Upload
others
View
7
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
ANALISIS KUALITAS AIR DANAU SEBAGAI DASAR PERBAIKAN
MANAJEMEN BUDIDAYA PERIKANAN DI DANAU BUYAN
KABUPATEN BULELENG, PROVINSI BALI
I Wayan Rian Riki Saputra1*), I Wayan Restu1), Made Ayu Pratiwi1)
1)Prodi Manajemen Sumberdaya Perairan, FKP Universitas Udayana*)Email: [email protected]
ABSTRACT
Buyan Lake is one of the lakes in Bali province. That located at Pancasari Village, District of Sukasada,
Buleleng Regency. This lake they are many utilication of the lake such as agriculture, tourism and aquaculture
activities. Those activities are considered to contribute an eutrophication in this lake. In order to investigate
the effect of of floating net cages activity in Buyan Lake, the research about “The Analysis of Water Quality
as a Basic Improvement of Aquaculture Management in Buyan Lake” was conducted This research method
used in this study was done by observation method and took the samples in situ (at Buyan Lake site) and
samples analysis was done by ex situ (at UPT. Laboratorium Kesehatan Propinsi Bali). They were 2 water
quality parameters such as some physic parameters (temperature, clarity and turbidity) and chemistry
parameters (pH, DO, ammonia, nitrate, BOD, COD, sulfide and phosphate). The data analysis of this research
was analysis conducted by STORET index and pollution index (PI). Base on the analysis using STORET
index, pollution status in Buyan Lake was heavily contaminated with average score of -82. The highest score
was obtained in station 3 (-98). The results of pollution index showed that Buyan Lake has a lightly
contamination with average score 3,4347 whereas the highest pollution index score was obtained in sation 4
(3.8673).
Keywords: Buyan Lake; Floating Net Cages; Water Quality; Physics And Chemistry Parameters
1. PENDAHULUAN
Danau Buyan merupakan salah satu danau di
Bali yang terletak di Desa Pancasari, Kecamatan
Sukasada, Kabupaten Buleleng yang memiliki
banyak potensi, baik yang berbasis alam maupun
peninggalan budaya yang masih terjaga keasliannya
yang saat ini dikelola dalam satu manajemen
konservasi Taman Wisata Alam. Taman Wisata
Alam Danau Buyan dan Danau Tamblingan
mencakup areal seluas 1.491,16 hektar, berlokasi di
Kecamatan Banjar seluas 442,35 hektar, Kecamatan
Sukasada seluas 506,3 hektar, dan Kecamatan
Baturiti seluas 542,51 hektar (Badan Lingkungan
Hidup Daerah Provinsi Bali, 2010). Kawasan danau
buyan saat ini telah dimanfaatkan untuk berbagai
keperluan masyarakat untuk kepentingan pertanian,
pariwisata dan perikanan sesuai dengan sejarah
masyarakat agraris di Bali yang berorientasi gunung
dan laut.
Danau Buyan dimanfaatkan dalam bidang
perikanan sebagai lahan budidaya ikan air tawar,
yaitu dengan menggunakan sistem budidaya
keramba jaring apung (KJA). Keramba jaring apung
(KJA) merupakan suatu wadah pemeliharaan ikan
berupa kantong jaring yang letaknya terapung di
permukaan air. Komoditas utama yang
dibudidayakan dalam KJA di Danau Buyan adalah
komoditas ikan Nila (Oreocromis niloticus L). Secara
umum tantangan yang berhubungan dengan sistem
budidaya KJA yaitu terjadinya peningkatan
kandungan nutrien di perairan yang berasal dari sisa
pakan yang tidak termakan, dan feses ikan, serta
kemungkinan dampak yang ditimbulkan terhadap
kualitas perairan, lingkungan dan kondisi kesehatan
ekosistem (Halwart dkk., 2007). Kartamiharja (2008)
menambahkan, pada kegiatan budidaya KJA yang
dilakukan di waduk yang berada di Jawa Barat
teridentifikasi bahwa pakan yang terbuang ke
perairan mencapai 30%–40%.
Danau Buyan dikhawatirkan akan mengalami
eutrofikasi seperti yang terjadi di danau Batur.
