tanda-tanda

kematian kekristenan. Lahan gereja beralih fungsi

menjadi tempat ibadah agama lain atau tempat bisnis.

Pertumbuhan orang Kristen yang melambat (rendahnya

kelahiran dan naiknya ateisme) dibarengi dengan

serbuan imigran dari Timur Tengah, membuat Eropa

berpotensi mengalami metamorfosis sosial, politik,

budaya dan terlebih sistem religi. Belum lagi faktor

katalis berupa krisis ekonomi dan ketidakstabilan

politik. Tudingan Lingga beralasan, mayoritas

penduduk Eropa mengubah kesenangan beribadah

dengan beribadah kepada kesenangan, yang dikontrol

kuat oleh budaya hedonisme, materialisme dan

sekularisme.119 Pentakostalisme mau tidak mau harus

118 Robert P. Menzies, Teologi Pentakosta - Pentecost This

Story Is Our Story (Malang: Gandum Mas, 2015). 119 Hotben Lingga, “Eropa Perlu Gerakan Reformasi Jilid II

Dan Kebangunan Rohani Baru,” Gramedia Post 22/2, 2015,

http://www.gramediapost.com/2015/02/22/eropa-perlu-gerakan-

reformasi-jilid-ii-dan-kebangunan-rohani-baru/.

Page 102: ASP NKRIS - pglii.or.id filea pentecostalperspective jurnal teologi oktober 2018 e - in d - o a n i e

101

berhadapan muka dengan globalisasi dan segala aliran

yang mengikutinya.120

Kemunduran seperti ini diidentifikasi oleh Kasali

sebagai kegagalan untuk mengalami perpindahan

(dimengerti sebagai sebuah migrasi satu arah). Dunia

berubah dan kita berada di dalam dunia yang berubah

tersebut. Keseimbangan baru di dunia, sedang

terbentuk di dalam wajah yang sama sekali berbeda

dari keseimbangan sebelumnya. Yang bisa dilakukan

adalah bergeser atau berdiam di tempat. Berubah atau

punah. Kasali mengamati bahwa orang, atau badan

atau bisnis atau apapun, yang mau belajar dan

berubah, akan mengalami evolusi untuk bertahan

hidup hingga tiba pada bentuknya platform yang

baru.121 Apabila teori Great Shifting ini diterapkan pada

perkembangan teologi Kristen umumnya dan

Pentakostalisme khususnya, maka dengan segera akan

terlihat adanya titik kelembaman yang menjelaskan

keengganan untuk berubah. Kekristenan di Eropa

adalah indikator awal dari gagalnya Teologi Kristen

bertahan di dalam gempuran kuat sekularisme,

individualisme dan kapitalisme. Demikian hanya yang

akan terjadi jika platform baru dunia yang sedang

terbentuk, ketika gagal ditanggapi secara arif, maka

120 Michael Wilkinson, “What’s ‘Global’ about Global

Pentecostalism?,” Journal of Pentecostal Theology, 2008,

https://doi.org/10.1163/174552508X331998. 121 Rhenald Kasali, The Great Shifting - Lebih Baik Pegang

Kendali Daripada Dikuasai (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama,

2018), xxix–xxxii.

Page 103: ASP NKRIS - pglii.or.id filea pentecostalperspective jurnal teologi oktober 2018 e - in d - o a n i e

102

kepunahan itu akan datang tanpa bisa ditunda lagi. Saat

disadari, semuanya sudah menjadi terlambat

Sesungguhnya, kekristenan adalah sebuah potensi

dunia saat ini. Sangat disayangkan jika potensi itu

punah karena kelembaman. Pew Research Center’s

melaporkan bahwa pada tahun 2010, terdapat 2,2

miliar orang Kristen di seluruh dunia, atau sekitar satu-

dari-tiga (31%) penduduk dunia. Ini menjadikan agama

Kristen sebagai agama terbesar di dunia. Sekitar

seperempat dari populasi Kristen global pada 2010

berada di Eropa (26%), seperempat di Amerika Latin

dan Karibia (25%) dan seperempat di sub-Sahara Afrika

(24%). Jumlah orang Kristen yang signifikan juga tinggal

di Asia dan Pasifik (13%) dan Amerika Utara (12%).

Kurang dari 1% tinggal di wilayah Timur Tengah-Afrika

Utara, di mana agama Kristen dimulai. 122

Donald Miller, Professor of Religion, dan Direktur

the School of Religion, University of Southern

California mengutip World Christian Encyclopedia

mengatakan saat ini (tahun 2016) terdapat peningkatan

eksponensial orang Pentakosta di seluruh dunia.

Dibandingkan 30 tahun lalu yang jumahnya hanya 6

persen dari jumlah penduduk dunia, saat ini terdapat

sebesar 500 juta atau 25% orang Pentakosta dari

penduduk dunia. Hal ini terjadi karena menurutnya,

Pentakostalisme merupakan gerakan Kristen yang

122 “Christian Population by Country,” Pew Research Center,

2018, http://www.globalreligiousfutures.org/religions/christians.

Page 104: ASP NKRIS - pglii.or.id filea pentecostalperspective jurnal teologi oktober 2018 e - in d - o a n i e

103

tumbuh paling cepat di dunia dan menempati urutan

kedua setelah katolik.123

Angka-angka statistik itu memang terlihat fantastis

sebagai hasil dari usaha pertumbuhan dan evangelisasi

di masa lalu. Kasali memperingatkan, segala hal yang

dibangun di masa lalu dan menjadi besar, dapat

tumbuh menjadi sebuah perangkap jika (dalam hal ini

Pentakostalisme) tidak siap mengarungi pergeseran

platform dan hanya bernostalgia pada keberhasilan

yang pernah dicapai.124 Success Trap adalah istilah

yang dipakai Kasali untuk menggambarkan bagaimana

keberhasilan itu membuat kita memiliki paradigma

bahwa keberhasilan pertumbuhan dengan metode

tertentu di masa lalu adalah jaminan sukses masa

depan.125 Prediksi yang dipaparkan oleh Pew Research

Center’s menuntut kewaspadaan kita bersama.

Distribusi Kristen regional diperkirakan akan berubah

secara signifikan pada tahun 2050. Eropa tidak lagi

diproyeksikan memiliki pluralitas umat Kristen dunia;

faktanya, hanya sekitar 16% orang Kristen dunia yang

123 Donald Miller and Erin O’Connell, “The New Face of

Global Christianity: The Emergence of ‘Progressive

Pentecostalism,’” Pew Research Center, 2006,

http://www.pewforum.org/2006/04/12/the-new-face-of-global-

christianity-the-emergence-of-progressive-pentecostalism/. 124 Kasali, The Great Shifting - Lebih Baik Pegang Kendali

Daripada Dikuasai, xliii. 125 Kasali, xlv.

Page 105: ASP NKRIS - pglii.or.id filea pentecostalperspective jurnal teologi oktober 2018 e - in d - o a n i e

104

diharapkan tinggal di Eropa pada 2050.126 Dan

Pentakostalisme menjadi bagian dari prediksi tersebut.

Roh Kudus Sebagai Theology Platform-Based

Theological Platform-Based adalah salah satu

strategi untuk menjadi relevan di dalam perubahan

dunia. Salah satu kunci di dalam usaha menjadi relevan

dengan dunia yang berubah adalah bagaimana

Pentakostalisme hadir menjadi sebuah institusi teologis

yang tidak lagi memiliki batas-batas pemisah

(boundaryless) dengan dunia, hanya karena doktrin dan

azas kepercayaan. Sikap eksklusifisme dan

sektarianisme yang secara tradisional memberi ciri bagi

gerakan Pentakosta klasik, sesungguhnya tidak mampu

bertahan menjadi trend yang relevan, di tengah zaman,

dimana informasi menjadi pusat segalanya. Kasali

mengatakan bahwa dunia baru yang kini terbentang di

depan kita adalah dunia digital dimana semua berjalan

dalam sebuah networking yang punya banyak wajah

(multisided).127 Daripada berjarak dengan gerakan

karismatik (dan aliran teologi lainnya) dan

menjadikannya kompetitor, lebih baik berkolaborasi

dalam sebuah networking untuk membangun kerajaan

Allah di bumi. Ini saatnya produk teologi yang

mempertahankan doktrin sebagai kebenaran universal

digeser ke dalam platform baru, bagaimana

menggunakan semua azas kepercayaan itu

126 “Christian Population by Country.” 127 Kasali, The Great Shifting - Lebih Baik Pegang Kendali

Daripada Dikuasai, 33.

Page 106: ASP NKRIS - pglii.or.id filea pentecostalperspective jurnal teologi oktober 2018 e - in d - o a n i e

105

berkolaborasi dengan azas kepercayaan aliran teologi

lainnya untuk tujuan memperkokoh dan memperluas

kerajaan Allah. Bukan lagi terfokus pada tujuan dan

kebenaran denominasional. Dengan cara seperti ini,

kekristenan dapat dipertahankan di tengah mainstream

dunia.

Teologi Pentakosta harus mulai memikirkan

strategi baru menghadapi perubahan dunia yang makin

mengglobal di dalam segala aspek. Mengapa? Itu yang

disebutkan penyesuaian. Generasi Pentakostal pertama,

tidak sama dengan generasi kedua dan ketiga. Apalagi

sekarang telah muncul istilah generasi milenial. Auch

mengatakan, apa yang menjadi keharusan bagi generasi

pertama, dapat menyenangkan bagi generasi kedua.

Tetapi, menjadi omong kosong bagi generasi ketiga,

terlebih mereka yang menjadi angkatan milenial.128

Generasi pertama berkutat dengan pengalaman tempo

dulu, sementara generasi milenial menuntut cara-cara

baru untuk beradaptasi di zaman baru. Orang tua sibuk

bernostalgia dan anak-anak muda sibuk mencari-cari

konsep baru yang dengan mudah ditangkap oleh aliran

lain. Kesenjangan generasi makin lebar dan dalam.

Kritik yang dilontarkan oleh Lane harus disikapi dengan

serius. Menurut Lane, orang-orang Pentakostal

(bersama-sama karismatik), hanya terlihat menonjol di

dalam aktifitas dan kegiatan mereka (perilaku ibadah)

128 Ron Auch, Gerakan Pantekosta Mengalami Krisis

(Malang: Gandum Mas, 1996), 33.

Page 107: ASP NKRIS - pglii.or.id filea pentecostalperspective jurnal teologi oktober 2018 e - in d - o a n i e

106

tetapi tidak di dalam karya teologi.129 Kritik Lane ini

beralasan dan didukung oleh Hill. Menurut

pengamatannya, teologi Pentakostalisme hanya

membawa pengaruh kecil akibat – meminjam istilah

Hill – dogmatic vagueness (ketidakjelasan dogmatis).130

Pentakostalisme akhirnya terjebak mempertahankan

‘produk’ yang ketinggalan zaman. Sementara, di sisi

lain, gereja-gereja dengan basis teologi non Pentakostal

sudah mulai melakukan pembenahan dan tidak lagi

berorietasi pada produk tetapi platform. Karena berada

di dalam platform yang sama, maka dengan mudah,

generasi baru Pentakostal melakukan shifting dan

mengikuti apa yang menurut mereka lebih tepat, lebih

sesuai dan lebih relevan. Bahayanya adalah jika,

teologi Pentakosta tidak memiliki jembatan untuk

menjelaskan azas kepercayaannya kepada generasi

baru, angkatan milenial ini akan menganggap agama

menjadi usang dan terjebak di dalam arus

sekularisasi.131 Auch dengan jujur mengakui,

menghadapi situasi perubahan seperti ini, Pentakosta

tidak memiliki apa-apa untuk ditawarkan kepada orang

lain kecuali teologi yang kosong.132

129 Tony Lane, Runtut Pijar Sejarah Pemikiran Kristiani

(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2005), 219. 130 Jonathan Hill, The History of Christian Thought (Oxford,

England: Lion Hudson plc, 2003), 308. 131 Sonny Eli Zaluchu, “Mengkritisi Teologi Sekularisasi,”

KURIOS 4, no. 1 (2018): 26–38, http://www.sttpb.ac.id/e-

journal/index.php/kurios. 132 Auch, Gerakan Pantekosta Mengalami Krisis, 37.

Page 108: ASP NKRIS - pglii.or.id filea pentecostalperspective jurnal teologi oktober 2018 e - in d - o a n i e

107

Akhirnya, seperti apakah theologyplatform-based

itu? Teologi Pentakosta menjunjung tinggi kuasa dan

kehadiran Roh Kudus di dalam seluruh aspek

kehidupan. Ini kekuatan besar yang tak tertandingi dan

tak tergantikan hingga sekarang, bahkan sampai kiamat,

karena hal itu adalah karya Allah. Para teolog

Pentakosta harus memikirkan ulang, apakah platform

seperti ini yang akan dibawah di tengah generasi

milenial atau yang lain. Sebab, yang terjadi sekarang

justru sebaliknya. Identitas Pentakostal lebih banyak

menyangkut khotbah yang menyenangkan daripada

menyerang dosa. Lebih parah lagi, Pentakostalisme

justru terlalu banyak bicara dan percaya manifestasi

adikodrati kuasa Tuhan, tetapi manifestasi itu sendiri

justru jarang terlihat di dalam ibadah-ibadah.133 Gereja-

gereja karismatik justru lebih banyak manifestasinya.

Sinergi terhadap kegerakan yang berada di dalam

platform yang sama adalah sebuah keputusan strategis.

Pentakostalisme tidak boleh menutup diri dan

mencurigai cara Roh Kudus bekerja di tempat lain.

Sikap menuding cara kerja Allah di gereja lain sebagai

sebuah kesesatan, hanya karena kita sebagai orang-

orang Pentakosta punya pemahaman sendiri, adalah

tidak relevan dan seperti katak di dalam tempurung.

Kuasa Tuhan di zaman akhir ini, bekerja di semua

gereja. Bukan hanya di gereja-gereja aliran Pentakosta !

Pada mulanya, platform adalah istilah yang

digunakan secara teknis untuk teknologi informasi.

133 Auch, 11.

Page 109: ASP NKRIS - pglii.or.id filea pentecostalperspective jurnal teologi oktober 2018 e - in d - o a n i e

108

Kemudian berkembang menjadi cetak biru – Kasali

menyebutnya sebagai sebuah orkestra antara jalan,

taman, bangunan dan orang-orang yang terlibat di

dalam sebuah proyek yang akhirnya memberkati

seluruh kegiatan tersebut.134 Meminjam pengertian

tersebut, maka yang disebut Theology Platform-Based

adalah cetak biru teologi pentakosta yang melibatkan

Roh Kudus sebagai pemberi hidup dan kuasa adikodrati

Tuhan. Cetak biru ini terbuka untuk membangun

jejaring bagi siapapun yang berada di dalam platform

yang sama sekalipun aliran teologi itu semula adalah

pesaing. Justru melalui platform, mereka menjadi mitra

untuk kerajaan Allah. Menutup diri sebagaimana

dilakukan selama ini hanya akan membawa gerakan

Pentakostalisme bertahan untuk kemudian mati.

Penjelasan Macchia memberikan kesejukan. Walaupun

terjadi perbedaan di dalam gaya ibadah, bentuk

organisasi gereja maupun afiliasi denominasi, sebuah

keyakinan dasar kesatuan di dalam Kristus terletak pada

inti kebersamaan.135 Dan kebersamaan itu hanya bisa

berlangsung saat semuanya berada di dalam platform

yang sama.

Konklusi

Senjakala sebuah teologi dapat diukur melalui

indikator yang terlihat saat dia menghadapi perubahan

134 Kasali, The Great Shifting - Lebih Baik Pegang Kendali

Daripada Dikuasai, 22. 135 Stephen A. Macchia, Becoming A Healthy Church, ed.

Sri Setyawati, 1st ed. (Jakarta: Yayasan Pekabaran Injil Immanuel,

2016), 248.

Page 110: ASP NKRIS - pglii.or.id filea pentecostalperspective jurnal teologi oktober 2018 e - in d - o a n i e

109

dan berada di dalam masa transisi perubahan besar.

Grenz dan Olson mengatakan, pada transisi antara era

modern dan postmodern, teologi memiliki kesempatan

untuk mengartikulasikan cara-cara baru dan keyakinan

Kristen dari realitas Allah yang transenden-imanen.136

Tanpa artikulasi cara-cara baru dan rumusan keyakinan

Kristen, maka yang terjadi adalah bangku-bangku

gereja yang kosong lebih banyak terlihat daripada yang

diduduki. Yang beribadah di dalam gereja, adalah

orang-orang tua ‘angkatan pertama’. Khotbah yang

disampaikan di mimbar, kering dan hanya bicara

keberhasilan masa lalu. Manifestasi kuasa Allah

sebagaimana dicirikan oleh kelahiran gerakan

Pentakosta di Topeka, hanya wacana dan tidak pernah

terjadi di dalam gereja. Pekerjaan dan manifestasi Roh

Kudus (kegerakan) di denominasi lain, dicurigai sebagai

penyesatan. Parkir menjadi kosong. Gereja menjadi

sebuah monumen. Itulah saat, dimana senjakala sebuah

teologi telah memasuki masa akhirnya. Semoga Teologi

Pentakosta tidak mengalaminya.

136 Stanley J. Grenz and Roger E. Olson, 20th Century

Theology - God and the World in a Transitional Age, 3rd ed.

(Downers Grove, Illionis: InterVarsity Press, 1996), 314.

Page 111: ASP NKRIS - pglii.or.id filea pentecostalperspective jurnal teologi oktober 2018 e - in d - o a n i e

110

Daftar Pustaka

Anderson, Allan. “The Origins of Pentecostalism and Its Global

Spread in the Early Twentieth Century.” Transformation: An

International Journal of Holistic Mission Studies 22, no. 3

(2005): 175–85.

https://doi.org/10.1177/026537880502200307.

Archer, Kenneth J. “A Pentecostal Way of Doing Theology: Method

and Manner.” International Journal of Systematic Theology 9,

no. 3 (2007): 301–14. https://doi.org/10.1111/j.1468-

2400.2006.00244.x.

Auch, Ron. Gerakan Pantekosta Mengalami Krisis. Malang:

Gandum Mas, 1996.

Blumhofer, Edith. “Azusa Street Revival.” The Christian Century

123, no. 5 (2006): 20–22.

http://search.proquest.com/docview/217241012?accountid=1

36781.

Braaten, Carl E., and Robert W. Jenson, eds. A Map of Twentieth

Century Theology. 1st ed. Minneapolis: Fortress Press, 1995.

“Christian Population by Country.” Pew Research Center, 2018.

http://www.globalreligiousfutures.org/religions/christians.

Dabney, D. Lyle. “Saul’s Armor: The Problem and the Promise of

Pentecostal Theology Today.” Pneuma 23, no. 1–2 (2001):

115–46. https://doi.org/10.1163/157007401X00113.

Dodds, Adam. “The Mission of the Spirit and the Mission of the

Church: Towards a Trinitarian Missiology.” Evangelical

Review of Theology 35, no. 3 (2011): 209–26.

http://search.ebscohost.com/login.aspx?direct=true&db=afh&

AN=64152211&site=ehost-live&scope=site.

Emerson, Michael O., and David Hartman. “The Rise of Religious

Fundamentalism.” Annual Review of Sociology 32, no. 1

(2006): 127–44.

https://doi.org/10.1146/annurev.soc.32.061604.123141.

Ferguson, Sinclair B., David F. Wright, and J.I Packer, eds. New

Dictionary of Theology. 1st ed. Malang: Literatur SAAT,

2015.

Grenz, Stanley J., and Roger E. Olson. 20th Century Theology -

God and the World in a Transitional Age. 3rd ed. Downers

Page 112: ASP NKRIS - pglii.or.id filea pentecostalperspective jurnal teologi oktober 2018 e - in d - o a n i e

111

Grove, Illionis: InterVarsity Press, 1996.

Herriot, Peter. Religious Fundamentalism: Global, Local and

Personal. Religious Fundamentalism: Global, Local and

Personal, 2008. https://doi.org/10.4324/9780203929872.

Hill, Jonathan. The History of Christian Thought. Oxford, England:

Lion Hudson plc, 2003.

Kasali, Rhenald. The Great Shifting - Lebih Baik Pegang Kendali

Daripada Dikuasai. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama,

2018.

Lane, Tony. Runtut Pijar Sejarah Pemikiran Kristiani. Jakarta: BPK

Gunung Mulia, 2005.

Lingga, Hotben. “Eropa Perlu Gerakan Reformasi Jilid II Dan

Kebangunan Rohani Baru.” Gramedia Post 22/2, 2015.

http://www.gramediapost.com/2015/02/22/eropa-perlu-

gerakan-reformasi-jilid-ii-dan-kebangunan-rohani-baru/.

Macchia, Stephen A. Becoming A Healthy Church. Edited by Sri

Setyawati. 1st ed. Jakarta: Yayasan Pekabaran Injil Immanuel,

2016.

Menzies, Robert P. Teologi Pentakosta - Pentecost This Story Is

Our Story. Malang: Gandum Mas, 2015.

Miller, Donald, and Erin O’Connell. “The New Face of Global

Christianity: The Emergence of ‘Progressive Pentecostalism.’”

Pew Research Center, 2006.

http://www.pewforum.org/2006/04/12/the-new-face-of-

global-christianity-the-emergence-of-progressive-

pentecostalism/.

Müller, Julian C. “Practical Theology as Part of the Landscape of

Social Sciences and Humanities – A Transversal Perspective.”

HTS Teologiese Studies / Theological Studies 69, no. 2

(2013). https://doi.org/10.4102/hts.v69i2.1299.

Nordlander, Andreas. “Pentecostal Theology: A Theology of

Encounter.” Reviews in Religion and Theology 17, no. 4

(2010): 614–17.

Robbins, Joel. “Keeping God’s Distance: Sacrifice, Possession, and

the Problem of Religious Mediation.” American Ethnologist

44, no. 3 (2017): 464–75.

https://doi.org/10.1111/amet.12522.

Smith, David L. A Handbook of Contemporary Theology. Grand

Page 113: ASP NKRIS - pglii.or.id filea pentecostalperspective jurnal teologi oktober 2018 e - in d - o a n i e

112

Rapids, Michigan: Baker Books, 2000.

Talumewo, Steven. Sejarah Gerakan Pentakosta. Yogyakarta: Andi

Offset, 2008.

Wagner, Benjamin A. “‘Pentecost Outside Pentecost’: Classical

Pentecostal Responses to the Charismatic Renewal

Movement in the United States, 1960--1982.” ProQuest

Dissertations and Theses, 2009.

https://doi.org/10.1017/CBO9781107415324.004.

Wilkinson, Michael. “What’s ‘Global’ about Global

Pentecostalism?” Journal of Pentecostal Theology, 2008.

https://doi.org/10.1163/174552508X331998.

Zaluchu, Sonny Eli. “Mengkritisi Teologi Sekularisasi.” KURIOS 4,

no. 1 (2018): 26–38. http://www.sttpb.ac.id/e-

journal/index.php/kurios.

Page 114: ASP NKRIS - pglii.or.id filea pentecostalperspective jurnal teologi oktober 2018 e - in d - o a n i e

113

TEOLOGI MISI PENTAKOSTAL IN THE MAKING137

OLEH: JUNIFRIUS GULTOM138

“Now, do not go from this meeting and talk about

tongues, but try to get people saved.” –William

Seymour

Abstract: hal-hal yang perlu menjadi perhatian

di dalam proses ‘menjadi’ dari teologi misi pentakostal

merupakan konsentrasi di dalam tulisan ini. Penulis

melukiskan nuansa misiologis pentakostal yang

memiliki percakapan dengan evangelikal (Narasi dan

Yesus) serta dengan Ekumenikal dalam membangun

teologi misinya di dalam dunia postmodern

(Pneumatologi,Pengalaman, church view). Untuk itu

penulis juga menyodorkan misiologi pneumatologis

dari V M. Karkkainen, A Yong dan Andrew Lord dapat

menjadi modal untuk mengembangkan teologi misi

pentakostal ke depan.

Keywords: Misi, Pentakostal,teologi, gereja,

pneumatologi, postmodern.

Pendahuluan

137 Tulisan ini sepenuhnya diambil dari buku saya, Teologi Misi

Pentakostal (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2018), dengan beberapa modifikasi dan sedikit tambahan.

138 Junifrius Gultom adalah Direktur dan Dosen Pascasarjana STT

Bethel Indonesia, Jakarta. Menyelesaikan program doktoral di Presbyterian University and Theological Seminary (PUTS), Korea Selatan. Selain pendidikan teologi, lulusan S-2 (Master Psikologi Terapan), Universitas Indonesia.

Page 115: ASP NKRIS - pglii.or.id filea pentecostalperspective jurnal teologi oktober 2018 e - in d - o a n i e
Page 116: ASP NKRIS - pglii.or.id filea pentecostalperspective jurnal teologi oktober 2018 e - in d - o a n i e

115

mempunyai kemampuan untuk merumuskan teologi

misi yang akan terus mendapat tanggapan, kritik dan

menjanjikan pada masa depan, sebagaimana semua

teologi. Itu sebabnya, istilah yang saya pergunakan di

sini in the making untuk menunjukkan sebuah keadaan

berproses terus untuk dirumuskan. Kita mempunyai

dasar yang kuat mengapa teologi pentakostal begitu

urgen, bukan hanya tempat partikularitas kini

mengemuka, tetapi ketiadaan center pada diskursus

apapun mengakibatkan teologi pentakostal menjadi

partner dialog diskursif yang perlu diperhitungkan.