Nastiti dkk., (2001) mengatakan bahwa
perkembangan unit keramba jaring apung dan
keramba jaring tancap pada areal budidaya yang
kurang terkendali menimbulkan dampak negatif
terhadap lingkungan perairan. Danau Buyan diduga
sudah mendapat masukan zat hara yang paling
tinggi dari KJA. Berdasarkan uraian tersebut maka
penelitian mengenai “Analisis Kualitas Air Danau
Sebagai Dasar Perbaikan Manajemen Budidaya
Perikanan di Danau Buyan” perlu dilakukan
penelitian untuk mengetahui status mutu kualitas
air Danau Buyan akibat adanya keramba jaring
apung, dalam rangka pengelolaan budidaya keramba
jaring apung yang berkelanjutan.
ECOTROPHIC • 11 (1) : 1 - 7 p-ISSN: 1907-5626, e-ISSN: 2503-3395
2
ECOTROPHIC • VOLUME 11 NOMOR 1 TAHUN 2017 p-ISSN: 1907-5626, e-ISSN: 2503-3395
2. METODOLOGI
Pengambilan sampel dilakukan dengan cara
pengambilan sampel secara sistematik yaitu
pengambilan sampel yang disusun dengan lokasi
sampling dibuat dengan pola yang teratur.
Pengukuran kualitas air dilakukan dengan dua cara
yaitu secara langsung di lokasi (in situ) dan cara
pengawetan yang dilakukan di Laboratorium (ex
situ), terutama untuk sifat-sifat air yang dapat
bertahan lama dalam kondisi yang sudah diawetkan.
Analisis secara in situ dilakukan untuk parameter
kualitas air yang sifatnya cepat berubah, sehingga
harus saat itu juga langsung dilakukan pengukuran.
Penelitian ini telah dilaksanakan selama 3 Bulan
(Januari-Maret 2016) di perairan Danau Buyan.
Hasil yang telah didapat meliputi 11 parameter fisik
dan kimia perairan. Parameter fisik terdiri dari suhu,
kecerahan dan kekeruhan sedangkan parameter
kimia yaitu pH, DO, ammonia, nitrat, BOD, COD,
sulfida dan phosfat. Setelah dilakukan pengukuran
parameter kualitas air baik secara in situ (ukur
langsung di lapangan) maupun ex situ (analisis
laboratorium), dilakukan analisis mutu air dengan
mempergunakan baku mutu air yang disesuaikan
dengan Peraturan Pemerintah nomor 82 tahun 2001
tentang baku mutu air lingkungan hidup dan
kriteria baku kerusakan lingkungan hidup
menyarankan dapat dianalisis dengan metode
STORET dan indeks pencemaran (IP).
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Ketersedian sumber daya air untuk suatu
peruntukan sangat tergantung pada kualitas sumber
daya air tersebut. Kualitas air yang baik akan
mengakomodasi kegiatan usaha atau pembangunan
yang lebih beragam, seperti suplai air untuk
kebutuhan domestik, pertanian, perikanan, industri
maupun rekreasi (Maulana, 2001). Hasil yang didapat
meliputi 11 parameter fisik dan kimia perairan.
Parameter fisik terdiri dari suhu, kecerahan dan
kekeruhan dengan parameter kimia yaitu pH, DO,
ammonia, nitrat, BOD, COD, sulfida dan phosfat.
Berikut merupakan hasil rata-rata pengukuran
parameter fisik dan kimia perairan kualitas air di
Danau Buyan (Tabel 1.).
Analisis tingkat pencemaran dengan indeks
STORET dilakukan untuk mengetahui tingkat
pencemaran perairan di wilayah pengamatan secara
komprehensif. Penilaian dalam indeks STORET
dilakukan dengan membandingkan hasil
pengukuran dengan baku mutu Kelas III (PP No.82/
2001) untuk perikanan. Skor STORET yang bernilai
0 memiliki kriteria baik sekali, sedangkan yang
bernilai lebih rendah dari -1 menunjukkan adanya
pencemaran. Tabel 1 merupakan hasil evaluasi
berdasarkan indeks STORET.
Tingkat pencemaran di 7 stasiun yang telah
dilakukan di Danau Buyan menurut indeks STORET
tergolong dalam kategori tercemar berat. Semua
Gambar 1. Peta Lokasi Pengambilan Sampel
3
stasiun pengamatan memiliki kriteria buruk dengan
status cemaran berat dengan rata-rata skor yaitu
sebesar -84. Analisis parameter kualitas air juga
dilakukan dengan menggunakan metode indeks
pencemaran (IP). Hasil evaluasi nilai IP kurang dari
1 menunjukkan kondisi baik, sedangkan nilai yang
lebih dari -1 dikategorikan telah tercemar (Lampiran
2). Hasil evaluasi berdasarkan IP di 7 stasiun yang
telah dilakukan di Danau Buyan tergolong dalam
tercemar ringan. Adapun rata-rata nilai IP dari 7
stasiun pengamatan yang telah dilakukan penelitian
yaitu sebesar 3.4337 (Tabel.2).