Apalagi kini gerakan pentakostal menjadi kekuatan

ketiga dalam kekristenan di dunia.

Kaum Pentakostal di Antar Dua Kutub: Teologi Injili dan

Teologi Ekumenis

Bagaimanapun kaum pentakostal lahir dari keluarga

besar kekristenan universal yang dalam hal ini

protestanisme yang kepadanya berhutang kepada teologi

ekumenikal dan teologi injili. Tetapi konstruksi bangunan

Teologi Misi dari perspektif pentakostal menjadi satu hal

yang patut dicermati dan terus diusahakan namun—

seperti yang diungkapkan di atas, menjanjikan dan

dinamis. Dalam International Dictionary of Pentecostal

Page 117: ASP NKRIS - pglii.or.id filea pentecostalperspective jurnal teologi oktober 2018 e - in d - o a n i e

116

Charismatic Movement 141 menjelaskan bahwa dua tradisi

telah membentuk pandangan misi pentakostal yaitu suatu

agenda konservatif injili yang diwarisi dan etos gerakan

kesucian (holiness movement), dan gerakan-gerakan

kebangunan yang lain pada abad awal. Bagi kaum

pentakostal agaknya lebih cocok dengan kaum injili

terkait dengan agenda misi (meskipun beberapa prejudice

dari orang-orang injili), karena gerakan ekumenikal

dianggap terlalu liberal secara teologis dan dalam agenda

misinya, dan penekanan yang terlalu sosial/politik.

Teologi Misi konservatif injili telah mempunyai pengaruh

yang kuat, dimulai dengan buku klasik dari Roland Allen,

Missionary Methods: St. Paul’s or Ours? (1912).

Kemudian pengaruh kehadiran yang kuat dari

pentakostal pada gerakan Lausanne turut membentuk

pandangan misi pentakostal. Baik pentakostal maupun

injili sama-sama menerima pandangan konservatif

berkenaan dengan inspirasi dan otoritas Alkitab,

keterhilangan manusia berdosa tanpa Kristus, dan

dibenarkan karena iman, sebagaimana juga suatu

prioritas pada penginjilan ketimbang aksi sosial. Dari

kaum injili konservatif, pentakostal juga mewarisi

penegasan pentingnya pertobatan dan tekanan pada

pengalaman keselamatan individu. Pentakostal akibatnya

menekankan pentingnya pengalaman “krisis” ketimbang

141

Stanley M. Burges & Van Der Mass, Inetrnational Dictionary of Pentecotsal Charismatic Movement (Grand Rapids, MI: Zondervan, 2003), 878-883.

Page 118: ASP NKRIS - pglii.or.id filea pentecostalperspective jurnal teologi oktober 2018 e - in d - o a n i e

117

pengalaman “pertumbuhan” di dalam pertobatan.

Sekarang keunikan Teologi Misi pentakostal yang

bukan diwarisi dari kesamaan dengan injili konservatif

maupun kalangan ekumenikal adalah sebagai berikut:

Pertama, berakar pada gerakan kesucian pada abad

kesembilan belas, tampaknya turut membentuk

eskatologi, dan atmosfir premillennial pentakostal.

Kedua, yang paling unik, dan yang paling sering

diperdebatan adalah doktrin dan pengalaman baptisan

Roh Kudus, yang dikombinasikan dengan keyakinan

eskatologi yang kuat, yang menjadi pemelihara misi

pentakostal.

Ketiga, terkait dengan pengalaman berbahasa lidah

sebagai tanda awal dari penerimaan baptisan Roh Kudus.

Keyakinan ini dikaitkan dengan misi dunia. Pada tahun-

tahun pertama gerakan ini, suatu optimisme yang tak

beralasan dimana berbicara dalam bahasa lidah

(xenolalia), suatu bentuk glossolalia dalam mana bahasa

manusia yang sebelumnya tidak dikenal kepada penutur,

ia dapat berbicara bahasa tersebut, akan diberikan oleh

Roh Kudus untuk menolong di dalam penyelesaian

penginjilan dunia sebelum kedatangan Yesus yang kedua

kali. Tentu, teori ini kemudian tidak benar dan kemudian

ditinggalkan. Keyakinan bahwa baptisan Roh Kudus

memperlengkapi orang percaya untuk pelayanan

memunculkan pengaruh besar dari pentakostalisme

Page 119: ASP NKRIS - pglii.or.id filea pentecostalperspective jurnal teologi oktober 2018 e - in d - o a n i e
Page 120: ASP NKRIS - pglii.or.id filea pentecostalperspective jurnal teologi oktober 2018 e - in d - o a n i e

119

(2) Roh Kudus—suatu pendekatan kosmologis: Roh Kudus

memperbaharui ciptaan dan memberikan kepenuhan

hidup yang terdiri dari kesembuhan fisik dan kesembuhan

hubungan sosial juga; (3) Roh Kudus—suatu pendekatan

sakramental: Roh Kudus dimediasi melalui pertobatan

peribadi, baptisan, konfirmasi, dan ordinasi sebagaimana

teologi-teologi sakramental memperbaharui fokus mereka

pada Roh Kudus.

Kelima, yang perlu dicatat Teologi Misi pentakostal

berkembang lewat pengembangan teologi Roh Kudus ini

dalam kaitannya dengan misi. Adalah Misiolog Reformed

Belanda, J.A.B. Jongeneel, yang datang dari latarbelakang

pentakostal telah secara besar-besar meneliti peran Roh

Kudus di dalam misi. Ia menyebut suatu “Pneumatologi

misionaris,” yang dipengaruhi oleh Roland Allen. Buku-

buku Allen, Pentecost and the World: The Revelation of

the Holy Spirit in the “Acts of the Apostles (1917) dan

Mission Activities Considered in Relation to the

Manifestation of the Spirit (1930), telah memberikan

informasi lainnya mengenai Roh Kudus. Jongeel

menunjukkan bahwa asal-usul misi adalah di dalam

gerakan Roh Kudus sebagaimana Roh Kudus mengutus

gereja ke dalam dunia. Gerakan yang sama

memperlengkapi gereja untuk menyelesaikan misi.

Jongeneel menggarisbawahi peran buah Roh Kudus

bersama dengan karunia Roh Kudus. Ia juga melihat

peran kritikal dari pengalaman Roh Kudus, baptisan Roh

Page 121: ASP NKRIS - pglii.or.id filea pentecostalperspective jurnal teologi oktober 2018 e - in d - o a n i e

120

Kudus, meskipun dibutuhkan keseimbangan.

Sementara itu ahli misi Anglikan Karismatik,

Andrew Lord mengutarakan suatu gagasan Misi

Eschatology: A Framework for Mission in Spirit (1997)

dengan maksud suatu pendekatan terhadap misi yang

bersifat holistik dan penuh pengharapan. Mengikuti

teolog Perjanjian Baru, O. Culliman dan yang lainnya,

Lord menyatakan bahwa “pekerjaan misionaris dari

gereja adalah mencicipi eskatologis dari Kerajaan Allah.

Ia menyarankan tujuh dimensi dari agenda misi

karismatik yang bersifat holistik: ke-Tuhan-an Yesus,

kesembuhan, keadilan, kesatuan dari keberagaman umat

Allah, kebebasan ciptaan, pujian dan penyembahan, dan

persekutuan. Bagi suatu misi holistik, tidak ada opisisi

antara penginjilan dan perhatian sosial.

Karismatik telah mengikuti orang-orang pentakostal

dalam penekanannya pada tanda-tanda dan mujizat-

mujizat. Bahkan, sebagian karismatik, secara khusus yang

disebut gelombang ketiga oleh Peter G. Wagner, telah

memperhatikan peran kesembuhan ilahi dan pengusiran

setan dalam cara yang lebih jelas. Di antaranya ada buku

John Wimber berjudul Power Evangelism (1986) dan

buku-buku Peter Wagner mengenai peperangan rohani,

secara khusus mengenai ‘roh-roh teritorial,” telah

menyebarluaskan ide-ide seluruh gerakan karismatik.

Ide-ide ini telah menerima penyambutan yang antusias,

secara khusus pada konteks anismisme (Asia, Afrika)

Page 122: ASP NKRIS - pglii.or.id filea pentecostalperspective jurnal teologi oktober 2018 e - in d - o a n i e

121

dan di Amerika Latin, tetapi banyak juga yang

mengkritiknya. Teologi yang dikatakan mengenai

Kerajaan Allah telah digarisbawahi sebagai suatu

kerangka kerja bagi mayoritas tulisan-tulisan ini.

Apa perbedaan dan tekanan yang berbeda di dalam

hubungannya dengan pentakostal klasik? Pertama,

Karismatik arus utama telah lebih terbuka kepada

tantangan keadilan sosial, barangkali karena mayoritas

gereja-gereja mereka telah ada di sana. Kedua, penafsiran

mereka akan Kitab Suci kurang fundamentalistik, maka

lebih memiliki fleksibilitas untuk kontekstualisasi kepada

konteks-konteks khusus. Ketiga, karena mayoritas

karismatik hidup di dalam gereja-gereja sakramental,

mereka mampu mengintegrasikan penginjilan kepada

sakramen, bahkan jika mereka tidak sepenuhnya bisa

mengatasi dilema itu.

Tentu kita dapat menambahkan lagi diskursus

Teologi Misi sesuai dengan isu-isu seperti sosial dan

politik. Saya membatasi pembahasan untuk tidak

menyinggung dua isu di atas. Namun, saya mengangkat

satu isu penting terkait dengan hubungan dengan agama-

agama lain. Teologi Misi pentakostal dalam hal hubungan

dengan agama-agama lain tidak berada pada opsi

mendasar tentang isu ini yang selama ini dianut yaitu

eksklusivisme (tidak ada keselamatan di luar gereja dan

tidak banyak dasar bersama (pandangan tradisional);

kedua, pandangan inklusivisme (keselamatan dapat

Page 123: ASP NKRIS - pglii.or.id filea pentecostalperspective jurnal teologi oktober 2018 e - in d - o a n i e

122

ditemukan di agama-agama lain juga (pandangan liberal);

ketiga, suatu posisi mediatif: meskipun agama-agama lain

mempunyai elemen-elemen keselamatan, adalah hanya

di dalam Yesus Kristus kepenuhan keselamatan dapat

ditemukan. Pada dialog Pentakostal dengan Katolik tahun

1972 mayoritas orang-orang Pentakostal menentang ide

dari elemen keselamatan di luar gereja, meskipun

keyakinan di dalam pekerjaan yang bersifat preparatory

(mempersiapkan) dari Roh Kudus di dalam hati manusia

untuk mendengar injil sama-sama diakui.

Baru-baru ini, seorang teolog karismatik injili Clark

H. Pinnock menyarankan bahwa seseorang dapat

mengharapkan orang-orang pentakostal untuk

mengembangkan suatu Teologi Misi yang berorientasi

Roh Kudus dan agama-agama dunia karena keterbukaan

mereka kepada pengalaman agama, sensitivitas mereka

kepada orang-orang tertindas di Dunia Dua Pertiga

dimana mereka telah mengalami banyak pertumbuhan

mereka, dan kesadaran mereka akan cara-cara Roh Kudus

dan dogma.

Teologi Misi Pentakostal pada Masa Posmodern

Pertanyaan kita sekarang adalah dimana tempat

Teologi Misi pentakostal di dalam diskursus

postmodernisme? Di titik mana Teologi Misi pentakostal

menemukan shape-nya? Bagi saya, teologi pentakostal,

Page 124: ASP NKRIS - pglii.or.id filea pentecostalperspective jurnal teologi oktober 2018 e - in d - o a n i e

123

menemukan titik arsir untuk beberapa hal dengan

kelompok evangelikal, dan beberapa hal dengan

postmodernisme (yang juga Teologi Misi kelompok

“liberal”).

Pertama-tama harus ditegaskan bahwa sebagai

suatu teologi, maka Teologi Misi bersifat progres dan

dinamis. Teologi adalah suatu refleksi intelektual dan

iman terhadap Allah dan penyataan-penyataannya.

Sebagaimana teologi merupakan hasil “ramuan” dari

pemahaman Alkitab, tradisi, rasio, pengalaman, dan

interaksi komunitas orang beriman sebagai hermeneutik

yang hidup, maka Teologi Misi selalu berada di

“persimpangan jalan.” Ada dua hal yang penting untuk

disebutkan di sini. Teologi Misi sendiri—sebagaimana

sudah diuraikan di atas—mengalami dinamika. Tentu

tidak pada tempatnya di sini untuk menguraikan sejarah

panjang pergulatan Teologi Misi khususnya pada masa

modern. Ada harapan akan keseimbangan, dan ada

harapan untuk pengembangan pada masa depan seperti

yang diungkapkan oleh J. A. Scherer:

Satu dari masalah misiologikal krusial dari paruhan kedua abad

keduapuluh adalah bagaimana menyelesaikan transisi yang

sukses dari suatu Teologi Misi yang berpusat pada gereja pada

tahun-tahun awal ke Teologi Misi yang berpusat kepada

Kerajaan Allah tanpa kehilangan visi misionaris atau

menghianati isi Alkitab. Adalah susah disangkal bahwa kita

hidup di tengah-tengah transisi seperti itu. Hal yang sama juga

jelas bahwa kita belum menggenggam secara penuh makna

Page 125: ASP NKRIS - pglii.or.id filea pentecostalperspective jurnal teologi oktober 2018 e - in d - o a n i e
Page 126: ASP NKRIS - pglii.or.id filea pentecostalperspective jurnal teologi oktober 2018 e - in d - o a n i e

125

utama untuk misi bukanlah Markus 16 dan Matius 28,

tetapi kitab Kisah Para Rasul yang dianggap masih

memiliki relevansi yang hidup dan dapat diterapkan bagi

konteks masa kini. Kisah para rasul adalah kisah mereka

juga. Namun tidaklah mudah untuk datang kepada

kesimpulan di dalam membangun Teologi Misi yang

mumpuni.

Maka dapat disebut bahwa Teologi Misi pentakostal

masih di dalam proses “menjadi” (in the making), seperti

yang diungkapkan oleh Stanley M. Burges:

Diakui bahwa Pentakostal/Karismatik belum mempunyai

Teologi Misi yang mumpuni. Mereka lebih dikategorikan

sebagai “doers” ketimbang “thinkers” di dalam bidang misi.

Mereka memberikan suatu tempat yang istimewa bagi

pengalaman, bukan sekedar di dalam misiologi tetapi juga di

dalam spiritualitas dan di dalam pendekatan terhadap

penafsiran Kitab Suci. Oleh karena itu Teologi Misi yang

khas Pentakostal dapat disebut masih in the making.144

Walaupun dapat dikatakan bahwa Teologi Misi

pentakostal masih di dalam proses menjadi (in the

making), namun dalam usaha menuju “menjadi” nya, ada

beberapa clue yang dapat dijadikan acuan untuk dalam

kontruksi Teologi Misi.

Tidaklah berlebihan jika tren dan pemahaman

postmodernisme, begitu cocok terhadap konteks kaum

pentakostal, walau isu identitas bersama dengan orang-

orang Kristen sepanjang abad, juga perlu menjadi

catatan. Daya lentur yang sangat panjang dari ekspresi-

144

Stanley M. Burgess; assoc. ed. Eduard M. van der Maas, The New International Dictionary of Pentecostal and Charismatic Movements, revised and expanded edition. (Grand Rapids, Michigan: Zondervan, 2002), 878.

Page 127: ASP NKRIS - pglii.or.id filea pentecostalperspective jurnal teologi oktober 2018 e - in d - o a n i e

126

ekspresi Pentakostal/Karismatik ini membuat lebih

mudah bagi mereka untuk berdialog dengan kalangan

“liberal” ketimbang kepada kelompok evangelikal yang

terbebani oleh mandat sola scriptura dan hermeneutik

ketat, yang menempatkan sifat Alkitab yang harus

menghakimi semua kepercayaan-kepercayaan.

Sebut saja, kritik Craig Ott kepada pendekatan

pneumatologi Amos Yong.145 Sebagai seorang sarjana

terkemuka Pentakostal, Amos Yong telah dikritik karena

keberaniannya membangun dialog dengan

kepercayaan-kepercayaan lain sebagai yang dianggap

tidak sesuai dengan Teologi Misi evangelikal. Yong

mengajukan kriteria tiga rangkap (kehadiran ilahi,

absen ilahi, dan aktifitas ilahi) yang dapat

memampukan gereja untuk menguji kehadiran Allah

dan pekerjaannya atau menolak yang mana demonik

dan konstruktif. Craig Ott dari perspektif teologi

evangelikal menyatakan tiga hal kelemahan proposal

Yong. Pertama, ia tidak memadai secara kristo-sentris.

Menurut Ott, proposal Yong dalam pengembangannya

dalam teologi agama-agama, tidak pernah secara

penuh kembali kepada sentralitas Kristologi dan

soteriologi. Kedua, proposalnya tidak memberikan cara

untuk beranjak melampaui dialog antara tradisi-tradisi

dan struktur keagamaan yang lebih ril. Ketiga, proposal

Yong, tidak memadai diperhitungkan terkait cara-cara

yang berbeda yang dipahami pluralisme agama dan

dialami di dalam gereja global. Namun Yong

berketetapan untuk menemukan suatu teologi agama-

agama “yang baru,” yang akan memampukan orang-

145

Ott, Encountering Theology of Mission, 308-09.

Page 128: ASP NKRIS - pglii.or.id filea pentecostalperspective jurnal teologi oktober 2018 e - in d - o a n i e
Page 129: ASP NKRIS - pglii.or.id filea pentecostalperspective jurnal teologi oktober 2018 e - in d - o a n i e
Page 130: ASP NKRIS - pglii.or.id filea pentecostalperspective jurnal teologi oktober 2018 e - in d - o a n i e

129

Dimension dikaitkan dengan pengetahuannya akan

agama-agama Timur bersama dengan kuasa-kuasa

adikrotinya, sebagaimana pada Buddhisme, yoga, agama-

agama Jepang seperti Soka Gakkai. Ia merujuk “evil spirit

world” dalam buku itu dimana berada di bawah kuasa

dan otoritas Allah Yang Mahakuasa.

Maka, isu kontekstualisasi bagi pentakostal tidak

semuanya mengikuti agenda kontekstualisasi kritikal

Paul G. Hiebert yang sudah dijelaskan di atas. Namun,

lebih kepada daya adaptatif yang berisi ketegangan

kreatif dan pneumatis.

Positioning

Pada kesempatan ini, saya mengangkat tiga tokoh

penting untuk proposal dalam melakukan

pembangunan Teologi pentakostal kontemporer dan

prospektif. Alasannya, karena ketiganya melakukan

pendekatan misiologi pneumatologi yang layak untuk

dikembangkan di kemudian hari. Bagian ini disadur

dari Veli-Matti Karkkainen, Toward Pneumatological

Theology. Pentecostal and Ecumenical Perspective on

Ecclesiology, Soteriology, and Theology of Mission.150

Veli-Matti Karkkainen

Selain isu kontekstualisasi, tampaknya kita perlu

melihat konstruksi Teologi Misi pentakostal yang

150

Ed by Amos Yong. Lanham (New York & Oxford: University Press of America, Inc, 2002).

Page 131: ASP NKRIS - pglii.or.id filea pentecostalperspective jurnal teologi oktober 2018 e - in d - o a n i e

130

diajukan oleh Veli-Matti Karkkainen.151 Ia menyebut

bahwa Teologi Misi pentakotal itu, bahkan meskipun

tidak dapat diartikulasikan di dalam istilah-istilah

teologi, memunculkan sangat ekstrim secara teologis

tentang relasi integral antara misi, Roh Kudus, dan

eskatologi. Karkkainen menyebut ini sebagai Misiologi

Pneumatologis. Dalam kerangka Misiologi

Pneumatologis ini ada tiga tema penting yang dibahas

oleh Karkainnen dalam mengkonstruksi Teologi Misi

pentakostal.152 Skema ini layak dipertimbangkan untuk

pengembangan Teologi Misi pentakostal masa

mendatang. Beberapa isu yang diangkat oleh

Karkkainen sebagai berikut:

Roh, Penciptaan, dan Eskaton

Teologi Misi telah sering mengabaikan hubungan

antara pekerjaan soteriologis Roh Kudus dalam diri

orang percaya, dan aktifitasnya baik sebagai Pencipta

dari semua yang hidup dan, secara eskatologi, sebagai

efektor dari ciptaan baru dan penggenapannya.

Perbedaan mendasar dari pekerjaan Roh di dalam diri

orang percaya dan Gereja dan sebaliknya aktifitas

kreatifNya di dalam melahirkan hidup secara umum—

suatu karunia eskatologi yang diberikan kepada semua

orang percaya—pada beberapa ukuran dinamika Roh

Kudus mengimpartasi dirinya sendiri juga kepada apa

yang dibawa (dilahirkan), yang merupakan di luar

151

Karkkainen, Toward Pneumatological Theology. Pentecostal and Ecumenical Perspective on Ecclesiology, Soteriology, and Theology of Mission, 219-25.

152 Karkkainen, Toward Pneumatological Theology, 220-22.

Page 132: ASP NKRIS - pglii.or.id filea pentecostalperspective jurnal teologi oktober 2018 e - in d - o a n i e

131

eksistensi Roh Kudus. Artinya bahwa satu dari peran

Roh Kudus adalah untuk mempermuliakan ciptaan

Allah. Roh yang sama yang melahirkan kehidupan pada

ciptaan Allah, membangkitkan AnakNya dari kematian,

tinggal di dalam diri orang percaya dan akhirnya

memuliakan ciptaan Allah. Tugas dari Roh Kudus yang

eskatologis bukan hanya memuliakan ciptaan Allah

tetapi juga melayani sebagai agen dari penghakiman

dan transfigurasi. Akhirnya Allah akan dimuliakan di

dalam semuanya ini. Dapat dikatakan bahwa

kedatangan kembali Kristus dan pendirian KerajaanNya

tidak lain kecuali penyelesaian pekerjaan Roh Kudus

yang telah dimulai di dalam inkarnasi dan dengan

kebangkitan Yesus Kristus.

Konverjensi Roh Kudus dan Eskaton di dalam

“Pengalaman Transendens”

Lokus dari pneumatologi di dalam dogmatik

klasik, secara khusus di Barat, telah berupa

pertimbangan Trinitarian atau di dalam doktrin

keselamatan. Apa yang telah diabaikan adalah peran

Roh Kudus di dalam penciptaan dan eskatologi,

meskipun kedua loci ini mempunyai atestasi Alkitab

yang kuat. Ada sebuah konsensus di antara sarjana

Perjanjian Lama bahwa setiap kata ruah dihubungkan

dengan suatu pencurahan, ia selalu bersifat eskatologi

dalam naturnya. Dalam Perjanjian Baru juga, Roh

digambarkan sebagai karunia eskatologis (Ef. 1:14).

Satu dari segi khusus yang utama yang lazim bagi

pemahaman Kristen primitif tentang Roh Kudus adalah

Page 133: ASP NKRIS - pglii.or.id filea pentecostalperspective jurnal teologi oktober 2018 e - in d - o a n i e

132

bahwa karunia pneuma merupakan suatu karunia

eskatologis, dan pekerjaannya di dalam komunitas

bersifat peristiwa eskatologis.

Hubungan Roh Kudus dan eskatologi mengikat

antara ciptaan dan Kerajaan Allah, saat penggenapan

ciptaan terjadi. Dan kemudian ia memperluas

pendekatan yang sempit terhadap diskursus

pneumatologi, yang merupakan karakteristik pada

tulisan-tulisan awal dalam Alkitab.

Roh Kudus dan Penggenapan Akhir

Teologi Misi pentakostal, menurut Karkainnen,

juga berporos pada diskursus Roh dan Penggenapan

Akhir (Konsumasi). Mengutip dari teologi Pannenberg,

Karkainnen menyatakan bahwa hubungan integral

antara pneumatiologi dan eskatologi dipertegas oleh

fakta bahwa adalah dari Roh Yesus Kristus orang

Kristen mengharapkan penggenapan eskatologi.

Pekerjaan Roh Kudus mengkaitkan masa depan kepada

masa kini oleh Roh masa depan eskatologis yang sudah

hadir di hati orang-orang percaya. Pneumatologi dan

eskatologi saling memiliki karena penggenapan

eskatologis sendiri diatribusikan kepada Roh Kudus,

yang merupakan suatu karunia akhir zaman yang sudah

memerintah lewat kehadiran historis dari orang

percaya.

Pandangan pekerjaan penggenapan dari Roh

Kudus ini memiliki beberapa konsekuensi penting yang

terkait dengan misi melalui doktrin Tritunggal dan

gereja. Terkait dengan Tritunggal, kita harus

Page 134: ASP NKRIS - pglii.or.id filea pentecostalperspective jurnal teologi oktober 2018 e - in d - o a n i e

133

menjelaskan hubungan antara pneumatologi dan

eskatologi, tidak sekedar bersifat Kristologis, tetapi juga

di dalam istilah-istilah doktrin Tritunggal. Karena kita

harus memikirkan penggenapan dari dunia dan

kemanusiaan sebagaimana didasarkan di dalam Allah

sendiri.

Gereja Yesus Kristus hidup di dalam Roh Kudus

dan ada di dalam dirinya sendiri permulaan dan

kegigihan dari masa depan dari ciptaan baru. Sebagai

komunitas Kristus yang historis, gereja adalah ciptaan

Roh yang bersifat eskatologis. Gereja merupakan pos

perjumpaan dari pneumatologi dan eskatologi, di

tengah-tengah “pengalaman transendens,” sejauh ia

berjalan pada isi ciptaan baru Allah ini. Tensi antara

“sudah” dan “belum” begitu terlihat dan tak

terhindarkan. Terkait dengan gereja, seseorang harus

menambahkan bahwa tidak hanya eskatologi tetapi

juga sejarah yang diikutkan di dalam pneumatologi. Ia

adalah “komunitas di dalam proses Roh Kudus” pada

perjalanan ke eskaton, kuasa-kuasa dengan mana ia

telah dirasakan dalam perjalanan gereja tersebut.