Analisis dengan Metode indeks STORET
menduga status kualitas air Danau Buyan tergolong
tercemar berat. Skor rata-rata yang didapat dari
analisis pada semua stasiun pengamatan sebesar -
82. Skor terburuk hasil Indeks STORET berada di
stasiun 3 sebesar -98. Kondisi Danau Buyan yang
tercemar berat didasarkan pada nilai hasil
pengukuran 7 parameter kualitas air yang melebihi
ambang baku mutu. Parameter tersebut diantaranya
Kekeruhan (-2), pH (-4), Ammonia (-20), Nitrat
(16), BOD (-20), COD (-20), dan Sulfida (-16).
Metode indeks STORET memberikan skor -2
terhadap parameter kekeruhan. Hal ini dikarenakan
nilai hasil maksimum pengukuran kekeruhan di
stasiun 3 sebesar 6.70 NTU (>baku mutu). Tingginya
nilai kekeruhan akibat dari akumulasi partikel
cemaran berbagai aktifitas di sekitar lokasi seperti
partikel total suspended solid (TSS) dan total dissolve
solid (TDS) pada saat pengukuran dilakukan. Jenie
dan Rahayu (1993), menyatakan bahwa kekeruhan
biasanya disebabkan oleh adanya bahan tersuspensi
(bahan organik, mikroorganisme dan partikel-
partikel cemaran lain). Derajat keasaman (pH) di
stasiun 3 memiliki skor Indeks STORET sebesar -4.
Nilai maksimum hasil pengukuran pH di Danau
Buyan sebesar 9.04 (>baku mutu). Nilai pH yang
tinggi karena disebabkan besarnya logam alkali dan
alkali tanah di Danau Buyan. Nilai pH yang tinggi
Analisis Kualitas Air Danau Sebagai Dasar Perbaikan Manajemen Budidaya Perikanan di Danau Buyan ..... [I W. Rian Riki Saputra, dkk.]
Tabel 1. Rata-rata Hasil Pengukuran Kualitas Air di Danau Buyan
Rata-Rata Hasil Pengukuran
Parameter Satuan
Titik 1 Titik 2 Titik 3 Titik 4 Titik 5 Titik 6 Titik 7 Titik Kontrol
Suhu oC 23.7556 23.7667 23.8000 24.1222 24.2556 24.4333 24.6222 24.7889
Kecerahan cm 209.3333 234.0000 185.8333 124.1667 136.3333 210.6667 198.0000 220.6667
Kekeruhan NTU 3.9344 4.6422 3.7311 4.0000 4.2211 3.8878 4.0289 4.3244
pH 8.0622 8.1867 8.2244 7.9924 8.1500 8.0689 8.1044 8.1689
DO mg/l 4.0000 4.7000 4.6222 4.6556 4.4444 4.4778 4.9667 5.0444
Ammonia mg/l 0.1173 0.0790 0.1013 0.1033 0.0870 0.0387 0.0783 0.0890
Nitrat mg/l 0.5744 0.3987 0.3341 1.1433 0.4088 0.5355 0.5710 0.4662
BOD5
mg/l 12.2000 28.1200 32.4400 19.1400 12.5067 8.1267 21.0400 11.9600
COD mg/l 32.1600 83.9467 103.2000 54.6133 31.9933 28.6933 80.5333 35.3600
Sulfida mg/l 0.0023 0.0027 0.0027 0.0037 0.0030 0.0037 0.0030 0.0063
Phosfat mg/l 0.2217 0.2158 0.2946 0.2958 0.4739 0.3639 0.4216 0.2100
Tabel 2. Skor Analisis Indeks STORET di Danau Buyan
No Lokasi Skor Menurut Kelas Keterangan
Indeks STORET
1 Stasiun 1 -78 D Tercemar Berat
2 Stasiun 2 -94 D Tercemar Berat
3 Stasiun 3 -98 D Tercemar Berat
4 Stasiun 4 -88 D Tercemar Berat
5 Stasiun 5 -90 D Tercemar Berat
6 Stasiun 6 -74 D Tercemar Berat
7 Stasiun 7 -94 D Tercemar Berat
8 Stasiun Kontrol -74 D Tercemar Berat
Rata-Rata Skor -82 D Tercemar Berat
Tabel 3. Nilai Analisis Indeks Pencemaran di Danau Buyan
No Lokasi Ci/L
i (rata-rata)C
i/L
i (maksimum)Nilai IP Keterangan