Implikasi

Karkkainen selanjutnya menjelaskan apa implikasi

dari isu-isu di atas terhadap misiologi pneumatologis?153

Pertama, fokus pada suatu pneumatologi komprehensif

menolong misi untuk mendapatkan suatu gambaran yang

jelas akan pekerjaan Allah di dalam dunia. Penciptaan

dan ciptaan merupakan pekerjaan Allah yang dibawa

153 Karkkainen, Toward Pneumatological Theology, 226-27.

Page 135: ASP NKRIS - pglii.or.id filea pentecostalperspective jurnal teologi oktober 2018 e - in d - o a n i e

134

oleh Roh Kudus, sumber kehidupan dan gerakan. Sejarah

Yesus Kristus, isi dari pemberitaan Kerajaan Allah, bersifat

pneumatologis. Ia bukan hanya pemberi Roh Kudus,

tetapi juga penatang Roh Kudus, Seorang yang juga telah

dibangkitkan oleh Roh yang sama. Gereja Kristus

dilembagakan oleh Roh Kudus dan dipanggil untuk

pelayanan misionaris kepada bangsa-bangsa. Roh akan

mendatangkan penggenapan pekerjaan keselamatan

Allah terhadap ciptaan dan kemanusiaan, ditebus oleh

Anak, untuk kemuliaan Bapa.

Kedua, misi pentakostal, sebagaimana sudah

dijelaskan, telah digenggam oleh pengalaman intensif,

sesuatu yang sangat krusial tentang misi: sentralitas Roh

Kudus dan urgensi eskatologi.

Ketiga, bagi kebanyakan kalangan Pentakostal, dan

pada tingkat yang lebih rendah bagi kalangan Karismatik,

peran Roh Kudus di dalam misi kurang memadai.

Meskipun tidak ada penyangkalan pentingnya “kuasa”

(Kis. 1:8), atestasi Alkitab kepada Roh Kudus jauh lebih

komprehensif. Karkkainen memaksudkan bukan hanya

memberikan kredit kepada pekerjaan lain dari Roh seperti

buah Roh Kudus, tetapi juga usaha untuk memupuk

pemahaman yang lebih besar akan pekerjaan Roh di

dalam komunitas, di dalam dunia, dan di dalam ciptaan.

Dengan kata lain, mari biarkan suatu apresiasi yang lebih

besar akan pekerjaan-pekerjaan dahsyat Allah yang

dilihat di dalam penciptaan, ciptaan, komunitas-

komunitas, karakter, dan karisma-karisma.

Page 136: ASP NKRIS - pglii.or.id filea pentecostalperspective jurnal teologi oktober 2018 e - in d - o a n i e

135

Amos Yong

Salah satu terobosan sekaligus keberanian yang

dilakukan oleh Yong dalam pemikirannya adalah terkait

dengan dialog agama-agama dari perspektif

pneumatologi, selain dialognya dengan sains. Yong

melihat bahwa diskursus misi sangat terkait dengan

diskursus teologi agama-agama. Baginya, sebuah teologi

agama-agama perspektif Kristen adalah juga Teologi Misi

Kristen. Maka suatu teologi agama-agama perspektif

Kristen yang kuat sangat diperlukan dengan tepat arena

misi Kristen dalam suatu dunia post-kolonial, post-

fondasional, dan postmodern harus dipikirkan ulang,

barangkali dari tingkat bawah (mendasar).154

Pendekatan Yong lebih bersifat dialogis ketimbang

apologetik. Mengapa saya katakan demikian?, karena

selama ini orang-orang pentakosta tak pernah tertarik

untuk mengkaitkan pneumatologi dengan diskursus

teologi agama-agama, tetapi kepada pendekatan

konservatif yang melulu berkutat pada percakapan-

percapakan pekerjaan “anugerah kedua” yang disebut

baptisan Roh Kudus dan manifestasi-manifestasi Roh

Kudus di dalam konteks gereja lokal dan kaitannya

dengan spiritualitas privat dan individualistik.

154

Yong, Beyond the Impasse. Toward a Pneumatological Theology of Religions. (Grand Rapids, MI: Baker Book & Carlisle, Cumbria: Paternoster Press, 2003), 19.

Page 137: ASP NKRIS - pglii.or.id filea pentecostalperspective jurnal teologi oktober 2018 e - in d - o a n i e
Page 138: ASP NKRIS - pglii.or.id filea pentecostalperspective jurnal teologi oktober 2018 e - in d - o a n i e

137

Dalam pendekatannya, Yong melihat bahwa mem-

frame teologi agama-agama sebagai suatu subset dari

doktrin Allah secara generik merupakan sesuatu yang

over optimistik. Demikian pula, mem-framenya dengan

kategori-kategori kristologi secara defensif memang bisa

saja membungkamkan klaim-klaim agama-agama lain,

tetapi sedikit efektif dalam keterlibatan yang lebih ofensif

yang mengakui segi partikularitas inkarnasional Allah

(Yoh. 1:14) dan, keseimbangannya akan aspek

universalitas dari Roh yang dicurahkan kepada semua

manusia (baca: flesh, Kis. 2:17).156

Yong mengkiritik absennya diskursus Roh di dalam

teologi Barat, yang berpengaruh pada kecurigaan kepada

spirits pada agama-agama lain. Yong kemudian

mempercayai bahwa Roh sebenarnya bisa saja telah

memperluas kehadiran dan aktifitas Allah di dalam

agama-agama non Kristen. Namun, untuk tidak

mengaburkannya dengan roh-roh yang destruktif dan

demonik, maka Yong mencoba untuk menawarkan tiga

kriteria-seperti yang disebutkan di atas-yaitu divine

presence, divine absence dan divine activity yang dapat

memampukan gereja untuk discern kehadiran dan

pekerjaan Allah atau menolak yang demonik atau

destruktif itu. Yong juga menekankan bahwa Roh Kudus

foundational-pneumatology-and-theology-of-discernment-from-latino-

Pentecostal-perspectives. Diakses pada 10 Maret 2014.

156 Ott, Encountering Theology of Mission, 308-09.

Page 139: ASP NKRIS - pglii.or.id filea pentecostalperspective jurnal teologi oktober 2018 e - in d - o a n i e

138

akan memampukan orang-orang Kristen

menginternalisasi “the hospitality of God” dengan

menolong kita untuk berinteraksi secara positif sebagai

host dalam dunia yang pluralis secara agama.

Aktivitas ilahi dijelaskan sebagai force fields iman,

pengharapan dan kasih yang diciptakan Roh Kudus yang

memampukan umat manusia beranjak dari hubungan-

hubungan yang teralienasi, terluka dan destruktif menuju

hubungan yang rekonsiliatif, saling membangun,

menyembuhkan dan menyelamatkan. Oleh karenanya

aktifitas universal dari Roh adalah untuk

mengintegrasikan sesuatu kepada lingkungannya dalam

suatu cara sedemikian rupa sehingga ia dapat menjadi

autentik bagi dirinya sendiri dan menjadi pelayanan

dalam hubungan-hubungannya dengan orang lain.

Namun, Yong menyadari bahwa ideal semacam itu

bersifat eskatologi walau di sela oleh Roh Kudus, maka

ciptaan menghadapi divine absence dan belum dapat

terwujud di sini dan sekarang karena penolakan manusia

kepada tujuan-tujuan ilahi mereka, yang

mengekspresikan kebebasannya yang destruktif,

ketidakadilan-ketidakadilan, alianasi, dan penindasan-

penindasan. Ini yang kemudian disebutnya sebagai wujud

dari pekerjaan demonic spirits.

Yang menarik Yong kemudian mengemukakan

proses tiga rangkap-semacam screening-yang dapat

mendiscern apakah Roh Allah sungguh-sungguh ada

Page 140: ASP NKRIS - pglii.or.id filea pentecostalperspective jurnal teologi oktober 2018 e - in d - o a n i e

139

hadir di dalam agama-agama, termasuk kekristenan yaitu

pertama, kriteria eksperiensial-fenomenologi. Kedua,

kriteria etis-moral; ketiga, soteriologikal teologis. Kriteria

yang pertama merujuk kepada bentuk-bentuk aestetik

berupa simbol-simbol, dan ritual-ritual. Kriteria

pengalaman-pengalaman rohani yang fenomenal itu akan

dilihat sejauhmana ia melahirkan suatu bentuk-bentuk

tindakan-tindakan etis yang holistik, hubungan-hubungan

komunal yang terpelihara dan diperkuat, maka untuk

sementara dapat dikatakan bahwa Roh Allah yang

universal itu memang sungguh hadir di agama tersebut.

Namun, menjadi titik krusial pada kriteria ketiga,

menyangkut aspek soteriologi. Yong meyakini bahwa

agama tersebut dapat diakui sebagai yang memberitakan

berita keselamatan ketika ia terbukti membawa tanda-

tanda yang bersifat praksis yaitu keadilan, kasih,

keberpihakan kepada kaum marjinal dan tindakan-

tindakan lainnya yang bersifat liberatif. Bila tidak, Yong

menyebutnya, situasi itu sebagai divine absence. Dan

dalam situasi ini, maka agama itu sesungguhnya sedang

bersekutu dengan roh-roh yang demonik, walaupun

kelihatannya menampilkan kehebatan bersifat fenomenal.

Dengan pemahaman seperti ini, maka bukan tidak

mungkin orang-orang Pentakostal/Karismatik yang

mengklaim penuh Roh Kudus itu, sesungguhnya

bersekutu dengan roh yang denomik dan destruktif-

karena Yesus telah mengatakan, “dari buahnyalah kamu

Page 141: ASP NKRIS - pglii.or.id filea pentecostalperspective jurnal teologi oktober 2018 e - in d - o a n i e

140

mengenal mereka”-bila tidak menunjukkan tanda-tanda

praksis seperti di atas, dan dengan sendirinya menjadi

tidak relevan untuk membicarakan peran soteriologisnya.

Sementara diskursus misi dalam kaitannya dengan

Spirit/spirits pada konteks Asia telah lama disadari karena

memang Asia (dan juga Afrika) adalah negara-negara

dimana hidup kepercayaan-kepercayaan dan budaya

besar yang inheren dengan dunia roh. Namun,

tampaknya orang-orang Injili sendiri lebih memilih untuk

memasukkannya di dalam bingkai “Bible in the Context,”

karena kekuatiran mereka akan “roh yang lain,” yang

bukan dimaksudkan oleh Alkitab.157 Namun, paling tidak

pemikiran Yong dapat melakukan dialog dengan

postmodernisme. Yong sendiri menyadari bahwa dulu

pada waktu ia berada pada posisi Injili konservatif, ia

melihat kurang memadainya sumber-sumber yang

tersedia untuk membangun suatu teologi agama-agama,

sampai ia terinspirasi oleh tulisan-tulisan Clark Pinnock

(dan teolog-teolog Injili lainnya) pada tahun 1994.158

Pneumatologi Yong ini masih sulit diterima oleh orang-

orang Injili karena dianggap suatu proyek ambisius yang

dapat men-domestifikasi (meminjam istilah Lesslie

Newbigin) Injil, men-sinkretisme-kan kekristenan dan

resiko depersonalisasikan Roh Kudus. Bagi saya,

pendekatan pneumatologi bagi pembangunan teologi

157

Lihat Bong Rin Ro, Bible in Asia Context, 1982; Paul G. Hiebert, Anthropological Insights for Missionaries, 1985

158 Yong, Beyond the Impasse, 32-33.

Page 142: ASP NKRIS - pglii.or.id filea pentecostalperspective jurnal teologi oktober 2018 e - in d - o a n i e
Page 143: ASP NKRIS - pglii.or.id filea pentecostalperspective jurnal teologi oktober 2018 e - in d - o a n i e

142

(g) karakter Kristen dan hubungan-hubungan.160 Tujuh

indikator inilah yang disebut sebagai misi bersifat holistik

yang harus secara seimbang dijalankan dan dihidupi.

Lebih jauh Lord mengemukakan bahwa Roh Kudus yang

mengerjakan banyak aspek-aspek dilihat sebagai

pekerjaan Roh Kudus yang bukan hanya bersifat

partikular (gereja) tetapi juga universal (penciptaan).

Gerakan Roh Kudus antara keduanya yang membentuk

misi. Misi Roh ini meliputi gereja mensharingkan Kristus

dengan segenap ciptaan dan orang-orang dibawa ke

gereja. Ia juga termasuk pergerakan yang membawa

pengalaman-pengalaman Kerajaan Allah eskatologis dari

keadilan dan perdamian, kesembuhan, sukacita, kepada

dunia masa kini dan bergerak oleh gereja untuk terlibat di

dalam agenda politik dunia. Gerakan semacam itu

menggambarkan misi Roh dimana orang-orang terlibat

dan dalam melakukan hal demikian ia ada di dalam

missio Dei.161

Kesimpulan

Teologi Misi pentakostal dapat disebut sebagai

masih menuju “menjadi” (in the making). Adalah urgen

untuk menggumuli Teologi Misi ini sesuai dengan

kemajuan zaman dan tuntutan konteks. Dan tidak

160

Andrew Lord, Spirit-Shaped Mission. A Holistic Charismatic Missiology (Milton Keynes: Paternoster, 2005), 63

161 Lord, Spirit-Shaped Mission. A Holistic Charismatic Missiology, 87.

Page 144: ASP NKRIS - pglii.or.id filea pentecostalperspective jurnal teologi oktober 2018 e - in d - o a n i e

143

diragukan lagi abad-21 telah menciptakan suatu lanskap

yang sangat berbeda dalam mana Pentakostalisme harus

melakukan navigasi.162

Ada beberapa titik arsir (share some things in

common) dengan kelompok evangelikal—dan ada yang

tidak kompatibel juga karena karakteristik pentakostal

yang unik. Sebagaimana sudah dijelaskan di atas, bahwa

dua hal yang berkembang di dalam pengembangan

Teologi Misi pada kelompok evangelikal menjadi hal

yang dapat disepakati oleh kelompok pentakostal.

Pertama, di dalam membangun teologi yang kontekstual

kepada komunitas posmodern, misalnya, teologi berbasis

narasi menjadi hal yang dapat dikembangkan.

Sebagaimana postmodernisme sebagai sebuah fenomena

budaya dan filsafat yang meletakkan narasi pada tempat

yang penting, maka kelompok pentakostal menemukan

afirmasinya sebab sudah lama kaum pentakostal

meletakkan narasi sebagai sebuah bagian dari

membangun teologi. Kisah Para Rasul misalnya, dapat

dianggap kisah yang dapat dijadikan acuan di dalam

membangun Teologi Misi dan teologi Roh Kudus.

Titik arsir yang kedua dimana kelompok pentakostal

ada di dalam kesamaan dengan evangelikal adalah grand

narasi: Yesus Kristus adalah Juruselamat dunia. Dengan

berlandaskan teologi empat rangkap (Yesus Kristus

sebagai Penyelamat, Yesus Kristus sebagai Pembaptis,

Yesus Kristus sebagai Raja Yang Akan Datang). Namun,

selain titik arsis tersebut, ada beberapa hal yang perlu

diperhatikan sebagai yang tipikal atau karakteristik

162

Klaus, Reflection, 136.

Page 145: ASP NKRIS - pglii.or.id filea pentecostalperspective jurnal teologi oktober 2018 e - in d - o a n i e
Page 146: ASP NKRIS - pglii.or.id filea pentecostalperspective jurnal teologi oktober 2018 e - in d - o a n i e

145

Yang terakhir, dalam proses “menjadi” (in the

making) dari Teologi Misi pentakostal, harus dikatakan

bahwa kelompok pentakostal tampaknya masih akan

dibangun di atas church-view mission, ketimbang

kingdom-view church. Sebagaimana pentakostal sangat

terkenal dengan penanaman gereja yang ekspansif, maka

tempat ecclesiastic missiology masih mendapat tempat

yang penting. Kaum pentakostal tidak terlalu tertarik

dengan ide missio Dei. Namun, bukan berarti tidak

mengakui Allah sebagai Allah yang misionaris. Tetapi

diskursus mission Dei dibangun di atas teologi kedaulatan

Allah, sementara pentakostal melihat bahwa gereja

adalah agen penting bagi pelaksanaan misi. Ini dapat

menjadi sekaligus titik kelemahan yang membutuhkan

koreksi. Mengapa karena church-view mission telah

menjadikan Teologi Misi pentakostal membangun teologi

pertumbuhan gereja, bukan pertumbuhan Kerajaan Allah.

Teologi Pertumbuhan Gereja ini telah banyak dikritik

sebagai yang mensimplifikasi cara kerja Allah di dalam

dunia, dan telah menjadikan ukuran-ukuran kuantitas

sebagai kunci dari “keberhasilan” misi.

Page 147: ASP NKRIS - pglii.or.id filea pentecostalperspective jurnal teologi oktober 2018 e - in d - o a n i e

146

Daftar Pustaka Acuan

Anderson, Allan H., “Contextual Pentecostal Theology of David Yonggi Cho,”

dalam Asia Journal of Pentecostal Studies 7:1 (2004).

Bosh, David J., Transforming Mission: Paradigm Shifts in Theology of Mission.

Maryknoll: Orbis, 1991.

Brownson, James V., “Speaking the Truth in Love: Elements of a Missional

Hermeneutic,” dalam George R. Hunsberger and Craig Van Gelder,

eds., The Church Between Gospel and Culture. Grand Rapids:

Eedmans, 1996.

Burgess, Stanley M.; assoc. ed. Eduard M. van der Maas, The New

International Dictionary of Pentecostal and Charismatic Movements,

revised and expanded edition. Grand Rapids, Michigan: Zondervan,

2002.

Calson, Charles, How Now Shall We Live. Wheaton, IL: Tyndale, 1999.

Corrie, John, ed., Dictionary of Mission Theology. Nottingham: IVP Academic,

2007.

Davis, Joe, “Engaging Amos Yong’s Foundational Pneumatology and Theology

of Discernment from Latino Pentecostal Perspectives.” dalam,

http://love2justice. wordpress.com/2013/05/26/engaging-amos-yongs-

foundational-pneumatology-and-theology-of-discernment-from-latino-

Pentecostal-perspectives. Diakses pada 10 Maret 2014.

Darmaputera, Eka, “Konteks Berteologi di Indonesia,” dalam Konteks

Beteologi di Indonesia. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004.

Demster, Murray W., “Paradigm Shifts and Hermeneutics: Confronting Issues

Old and New,” dalam Pneuma 15, 2 (1993).

Engen, Charles van, “”Mission” Defined and Descried,” dalam David J.

Hesselgrave & Ed Stetzer, eds., Missionshift. A Global Mission Issues in

the Third Millenium. Nashville, TN.: B&H Publishing Group, 2010.

Hiebert, Paul G., “Critical Contextualization,” dalam International Bulletin of

Missionary Research 11.3, July, 1987.

Hollenweger, Walter J., “Introduction.” In A. Bittlinger, ed. The Church is

Charismatic: The World Council of Churches and the Charismatic

Renewal, 1981

Page 148: ASP NKRIS - pglii.or.id filea pentecostalperspective jurnal teologi oktober 2018 e - in d - o a n i e

147

Kirk, J. Andrew, Apa itu Misi? Suatu Penelusuran Teologis. Jakarta: BPK

Gunung Mulia, 2000

Klaus, Byron D., “Reflection on Pentecostal Mission for the Twenty-First

Century,” dalam Vinson Synan, Gen. Ed., Spirit-Empowered

Christianity in the 21st Century, (Lake Mary, Fl.: Charisma House,

2011.

Karkkainen, Veli-Matti Toward Pneumatological Theology. Pentecostal and

Ecumenical Perspective on Ecclesiology, Soteriology, and Theology of

Mission. Ed by Amos Yong. Lanham, New York & Oxford: University

Press of America, Inc, 2002.

Lord, Andrew, Spirit-Shaped Mission. A Holistic Charismatic Missiology.

Milton Keynes: Paternoster, 2005.

McGrath, Alister, A Passion for Truth. Downers Grove, IL: IVP, 1996.

Newbigin, Lesslie, the Gospel in a Pluralistic. Grand Rapids, MI: Wm.

Eerdman Publishing Co, 1989.

Nissen, Johannes, New Testament and Mission. Historical and Hermeneutical

Perspective, 2nd Edition. Frankfrut: Peter Lang, 1990.

Osborne, Grant R., the Hermeneutical Spiral. A Comprehensive Introduction

to Biblical Interpretation. Second Edition. Rivised and Expanded.

Downers Grove, IL: InterVarsity, 2006.

Ott, Craig, Stephen J. Strauss, Encountering Theology of Mission, Grand

Rapids, MI: Baker Books, 2010.

Scherer, J.A., “Church, Kingdom, and Missio Dei: Lutheran and Orthodox

Correctives to Recent Ecumenical Mission Theology,” 82-88 dalam C.

Van Engen, D.S. Gilliand, and P. Pierson eds.,The Good News of the

Kingdom: Mission Theology for the Third Millenniu. Maryknoll: Orbis,

1993.

Strondstrad, Roger, “Pentecostalism, Experiential Presuppositions, and

Hermeneutics” at the 20th Annual Meeting of the Society of

Pentecostal Studies, Dallas, Texas, November 8–10, 1990.

Sugirtharajah, R.S., Postcolonial Criticism and Biblical Interpretation.

Oxford: Oxford University Press, 2002.

Sutadi, Laurensius, “Postmodern Hermeneutik dan Teologi” (Pemikiran Lemah

Gianni Vattimo dan Hermeneutika Paul Ricoeur) dalam Studia

Philosophica et Theologica, Vol. 4 No. 2, Oktober 2004.

Page 149: ASP NKRIS - pglii.or.id filea pentecostalperspective jurnal teologi oktober 2018 e - in d - o a n i e

148

Vanhoozer, Kevin J., “Theology and the Condition of Postmodernity: a Report

on Knowledge (of God),” dalam the Cambidge Companion to

Theology, Kevin J. Vanhoozer, ed. Cambridge: Cambridge University

Press, 2003

Yung, Hwa, Mangoes or Bananas?: The Quest for an Authentic Asian Christian

Theology. Oxford, UK: Regnum Studies in Mission.

Weston, Paul, 'Lesslie Newbigin: A Postmodern Missiologist?' dalam

http://www.martynmission.

cam.ac.uk/media/documents/Archive%20Seminar%20Papers%20199

9-2002/-Lesslie%20Newbigin %20A%20 Postmodern%

20Missiologist. pdf. Diakses 11 Oktober 2014

Wright, Christopher J. H., the Mission of God. Unlocking the Bible’s Grand

Narrative. Downers Grove, IL.: IVP, 2006.

WCC, “You are the Light of the World” Statements on Mission by World

Council of Churches 1980-2005

Page 150: ASP NKRIS - pglii.or.id filea pentecostalperspective jurnal teologi oktober 2018 e - in d - o a n i e

149

"PENTECOSTAL RESSOURCEMENT"

MENUJU ONTOLOGI SAKRAMENTAL PERJUMPAAN

OLEH: PDT. OYAN SIMATUPANG, PH.D. (C)164

Abstract: Di dalam tulisan ini penulis meyakini bahwa

ontologi sakramental sangat ideal untuk menjadi dasar

pengembangan teologi pentakostal yang memungkinkan untuk

gerakan pentakosta mengembangkan intelektual dan spiritual

kedepannya. Tulisan ini menjelaskan apa yang terhilangkan

dalam Gereja Katolik Roma di saat yang bersamaan dengan

pemaparan proyek ressourcement, dan di bagian akhir penulis

menunjukkan pentingnya mendengarkan apa yang disampaikan

nouvelle théologie bagi perkembangan teologi pentakostal.

Tulisan ini menegaskan bahwa perlunya sebuah usaha

membangun ressourcement khas Pentakostal yang nantinya akan

164. Pdt. Oyan Simatupang (Oyan adalah panggilan akrab

nama Florian) adalah pendeta di GSJA International English Service,

di Jakarta, yang sebelumnya menggeluti dunia profesi selama +/- 15

tahun. Tahun 2009-2012 mengenyam pendidikan teologi di Regent

College, Vancouver, Canada dan mendapatkan gelar MDiv. Saat ini

sedang menyelesaikan disertasinya untuk gelar Ph.D. dalam bidang

teologi gereja (ecclesiology) di Regent University, Virginia, USA,

secara khusus meneliti tentang sakramen perjamuan kudus. Email:

[email protected]. Makalah ini disampaikan di acara Sarasehan

Perdana Sarjana Pentakostal di Ungaran, 17-18 September 2018.

Page 151: ASP NKRIS - pglii.or.id filea pentecostalperspective jurnal teologi oktober 2018 e - in d - o a n i e

150

membantu gerakan ini memperjelas pemahaman dan pemaparan

teologis Pentakostal yang bersifat sakramental.

Keywords: pentakostal, ressourcement, ontologi

sakramental, gereja.

oleh dikatakan terdapat sebuah konsensus yang

menyatakan bahwa teologi Pentakostal adalah

tentang perjumpaan dengan misteri yang dimediasi

oleh pengalaman dengan Roh Kudus.165

Hal ini, menurut saya,

memberikan peluang besar bagi teolog Pentakostal untuk bisa

berkontribusi dalam pembicaraan teologis ekumenis baik di

gereja maupun di dunia akademis. Namun, sebagai pendatang

baru dalam pembicaraan yang sudah berlangsung lama ini, saya

rasa penting bagi teolog Pentakostal untuk juga memperhatikan

dan mengetahui isi pembicaraan yang sudah terjadi sebelum-

sebelumnya; bukan itu saja, bahkan seorang teolog Pentakostal

telah mengusulkan bahwa postur mendengarkan-sebelum-

berbicara ini adalah bagian penting yang dibutuhkan untuk

165. Mark J. Cartledge, Encountering the Spirit: The

Charismatic Tradition (Maryknoll, N.Y: Orbis Books, 2007), 16; Keith

Warrington, Pentecostal Theology: A Theology of Encounter, 1st

edition (London; New York: Bloomsbury T&T Clark, 2008), 20.

B

Page 152: ASP NKRIS - pglii.or.id filea pentecostalperspective jurnal teologi oktober 2018 e - in d - o a n i e
Page 153: ASP NKRIS - pglii.or.id filea pentecostalperspective jurnal teologi oktober 2018 e - in d - o a n i e

152

memulai sebuah proyek teologis yang dikenal sebagai

ressourcement. Pada waktu itu banyak orang di dalam Gereja

Katolik Roma yang melihat bahwa gereja telah kehilangan indera

misterinya, dan tujuan dari proyek ressourcement ini adalah

untuk memulihkan indera tersebut dengan menggali kembali

pemahaman sintesis Kristen-Platonis dari para Bapa Gereja.168

Dalam pandangan saya , penemuan kembali indera misteri ini

penting bagi teologi Pentakostal. Pergerakan Pentakostal adalah

sebuah perggerakan yang menarik garis silsilahnya dari garis

Kekristenan Barat melalui Reformasi Protestan, dan hal ini

secara tidak sengaja telah membuat pergerakan ini 'kehilangan'

indera misteri ini. Dalam pandangan saya proyek ressourcement

ini dapat menawarkan satu tuntunan atau panduan dalam

memulihkan apa yang tanpa disadari telah hilang dari kosakata

Pentakostal. Oleh karena itu, yang menjadi tesis makalah adalah

pendapat yang mengatakan bahwa mendengarkan apa yang

ressourcement. Lihat Henri de Lubac, The Mystery of the Supernatural,

(New York: The Crossroad Publishing Company, 1998), xxi-xxii.

168. Membahas subyek ini dengan dalam tidak mungkin untuk

lingkup makalah ini tetapi perlu untuk saya tegaskan dari permulaan

bahwa para teolog kontemporer yang mendukung pandangan sintesis

Platonis-Kristen Patristik akan mengatakan bahwa para Bapa Gereja

telah menggunakan unsur-unsur pemikiran Platonik dengan tepat

sambil menolak hal-hal yang tidak kompatibel dengan pemikiran

Kristen.

Page 154: ASP NKRIS - pglii.or.id filea pentecostalperspective jurnal teologi oktober 2018 e - in d - o a n i e

153

disampaikan nouvelle théologie memberikan hal-hal yang

berpotensi memberi manfaat besar bagi pengembangan metode

teologi Pantekostal yang merangkul misteri dengan penuh

keakraban bahkan kemesraan.

Tesis ini akan dipaparkan dengan cara membagi

makalah ini menjadi tiga bagian: Pertama saya akan memberikan

sketsa tentang apa yang terhilang dari kita sebagai salah satu

keturunan Reformasi Protestan. Untuk perbandingan saya juga

akan memberikan sketsa apa yang terhilangkan dalam Gereja

Katolik Roma di saat yang bersamaan. Kedua, saya akan

memaparkan apa yang ditemukan kembali oleh proyek

ressourcement. Ketiga, saya akan mencoba menunjukkan

mengapa penting bagi perkembangan teologi Pentakostal untuk

mendengarkan apa yang disampaikan nouvelle théologie, dan

kemudian menyimpulkan dengan beberapa gagasan untuk ke

depan. Saya mulai dengan bagian pertama.

Meskipun orang-orang Pentakostal mengatakan bahwa

teologi mereka bersifat eksperiensial, cara mereka berteologi

masih sangat dipengaruhi oleh metode Reformasi Protestan,

paling tidak dengan hal yang berkenaan denan pemahanan ketiga

Page 155: ASP NKRIS - pglii.or.id filea pentecostalperspective jurnal teologi oktober 2018 e - in d - o a n i e
Page 156: ASP NKRIS - pglii.or.id filea pentecostalperspective jurnal teologi oktober 2018 e - in d - o a n i e
Page 157: ASP NKRIS - pglii.or.id filea pentecostalperspective jurnal teologi oktober 2018 e - in d - o a n i e
Page 158: ASP NKRIS - pglii.or.id filea pentecostalperspective jurnal teologi oktober 2018 e - in d - o a n i e

157

menolak gagasan bahwa Tuhan jauh dari ciptaannya; namun

pada umumnya orang-orang Pentakostal belum merasa perlu

melihat ke Tradisi Agung para Bapa Gereja sebagai titik acuan,

karena postur anti-tradisi mereka yang cenderung

menganggapnya kontradiktif dengan "karya Roh yang spontan

dan baru."178

Postur anti-tradisi ini sebenarnya bukan hanya didapati

dalam aliran Pentakostal; sebab ternyata sebagai keturunan

Protestan, kita 'di-tradisikan' untuk melakukan hal tersebut.

Harus diakui bahwa Gerakan Reformasi Protestan telah

menyumbangkan banyak hal yang baik dan penting: misalnya

membawa kembali sentralitas Firman yang disampaikan melalui

khotbah, pentingnya pembelajaran atau penelaahan Alkitab demi

berkembangnya iman orang percaya, dan keterlibatan pelayanan

dari orang-orang awam. Tetapi ini tidak berarti bahwa Reformasi

Protestan tidak lepas dari permasalahannya sendiri. Sebagai

contoh kita ambil doktrin Sola Scriptura yang sering

diekspresikan dengan mengorbankan atau membuang apa yang

dikenal dengan tradisi hidup (living tradition), dan menganggap

178. Chan, Pentecostal Theology and the Christian Spiritual

Tradition, 22.

Page 159: ASP NKRIS - pglii.or.id filea pentecostalperspective jurnal teologi oktober 2018 e - in d - o a n i e

158

seolah-olah gereja tidak memiliki peran sama sekali dalam

menetapkan batas-batas yang tepat dalam menafsirkan teks-teks

Kitab Suci.179

Yang menarik adalah tindakan mempertentangkan

Kitab Suci kepada tradisi ini juga terjadi dalam gerakan Kontra

Reformasi Katolik yang, dalam reaksinya terhadap Reformasi

Protestan, menegaskan bahwa otoritas tertinggi hanya didapatkan

atau ditemukan dalam dan melalui Gereja.180

Persamaan, atau

paling tidak kemiripan, yang didapati di Katolik Roma dan

Kristen Protestan, menurut nouvelle théologie, terjadi akibat dari

kedua belah pihak yang telah menanggalkan sintesis Platonis-

Kristen dari Tradisi Agung para Bapa Gereja.181

Ini membawa

kita ke bagian kedua.

Yang menjadi perhatian dan keinginan utama proyek

ressourcement adalah mengembalikan teologi Katolik Roman

kepada asalnya dengan menggali kembali sumber-sumber

patristik dan teologi abad pertengahan (medieval), dan hal ini

bertujuan untuk bisa memberikan jawaban atas pertanyaan-

pertanyaan yang diajukan oleh gejolak modernitas kepada

179. Boersma, Heavenly Participation, 88.

180. Boersma, 62.

181. Boersma, 67.

Page 160: ASP NKRIS - pglii.or.id filea pentecostalperspective jurnal teologi oktober 2018 e - in d - o a n i e
Page 161: ASP NKRIS - pglii.or.id filea pentecostalperspective jurnal teologi oktober 2018 e - in d - o a n i e

160

dan oleh karenanya ciptaan memiliki otonomi sendiri;184

satu hal

yang akhirnya nanti memberikan jalan bagi tumbuhnya

sekularisme dengan subur.185

Para teolog ressourcement mempertanyakan keabsahan

asumsi-asumsi yang dipegang oleh pemahaman Neo-Skolastik,

dan mereka berupaya memulihkan pemikiran para Bapa Gereja

dan teolog abad pertengahan ke dalam gereja sebagai cara untuk

gereja bisa kembali ke pemahaman Alkitab-dan-tradisi dengan

tujuan agar tidak ada lagi dikotomi antara iman dan teologi, dan

sebagai hasilnya kedua hal tersebut dapat kembali menjadi

relevan dalam kehidupan orang-orang banyak.186

Agar hal ini

bisa terjadi maka diperlukanlah cara memandang dan memahami

realita yang kembali sakramental dan sekaligus berpusat pada

Kristus.187

Selain mengatakan bahwa Tuhan telah menciptakan

dunia dan menyatakannya baik, dan memandang bahwa dunia

menunjuk kepada Tuhan sebagai sumber keberadaannya,

184. Boersma, 78.

185. James K. A. Smith, Introducing Radical Orthodoxy:

Mapping a Post-Secular Theology (Grand Rapids, Mich: Baker

Academic, 2004), 99.

186. Boersma, Heavenly Participation, 15.

187. Boersma, 20.

Page 162: ASP NKRIS - pglii.or.id filea pentecostalperspective jurnal teologi oktober 2018 e - in d - o a n i e
Page 163: ASP NKRIS - pglii.or.id filea pentecostalperspective jurnal teologi oktober 2018 e - in d - o a n i e
Page 164: ASP NKRIS - pglii.or.id filea pentecostalperspective jurnal teologi oktober 2018 e - in d - o a n i e
Page 165: ASP NKRIS - pglii.or.id filea pentecostalperspective jurnal teologi oktober 2018 e - in d - o a n i e
Page 166: ASP NKRIS - pglii.or.id filea pentecostalperspective jurnal teologi oktober 2018 e - in d - o a n i e
Page 167: ASP NKRIS - pglii.or.id filea pentecostalperspective jurnal teologi oktober 2018 e - in d - o a n i e
Page 168: ASP NKRIS - pglii.or.id filea pentecostalperspective jurnal teologi oktober 2018 e - in d - o a n i e
Page 169: ASP NKRIS - pglii.or.id filea pentecostalperspective jurnal teologi oktober 2018 e - in d - o a n i e

168

MENGHAYATI KARUNIA ROH KUDUS DI DALAM

SEMANGAT KEADILAN LABA

OLEH: MICHAEL KRISSUSANTO Abstract: Penulis menawarkan untuk melepaskan

penghayatan-penghayatan karunia-karunia Roh Kudus di

dalam kerangka spiritual melulu, dan melihat fenomena

penghayatan karunia Roh Kudus yang kaya di dalam dunia

ekonomi di dalam tataran praktis kehidupan kegerejaan

pentakostal. Berangkat dari penghayatan tersebut dapat

menghasilkan sebuah dinamika “keadilan-laba” yang di

dalam penatalayanan gereja pentakostal.

Keywords :Karunia, Roh Kudus, ekonomi, laba,

gereja, keadilan, pentakostal

Pada pengertian yang subtansif, laba adalah: daya yang

masuk lebih besar dari daya yang keluar – felix Rohatyn

Life...There are only two ways to living: Increase income and

decrease costs – Fred DeLuca

anusia yang sangat individualistis tak dapat

memisahkan diri dari sesamanya, sehingga ia harus

berada di dalam ruang dan waktu yang sama

secara bersama-sama. Ketika sebuah kehidupan

sosial selalu tersusun atas berbagai indivdu,

kehidupan sosial akan selalu merupakan tempat bertemunya

berbagai keberadaan yang di dalamnya terdapat berbagai

kepentingan juga. Magnis Suseno mayakini bahwa kondisi

seperti itulah yang membuat manusia harus terus

berkompetisi dengan sesamanya, sekaligus menyesuaikan

dengan keberadaan sesamanya (Suseno 1989, 21-22).

M

Page 170: ASP NKRIS - pglii.or.id filea pentecostalperspective jurnal teologi oktober 2018 e - in d - o a n i e

169

Untuk membangun sebuah dinamika kepentingan yang baik,

maka perlu diregulasikan sistem yang mengatur kepentingan

pribadi dan kepentingan sosial. Dalam konteks sosial

dinamika kepentingan pribadi yang paralel dengan

kepentingan sosial ini adalah nilai sebuah keadilan (Ryan

1996, 53-54).

Keadilan sendiri adalah sebuah bahasan filsafat yang

paling sering dikaji oleh banyak orang. Berbagai perspektif

dan teori-teori hukum alam yang mengutamakan

pencaharian keadilan, dari Socrates hingga Francois Geny

tetap menjadikan pembahasan keadilan sebagai kegiatan

utama di dalam dunia penelitian hukum (Huijbers 1995,

196). Meskipun bukan menjadi satu-satunya prasyarat

kehidupan sosial yang sehat, tetapi keadilan memiliki peran

yang fundamental bagi masalah kehidupan sosial, baik

koordinasi, stabilitas maupun efisiensi. Masalah keadilan

selalu menarik untuk dibahas di dalam keterkaitannya

dengan moral, kehidupan bernegara, dan bermasyarakat. Di

dalam kekristenan sendiri selalu ada wilayah yang dapat

disentuh oleh nilai keadilan. Wahyu yang diyakini tertuang

di dalam Alkitab juga sarat dengan prinsip-prinsip

pembentuk bangunan keadilan, sehingga dari situlah

kekristenan berusaha membentuk wajah agama yang

menegakkan keadilan dan mengembangkan etika keadilan

dalam ranah kehidupan yang begitu luas dan kompleks. Dari

sini harus diakui bahwa pembicaraan keadilan adalah

sebuah pembicaraan dengan cakupan dimensi yang sangat

luas di dalam kehidupan individual seseorang, Hal tersebut

yang membuat rumitnya upaya penyusunan teori-teori

keadilan ketika teori-teori tersebut hendak diterapkan di

dalam realitas kehidupan manusia.

Keadilan dapat dianggap sebagai sebuah gagasan

dan realitas yang dihasilkan dari serangkaian proses filosofis

Page 171: ASP NKRIS - pglii.or.id filea pentecostalperspective jurnal teologi oktober 2018 e - in d - o a n i e

170

yang rumit, tetapi juga ada anggapan bahwa keadilan

hanyalah sebuah hasil telaah agama dan filsafat mengenai

kehidupan sosial. Tidak heran kita melihat bahwa diskursus

mengenai keadilan telah panjang terbentang di dalam

runutan sejarah. Oleh karena itu, bab ini memuat dua

pendekatan etis dan teologis yang diharapkan menjadi

sebuah dinamika perbandingan yang semakin memperjelas

bentuk prinsip keadilan yang baik dan tepat.

Melepaskan karunia Roh Kudus dari batasan ministerial

kepada dunia yang lebih luas (ekonomi)

Richard K . Taylor mengatakan bahwa Masalah

ekonomi bukanlah masalah yang bersifat mistik yang

mustahil untuk diselesaikan sehingga mengharuskan

manusia untuk menyesuaikan dengan masalah ekonomi

tersebut (Taylor, 1973, 5). Masalah ekonomi bukanlah

sesuatu yang mengatur pola kehidupan manusia, masalah

ekonomi harus menjadi tantangan bagi manusia sehingga

dapat diatasi dan diatur demi menciptakan kehidupan yang

lebih baik. Masalah ekonomi bukanlah sebuah batasan bagi

nilai-nilai etis, tetapi merupakan tantangan bagi umat

manusia, khususnya bagi manusia yang beragama,

merupakan tugas yang terus harus dikerjakan untuk

mewujud-nyatakan bentuk-bentuk keyakinannya dalam

sebuah kebaikan bagi banyak orang.

Gerakan pentakostal adalah kegerakan yang

menekankan peran dan karunia-karunia Roh Kudus di dalam

kehidupan jemaat, di dalam kehidupan sehari-hari simbol

dan makna pesan-pesan mimbar gerejawi menekankan

bahwa ada pekerjaan dan karya Roh Kudus di dalam

kehidupan orang percaya. Karunia itu sendiri dipahami

sebagai kekuatan yang diberikan Roh Kudus kepada siapa

saja yang percaya dan taat kepada pribadi ketiga dari Allah

Page 172: ASP NKRIS - pglii.or.id filea pentecostalperspective jurnal teologi oktober 2018 e - in d - o a n i e

171

yaitu Roh Kudus. Pengajaran mengenai Roh Kudus seringkali

ditarik ke dalam kehidupan praktis, karya Roh Kudus di

dalam memberikan karunia-karunia Roh Kudus kepada

setiap orang percaya adalah sebuah wujud nyata kasih Allah

dan bentuk yang lebih praktis dari peran Roh Kudus sebagai

Penolong bagi orang percaya.

Gereja bernuansa Pentakosta memaknai Roh Kudus

sebagai Penolong tidak hanya di dalam kerangka rohani atau

kehidupan bergereja saja, namun penolong dimaknai

sebagai karya nyata Roh Kudus yang turut ambil bagian

secara langsung di dalam setiap segi kehidupan praktis

orang percaya, termasuk di dalamnya adalah kehidupan

ekonomi dan pekerjaan setiap orang percaya. Karunia Roh

Kudus seringkali diwujudkan ke dalam kekuatan mistis dan

kematangan karakter yang akan membuat kehidupan

ekonomi praktis seseorang akan semakin baik. Dan cara

pemaknaan terhadap karunia Roh Kudus yang demikian

inilah yang juga mewarnai model korelasi Allah dan

kehidupan ekonomi di dalam penatalayanan pentakostal.

Karunia-karunia rohani dan nilai-nilali ekonomis

yang seringkali sulit untuk ditemukan dinamikanya, namun

di dalam dinamika bergereja Pentakostal dengan unik

namun juga cenderung pragmatis memiliki dua sisi tersebut

sebagai nuansa yang pekat mewarnai mekanisme kehidupan

bergereja dan kehidupan pastoral. Gerakan Pentakostal di

satu sisi adalah gerakan yang menekankan karunia-karunia

Roh Kudus baik di dalam kehidupan ibadah tapi di sisi lain

juga memberi ruang besar terhadap nilai-nilai bisnis dan

ekonomi untuk dikombinasikan di dalam teologi

bergerejanya. Penulis mengalami kesulitan untuk

mengetahui persentase pasti dari jumlah pejabat gereja yang

melakukan bisnis aktif, karena memang belum ada

Page 173: ASP NKRIS - pglii.or.id filea pentecostalperspective jurnal teologi oktober 2018 e - in d - o a n i e

172

penelitian yang mendapatkan angka pasti dari regulasi

kategori tersebut.

Karunia Roh Kudus dan ekonomi.

Norman Pittenger melandaskan konsep karunia Roh

Kudus dengan selalu menghubungkannya dengan pekerjaan

Roh Kudus di dalam ruang dan waktu di dalam kosmik dan

aktivitas sejarah. Sehingga karunia-karunia Roh Kudus tidak

dipenjarakan di dalam dunia kegerejaan saja (Pittenger

1974, 66). Dualisme yang salam ini memisahkan antara

yang sakral dari secular, menjadikan karunia Roh Kudus

dimaknai sebagai pekerjaan Roh Kudus di dalam dunia

rohani saja sedangkan dunia sekular dipandang sebagai

dunia yang terpisah dari karya Roh Kudus. Oleh karena itu

menjadi hal yang sangat berharga jika karunia Roh Kudus

dapat dibicarakan dalam sudut pandang ekonomi.

Bonar Sidjabat mengusulkan bahwa konsep Karunia

Roh Kudus harus benar-benar terhindar dari pengertian roh

yang justru bertentangan dengan Roh Kudus itu sendiri. Di

antaranya adalah pertama, uniomystica di mana karunia Roh

Kudus dimanifestasikan dari hasil penyamaan roh manusia

dan Roh Kudus itu sendiri dengan demikian ‘ego’

ditonjolkan seolah-olah adalah Roh Kudus itu sendiri.

Sehingga batasan antara manifestasi roh manusia dan Roh

Kudus telah dikaburkan. Kedua, Spiritual Hybris kepemilikan

karunia Roh Kudus menjadikan diri sendiri lebih saleh dan

kudus daripada yang lain. Spiritual Hybris pada dasarnya

adalah sebuah bentuk yang halus sekali dari pikiran manusia

(=roh manusia) yang mengatakan, bahwa dengan prestasinya

yang sedemikian hebat dalam bidang batiniah dan rohaniah

ia akan mencapai keselamatan. Ketiga, Spiritism yang

membentuk karunia-karunia Roh Kudus karena hasil dari

kerasukan Roh Kudus layaknya kerasukan roh-roh manusia

Page 174: ASP NKRIS - pglii.or.id filea pentecostalperspective jurnal teologi oktober 2018 e - in d - o a n i e

173

yang sudah mati. Keempat, karunia-karunia Roh Kudus harus

terhindar dari sifat-sifat roh zaman yang negatif, dalam

pengertian sebagai suasana zaman yang dibina oleh faktor

budaya, agama, lingkungan, politik, ekonomi, militer dan

ideologi yang mempengaruhinya. Karunia Roh Kudus

diperuntukkan untuk memenuhi rencana besar Allah bagi

dunia, bukan bagi individual, atau sekelompok orang, bukan

juga bagi gereja dan bangsa bahkan bukan juga untuk

kepentingan umat manusia sendiri, tetapi bagi seluruh

ciptaan Allah di dunia secara universal (Bonar 1978, 21-33).

Ada beberapa usulan konsep karunia Roh Kudus

yang akan dibahas di bawah ini: Karunia Roh Kudus untuk

memberdayakan pola pikir, karunia rohani tidak menggeser

peran pikiran dan akal sehat, sehingga karunia Roh Kudus

membentuk pola pikir seseorang untuk sadar bahwa sistem

ekonomi adalah anugerah Allah bagi kesejahteraan umat

manusia. Dalam hal ini tentu pola pikir yang selalu

meromantisasi kemiskinan sebagai yang suci harus ditinjau

kembali. Pola pikir yang menyerah dengan keadaan

sehingga menghalangi orang untuk secara kreatif

memberdayakan kemampuan ekonominya harus dikikis oleh

hikmat yang bersumber dari Roh Kudus. Roh Kudus adalah

Allah yang memberdayakan manusia melalui pola pikir

seseorang, sehingga seseorang memiliki kesadaran bahwa

kemiskinan bukanlah sebuah kutuk melainkan sebuah hasil

dari pola pikir yang salah.

Karunia Roh Kudus untuk memberdayakan Iman,

Adam Smith dengan teori “Invisible Hands” yang

mengendalikan system ekonomi dunia, merupakan sebuah

ruang yang dapat diisi oleh faktor Ilahi, sehingga bukanlah

hal yang tabu jika iman memiliki peranan di dalamnya

(Taylor 1973. 11). Roh Kudus dan karunia-karunia yang

diberikannya slogan yang terkenal dalam dunia bisnis dan

Page 175: ASP NKRIS - pglii.or.id filea pentecostalperspective jurnal teologi oktober 2018 e - in d - o a n i e

174

ekonomi adalah “tanggalkan imanmu ketika memasuki

ruangan bisnis”, ini merupakan pemahaman yang sangat

dikotomis. Karunia Roh Kudus bersifat memberdayakan

iman seseorang. Iman yang kuat yang tidak tergoyahkan oleh

sebuah prinsip-prinsip ekonomi dunia. Iman yang

berdasarkan pertimbangan pola pikir yang sehat dan

penghayatan akan Firman Allah diperlukan untuk mewarnai

dunia ekonomi dan bisnis. Ekonomi dan bisnis menjadi

sarana untuk memuliakan Tuhan dan mendewasakan iman.

Karunia Roh Kudus untuk memberdayakan mental .

Roh Kudus adalah Allah yang membangun mental seseorang

sehingga menjadi kuat menghadapi kenyataan kehidupan

yang tidak selalu mulus. Di dalam dunia bisnis dan

ekonomi, kegagalan dan kebangkrutan merupakan fakta

yang harus dihadapi. Roh Kudus mengaruniai seseorang

yang hidup mengandalkanNya untuk membangun

mentalnya menjadi unggul dan tangguh sehingga tidak

gampang menyerah dan terus berjuang dengan sekuat

tenaga serta berani menghadapi kegagalan demi kegagalan

sampai memperoleh sesuatu yang diharapkan. Dalam dunia

bisnis dan ekonomi diperlukan mental yang kuat untuk

mengambil sebuah sikap yang berani mengambil resiko atas

sebuah keputusan yang sudah dibuat. Josia Abdisaputera

menggambarkan karunia Roh Kudus kepada kehidupan

Petrus sehingga Petrus menjadi orang yang memilki mental

yang tangguh. Petrus adalah seorang murid Yesus yang

sering mengalami kegagalan. Pengakuannya tentang Anak

Allah yag hidup (Matius 16:6) mendapat pujian dari Yesus

sendiri, tapi di kemudian waktu justru dia sendiri yang

berniat akan menghalangi Yesus untuk pergi ke Yerusalem,

mati dan disalibkan di sana (Matius 16:23). Petrus yang

dengan berani memotong telinga hamba imam besar sampai

putus, tetapi Petrus yang sama juga menyangkal Gurunya

Page 176: ASP NKRIS - pglii.or.id filea pentecostalperspective jurnal teologi oktober 2018 e - in d - o a n i e

175

sendiri sebanyak tiga kali. Tuhan mengizinkan seseorang

gagal agar seseorang tersebut bangkit kembali (Josia 2011,

72-73). Di dalam dunia bisnis dan ekonomi kegagalan pasti

terjadi tetapi mental yang tangguh untuk tidak menyerah

adalah faktor yang penting.

Karunia Roh Kudus yang memberdayakan karakter

dan kebiasaan. Karunia Roh Kudus di dalam dunia memang

seringkali mengakibatkan Roh Kudus dimaknai hanya

sekedar fungsi dan aspek rohani di dalam pengalaman

manusia. Namun harus tetap diakui bahwa karya-karya Roh

Kudus memiliki dampak bagi kehidupan manusia secara

dinamis di dalam pengalaman hidup manusia itu sendiri.

Dan dampak tersebut harus dapat dilihat melalui karakter

yang semakin matang. Karunia Roh Kudus tidak hanya

bersifat mistik, sehingga tidak menimbulkan Hybris rohani

(spiritual hybris) yaitu kecongkakan, kepongahan dan

perasaan di atas segala-galanya. Hybris rohani ini

menganggap pelaksanaan ritual-ritual rohani membuat diri

seseorang lebih baik dan lebih suci dari yang lain (Sidjabat

1978, 23).

Di dalam etika kepemilikan, dapat dipahami bahwa

manusia bukanlah pemilik tetapi sebagai individu yang

dipercayakan Allah untuk mengelola kekayaan yang ada.

Oleh karena itu sebagai pengelola harta kekayaan yang baik

diperlukan juga karakter yang baik, sehingga dari karakter

yang baik seseorang dapat memiliki integritas yang baik

dalam mengatur keuangan dan ekonomi. (Josia 2011,163-

164). Karunia Roh Kudus juga berperan memberdayakan

sikap dan kebiasaan. Josia berpendapat bahwa seseorang

yang dipenuhi Roh Kudus maka Roh Kudus mendorong

seseorang untuk membangun sikap dan kebiasaan sehingga

hal tersebut akan membangun pula kehidupan ekonominya.

Menurut Josia ada beberapa sikap yang perlu dibangun:

Page 177: ASP NKRIS - pglii.or.id filea pentecostalperspective jurnal teologi oktober 2018 e - in d - o a n i e

176

Optimis, membuat seseorang untuk dapat melihat

kesempatan di balik setiap masalah. Berani, membuat

seseorang untuk siap menanggung resiko atas tindakan yag

dilakukan bila harus mengalami kerugian. Rajin, kemiskinan

dan kekurangan adalah buah dan akibat dari memiliki sikap

dan kebiasaan yang malas. Sehingga rajin menjadi faktor

penting dalam kehidupan ekonomi seseorang. Melakukan

yang terbaik, mengerahkan segala kemampuan untuk

menghasilkan dan mengerjakan yang terbaik akan

menjadikan seseorang sebagai professional di bidangnya.

Profesionalisme membuat pekerjaan, pelayanan maupun

bisnis semakin berkembang dan semakin membawa dampak

positif bagi dirinya sendiri dan bagi banyak orang. Tekun

dan konsisten, membuat seseorang menyelesaikan semua

pekerjaan dengan baik dan tuntas. Sikap dan kebiasaan di

atas adalah karunia Roh Kudus yang diberikan kepada

orang-orang yang membuka diri bagi Roh Kudus itu sendiri

(Josia 2011, 93-99).

Karunia Roh Kudus untuk mengembangkan

kecerdasan finansial. Roh Kudus sebagai kuasa yang kreatif

dan aktif di dalam hidup seseorang, memberdayakan

kecerdasan seseorang di dalam mengusahakan terciptanya

kehidupan yang berkualitas, baik secara rohani dan

ekonomi. Roh Kudus bekerja membangun kreatifitas dan

kepekaan dalam diri seseorang dalam untuk menciptakan

kehidupan yang dinamis sehingga membangun kecerdasan

finansial di dalam kehidupan individu tersebut. Kecerdasan

finansial tidak dimaknai sebagai kecerdasan yang bersifat

ekonomis tetapi sebagai kemampuan untuk memaknai nilai-

nilai finansial yang juga berintegrasi dengan nilai-nilai

rohani sehingga menciptakan kebahagiaan dari hasil sebuah

pertimbangan yang panjang terhadap nilai ekonomi dan

Rohani.

Page 178: ASP NKRIS - pglii.or.id filea pentecostalperspective jurnal teologi oktober 2018 e - in d - o a n i e

177

Josia memaknai kecerdasan finansial sebagai

kecerdasan dalam bidang keuangan adalah segala sesuatu

yang berhubungan dengan kemampuan kita untuk

memahami bagaimana mengatur keuangan dan

mengembangkan keuangan, khususnya bagi diri sendiri

sebagai tahap awal (Josia 2011, 134). Tujuan utama

memiliki kecerdasan finansial adalah memiliki pemahaman

yang benar tentang pengelolaan keuangan dan prinsip

berinvestasi. Kemampuan seperti inilah yang harus disadari

sebagai karunia Roh Kudus di dalam diri seseorang. Setiap

orang yang menerima Roh Kudus menerima karunia untuk

mengembangkan kemampuannya dalam mengatur

keuangan.

Yesus memberikan perumpamaan tentang

pentingnya melakukan investasi untuk mendapatkan hasil

yang berlipat ganda pada perumpamaan tentang talenta di

Matius 25:14-30. Berinvestasi adalah menanamkan sesuatu

untuk mendapatkan hasil yang lebih besar dan berlipat

ganda pada masa-masa mendatang. Allah menuntut sikap

yang bertanggung jawab terhadap kekayaan yang sudah

dipercayakan kepada seseorang. Dan pelipat gandaan

diartikan sebagai bukti sebuah tanggung jawab. Tanggung

jawab seseorang terhadap kekayaan yang dipercayakan

Allah kepadanya dapat dijadian salah satu indikator kualitas

kesetiaan seseorang kepada Allahnya.

Penilaian etis terhadap karunia Roh kudus yang

ekonomis

Bill Hybels mengatakan bahwa prinsip dagang dan

prinsip pelayanan sama-sama setuju bahwa jangan mencari

keuntungan di dalam kegiatan sosial (Hybels 1994, 8).

Pemahaman ini yang juga berkembang di dalam kaum

pendeta dan aktifis kegerejaan pentakosta, untuk memenuhi

Page 179: ASP NKRIS - pglii.or.id filea pentecostalperspective jurnal teologi oktober 2018 e - in d - o a n i e

178

kebutuhan finansial pribadi dan keluarga mereka

mengupayakan dengan bisnis sehingga tidak lagi

mengharapkan keuntungan finansial dari pelayanan

kegerejaan mereka. Sehingga muncul slogan yang cukup

terkenal di dalam komunitas pentakostal (khususnya GBI)

bahwa menjadi seorang pendeta tidak harus full time tetapi

full heart.

Keadaan di atas yang membentuk konteks pelayanan

gereja pentakosta yang menekankan karunia Roh Kudus

sekaligus nilai-nilai ekonomi dan bisnis. Contoh: Pendeta

Gereja Bethel Indonesia diposisikan sebagai pemberita

utama kepada jemaat mengenai karunia-karunia Roh Kudus

tetapi sekaligus menjadi manager utama di dalam ekonomi

rumah tangga gereja, sesuai dengan tata gereja GBI Pasal 90

– pasal 91 (gembala sidang sebagai pengelola keuangan dan

aset gereja). Konteks di mana konsep Roh Kudus dan konsep

ekonomi saling mewarnai serta saling mempengaruhi satu

dengan yang lain.

Namun yang perlu disadari dan diwaspadai disini

adalah ketika muncul kecenderungan satu konsep

mengkanibal konsep yang lain sehingga gejala praktis yang

muncul bukan dari hasil suatu hubungan dialogis yang

dinamis tetapi hasil dari dominasi salah satu konsep

terhadap konsep yang lain. Sehingga muncul stigma pada

pentakosta Indonesia sebagai pelaku ‘bisnis Yesus’ karena

konsep pelayanan yang sudah mengalami sekularisasi oleh

konsep bisnis. Karunia Roh Kudus menjadi komoditi untuk

menarik warga jemaat, sebagai contoh ada pemahaman

bahwa di mana ada karunia Roh Kudus untuk

menyembuhkan orang-orang sakit , maka gereja akan ramai

dikunjungi jemaat dan ketika gereja ramai dikunjungi oleh

jemaat maka dengan sendirinya pendapatan gereja akan

meningkat. Sehingga dari situ muncul sindiran-sindiran

Page 180: ASP NKRIS - pglii.or.id filea pentecostalperspective jurnal teologi oktober 2018 e - in d - o a n i e

179

negatif dari banyak pihak baik secara langsung maupun

tidak langsung bahwa di dalam gereja pentakosta terdapat

praktik di mana karunia Roh Kudus tidak lagi sebagai

pemberdaya jemaat secara komunal tetapi untuk keuntungan

beberapa orang tertentu saja. Karunia Roh Kudus sebagai

asset untuk dijual kepada warga jemaat.

Memang sangat tidak mudah untuk menyimpulkan

konsep bisnis yang mempengaruhi konsep Karunia Roh

Kudus atau sebaliknya di dalam Gereja Bethel Indonesia.

Tetapi yang pasti kecenderungan dominasi harus terus

direduksi dari praktek penatalayanan Gereja Bethel

Indonesia. Konsep Roh Kudus sebagai pemimpin ekspansi

dalam sebuah peperangan harus mengalami rekonstruksi,

sehingga tidak menimbulkan ekses dominasi oleh salah satu

pihak (Pendeta maupun aktivis gereja). Dominasi tersebut

juga yang menimbulkan timpangnya tingkat ekonomi antara

pendeta dan jemaat di dalam beberapa gereja pentakosta

lokal. Pemaknaan terhadap karunia Roh Kudus harus dapat

dimanifestasikan dalam bentuk program nyata yang mampu

memberdayakan ekonomi umat baik secara komunal

maupun individual.

Laba dalam perspektif Golden Rules

Hukum penawaran dan permintaan dapat menjadi

hukum natural bagi batasan laba di dalam dunia ekonomi.

Sebagai contoh ketika penawaran jauh lebih besar daripada

permintaan, maka dengan sendirinya harga akan turun dan

laba secara otomatis akan semakin kecil pula. Sebaliknya

jika permintaan atau kebutuhan suatu barang lebih besar

dari jumlah persediaan barang maka dengan sendirinya

harga akan naik dan keuntungan akan semakin besar. Inilah

yang dipakai oleh Adam Smith di dalam teori “Invisible

hands” – nya. Hukum ekonomi akan mengatur dirinya

Page 181: ASP NKRIS - pglii.or.id filea pentecostalperspective jurnal teologi oktober 2018 e - in d - o a n i e

180

sendiri, dengan demikian tidak ada batasan etis bagi laba

atau keuntungan. Pengendalian laba dapat dilakukan

dengan cara mengatur tingkat produksi suatu barang.

Namun menurut Eka Darmaputera, persoalannya

tidak se-sederhana yang diungkapkan di atas. Menurut Eka

hukum penawaran dan permintaan ternyata dapat

dimanipulasi. Praktik manipulasi terhadap hukum

penawaran dan permintaan biasa disebut dengan dumping,

pihak yang memiliki kekuatan finansial yang besar dapat

dengan sengaja melempar barang dengan harga yang murah

dan dengan jumlah yang banyak demi untuk mematikan

para pesaing mereka. Dumping ini sepintas memang sangat

menguntungkan konsumen, tetapi secara etis hal ini

memiliki dimensi etis yang tidak sehat karena persaingan

yang tidak sehat. Konsumen pun sebenarnya diarahkan

untuk menikmati barang dengan kualitas yang rendah dan

terkesan sembarangan. (Darmaputera, 2009, 114). Dumping

juga akan mengakibatkan dunia pasar akan dikuasai oleh

pihak yang kuat, sehingga pemerataan ekonomi sulit untuk

diwujudkan. Pihak yang kuat akan semakin kuat dan dengan

sendirinya akan menindas pihak yang lemah. Kesempatan

berkembang bagi pihak yang lemah akan semakin kecil.

Sebenarnya manipulasi dan monopoli tidak

sepenuhnya salah, karena pihak-pihak yang bertangung

jawab dapat memonopoli dan memanipulasi demi untuk

kepentingan orang banyak. Misalkan saja pemerintah atau

badan swasta yang memang bergerak di dalam stabilisasi

ekonomi suatu negara dengan cara memberikan subsidi bagi

kebutuhan pokok masyarakat, dan kepada sektor-sektor

ekonomi yang vital yang jikalau tidak sehat dapat

membahayakan stabilitas kehidupan bangsa. Melalui

praktek ini dapat juga mencegah terjadinya monopoli oleh

Page 182: ASP NKRIS - pglii.or.id filea pentecostalperspective jurnal teologi oktober 2018 e - in d - o a n i e

181

sekelompok pengusaha atas kebutuhan-kebutuhan pokok

rakyat kecil dan masyarakat pada umumnya.

Dan yang menjadi isu pokok sebenarnya adalah

bagaimana sebuah pengaturan dan sistem ekonomi tidak

hanya dapat berkembang tetapi juga merata. Menurut

pendekatan Utilitarian, perilaku ekonomi yang adil adalah

perilaku ekonomi yang berhasil menyediakan kebaikan dan

keuntungan terbesar bagi kelompok masyarakat terbesar.

Batasan etis bagi sebuah tindakan ekonomi adalah seberapa

besar keuntungan yang dapat dihasilkkan bagi kelompok

masyarakat yang terbesar pula. Keuntungan atau laba dalam

suatu tindakan ekonomi dapat dibenarkan sebatas

kemampuan untuk memberikan keuntungan bagi sejumlah

orang terbanyak. Besaran laba dikatakan memenuhi batasan

etis ketika mampu untuk memberikan keuntungan terbesar

bagi kelompok terbesar juga.

Prinsip etika “Peraturan emas” atau “golden rules”

sebenarnya memiliki masalah yang sangat mendasar yaitu

bagaimana mendistribusikan sebuah keuntungan, siapa yang

berhak menerima keuntungan, sehingga dapat disebut

sebagai sebuah tindakan ekonomi yang adil. John Maxwell

meyakini bahwa peraturan emas (Golden Rules) sebenarnya

bukanlah sebuah pendekatan yang mudah untuk ditempuh,

Golden Rules bukanlah sebuah sarana untuk menutupi

kemalasan atau karakter mediocre, Golden rules menuntut

sebuah persaingan tetapi bersamaan dengan itu juga tidak

menjadikan orang lain bulan-bulanan. Peraturan emas

(Golden Rules) merupakan sebuah solusi yang memberi

keuntungan terhadap semua pihak atau dikenal dengan win

– win solution (baik itu karyawan, pelanggan, dan juga

investor) (Maxwell 2011, 28-29).

Page 183: ASP NKRIS - pglii.or.id filea pentecostalperspective jurnal teologi oktober 2018 e - in d - o a n i e

182

Golden Rules berangkat dari sebuah keyakinan

terhadap adanya kebudayaan universal untuk tidak

memperlakukan orang lain dengan perlakuan yang tidak

ingin diperbuat orang lain kepada diri kita sendiri. Seperti

yang dipaparkan oleh Maxwell bahwa secara individual

Golden Rules berhubungan dengan terpenuhinya

kebutuhan dasar manusia, yaitu Pertama, kebutuhan untuk

diperhitungkan. Golden Rules menekankan untuk

memperhitungkan sesama manusia bukan dari apa yang

mereka hasilkan tetapi semata-mata karena mereka manusia.

sebagai contoh yang nyata adalah sebuah perusahaan di

Irvine, California, Amerika Serikat yang bernama Mission

Controls. Sebenarnya perusahaan tersebut sama seperti

perusahaan yang lainnya yaitu memakai sistem kontrak

dengan para pekerjanya, sehingga perusahaan inipun juga

mengalami masa-masa pasang surut hingga hampir tanpa

pekerjaan. Namun para pemimpin dan pendiri perusahaan

ini (Craig Nelson, Neal Vaoifi dan Scott Young) memutuskan

untuk secara pribadi tidak menerima bayaran daripada harus

memecat salah satu karyawan mereka. Dan hal tersebut

mereka buktikan ketika perusahaan mereka mengalami masa

kering mereka memutuskan untuk tidak menerima gaji

selama delapan bulan, demi untuk mempertahankan gaji

dan tunjangan para karyawan mereka. Para pendiri tersebut

menyadari bahwa perusahaan harus tetap mendapatkan laba

namun dengan tidak mengorbankan orang lain, mereka

menyadari bahawa mereka memperlakukan karyawan

dengan cara mereka ingin diperlakukan oleh orang lain

(Maxwell 2011, 33). Kedua, kebutuhan untuk dihargai,

dalam sebuah usaha seseorang harus mendapat

penghargaan atasnya. Seseorang sangat perlu untuk dibantu

untuk meningkatkan harga diri mereka melalui pujian dan

apresiasi dalam banyak bentuk yang sesuai dengan

peraturan yang ada.

Page 184: ASP NKRIS - pglii.or.id filea pentecostalperspective jurnal teologi oktober 2018 e - in d - o a n i e

183

Ketiga, kebutuhan untuk dipercaya, kepercayaan

adalah dasar kepemimpinan yang akan menstimulasi

hubungan yang terbuka dan jujur. Manchester Inc, sebuah

perusahaan konsultan di Philadelphia, membuat survey

terhadap 200 perusahaan untuk menemukan cara yang baik

untuk membangun kepercayaan terhadap karyawan,

diantaranya adalah mempertahankan integritas, dan

memberi perhatian pada tujuan bersama dan bukan agenda

pribadi, menunjukkan sikap hormat kepada karyawan

sebagai mitra kerja yang setara, menunjukkan perasaan

simpati, dan mendengarkan aspirasi dengan pikiran yang

terbuka (Caggiano 2002, 74). Keempat, kebutuhan untuk

dihormati martabat kemanusiaannya, penghormatan

terhadap seseorang memberikan sebuah martabat dan

kepercayaan diri. Penghormatan terhadap mertabat sebagai

manusia dapat diekspresikan melalui membangun rasa tidak

dimanfaatkan, rasa dipahami. Menjaga kesenjangan antara

pemimpin dan karyawan adalah sangat baik juga untuk

menstimulasi penghormatan terhadap harkat dan martabat

karyawan. Sehingga para CEO dalam perusahaan tetap

menyadari bahwa mereka bukanlah faktor terpenting di

dalam perusahaan tetapi karyawan juga memainkan peranan

kerja yang cukup besar. (Maxwell 2002, 19-30).

Amitai Etzioni memiliki perspektif yang lain dalam

melihat Golden Rules di dalam dunia ekonomi dan laba.

Etzioni melihat dari sudut pandang yang lebih meluas yaitu

memaknai peraturan emas sebagai sebuah semangat untuk

memerangi filsafat individualistic dengan mengedepankan

keuntungan yang ramah terhadap keutuhan suatu komunitas

masyarakat yang terbesar. Kebaikan sosial bagi seluruh

komunitas yang besar adalah sesuatu peraturan bagi

pencapaian keuntungan bagi seseorang maupun perusahaan

dagang. Menurut Amitai salah satu penyebab terpuruknya

Page 185: ASP NKRIS - pglii.or.id filea pentecostalperspective jurnal teologi oktober 2018 e - in d - o a n i e

184

suatu negara karena nilai-nilai filsafat individualistik telah

memainkan peranan besar di dalam sistem ekonomi negara

itu sendiri (Etzioni 1996, 85-89). Secara garis besar Etzioni

dalam perspektif Golden rules merumuskan 3 (tiga) batasan

di dalam pencapaian laba (Etzioni 1996, 119-189).

Pertama, Batasan Keuntungan dalam perspektif ini

adalah ketika menghasilkan sebuah kebaikan massal yang

memperhatikan suara-suara moral. suara-suara moral di sini

berfungsi sebagai nilai-nilai yang membentuk sebuah

kebiasaan baik dari sebuah masyarakat. Suara-suara moral

didapatkan dari sebuah dialog yang dinamis antara suara

moral secara personal dan suara moral secara komunal. Dari

proses dialog inilah yang akan membentuk good behavior

dari individu maupun komunitas untuk tidak hanya

berorientasi pada pencapaian laba dari sebuah usaha tetapi

juga memperhatikan bagaimana cara dan proses

mendapatkan laba tersebut.

Kedua, memperhatikan martabat hidup orang

banyak, ketika berbicara mengenai martabat hidup orang

banyak maka hal yang perlu diperhatikan adalah

infrastruktur sosial yang memanusiakan masyarakat itu

sendiri. Infrastruktur yang terus memperhatikan nilai-nilai

moralitas yang memberikan kenyamanan dan keuntungan

bagi empat elemen dasar dari formasi sosial yaitu keluarga,

sekolah, komunitas dan kumpulan besar dari beberapa

komunitas. Melalui perspektif golden rules ini Etzioni ingin

membangun batasan terhadap laba dengan membatasi

keuntungan yang memusat pada segelintir kelompok orang

dengan kebaikan dan keuntungan yang menyebar kepada

massa yang meluas.

Ketiga, usaha pencapaian laba adalah usaha

mewujudkan kesatuan dari sebuah pluralitas yang ada di

Page 186: ASP NKRIS - pglii.or.id filea pentecostalperspective jurnal teologi oktober 2018 e - in d - o a n i e

185

dalam masyarakat. Kekuatan ekonomi dibangun atas dasar

sebuah usaha untuk mengharmonisasikan antara aturan

dasar dari sebuah komunitas dan otonomi dari komunitas itu

sendiri. Aturan dasar menjadi acuan bersama dari beberapa

komunitas yang ada, sedangkan otonomi sebagai ruang yang

disediakan oleh pemerintah utama bagi masing-masing

komunitas untuk mengembangkan menurut kondisi dan

situasi masing-masing. Kesatuan bagi masyarakat atau

komunitas yang plural menjadi batasan bagi pencapaian

laba oleh individual maupun institusi ekonomi.

Oleh karenanya setiap usaha untuk mendapatkan

laba, maka kebutuhan dasar manusia inilah yang menjadi

batasannya. Kebutuhan dasar manusia tersebutlah yang

menjadi sebuah peraturan bagi investor, karyawan, maupun

konsumen untuk tetap saling menghormati dan menjaga

hubungan simbiosis mutualisme – nya. Pencapaian laba

yang memenuhi standar adil dalam sudut pandang ini

adalah laba yang diperoleh dari sebuah proses dan usaha

untuk terpenuhinya kebutuhan dasar antara seluruh pelaku

ekonomi. Dengan melihat perlunya pemenuhan kebutuhan

dasar manusia di atas mendorong setiap individu yang

menduduki segala posisi di dalam suatu kinerja ekonomi

untuk tetap mempertahankan budaya perusahaan dan

standar etis kepemimpinan.

Belajar dari John Rawls tentang Keadilan adalah Sebuah

Hukum Kepatutan atau Kewajaran.

Rawls mengusulkan sebuah teori yang menghindari

kelemahan-kelemahan yang dimiliki oleh utilitarianisme.

Bersamaan dengan itu, ia mendemonstrasikan kekuatan-

kekuatan yang dimiliki oleh Utilitarianisme. Rawls

bermaksud untuk membangun sebuah teori yang sangat

menghargai hak personal namun tetap melindungi

Page 187: ASP NKRIS - pglii.or.id filea pentecostalperspective jurnal teologi oktober 2018 e - in d - o a n i e

186

gangguan-gangguan terhadap kebaikan orang lain yang

disebabkan oleh hak orang lain, sehingga dari teori tersebut

Rawls memiliki metode konkret untuk membuat keputusan

dasar perihal ke mana keadilan tersebut akan disalurkan.

Rawls meyakini bahwa untuk menegakkan keadilan

diperlukan sebuah jaminan hak yang sama terhadap hak

dasar dan harus diberlakukan untuk semua, yaitu hak yang

dapat terwujud di dalam kebebasan bagi semua orang untuk

menyampaikan pendapat, berpikir, berpolitik, berserikat,

dan kebebasan di dalam hal hukum. Inilah yang harus

menjadi dasar bagi sebuah sistem sosial oleh Rawls.

Metode yang Digunakan John Rawls

John Rawls membangun teorinya dengan mengambil

beberapa pandangan filsafat dari ketiga tokoh besar yang

merupakan gurunya, yaitu John Locke, J.J Rousseau dan

Immanuel Kant. Hal tersebut dia katakan di bagaian awal

bukunya:

My aim is to present conception of justice which generalizes

and carries to higher level of abstraction th familiar theroy of the

social contracts as found, say, in Locke, Rousseau, and Kant. In

order to do this we are not to think of the origina; conrtractas one

to enter a particular society or to set up a perticular form of

government. Rather, the guiding ide is that the principles of

justice for basic structure of society are the object of the original

agreement. (Rawls 1972, 10)

Rawls berusaha mewarisi teori moral dari Locke yang

menekankan hak-hak asasi dan hukum alamiah yaitu

dengan meyakini bahwa hak asasi manusia harus berhenti

pada diri sendiri. Penghargaan terhadap hak asasi manusia

akan meniadakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia

yang lain atau sesama. Mengenai Rousseau, Rawls mengutip

Page 188: ASP NKRIS - pglii.or.id filea pentecostalperspective jurnal teologi oktober 2018 e - in d - o a n i e

187

tentang kontrak sosialnya, dan dari Immanuel Kant, Rawls

membangun ulang konsep moral dengan melakukan kontrak

sosial dan kategori imperatif yang juga dikembangkan oleh

Kant.

Rawls menggambarkan sekelompok orang yang

disepakati bersama memilih dan menentukan prinsip

keadilan untuk membentuk sistem keadilan sebagai struktur

dasar dari kehidupan sosial itu sendiri. Sebuah prinsip yang

tepat adalah prinsip yang terpilih bersama di dalam suatu

situasi dan kondisi tertentu yang dirasakan adil menurut

kondisi mereka yang sepatutnya. Jadi seseorang atau pihak

tertentu tidak boleh mendominasi pilihan-pilihan tersebut

dan menerima keuntungan yang tidak adil. Misalnya, tidak

boleh pihak tertentu mendominasi kesempatan tertentu

dalam menerima bantuan umum atau jabatan sosial. Oleh

sebab itu prinsip keadilan seharusnya akan menghasilkan

sebuah pilihan yang adil bagi seluruh anggota masyarakat

sosial. Pilihan yang adil tersebut haruslah hasil dari sebuah

posisi asli yang seharusnya dimiliki oleh seluruh individu di

dalam masyarakat.

Meskipun ide dasarnya sangat sederhana,

pengaplikasian teori ini masih sangat rumit. Rawls ingin

menggunakan pergulatan sosial untuk memberikan sebuah

interpretasi yang prosedural bagi interpretasi Immanuel Kant

tentang otonomi sebuah pilihan sebagai dasar prinsip etis

(Lebaqz 1986, 33-35). Rawls berusaha untuk menegaskan

ide penuntun untuk membangun sebuah prinsip keadilan

sosial yang berangkat dari persetujuan bersama yang

mendasar. Prinsip-prisip yang bersifat bebas dan rasional

bagi seseorang secara natural memang memiliki fokus

kepada keinginan diri sendiri, namun keinginan diri sendiri

yang harus dapat diterima di dalam kondisi dan posisi dasar

yang sama (Rawls 1972, 11).

Page 189: ASP NKRIS - pglii.or.id filea pentecostalperspective jurnal teologi oktober 2018 e - in d - o a n i e

188

Di dalam metode yang ditempuh oleh Rawls,

masyarakat menjadi subyek yang menentukan keadaan dari

sebuah prinsip keadilan. Artinya pergumulan dan juga

kerjasama (tentu kerjasama yang memungkinkan untuk

menghasilkan keuntungan) dari masyarakat tersebutlah yang

akan membentuk karakter sebuah keadilan. Prinsip-prinsip

keadilan akan terus dipertajam dengan dinamika keinginan

dari masyarakat baik intensitas maupun konflik keinginan di

dalam masyarakat itu sendiri.

Keadilan sebagai fairness

Keseimbangan antara kepentingan pribadi dengan

kepentingan sosial inilah yang disebut oleh Rawls sebagai

proporsional atau fairness. Dengan demikian “Justice as

fairness” yang dibangun Rawls dengan sangat deontologis

ini selalu bertujuan untuk terciptanya gerak sosial yang

kooperatif yang terwujud di dalam dinamika antara hak dan

kewajiban individu. Ketika hak dan kewajiban dapat

berjalan dengan dinamis maka keuntungan eksistensial atau

individual dapat berkesinambungan dengan keuntungan

sosial.

Rawls dengan konsisten menekankan perlunya

kesempatan yang sama bagi seluruh pihak dengan tujuan

agar teori keadilan yang dia bangun tidak terjebak dalam

ekstrim kapitalisme di satu sisi dan sosialisme di sisi yang

lain. Baginya keadilan harus bersifat fairness dalam arti tidak

hanya mereka yang memiliki bakat dan kemampuan lebih

yang dapat merasakan keuntungan dan kebaikan sosial.

Karena Justice as Fairness harus mampu menyediakan

kesempatan yang sama bagi mereka dengan bakat dan

kemampuan yang rendah untuk dapat meningkatkan kualitas

dan kuantitas kebaikan sosial di mana kesempatan yang

sama dapat diraih juga dengan individu yang memiliki bakat

Page 190: ASP NKRIS - pglii.or.id filea pentecostalperspective jurnal teologi oktober 2018 e - in d - o a n i e

189

dan kemampuan lebih. Berkenaan dengan hal tersebut,

keuntungan lebih yang didapat oleh seseorang dengan

kemampuan dan bakat lebih harus disikapi dalam rangka

kepentingan dan kebaikan anggota kelompok sosial mereka

yang kurang beruntung.

Different principles tidak menuntut kesamaan

keuntungan (equal benefits) bagi semua orang tetapi lebih

kepada keuntungan yang bersifat timbal balik (reciprocal

benefits). Dalam hal ini, Robert Paul Wolff memberikan

contoh dengan menggambarkan sebuah pabrik sepatu

dengan lima karyawan yang masing-masing mendapat upah

$10,000 per tahun. Salah satu pegawai mendapat bagian

atau tugas yang lebih berat dari yang lainnya sehingga ia

membutuhkan waktu pengerjaan yang lebih lama daripada

keempat temannya untuk menyelesaikan tugas tersebut serta

untuk memenuhi tuntutan produksi. Hal tersebut

menyebabkan pekerja tersebut untuk bekerja lebih cepat

dan lebih keras untuk menyesuaikan dengan ritme industri.

Dengan demikian, sepatutnyalah pekerja tersebut mendapat

upah lebih tinggi dari teman yang lainnya yaitu $13,000 per

tahun (jumlah tersebut haruslah jumlah yang layak dan

sepatutnya untuk seorang pekerja dengan kemampuan dan

bakat yang lebih). Pola tersebut memenuhi tuntutan

produksi, sehingga perusahaan sepatu mendapat untung

bersih sebanyak $60,000 pertahun, akibatnya perusahaan

tersebut mendapat surplus sebesar $7000 per tahun. Jika

hendak menerapkan prinsip Rawls, maka $7000 tersebut

haruslah dibagi kepada keempat pengerja dengan kinerja

yang lebih rendah dari satu orang pegawai yang bekerja

lebih tadi (sehingga terdapat empat orang yang menerima

$11,750 pertahun dan satu orang menerima $13,000

pertahun dengan tugas dan kemampuan yang lebih (Wolff

1977, 30).

Page 191: ASP NKRIS - pglii.or.id filea pentecostalperspective jurnal teologi oktober 2018 e - in d - o a n i e

190

Justice as fairness sangat menekankan nilai-nilai

timbal balik (reciprocal benefits) dan harus ditempuh dengan

jalan yang rumit, sehingga distribusi keuntungan dan

kekayaan di dalam masyarakat tidak melihat perbedaan yang

obyektif di antara masyarakat sosial. Oleh sebab itu, untuk

menjamin sistem distribusi yang obyektif, maka diperlukan

keadilan yang dapat diterima sebagai fairness. Rawls

menyebut konsep keadilan tersebut dengan pure procedural

justice, yaitu keadilan sebagai fairness harus berproses dan

direfleksikan di dalam sebuah prosedur yang adil sehingga

akan membuahkan hasil yang adil pula.

Oleh karena itu, Rawls juga membahas tentang

pengecualian prinsip-prinsip keadilan untuk diterapkan di

dalam kondisi khusus. Sebenarnya prinsip ini justru

bertentangan dengan utilitarianisme, di mana dalam kondisi

pendistribusian yang tidak sama, konsep umum yang harus

digunakan adalah dengan menerapkan ketidaksamaan

tersebut seluas mungkin demi untuk keuntungan tiap orang,

sehingga setiap orang mendapat keuntungan yang sama dari

ketidaksamaan tersebut (Rawls 1972, 62). Hal terpenting

yang perlu dilihat dari teori dan prinsip keadilan Rawls

adalah ketika utilitarianisme mencoba menguburkan nilai

individu, demi untuk keuntungan terbesar dan bagi jumlah

terbesar, John Rawls justru melindungi individu dengan

membangun sistem sosial yang tidak mengizinkan

keuntungan individu dengan cara mengurangi keuntungan

sesamanya.

Page 192: ASP NKRIS - pglii.or.id filea pentecostalperspective jurnal teologi oktober 2018 e - in d - o a n i e

191

Kesimpulan dan saran etis terhadap realitas laba di

dalam penatalayanan keuangan gereja.

Kesimpulan - Timothy L Fort berpendapat bahwa

pendeta seharusnya tidak hanya berhenti menjalankan

perannya sampai tahap sebagai rasul di dalam kehidupan

gerejawi dan spiritualitas saja, tetapi bagaimana spiritualitas

gerejawi tersebut menjadi nyata di dalam kehidupan

ekonomi dengan segala pergumulannya yang begitu rumit

dan semakin membelit jemaat (Timothy 2008, 87-96). Peran

kerasulan itu harus juga dapat dirasakan di dalam kehidupan

ekonomis jemaat. Sehingga dari sekian lama pergumulan

dan juga pengaruh dari banyak pihak, munculah wajah

Gereja pentakosta yang tak lagi canggung dan tabu untuk

menghadirkan simbol-simbol bisnis dan ekonomi di dalam

kehidupan bergereja. Pergumulannya dengan dunia bisnis

dan ekonomis menghasilkan spiritualitas yang unik di dalam

Gereja pentakosta. Nilai-nilai ekonomi dan bisnis sebegitu

rupa dihayati secara dinamis bersama dengan kehidupan

bergereja.

Di dalam praktiknya tidak semudah yang

dirumuskan di dalam teorinya, dan sebenarnya tidak hanya

di dalam gereja pentakosta sendiri, penghayatan-

pengahayatan dinamika bisnis dan gerejawi yang excessive

secara progresif juga turut berproses di dalam gereja-gereja

Tuhan, tak heran Thomas Aquinas pernah melontarkan

sebuah penilaian bahwa teologi gereja Katolik pun pernah

mencoba untuk memakai dasar – dasar hukum pertukaran

pasar di dalam kehidupan spiritualitasnya. Dan itu juga yang

ditegaskan oleh Fusfeld bahwa setiap orang harus terus ingat

bahwa di dalam penebusan dosa pun tak bisa dilepaskan

dari konsep bisnis yang jelas (Fusfeld, 9). Oleh karenanya

sudah saatnya gereja merespon paradigma ekonomi yang

pengaruhnya semakin meluas di seluruh dimensi kehidupan

Page 193: ASP NKRIS - pglii.or.id filea pentecostalperspective jurnal teologi oktober 2018 e - in d - o a n i e

192

manusia, dan mulai memahami dinamika nilai ekonomi di

dalam kehidupan bergereja sebagai pertaruhan etis juga

teologis di mana karakter dan integritas seorang pemimpin di

dalam menghayati peran ekonomis dan nilai-nilai bisnis di

dalam gereja akan menjadi cermin spiritualitas yang besar

serta jelas dimana setiap umat dan organisasi gerejawi yang

lain dapat berkaca dan belajar daripadanya.

Integritas di dalam kehidupan ekonomi dapat di

tunjukkan dan dibuktikan seorang pemimpin gereja melalui

membangun sikap yang baik terhadap kebutuhan dasar

manusia untuk mendapat keuntungan. Dalam sudut

pandang psikologi pasar kebutuhan dasar tersebut mewujud

sebagai kebiasaan alami dari manusia yaitu profit

motivation. Integritas seorang pemimpin akan terlihat

bagaimana menanggapi hubungan ekonomis yang

mendasari relasi manusia dengan sesamanya di mana

kepentingan harga, income, dan kebutuhan hidup semakin

kental mewarnai pola interaksi antar organisme kehidupan.

Pemimpin gereja diharapkan mampu menyadari dan

menyikapi bertemunya profit motivation dari setiap orang

dan golongan ketika mulai mewujud sebagai komunitas

sosial yang disebut gereja yang berada di dalam dunia yang

bercirikan kompetensi etis dan spiritual.

Salah satu persoalan etis di dalam dimensi ekonomi

adalah batasan yang baik bagi besaran keuntungan yang

dapat diambil oleh money doers. Darmaputera mengutip

pandangan Adam Smith dengan teori “Invisible hands” yang

meyakini bahwa mengenai laba adalah sesuatu yang bersifat

naluriah, tidak perlu ditekan karena akan menjadi usaha

yang sia-sia belaka, karena hukum-hukum ekonomi sendiri

yang secara alamiah akan mengaturnya (Darmaputera

2009,113). Namun teori Adam Smith dirasa masih memiliki

kekurangan di banyak segi, karena ternyata hukum

Page 194: ASP NKRIS - pglii.or.id filea pentecostalperspective jurnal teologi oktober 2018 e - in d - o a n i e

193

penawaran dan permintaan yang begitu mendasar di dalam

dunia ekonomi sangat mudah di permainkan dengan sistem

monopoli (dumping, dll) oleh pihak-pihak yang memiliki

dana yang besar. Misalkan saja gereja besar akan cepat

membuka pelayanan atau cabang baru dengan speed

peningkatan jumlah jemaat yang relatif cepat, sedangkan

gereja yang tidak memiliki kemampuan finansial yang besar

justru mati-matian untuk mengembangkan kuantitas

pelayanannya. Namun Darmaputera meyakini akan timbul 3

bahaya di dalamnya: Pertama, praktek ekonomi yang

berlawanan dengan hukum dan mekanisme ekonomi

alamiah, tidak akan menghasilkan suatu kehidupan ekonomi

yang sehat. Sehingga dalam jangka waktu yang panjang

sistem ekonomi yang sakit tersebut akan merugikan orang

banyak (baca: jemaat) pada akhirnya.Kedua, monopoli yang

dilakukan oleh sang pemerintah (baca: pemimpin) biasanya

memang dapat memenuhkan kebutuhan pokok orang

banyak tetapi tanpa disertai dengan aturan harga dan nilai

memadai antara sosial dan finansial. Orang banyak

menerimanya karena terpaksa dan tidak ada pilihan. Ketiga,

ketika kekuasaan jabatan (menghasilkan kebijakan-

kebijakan) dan kekuasaan finansial seorang pemimpin

berbaur, seharusnya kekuasaan jabatan yang seharusnya

mengendalikan kekuasaan finansial demi melindungi

kepentingan orang banyak akan menjadi sulit dilaksanakan,

karena kekuasaan jabatan itu sendiri telah menjadi

kekuasaan finansial.

Saran - Di dalam konteks bangsa Indonesia, sistem

ekonomi yang dibutuhkan oleh setiap individu maupun

institusi adalah sistem ekonomi yang luwes, dinamis, dan

terbuka terhadap kepentingan orang banyak (umat). Dan

ciri-ciri tersebut hanya ditemui di dalam sistem ekonomi

Pancasila. Karena sistem ekonomi Pancasila adalah sistem

Page 195: ASP NKRIS - pglii.or.id filea pentecostalperspective jurnal teologi oktober 2018 e - in d - o a n i e

194

ekonmi yang menjamin berlangsungnya secara leluasa

hukum-hukum dan mekanisme ekonomi yang alamiah.

Kemudian kebebasan terwujudnya hukum dan mekanisme

ekonomi alamiah terebut bergerak di dalam kerangka

perwujudan dan pengamalan kelima sila dan nilai Pancasila.

Untuk menjalankan pendistribusian kebaikan di

dalam area kehidupan sosial sebagai tempat bertemunya

berbagai kebutuhan akan keuntungan tersebut gereja dan

seluruh pemimpinnya memerlukan sebuah dasar bersama

yaitu nilai keadilan ekonomi. Rawls memiliki dua prinsip

yang dapat digunakan acuan untuk menyusun konsep

keadilan laba di dalam komunitas gereja (Rawls 1972, 267):

pertama, kepemilikan. Prinsip kepemilikan perlu diinventaris

dan dipahami secara sepatutnya di dalam gereja. I Korintus

6:19 “ …atau tidak tahukah kamu, bahwa tubuhmu adalah

bait Roh Kudus yang diam di dalam kamu, Roh Kudus yang

kamu peroleh dari Allah, dan bahwa kamu bukan milik

kamu sendiri?..” dari sudut tertentu ayat ini terlihat sebagai

prinsip kepemilikan yang dwitunggal. Di mana ada di gereja

terdapat kepemilikan tunggal maupun kolektif, tetapi hanya

satu pemilik saja yang sejati yaitu Tuhan yang menjadi

pemilik dari segala sesuatu. Sehingga tidak ada alasan untuk

pendeta atau pemilik tunggal maupun kolektif yang

berusaha mencekau kepemilikan orang lain karena semua

organisme gereja pemilik sejatinya adalah Tuhan mereka

sendiri. Kedua, sumber daya sosial. Keadilan di dalam

sebuah lingkungan sosial adalah berbicara mengenai analisa

dan pendistribusian sumber daya yang dimiliki secara

kolektif untuk kebaikan yang merata secara kolektif juga.

Tidak sepatutnya jika kebaikan milik bersama hanya

dirasakan secara tidak bersama sehingga hanya sebagian

orang saja yang menikmatinya sehingga terjadi kesenjangan

di dalam penerimaan kebaikan bersama tersebut. Demikian

Page 196: ASP NKRIS - pglii.or.id filea pentecostalperspective jurnal teologi oktober 2018 e - in d - o a n i e

195

pula tidak seharusnya jemaat yang memiliki tanggung jawab

rohani dan finansial kepada gereja tetapi hanya hak

pelayanan rohani saja yang terpenuhi sedangkan

kesempatan bagi orang-orang yang kurang beruntung untuk

mendapatkan kehidupan yang lebih baik tidak mendapat

perhatian dari pemimpin gereja. Lebih lanjut dalam hal ini

juga dapat dikembangkan keadilan yang menghasilkan

tanggung jawab dan kepedulian terhadap ekologi yang

menopang kehidupan gereja dan umat itu sendiri.

Aliran pentakosta dengan realistis mengakui bahwa

keuntungan finansial tak dapat dihindari dalam kehidupan

pelayananannya, dan tak perlu untuk lalu menjadi naif dan

tidak mengakui bahwa gereja secara alamiah tidak

bersentuhan dengan motif serta usaha mencari keuntungan.

Namun segala usaha tersebut seharusnya tidak boleh dan

tidak bisa lolos dari penilaian moral sehingga sangat perlu

bagi pemimpin pentakosta untuk menumbuhkan sense of

justice di dalam pola kepemimpinannya. Kepekaan di dalam

mendatangkan keadilan tersebut yang akan membimbing

pemimpin jemaat untuk bertindak sebagai pengelola sisi

ekonomis dari gereja dengan benar, baik dan tepat di dalam

asas kepemimipinan Kristen. Sehingga gereja yang

dipimpinnya tersebut diharapkan berhasil menemukan

identitas sejatinya sebagai gereja pentakostal yaitu gereja

yang membuka ruang besar bagi karya-karya Roh Kudus

yang kreatif dan nyata di dalam sega dimensi kehidupan

vital umat manusia dan paling tidak terlihat dari nuansa

penatalayanan keuangan yang peduli terhadap kepantasan

dalam mendistribusikan daya finansial gereja bagi jemaat

dan bagi pelayan gereja.

Page 197: ASP NKRIS - pglii.or.id filea pentecostalperspective jurnal teologi oktober 2018 e - in d - o a n i e

196

Don’t be seduced into thinking that which does not make profit is

without value – Arthur Miler

DAFTAR ACUAN

Abdisaputera, Josia. 2011. Get Wealth Soon: 7 Prinsip

Kehidupan Yang Membangun Kehidupan Yang

Makmur dan Berkelimpahan. Jakarta: Metanoia

Publishing

Bayles, Michael D. 1981. Professional Ethics. California:

Wadsworth

Bell, Duncan. 2010-Vo 38. John Stuart Mill On Colonies.

Missouri: University of Missouri Press

Bellah, Robert 1985. Habits of heart. London: Yale

University Press

BPH GBI. 2008. Tata Gereja Bethel Indonesia. Jakarta:

BPH Gereja Bethel Indonesia

Darmaputera, Eka. 2009. Etika Sederhana Untuk

Semua: Bisnis, Ekonmi Dan Penatalayanan.

Jakarta: BPK Gunung Mulia

Etzioni, Amitai. 1996. The New Golden Rule:

Community and Morality In A Democratic

Society. New York: Basic Book

Fort, L Timothy 2008. Prophets, Profits, And Peace: The

positive Role Business In Promoting Religious

Tolerance. London: Yale University Press

Fusfeld, Daniel R. 1999. The Age Of The Economist . USA:

Wesley Educational Publisher

Page 198: ASP NKRIS - pglii.or.id filea pentecostalperspective jurnal teologi oktober 2018 e - in d - o a n i e

197

Hybels, Bill. 1994. Christian In The Marketplace: Practical

Help For The Workaday Christian In A Materialistic

Society. USA: Victor Books

Lebacqz, Karen 1986.Six Theories of Justice. Minneapolis:

Augsburg Publishing House

Magnis Suseno, Frans 1989. Etika Dasar: Masalah-masalah

pokok filsafat Moral. Yogayakarta: Kanisius

Pittenger, Norman. 1974. The Holy Spirit. Philadelphia: A

Pilgrim Press Book

Rawls, John 1971. A Theory Of Justice. New York: Oxford

University Press

Ryan, John A 1996. Economic Justice: Selectios from

distibutive justice and a living wage.Kentucky:

Westminster John Knox Press.

Sidjabat, Bonar. 1978. Karangan-karangan Theologia

Sekolah Tinggi Theologia. Jakarta: STT Jakarta.

Wollf, Rober Paul 1977. Understanding Rawls: s

reconstruction a critique of theory of justice. New

Jersey: Princetown University Press.

Page 199: ASP NKRIS - pglii.or.id filea pentecostalperspective jurnal teologi oktober 2018 e - in d - o a n i e

198

VISI PENYEMBAHAN DAUD DALAM KITAB

TAWARIKH : SEBUAH PROPOSAL TEOLOGI

PENYEMBAHAN PENTAKOSTAL

OLEH : HENDRIK TIMADIUS

Abstract: di dalam tulisan berikut, penulis

menawarkan sebuah teologi penyembahan pentakostal

yang dihasilkan dari titik temu antara beberapa elemen

penyembahan Mazmur versi Martin dengan

karakteristik penyembahan Tawarikh versi Kleinig.

Penulis memberikan sebuah jalan melalui metode

Theological Interpretation of Scripture (TIS) untuk

menjadikan Visi penyembahan Daud yang imamati

sebagai sebuah alat bantu untuk mengembangkan

teologi penyembahan pentakostal yang selalu dekat

dengan emosi, inspirasi, dan energize”.

Keywords: Penyembahan, Daud, Tawarikh,

Pentakostal, Pondok Daud

“Pentecostalism is challenging the dreariness of

a ‘flat’, Enlightenment worldview that separates mind

and body. Pentecostal worship is vibrant, connects with

the emotions, inspires, and energizes.” (Donald Miller)

“For worship to be as glorious as it should be,

for it to lift people out of their mundane cares and fill

them with adoration and praise, for it to be the life-

changing and life-defining experience it was designed

Page 200: ASP NKRIS - pglii.or.id filea pentecostalperspective jurnal teologi oktober 2018 e - in d - o a n i e

199

to be, it must be inspired by a vision so great and so

glorious that what we call worship will be transformed

from a routine gathering into a transcendent meeting

with the living God.” (Allen P Ross)

Pengantar

ejatinya, kegerakan Pentakosta adalah sebuah

dinamika yang cair, terus-menerus mengambil

wujud yang sesuai dengan wadah jaman. Ironis

kah apabila gerakan Pentakosta dikatakan ada dalam

kondisi yang always reforming (terus memperbaharui

formasi) meminjam istilah dari kegerakan reformed

yang sering menjadi mitra kritis dalam dialektika?196

Hakikat ini membuat banyak praksis bergereja dalam

bingkai Pentakosta seolah tidak pernah mencapai posisi

yang ajek. Insan Pentakosta sangat suka “mengalir

bersama Roh Kudus”. Dalam konteks inilah, Sarasehan

Perdana Sarjana Pentakosta Indonesia yang mengambil

tema “Doing Church. A Pentacostal Perspective.”

menjadi milestone yang relevan “justru untuk saat yang

seperti ini”.197

Penyembahan adalah jantung dari praksis

bergereja kaum Pentakosta. Secara lebih berani bahkan

Donald E Miller dan Tetsunao Yamamori menyatakan :

196 Roger E. Olson, Reformed and Always Reforming : The

Postconservative Approach to Evangelical Theology (Grand

Rapids, MI: Baker Academic, 2007) 197 Ester 4:14

S

Page 201: ASP NKRIS - pglii.or.id filea pentecostalperspective jurnal teologi oktober 2018 e - in d - o a n i e

200

“The engine of Pentecostalism is its worship. .., the

heart of Pentecostalism is the music.”198 Karena posisi

yang sangat penting tersebut, sangat mendesak bagi

praksis penyembahan untuk mendapatkan formulasi

teologis yang layak dari sudut pandang Pentakosta.

Baru dalam beberapa tahun terakhir ini muncul karya

tulis yang komprehensif membahas penyembahan

Pentakostal secara scholarly.199 Dari semua tulisan

tersebut belum ada yang secara khusus membahas

penyembahan Pentakostal yang dikaitkan dengan

penyembahan Daud. Padahal dalam praksis bergereja

dan ranah tulisan populer di kalangan Pentakosta

banyak sekali diperbincangkan “Pondok Daud” sebagai

model penyembahan. Untuk menutupi lakuna yang ada

itulah maka tulisan singkat ini dibuat.

Penyusunan konsep penyembahan yang

berbasiskan sosok Daud akan menemukan tantangan

tersendiri. Fokus pada sejarah yang telah mendominasi

studi biblika selama beberapa dekade terakhir

memberikan gambaran yang sinis, atas nama

198 Miller & Yamamori, Global Pentecostalism : The New

Face of Christian Social Engagement , 23-24 199 Lihat misalnya : Lee Roy Martin, ed., Toward a

Pentecostal Theology of Worship (Cleveland, TN: CPT Press,

2016); Steven Félix-Jäger, Spirit of the Arts: Towards a

Pneumatological Aesthetics of Renewal, Christianity and Renewal -

Interdisciplinary Studies (New York, NY: Palgrave Macmillan,

2017); Monique M. Ingalls and Amos Yong, eds., The Spirit of

Praise: Music and Worship in Global Pentecostal-Charismatic

Christianity (University Park, PA: The Pennsylvania State University

Press, 2016).

Page 202: ASP NKRIS - pglii.or.id filea pentecostalperspective jurnal teologi oktober 2018 e - in d - o a n i e

201

objektifitas, tentang penggambaran Daud di kitab

sejarah :

See what Chronicles has made out of David! The founder

of the kingdom has become the founder of the temple and

the public worship, the king and hero at the head of his

companions in arms has become the singer and master of

ceremonies at the head of a swarm of priests and Levites;

his clearly cut figure has become a feeble holy picture,

seen through a cloud of incense.200

Tantangan lainnya datang dari pendekatan teologi

biblika Perjanjian Baru yang cenderung memberikan

guratan diskontinuitas, dimana praktek-praktek

Perjanjian Lama dipandang tidak lagi relevan seiring

dengan bergeraknya redemptive history ke arah

penggenapan dalam Perjanjian Baru. Regulative

Principle of Worship yang dianut oleh sebagian

kalangan Reformed adalah salah satu contoh tantangan

yang dimaksud.

Dalam konteks tantangan di atas, penulis

memilih terminologi “Visi Penyembahan Daud”

sebagai label dari konsep peyembahan Daud. Istilah

“Visi” dalam construct biblika diperkenalkan oleh Leo

G. Perdue dalam karyanya The Collapse of History:

Reconstructing Old Testament Theology. Bagian

penyimpul dari buku tersebut yang bertajuk “From

History to Imagination: Between Memory and Vision”

200 Julius Wellhausen, Prolegomena to the History of

Ancient Israel, trans. Allan Menzies and J. Sutherland Black

(Cleveland: Meridian Books, 1957) 182

Page 203: ASP NKRIS - pglii.or.id filea pentecostalperspective jurnal teologi oktober 2018 e - in d - o a n i e

202

menggambarkan terjadinya pergeseran di ranah

penafsiran Alkitab, dari paradigma tradisional sejarah

ke paradigma baru yang mendorong reimajinasi dan

revisualisasi arti dari teks kuno bagi dunia

kontemporer.201 Dalam konteks studi tentang

penyembahan, terminologi “Visi” in kemudian dipakai

oleh Samuel H. Balentine dalam karyanya The Torah’s

Vision of Worship.

Tujuan Penulisan dan Struktur Naratif Kitab Tawarikh

Baik di ranah akademis, maupun di ranah

eklesial, Kitab Tawarikh cukup lama berada dalam

posisi yang kurang mendapatkan perhatian. Baru dalam

beberapa dekade terakhir kitab Tawarikh dapat keluar

dari bayang-bayang Kitab Samuel dan Kitab Raja-Raja,

dan diakui keunikannya. Para sarjana yang

mengkhususkan diri dalam studi Post-Exile, Second

Temple Era, seperti H.G.M. Williamson, Sara Japhet,

Garry N. Knoppers, Ralph W. Klein, Louis C. Jonker,

dan Mark J Boda202, berhasil memposisikan Kitab

Tawarikh sebagai tulisan yang unik dari sudut pandang

sejarah, susastra, teologi, maupun sosiologi.

201 Samuel H. Balentine, The Torah’s Vision of Worship,

Overtures to Biblical Theology (Minneapolis, MN: Fortress Press,

1999), New Interpretive Context for the Study of Worship, Kindle. 202 Boda diidentifikasikan sebagai seorang ahli Perjanjian

Lama yang berhaluan Pentakosta oleh Craig S. Keener dalam

bukunya ‘Spririt Hermeneutics : Reading Scripture in Light of

Pentecost’

Page 204: ASP NKRIS - pglii.or.id filea pentecostalperspective jurnal teologi oktober 2018 e - in d - o a n i e

203

Penulisan Kitab Tawarikh secara umum

ditujukan bagi komunitas yang hidup di era pasca

pembuangan. Komunitas ini, sekembalinya dari

pembuangan di Babilonia, berusaha untuk menata

ulang kehidupannya di kota Yerusalem dalam kondisi

sosio-religius yang jauh berbeda dengan komunitas

Yerusalem di era Daud dan Salomo. Segala kondisi

yang menciptakan lingkungan kultus Israel, seperti Bait

Allah, sistem korban, personel Bait Allah (para Imam

dan orang Lewi), secara praktis harus dimulai kembali

dari nol. Kondisi ini diperburuk dengan kondisi sosio

politik, dimana Yehuda berada dalam kendali otoritas

pemerintahan Persia; tidak ada lagi raja Israel yang

memerintah. Jurang lebar yang tercipta karena kondisi

di atas memupuk rasa keterpisahan (diskontinuitas)

dengan masa lalu. Dalam situasi yang seperti ini,

sangatlah lumrah ketika orang-orang dalam komunitas

ini kehilangan identitas religiusnya. Kultus

penyembahan kepada Yahweh menjadi hal yang asing

dan tidak lagi relevan bagi mereka.

Lewat karyanya, Penulis Tawarikh (The

Chronicler)203 berusaha membangun kembali

kontinuitas dengan masa lalu yang sangat dibutuhkan.

Para pembaca Kitab Tawarikh (original readers),

komunitas pasca pembuangan, didorong untuk menarik

pelajaran dari sejarah Israel dan melihatnya dengan

perspektif yang baru, dalam setting di mana mereka

203 Konsensus akademis masa kini sebagian besar

menerima bahwa penulis Kitab Tawarikh tidak diketahui secara

pasti dan disebut sebagai The Chronicler.

Page 205: ASP NKRIS - pglii.or.id filea pentecostalperspective jurnal teologi oktober 2018 e - in d - o a n i e

204

hidup saat itu. Keberanian untuk menafsirkan ulang

peristiwa masa lalu dibutuhkan untuk kepentingan

masa kini.204 Mereka perlu kembali hidup dalam

kepercayaan kepada Yahweh yang mengendalikan

sejarah. Pembuangan ke Babilonia bahkan adalah

rancangan Yahweh untuk kebaikan Israel. Komunitas

yang ada pada masa itu adalah kelanjutan dari

komunitas “seluruh Israel” (“all Israel”)205 – komunitas

yang bernaung dalam Davidic covenant, sebuah

komunitas yang menyembah Yahweh dengan ‘cara’

Daud.

Struktur penulisan Kitab Tawarikh, karenanya,

didesain untuk mengingatkan kembali identitas

komunitas yang terhubung dengan Daud dan

penyembahan Yahweh dalam tradisi Daud. Beberapa

contoh bukti akan keberadaan desain ini dikemukan

oleh Mark A. Throntveit, Peter J. Leithart dan James M.

Street.

Mark A. Throntveit menunjukkan keberadaan

struktur chiastic dalam genealogi dari Adam sampai ke

204 Louis C. Jonker, 1 & 2 Chronicles, Understanding the

Bible Commentary Series (Grand Rapids, MI: Baker Books, 2013),

Introduction – The Message of Chronicles, Olive Tree. 205 Ungkapan “seluruh Israel” atau “all Israel” adalah ciri

khas dari Penulis Tawarikh. Sebagai sampel, lihat misalnya : 1 Taw

9:1; 11:1,4,10; 12:38; 13:5,6,8. Hal ini menunjukkan keberadaan

identitas kesatuan (Yehuda dan Israel) seperti pada jaman Daud

yang coba diterapkan ulang atas komunitas pasca pembuangan

yang pada kenyataannya tidak lagi menampilkan secara pasti

keberadaan orang-orang Utara (Israel).

Page 206: ASP NKRIS - pglii.or.id filea pentecostalperspective jurnal teologi oktober 2018 e - in d - o a n i e

205

Saul (1 Taw 1:1-9:44).206 Keberadaan Suku Lewi

menjadi sentra dari struktur chiastic menunjukkan

penekanan akan Suku-Suku Selatan yang setia kepada

Dinasti Daud ketika Suku-Suku Utara memisahkan diri

pada tahun 922 SM. Adapun kedua bagian Suku-Suku

Utara, di Timur (5:1-26) dan di Barat (7:1-40), mengapit

perikop Suku Selatan, yang menunjukkan penekanan

Penulis Tawarikh akan keterlibatan “seluruh Israel” :

A SukuYehuda, suku rajani Daud (2:3–4:43)

B Suku-Suku Utara di Timur Yordan (5:1–26)

C Suku Imamat Lewi (6:1–81)

B Suku-Suku Utara di Barat Yordan (7:1–40)

A Suku Benyamin, suku rajani Saul (8:1–40)207

Peter J. Leithart, merinci lebih lanjut perikop

Suku Lewi (1 Taw 6:1-81) ke dalam struktur chiastic

yang memberikan penekanan khusus kepada suku Lewi

sebagai pelayan musik 208 :

206 Mark A. Throntveit, “Was the Chronicler a Spin

Doctor? David in the Books of Chronicles,” Word & World 23, no.

4 (Fall 2003): 374–81, 376. 207 Pola chiastic yang sama, yang menekankan sentralitas

Suku Lewi, juga diidentifikasi oleh James B. Jordan, seperti dikutip

dalam Peter J. Leithart, From Silence to Song: The Davidic

Liturgical Revolution (Moscow: Canon Press, 2003), 29, footnote. 208 Peter J. Leithart, From Silence to Song: The Davidic

Liturgical Revolution (Moscow: Canon Press, 2003), 29.

Page 207: ASP NKRIS - pglii.or.id filea pentecostalperspective jurnal teologi oktober 2018 e - in d - o a n i e

206

A Imam (6:1–16)

B Lewi (6:17–30)

C Pelayan Musik Lewi (6:31–47)

B Pelayanan Lewi secara umum (6:48)

A Keturunan Imam (6:49–53)

Lewat struktur ini, Penulis Tawarikh mulai menggaris-

bawahi bahwa pelayanan di rumah Tuhan yang

terutama adalah menaikkan nyanyian, lebih dari

pelayanan imam, maupun pelayanan Lewi secara

umum. Dan Daud lah yang menjadi inisiator dari kultus

ini, seperti tertulis : “Inilah orang-orang yang

ditugaskan oleh Daud memimpin nyanyian di rumah

TUHAN sejak tabut itu mendapat tempat perhentian.”

(1 Taw 6:31, TB LAI).

Sentralitas Daud dikaitkan dengan

penyembahan tercermin dalam perikop 1 Tawarikh 13-

16, yang sering disebut sebagai “Narasi tentang Tabut”

(The Ark Narrative).209 James M. Street berhasil

membangun argumen bahwa Narasi tentang Tabut

adalah fondasi yang dipakai oleh Penulis Tawarikh

untuk menyusun struktur keseluruhan kitab210 dan

209 James M. Street, The Significance of the Ark Narrative :

Literary Formation and Artistry in the Book of Chronicles (New

York : Peter Lang, 2009), 31. 210 Street, 31

Page 208: ASP NKRIS - pglii.or.id filea pentecostalperspective jurnal teologi oktober 2018 e - in d - o a n i e

207

membuat tema penyembahan menjadi concern yang

terutama.211

Narasi Tabut juga memposisikan Daud sebagai

pencetus kultus yang memerintahkan para penerusnya

untuk menjaga kelanjutan kultus tersebut.212 Kisah

reorganisasi yang dilakukan oleh raja-raja seperti

Hizkia dan Yosia menunjukkan keberadaan pola

kontinuitas dari penyembahan yang diinisiasi oleh

Daud.213 Narasi mengenai pemerintahan Hizkia sejak

awal menggambarkan perbuatannya yang “benar di

mata TUHAN, tepat seperti yang dilakukan Daud, bapa

leluhurnya.” (2 Taw 29:2). Secara spesifik, dipaparkan

bahwa apa yang “tepat seperti yang dilakukan Daud”

adalah dalam hal reorganisasi orang-orang Lewi untuk

melayani penyembahan dengan alat-alat musik di

rumah TUHAN (2 Taw 29:25-26). Pola yang identik

juga dapat dijumpai dalam kisah Yosia : “hidup seperti

Daud” (2 Taw 34:2), dan mengangkat kembali “semua

orang Lewi yang pandai memainkan alat-alat musik” (2

Taw 34:12).

Narasi Tabut lebih jauh memberikan preskripsi

tentang model penyembahan Daud. Dalam terminologi

Street, model ini disebut sebagai “proper worship”

(penyembahan yang selayaknya).214 Dalam upayanya

yang kedua untuk memindahkan Tabut, setelah

kegagalan upaya yang pertama dalam 1 Taw 13, Daud

211 Street, 32 212 Street, 73 213 Street, 72 214 Street, 138

Page 209: ASP NKRIS - pglii.or.id filea pentecostalperspective jurnal teologi oktober 2018 e - in d - o a n i e

208

menjelaskan penyebab bangkitnya murka Tuhan saat

upaya yang pertama adalah karena “kita tidak meminta

petunjuk-Nya seperti seharusnya” (1 Taw 15:13), atau

dalam versi ESV : “we did not seek him according to

the rule”. Interpretasi ESV menjadikan Yahweh sebagai

subjek dari kultus, alih-alih Tabut.215 Ayat-ayat

selanjutnya memberikan penjelasan mengenai makna

“according to the rule”. Segera setelah cara

mengangkut Tabut diperbaiki (ayat 14-15), Daud

mengorganisasikan model pelayanan yang melibatkan

penyanyi yang memainkan alat musik (ayat 16), disertai

dengan lompatan dan tarian (ayat 29). Street

mengimpulkan sebagai berikut : “True worship is joyful

and while some ritual elements are fixed and solemn,

other elements are open and fluid and filled with praise

and thanksgiving.”216

Dapat disimpulkan bahwa bagi Penulis

Tawarikh : (1) Suku Lewi adalah suku yang menjadi

apex dari genealogi umat pilihan; (2) Pelayanan

nyanyian adalah pelayanan sentral dari Suku Lewi,

yang diinisiasi oleh Daud; (3) Pola penyembahan

seperti yang dipreskripsikan oleh Daud adalah proper

worship harus diteruskan oleh komunitas pasca

pembuangan.

215 Lihat juga versi NASB : “we did not seek Him

according to the ordinance”. Kontra : NRSV “we did not give it

proper care”. 216 Street, 138

Page 210: ASP NKRIS - pglii.or.id filea pentecostalperspective jurnal teologi oktober 2018 e - in d - o a n i e

209

Karakteristik Penyembahan dalam Kitab Tawarikh

John W. Kleinig menjelaskan karakteristik dari

penyembahan (sacred song) dari Kitab Tawarikh

sebagai berikut217 :

1. Dengan memuji TUHAN, para penyanyi

memproklamasikan nama-Nya dan

mendeklarasikan karya-Nya.

a. Mereka memperkenalkan TUHAN kepada umat-

Nya dan mengumumkan kehadiran-Nya di

tengah mereka

b. Mereka menyingkapkan karakter-Nya yang

penuh belas kasih dan kebaikan-Nya bagi umat-

Nya

c. Mereka mengajak jemaat untuk mengingat ikat

janji mereka TUHAN dan melandaskan segala

permohonan atas dasar janji-Nya

d. Mereka mengundang seluruh umat pilihan dan

segenap bangsa-bangsa di muka bumi untuk

mencari hadirat-Nya dan mendapatkan kekuatan

di dalam penyembahan kepada-Nya

2. Dengan memuji TUHAN, para penyanyi bertindak

sebagai nabi-nabi dan bernubuat dalam nama-Nya.

a. Mereka berdiri di hadapan hadirat-Nya menjadi

perantara antara TUHAN dengan umat-Nya

dengan menyampaikan perkataan TUHAN

kepada umat-Nya lewat lagu

217 John W. Kleinig, The Lord’s Song : The Basis, Function

and Significance of Choral Music in Chronicles, Journal for the

Study of the Old Testament Supplement Series (Sheffield, England:

JSOT Press, 1993), 190-191.

Page 211: ASP NKRIS - pglii.or.id filea pentecostalperspective jurnal teologi oktober 2018 e - in d - o a n i e

210

b. Mereka memproklamasikan penghakiman

TUHAN atas musuh-musuh-Nya dan

keselamatan kepada umat-Nya

c. Mereka mengkomunikasikan penerimaan

TUHAN atas mereka dalam persetujuan-Nya

atas korban mereka dan menghadirkan

pertolongan-Nya atas mereka dalam proklamasi

nama-Nya

d. Melalui mereka, TUHAN mendeklarasikan

keselamatan atas umat-Nya

3. Dengan memuji TUHAN, para penyanyi memanggil

hadirat-Nya yang mulia turun atas bait di Yerusalem

dan merespon kepada manifestasi kehadiran-Nya.

a. Dengan memproklamasikan nama TUHAN, para

penyanyi memanggil kemuliaan TUHAN,

tersembunyi dalam awan di dalam bait, dan

menyingkapkan hadirat-Nya yang terselubung

secara verbal kepada umat-Nya lewat lagu

pujian.

b. Mereka memimpin umat dalam meresponi

TUHAN dengan kegentaran, ucapan syukur dan

sorak suka cita untuk penerimaan TUHAN atas

mereka dan korban yang mereka persembahkan

4. Dengan memuji TUHAN, para penyanyi melakukan

peperangan rohani (supernatural warfare) melawan

musuh-musuhnya TUHAN.

a. Mereka mengingat kemenangan TUHAN atas

musuh-musuh dan merayakan kuasa-Nya ketika

mengalahkan musuh dengan sedikit atau tanpa

bantuan kekuatan militer dari umat pilihan-Nya

b. Mereka mempertahankan umat TUHAN dan

mengamankan pembebasan umat-Nya lewat

Page 212: ASP NKRIS - pglii.or.id filea pentecostalperspective jurnal teologi oktober 2018 e - in d - o a n i e

211

proklamasi atas TUHAN dan keselamatan-Nya

dalam pujian penyembahan

c. Mereka memproklamasikan tindakan

pembebasan-Nya di masa datang dan

kemenangan-Nya yang universal atas semua

kuasa jahat, sesuai dengan janji-Nya melalui

nabi-nabi-Nya

d. Dengan memberi kesaksian tentang kuasa

TUHAN dalam menaklukkan dewa-dewa

terbesar kepunyaan bangsa asing dan tentang

kekuatan militer-Nya dalam membela umat-

Nya, para penyanyi mengintimidasi musuh-

musuh mereka dan mempengaruhi para musuh

untuk tunduk kepada pemerintahan-Nya

5. Bangsa-bangsa di seluruh bumi mengalami

keuntungan atau kerugian tergantung dari

bagaimana umat pilihan menaikkan lagu TUHAN.

a. Seperti Israel, mereka adalah ahli waris dari

kemurahan rajani-Nya dan dengan demikian

terikat untuk mengakui Dia sebagai Allah

mereka

b. Lewat institusi dan penampilan pujian

penyembahan (sacred song), para raja dari Tahta

Daud mengantisipasi pewahyuan tentang

TUHAN sebagai raja atas seluruh ciptaan,

memproklamasikan nama TUHAN kepada

bangsa-bangsa, dan memanggil bangsa-bangsa

untuk mengakui Dia dalam korban, sujud-

sembah, dan pujian

c. Pujian penyembahan yang dinaikkan adalah

proklamasi kebaikan TUHAN atas bangsa-

bangsa dan sekaligus juga pernyataan

Page 213: ASP NKRIS - pglii.or.id filea pentecostalperspective jurnal teologi oktober 2018 e - in d - o a n i e

212

penghakiman-Nya atas mereka dan para dewa

mereka

d. Bangsa-bangsa memiliki pilihan untuk menjadi

rekan kerja umat pilihan dalam memuji nama-

Nya yang kudus, atau mengalami kekalahan di

tangan-Nya ketika mereka menolak nama-Nya

Dari uraian di atas, disimpulkan bahwa para

pemuji penyembah Tuhan dalam Kitab Tawarikh,

termasuk Daud, menampilkan karakter yang imamat

(dalam mengundang hadirat-Nya) , yang nabiah (dalam

nubuatan), dan yang rajani (dalam peperangan rohani).

Karakter-karakter ini berpadanan dengan nilai-nilai

Pentakosta yang memandang Yesus sebagai sanctifier

(imamat), sebagai Spirit baptizer dan healer (nabiah),

dan sebagai soon-coming King (rajani).

Narasi Sebagai Hermeneutika Pentakostal

Bagaimana insan Pentakosta seharusnya

menafsirkan Alkitab secara bertanggung jawab? Seperti

apakah sesungguhnya bentuk hermeneutika yang

berhaluan Pentakosta (Pentecostal Hermeneutics)?

Sampai hari ini, berbagai pola hermeneutika

Pentakostal telah ditawarkan oleh berbagai pihak.

Beberapa model hermeneutika tidak jauh berbeda

dengan hermeneutika injili, seperti yang diusung oleh

Gordon D. Fee dan Robert P. Menzies. Model yang

bersifat eklektik : berakar biblikal kuat, namun

memasukkan unsur the Spirit behind the law,

Page 214: ASP NKRIS - pglii.or.id filea pentecostalperspective jurnal teologi oktober 2018 e - in d - o a n i e

213

ditawarkan oleh Craig S. Keener. Sebagian

merumuskan model yang bersifat teologi naratif yang

diolah dalam sebuah holy community,yang

menghidupi pengalaman dari Roh Kudus, seperti yang

digagas oleh Kenneth J. Archer, Melissa Archer, dan

Jacqueline Grey. Mengingat dinamika perubahan yang

terjadi, pembaca dianjurkan untuk merunut kepada

tulisan bunga rampai terkini untuk melihat kategori

hermeneutika Pentakostal.218

Penulis makalah ini akan meminjam model

hermeneutika Pentakostal yang ditawarkan oleh Joel B.

Green, seorang Wesleyan. Secara sederhana, bagi

Green, hermeneutika Pentakostal adalah turunan dari

sebuah gerakan hermeneutika yang lebih besar, yaitu

Theological Interpretation of Scripture (TIS).219

Dalam karyanya terdahulu, Practicing

Theological Interpretation : Engaging Biblical Text for

Faith and Formation, Green memberikan gambaran

bagaimana melakukan TIS dengan mengambil Surat

Yakobus sebagai kasus. Pertama-tama, Green

merumuskan ulang siapa yang menjadi pembaca Surat

218 Lihat misalnya : Kenneth J. Archer and L. William

Oliverio, Jr., eds., Constructive Pneumatological Hermeneutics in

Pentecostal Christianity, Christianity and Renewal -

Interdisciplinary Studies (New York, NY: Palgrave Macmillan,

2016). 219 Joel B. Green, “Pentecostal Hermeneutics: A Wesleyan

Perspective”, in Kenneth J. Archer and L. William Oliverio, Jr.,

eds., Constructive Pneumatological Hermeneutics in Pentecostal

Christianity, Christianity and Renewal - Interdisciplinary Studies

(New York, NY: Palgrave Macmillan, 2016), 159.

Page 215: ASP NKRIS - pglii.or.id filea pentecostalperspective jurnal teologi oktober 2018 e - in d - o a n i e

214

Yakobus; siapakah yang menjadi “kamu” (dimulai dari

Yak 1:2) dalam surat ini? Presumsi dasar studi modern

biblika kritikal adalah bahwa “kamu” dalam Surat

Yakobus adalah pembaca yang hidup pada abad

pertama, yang kehidupannya adalah bukan kehidupan

pembaca modern pada masa kini.220 Secara teologis,

hal ini merupakan kontradiksi dari konsep gereja yang

Am. Untuk itu, Green mengagas konsep model reader,

meminjam Umberto Eco, dimana dengan konsep ini,

pembaca Surat Yakobus pada masa kini tidak membaca

sebagai pengamat asing, melainkan mengambil persona

sebagai pembaca pertama (direct reader) yang menjadi

objek dari surat tersebut. Dengan demikian, pembaca

masa kini siap dibentuk oleh teks yang sama yang

ditujukan untuk membentuk pembaca pertama.221

Dengan mengacu kepada petunjuk dalam teks :

“kepada kedua belas suku di perantauan” (Yak 1:1),

dimana “kedua belas suku” menggambarkan umat

eskatologis yang direstorasi oleh Tuhan dan “di

perantauan” mendeskripsikan kehidupan dalam

pembuangan, Green mengkonsepsi model reader

dalam bentuk paradox, yaitu “umat Tuhan yang

dipulihkan yang sedang menantikan pemulihan”.222

Model reader yang dimaksud mengarungi sebuah

narasi kehidupan seperti yang digambarkan dalam

220 Joel B. Green, Practicing Theological Interpretation :

Engaging Biblical Texts for Faith and Formation, Theological

Explorations for the Church Catholic (Grand Rapids, MI: Baker

Academic, 2011), 15. 221 Green, Practicing, 20. 222 Green, Practicing, 21

Page 216: ASP NKRIS - pglii.or.id filea pentecostalperspective jurnal teologi oktober 2018 e - in d - o a n i e

215

Surat Yakobus. Narasi tersebut merupakan bagian dari

grand narrative : Penciptaan Kehidupan

Sekarang/Kehidupan dalam Pembuangan Ciptaan

Baru, dimana Surat Yakobus memfokuskan diri pada

babakan Kehidupan dalam Pembuangan.223 Kehidupan

ini ditandai dengan : “berbagai pencobaan” (1:2);

“dalam keadaan yang rendah” (1:9); ketekunan “dalam

pencobaan” (1:12); perbuatan yang menyempurnakan

iman (1:22).

Konsep TIS di atas juga sejalan dengan

hermeneutika Pentakostal yang dipraktekkan oleh para

pendahulu gerakan Pentakosta di awal abad ke-20,

yang memakai narasi Pentakosta sebagai filter

hermeneutika. Narasi Pentakosta yang diadopsi oleh

gerakan awal Pentakosta banyak dibentuk oleh motif

tematik Hujan Akhir (Latter Rain).224 Motif ini dipakai

sebagai filter untuk menafsirkan Perjanjian Lama dan

Perjanjian Baru menurut pola janji-penggenapan. Pola

tersebut memberikan dasar bagi insan Pentakosta untuk

mengambil bagian atas janji Hujan Akhir kepada

komunitas umat pilihan di masa lalu. Kontinuitas janji

Hujan Akhir ini kemudian melahirkan ekspektasi

pencurahan Roh Kudus yang lebih besar daripada

pencurahan dalam Kisah Para Rasul 2.225 Dengan kata

223 Green, Practicing, 30 224 D. William Faupel, The Everlasting Gospel: The

Significance of Eschatology in the Development of Pentecostal

Thought (Dorset, UK: Sheffield Academic Press, 1996), 19-43. 225 Kenneth J. Archer, A Pentecostal Hermeneutic: Spirit,

Scripture And Community (Cleveland, TN: CPT Press, 2009), 137-

138.

Page 217: ASP NKRIS - pglii.or.id filea pentecostalperspective jurnal teologi oktober 2018 e - in d - o a n i e

216

lain, meminjam terminologi Green, komunitas

Pentakosta awal abad ke-20 mengasosiasikan diri

sebagai model reader, yaitu umat yang menantikan

Janji Bapa (Kis 1:4).

Membaca Kitab Tawarikh Sebagai Insan Pentakosta

Berpadanan dengan konsep model reader dalam

bingkai TIS, kecenderungan insan Pentakosta untuk

menerima kitab-kitab narasi tidaklah mengherankan.

Insan Pentakosta sangat suka mengidentifikasikan

dirinya dengan tokoh dan plot dalam narasi, serta

menarik aplikasi dari narasi secara langsung. Bagi

orang Pentakosta, “cerita ini adalah cerita kita juga”,

meminjam terminologi Robert P. Menzies dalam

konteks tulisan Lukas.226 Dalam upaya menjadikan

“cerita ini adalah cerita kita juga”, orang Pentakosta

sesungguhnya sedang membangun penafsiran secara

teologis atas sebuah narasi sejarah. Sejarah tidaklah

berhenti di masa lalu, akan tetapi berulang dalam

wadah masa kini. Hal yang sama dikemukakan oleh

Louis C. Jonker tentang penulisan Kitab Tawarikh : “..

the Chronicler shows that the believers do not

subscribe to the contingency of history. History, and

therefore also the continuation of the past into the

226 Meminjam istilah dari judul : Robert P. Menzies,

Pentecost: This Story Is Our Story (Springfield, MO: Gospel

Publishing House, 2013).

Page 218: ASP NKRIS - pglii.or.id filea pentecostalperspective jurnal teologi oktober 2018 e - in d - o a n i e

217

present and future, can and should be interpreted

theologically.”227

Dengan berpijak pada pembahasan di bagian

sebelumnya, dapat diidentifikasi beberapa karakteristik

model reader. Komunitas pasca pembuangan adalah

orang-orang yang hidup dalam penantian akan

berulangnya sejarah. TUHAN yang mereka sembah

adalah Allah yang berdaulat atas sejarah. Seburuk

apapun kondisi yang menimpa mereka, TUHAN adalah

“God of new beginnings”228, yang sanggup untuk

membuka lembaran sejarah yang baru buat umat-Nya.

Atas dasar inilah mereka menaruh pengharapan akan

sesuatu yang baik terjadi seperti yang pernah TUHAN

kerjakan dahulu. Karena itu mereka melihat kembali

bagaimana pola retributif berulang dalam kehidupan

Daud dan keturunan Daud. Mereka

mengidentifikasikan diri mereka sebagai umat di bawah

otoritas Daud dan keturunannya. Pola kehidupan Daud

yang berpusat pada penyembahan menjadi sebuah

preskripsi untuk cara hidup komunitas. Sosok Daud

yang dijadikan aspirasi komunitas bukan lagi sosok

Daud sebagai Raja, melainkan juga sosoknya sebagai

founder dari ritual yang karismatik.

Komunitas Pentakosta kontemporer pada

dasarnya menjalani hidup dengan nilai dan aspirasi

yang hampir identik dengan model reader Kitab

227 Jonker, Introduction – The Message of Chronicles,

Olive Tree. Lihat juga : Street, 11. 228 Jonker, Introduction – Theology of Chronicles, Olive

Tree.

Page 219: ASP NKRIS - pglii.or.id filea pentecostalperspective jurnal teologi oktober 2018 e - in d - o a n i e

218

Tawarikh. Mereka percaya akan sejarah pencurahan

Roh Kudus yang berulang dan menantikannya dalam

harap. Penantian ini tidalah bersifat pasif, melainkan

sebuah rangkaian tindakan yang dilakukan berdasarkan

preskripsi dari Sang Tunas Daud. Mereka hidup di

bawah otoritas-Nya sebagai penyelamat, penyembuh,

pembaptis Roh Kudus dan Raja yang akan datang.

Sama halnya seperti ketika insan Pentakosta

berkata, meminjam frase Menzies : “This (Lukan) story

is our story”, demikian juga tanpa kesulitan mereka

dapat berkata : “This (Chronistic) story is our story”.

Pondok Daud sebagai Representasi Visi Penyembahan

Daud

Satu hal yang tidak bisa dilepaskan dari proper

worship yang diwariskan Daud adalah terminologi

Pondok Daud (PD). Apakah PD ini identik atau terkait

dengan visi penyembahan Daud? Frase “Pondok Daud

(sukkat dawid)” dalam Kitab Amos sendiri adalah

sebuah hapax legomenon (satu-satunya kemunculan

dalam Alkitab). Karenanya tidaklah mengherankan

apabila berbagai versi alkitab memiliki kata yang

berbeda untuk “pondok” : booth (ESV, NRSV, NASB,

HCSB), shelter (NIV), hut (NET, MEV, NABRE), tent

(GW), house (NLT, MSG), kingdom (GNB), tabernacle

(KJV, NKJV, AMP), sukkah, sukkat (TLV, OJB). Dari

berbagai terjemahan yang berbeda dapat diambil

kesimpulan awal bahwa :

Page 220: ASP NKRIS - pglii.or.id filea pentecostalperspective jurnal teologi oktober 2018 e - in d - o a n i e

219

1. Sebagian besar versi menerjemahkan secara

literal tanpa penafsiran teologis (booth, shelter,

hut, tent). Seluruh kata ini (booth, shelter, hut,

tent) memiliki pengertian yang serupa yaitu

sebuah bangunan sederhana yang non

permanen.

2. Sebagian versi (dari aliran thought-for-thought)

menerjemahkan dengan pengertian teologis

yang bermakna kerajaan (house, kingdom)

3. Sebagian versi (dari kelompok klasik “King

James”) menerjemahkan dengan pengertian

teologis yang bermakna religius (tabernacle)

4. Versi Yahudi mesianik meneruskan kata asli ke

dalam terjemahan (sukkah, sukkat)

Keberagaman dari berbagai versi Alkitab di atas

memberikan indikasi awal adanya perbedaan

penafsiran dari makna Restorasi Pondok Daud.

1. Pondok Daud sebagai Lambang dari

Dinasti/Kerajaan Daud

Penting untuk melihat dari sudut pandang

Yahudi. Menurut The Jewish Study Bible, Rabbinic

sources berpendapat bahwa pendirian “Pondok Daud

yang telah roboh” mengacu pada era mesianik.

Beberapa penafsir Yahudi abad pertengahan,

mengartikan “pondok” sebagai Bait Allah, namun

sebagian besar penafsir pada masa itu mengartikannya

sebagai Kerajaan Daud. Sebagian besar ilmuwan masa

Page 221: ASP NKRIS - pglii.or.id filea pentecostalperspective jurnal teologi oktober 2018 e - in d - o a n i e

220

kini, mengasosiasikan “Pondok Daud yang telah roboh”

dengan kejatuhan Kerajaan Yehuda dan

pembuangannya (exile).229

Menurut pengusung pandangan ini, arti dari

“Pondok Daud yang telah roboh” (Amos 9;11) harus

dilihat dari konteks ayat 1-10 dan ayat 13-15, sebagai

berikut :

229 Adele Berlin, Marc Zvi Brettler, and Michael Fishbane,

eds., The Jewish Study Bible: Featuring The Jewish Publication

Society TANAKH Translation (Oxford, NY: Oxford University

Press, 2004), Amos 9:11, Olive Tree.

Amos 9:8

“Penghakiman”

Amos 9:11 “Pada hari itu

(Sesudah penghakiman)”

Amos 9:14 “Pemulihan”

Sesungguhnya,

TUHAN Allah sudah

mengamat-amati

kerajaan yang

berdosa ini (*): Aku

akan

memunahkannya (*)

dari muka bumi!

Tetapi Aku tidak akan

memunahkan

keturunan Yakub

sama sekali, (^)"

demikianlah firman

TUHAN.

(Amo 9:8)

"Pada hari itu Aku akan

mendirikan kembali

pondok Daud yang telah

roboh (*); Aku akan

menutup pecahan

dindingnya, dan akan

mendirikan kembali

reruntuhannya; Aku

akan membangunnya

kembali (^) seperti di

zaman dahulu kala,

(Amo 9:11)

Aku akan memulihkan

kembali umat-Ku Israel: (^)

mereka akan membangun

kota-kota yang licin tandas

dan mendiaminya; mereka

akan menanami kebun-kebun

anggur dan minum

anggurnya; mereka akan

membuat kebun-kebun buah-

buahan dan makan buahnya.

(Amo 9:14)

Page 222: ASP NKRIS - pglii.or.id filea pentecostalperspective jurnal teologi oktober 2018 e - in d - o a n i e

221

Disimpulkan bahwa Restorasi Pondok Daud

berbicara tentang pemulihan kerajaan atau otoritas

pemerintahan di bawah Daud secara fisik dan

dampaknya yang mencakup bangsa-bangsa. Secara

tegas, Avner Boskey, seorang messianic Jews,

menyimpulkan230 : “Amos 9:11 is not prophesying

about 24-hour intercessory prayer meetings and

inspired worship. Though inspired worship will flourish

under Davidic rule, that is not what Amos’ prophecy is

addressing.”

Atas hipotesis Boskey, dapat diberi tanggapan

bahwa konteks yang diambil hanya dari Amos pasal 9

adalah terlalu sempit sehingga tidak membuka peluang

untuk melihat kemungkinan sudut penafsiran yang

berbeda. Kesimpulan Boskey tidak dapat diterima

sepenuhnya.

Dari sudut pandang yang lain, beberapa

penafsir, melihat “pondok” Daud sebagai penurunan

kualitas dari “rumah” Daud (house of David, keturunan

Daud). Walter C. Kaiser menyatakan231 : “The subject

of Amos 9:11 is the present condition of David’s house

or dynasty, which Amos describes as a “booth”, “tent”,

or “hut” (sukkah) that is currently in a state of

230 Avner Boskey, “A Messianic Perpective on the

Restoration of David’s Tabernacle” 2011, 11. 231 Walter C. Kaiser Jr., Darrell L. Bock, and Peter Enns,

Three Views on the New Testament Use of the Old Testament

(Grand Rapids, MI: Zondervan, 2008), 66.

Page 223: ASP NKRIS - pglii.or.id filea pentecostalperspective jurnal teologi oktober 2018 e - in d - o a n i e

222

dilapidation, i.e., it is “falling down” (hannopelet).”

Jadi, “apa yang awalnya dirancang sebagai the house of

David (2 Sam 7:11, NIV) - atau keturunan Daud - yaitu

dinasti Daud, dengan segala janji berkat yang mulia,

telah berada dalam kondisi sedang roboh dan tampak

seperti pondok sementara yang biasa terlihat di hari

raya Pondok Daun”. Pada akhirnya Kaiser

menyimpulkan232 : “There is no need to take “David’s

fallen tent” to mean “the tabernacle of David” and then

to make that into a type of the Christian church”.

Restorasi Pondok Daud secara langsung hanya

mengacu kepada ikat janji Tuhan kepada Daud dalam

2 Sam 7 dan 1 Taw 17. Kesimpulan seperti ini dianut

oleh mayoritas penafsir kalangan injili.

Keberatan dapat diajukan atas kesimpulan di

atas. Secara gramatikal, kondisi “yang telah roboh”

dalam Amos 9:11 mengacu secara langsung kepada

“pondok Daud” (sukkah) dan bukan “keturunan (house,

NIV) Daud” (baiyt). Tindakan mengasosiasikan

“pondok” sebagai “keturunan yang roboh” adalah

sesuatu yang dipaksakan dan berlawanan dengan

konteks natural dari teks Amos 9:11.

232 Kaiser, 71.

Page 224: ASP NKRIS - pglii.or.id filea pentecostalperspective jurnal teologi oktober 2018 e - in d - o a n i e

223

2. Pondok Daud sebagai Tabernakel Pujian dan

Penyembahan

Telah dibahas bahwa sebagian besar kalangan

injili melihat Pondok Daud sebagai dinasti atau

keturunan Daud. Selanjutnya, akan dibangun

argumentasi secara alkitabiah bahwa Pondok Daud

berbicara secara kuat sebagai tabernakel pujian dan

penyembahan di Bukit Zion. Meminjam kerangka

berpikir Peter J. Leithart, beberapa argumen yang

menopang Pondok Daud sebagai kemah yang didirikan

Daud di Bukit Zion adalah sebagai berikut : (i)

penggunaan kata “pondok” (booth); dan (ii) konteks

dari Amos 9.233

Argumen pertama mengacu kepada Mazmur 76,

yang ditulis oleh Asaf, pemazmur yang sejaman dengan

Daud.

Allah terkenal di Yehuda, nama-Nya masyhur di

Israel! Di Salem sudah ada pondok-Nya,(sukkah)

dan kediaman-Nya di Sion! Di sanalah

dipatahkan-Nya panah yang berkilat, perisai dan

pedang dan alat perang. Sela

(Mazmur 76:2-4)

233 Peter J. Leithart, From Silence to Song: The Davidic

Liturgical Revolution (Moscow: Canon Press, 2003), 78.

Page 225: ASP NKRIS - pglii.or.id filea pentecostalperspective jurnal teologi oktober 2018 e - in d - o a n i e

224

Perhatikan pola sejajar (paralelisme) dengan pola A-B-

B-A dalam ayat-ayat di atas234 :

Di Salem sudah ada (A)

pondok-Nya (B)

dan kediaman-Nya (B)

di Sion (A)

Di dalam mazmur ini disebutkan lokasi dari

“pondok-Nya”, yaitu di Salem (Yerusalem), dan secara

khusus di bukit Sion (yang ada di Yerusalem). Lebih

lanjut, bagian tengah dari pola sejajar di atas (“pondok-

Nya dan kediaman-Nya”) menunjukkan bahwa pondok

di Sion adalah tempat kediaman Tuhan. Jelaslah bahwa

“Pondok” yang dimaksud adalah kemah yang Daud

dirikan untuk menampung tabut di Yerusalem

(tabernakel). Dengan demikian, Amos menubuatkan

sebuah restorasi dari sebuah tempat penyembahan

yang menampung tabut Allah, atau lazim disebut

Tabernakel Daud. Ternyata versi alkitab dari golongan

King James (KJV, NKJV) adalah yang paling tepat

menerjemahkan dan menafsirkan sukkah sebagai

tabernacle.

Argumen kedua mengacu kepada kemiripan dan

pembalikan pola antara Amos 9:1-6:14 dan Amos 9:1-

15. Untuk itu, lihat tabel di bawah ini235 :

234 Leithart, 82.

Page 226: ASP NKRIS - pglii.or.id filea pentecostalperspective jurnal teologi oktober 2018 e - in d - o a n i e

225

Amos 5:1 - 6:14 Amos 9:1-15

Sifat Perikop Perkataan final (final oracle) Penglihatan final (final vision)

Pembalikan

(reversal)

5:2 "Telah rebah (nafal),

tidak akan bangkit-bangkit

(qum) lagi anak dara Israel,

terkapar di atas tanahnya,

tidak ada yang

membangkitkannya (qum)."

9:1 Pada hari itu Aku akan mendirikan

kembali (qum) pondok Daud yang

telah roboh (nafal); Aku akan menutup

pecahan dindingnya, dan akan

mendirikan kembali (qum)

reruntuhannya

Kesamaan

kedaulatan

5:8-9 Tuhan berdaulat atas

ciptaan

9:5-6 Tuhan berdaulat atas ciptaan

Pembalikan

(reversal)

5:11 membuat kebun

anggur, tidak minum

anggurnya

9:14 menanami kebun dan minum

anggurnya

Pembalikan

(reversal)

5:18-19 “hari” TUHAN,

kegelapan

9:11, “hari” restorasi;

9:13, “waktu” kelimpahan

Kesamaan

hukuman

5:19 ular (nahash) memagut

(nashak) sebagai hukuman

9:3 ular (nahash) memagut (nashak)

sebagai hukuman

Kesamaan

hukuman

5:27 pembuangan jauh ke

seberang Damsyik

9:4 Berjalan di depan musuh sebagai

orang tawanan

Kesamaan

sebutan Allah

5:27, 6:14 TUHAN, yang

nama-Nya Allah semesta

alam

9:5 Tuhan ALLAH semesta alam

Pembalikan

(reversal)

6:8 Tuhan akan

menyerahkan kota serta

isinya

9:14 Tuhan memulihkan umat-Nya

untuk membangun kota yang licin

tandas

Kemiripan

konsonan

5:26 Sakut (sikkuth), rajamu 9:11 pondok (sukkah)

Tema sentral perikop Amos 5:1-6:14 adalah

penyelewengan penyembahan Israel dan penolakan

Tuhan terhadap penyembahan tersebut. Menarik untuk

diamati perkataan Tuhan terhadap Israel : “Jauhkanlah

dari pada-Ku keramaian nyanyian-nyanyianmu, lagu

235 Leithart, 85-87.

Page 227: ASP NKRIS - pglii.or.id filea pentecostalperspective jurnal teologi oktober 2018 e - in d - o a n i e

226

gambusmu tidak mau Aku dengar.” (Amos 5:23).

Contoh lain : "Celaka atas orang-orang yang merasa

aman di Sion” (6:1), “yang bernyanyi-nyanyi

mendengar bunyi gambus, dan seperti Daud

menciptakan bunyi-bunyian bagi dirinya;” (6:5). Frase

“menciptakan bunyi-bunyian” memiliki padanan dalam

alkitab NIV : improvise on musical instrument, atau

dalam NASB : composed songs.

Dengan melihat dua fakta, yaitu adanya pola

pembalikan antara 5:1-6:14 dan 9:1-15, dan gambaran

Daud sebagai pemusik dan pemyembah di dalam kitab

Amos, maka menjadi jelaslah Tuhan membalikkan

kondisi penyembahan Israel di 9:1-15. Pondok Daud

berbicara tentang penyembahan Israel dan Restorasi

Pondok Daud adalah restorasi dalam hal

penyembahan. Dengan demikian, Pondok Daud dapat

dijadikan representasi dari visi penyembahan Daud.

The Road Ahead

Visi penyembahan Daud yang digambarkan

dalam Kitab Tawarikh kemungkinan memiliki relasi

dengan Kitab Mazmur, terutama yang memiliki

inskripsi nama Daud. Mengingat rentang penulisan

Mazmur yang sangat panjang, bentuk relasi itu sendiri

perlu diselidiki lebih lanjut, bagaimana beberapa Kitab

Mazmur mempengaruhi (kemungkinan besar) atau

beberapa dipengaruhi oleh Kitab Tawarikh

(kemungkinan yang lebih kecil). Sebagai contoh,

Page 228: ASP NKRIS - pglii.or.id filea pentecostalperspective jurnal teologi oktober 2018 e - in d - o a n i e

227

segmen 1 Taw 16:7-36 dipengaruhi oleh beberapa

Mazmur yang telah ditulis sebelum penulisan

Tawarikh.236

Kitab Mazmur sendiri, tanpa dikaitkan dengan

Kitab Tawarikh, telah banyak menjadi model

penyembahan injili. Dari kalangan Pentakosta, Lee

Roy Martin telah memulai upaya menyusun teologi

penyembahan Pentakostal yang berlandaskan Kitab

Mazmur. Martin mengamati bahwa banyak elemen

penyembahan dalam Mazmur yang muncul d alam

penyembahan kalangan Pentakosta, baik early

Pentecostalism, maupun majority world masa kini.237

Perbandingan antara beberapa elemen penyembahan

Mazmur versi Martin dengan karakteristik

penyembahan Tawarikh versi Kleinig menunjukkan

banyak titik temu.

Meminjam istilah Miller pada kutipan

pembukaan, insan Pentakosta memiliki teologi

penyembahan yang kaya warna untuk memberi makna

kepada penyembahan Pentakostal yang ”vibrant,

connects with the emotions, inspires, and energizes”.

236 Street, 24. 237 Lee Roy Martin, ed., Toward a Pentecostal Theology of

Worship (Cleveland, TN: CPT Press, 2016), 88.

Page 229: ASP NKRIS - pglii.or.id filea pentecostalperspective jurnal teologi oktober 2018 e - in d - o a n i e

228

DAFTAR PUSTAKA

Archer, Kenneth J. A Pentecostal Hermeneutic: Spirit,

Scripture And Community. Cleveland, TN: CPT Press,

2009.

Archer, Kenneth J., and L. William Oliverio, Jr., eds.

Constructive Pneumatological Hermeneutics in

Pentecostal Christianity. Christianity and Renewal -

Interdisciplinary Studies. New York, NY: Palgrave

Macmillan, 2016.

Balentine, Samuel H. The Torah’s Vision of Worship.

Overtures to Biblical Theology. Minneapolis, MN:

Fortress Press, 1999.

Berlin, Adele, Marc Zvi Brettler, and Michael Fishbane, eds.

The Jewish Study Bible: Featuring The Jewish

Publication Society TANAKH Translation. Oxford, NY:

Oxford University Press, 2004.

Boda, Mark J. After God’s Own Heart: The Gospel

According to David. The Gospel According to The Old

Testament. Phillipsburg, N.J: P & R Publishing, 2007.

Boskey, Avner. “A Messianic Perpective on the Restoration

of David’s Tabernacle,” 2011.

Brueggemann, Walter. The Message of the Psalms.

Minneapolis, MN: Augsburg, 1984.

Faupel, D. William. The Everlasting Gospel: The Significance

of Eschatology in the Development of Pentecostal

Thought. Dorset, UK: Sheffield Academic Press, 1996.

Feinberg, John S., ed. Continuity and Discontinuity (Essays in

Honor of S. Lewis Johnson, Jr.): Perspectives on the

Page 230: ASP NKRIS - pglii.or.id filea pentecostalperspective jurnal teologi oktober 2018 e - in d - o a n i e

229

Relationship Between the Old and New Testaments.

Westchester, IL: Crossway, 1988.

Félix-Jäger, Steven. Spirit of the Arts: Towards a

Pneumatological Aesthetics of Renewal. Christianity

and Renewal - Interdisciplinary Studies. New York, NY:

Palgrave Macmillan, 2017.

Green, Joel B. Practicing Theological Interpretation :

Engaging Biblical Texts for Faith and Formation.

Theological Explorations for the Church Catholic.

Grand Rapids, MI: Baker Academic, 2011.

Ingalls, Monique M., and Amos Yong, eds. The Spirit of

Praise: Music and Worship in Global Pentecostal-

Charismatic Christianity. University Park, PA: The

Pennsylvania State University Press, 2016.

Jonker, Louis C. 1 & 2 Chronicles. Understanding the Bible

Commentary Series. Grand Rapids, MI: Baker Books,

2013.

Kaiser Jr., Walter C., Darrell L. Bock, and Peter Enns. Three

Views on the New Testament Use of the Old Testament.

Grand Rapids, MI: Zondervan, 2008.

Keener, Craig S. Spirit Hermeneutics: Reading Scripture in

Light of Pentecost. Grand Rapids, Michigan: Eerdmans,

2016.

Kleinig, John W. The Lord’s Song : The Basis, Function and

Significance of Choral Music in Chronicles. Journal for

the Study of the Old Testament Supplement Series.

Sheffield, England: JSOT Press, 1993.

Leithart, Peter J. From Silence to Song: The Davidic Liturgical

Revolution. Moscow: Canon Press, 2003.

Martin, Lee Roy, ed. Toward a Pentecostal Theology of

Worship. Cleveland, TN: CPT Press, 2016.

Page 231: ASP NKRIS - pglii.or.id filea pentecostalperspective jurnal teologi oktober 2018 e - in d - o a n i e

230

Menzies, Robert P. Pentecost: This Story Is Our Story.

Springfield, MO: Gospel Publishing House, 2013.

Street, James M. The Significance of the Ark Narrative:

Literary Formation and Artistry in the Book of

Chronicles. Studies in Biblical Literature 129. New

York, NY: Peter Lang Publishing, Inc., 2009.

Throntveit, Mark A. “Was the Chronicler a Spin Doctor?

David in the Books of Chronicles.” Word & World 23,

no. 4 (Fall 2003): 374–81.

Page 232: ASP NKRIS - pglii.or.id filea pentecostalperspective jurnal teologi oktober 2018 e - in d - o a n i e