1 Stasiun 1 1.5127 4.8413 3.7427 Cemar Ringan
2 Stasiun 2 1.7161 4.3543 3.5249 Cemar Ringan
3 Stasiun 3 1.8717 4.6646 3.7925 Cemar Ringan
4 Stasiun 4 1.8721 4.7857 3.8673 Cemar Ringan
5 Stasiun 5 1.4541 4.1924 3.3019 Cemar Ringan
6 Stasiun 6 1.2553 3.1386 2.5498 Cemar Ringan
7 Stasiun 7 1.7404 3.9637 3.2992 Cemar Ringan
8 Stasiun Kontrol 1.5988 4.2418 3.3989 Cemar Ringan
Rata-Rata Nilai IP 3.4347 Cemar Ringan
4
ECOTROPHIC • VOLUME 11 NOMOR 1 TAHUN 2017 p-ISSN: 1907-5626, e-ISSN: 2503-3395
dapat meningkatkan konsentrasi ammonia dalam air
yang juga bersifat toksik bagi organisme air (Kordi,
2010). Hal tersebut berbanding lurus dengan rata-
rata nilai ammonia di stasiun 3 yang tergolong tinggi
sebesar 0.1013 mg/l (>baku mutu). Metode indeks
STORET memberikan skor yaitu sebesar -20 di
stasiun 3. Hal tersebut disebabkan oleh adanya proses
dekomposisi bahan organik (tumbuhan) dan biota
akuatik yang telah mati oleh mikroba dan jamur.
Selain itu keberadaan biota akuatik khususnya ikan
Nila (Oreochromis niloticus) yang dibudidayakan
dengan sistem keramba jaring apung (KJA) di Danau
Buyan juga ikut berkontribusi karena kotoran dari
biota akuatik mengeluarkan ammonia. Sisa-sisa
metabolisme atau kotoran ikan semakin banyak yang
mengendap di dasar perairan tersebut sehingga
terjadi kecenderungan tingginya kadar ammonia.
Djosetiyanto dkk., (2006) menyatakan bahwa lebih
dari 50% buangan nitrogen ikan berupa ammonia.
Kadar ammonia yang tinggi di perairan Danau Buyan
juga dapat disebabkan oleh buangan limbah domestik
dari penduduk sekitar. Maniagasi dkk., (2013),
menyatakan bahwa tingginya kadar amoniak suatu
perairan karena adanya buangan limbah domestik
dari penduduk sekitarnya.
Kadar nitrat di Danau Buyan pada stasiun 3
berdasarkan hasil analisis indeks STORET memiliki
skor -16. Rata-rata hasil pengukuran kadar nitrat
sebesar 0.3341 mg/l (>baku mutu). Tingginya kadar
nitrat disebabkan oleh sisa pakan dihasilkan oleh
KJA di Danau Buyan. Ginting (2011), menyatakan
bahwa input pakan pada kegiatan budidaya ikan KJA
mempunyai kontribusi terhadap pengkayaan nitrat
(NO3) dalam badan air dengan koefisien determinasi
sebesar 86%. Parameter selanjutnya yang melebihi
ambang baku mutu adalah Biological Oxygen
Demand (BOD) dengan nilai rata-rata sebesar 32.44
mg/l. Indeks STORET memberikan skor yaitu -20 di
stasiun 3. Danau Buyan seperti danau lainnya yang
dimanfaatkan sebagai kegiatan perikanan, hal ini
yang menjadi penyebab tingginya nilai BOD di danau
tersebut. Menurut Barus (2004), nilai BOD
merupakan parameter indikator pencemaran zat
organik, dimana semakin tinggi angkanya semakin
tinggi tingkat pencemaran bahan organik dan
sebaliknya. Skor BOD yang tinggi dari indeks
STORET inilah yang juga menyatakan Danau Buyan
tergolong dalam status tercemar berat. Nilai BOD
yang tinggi menunjukkan bahwa jumlah oksigen
yang dibutuhkan oleh mikroorganisme untuk
mengoksidasi bahan organik dalam air tersebut
tinggi. Hal ini berarti dalam air sudah terjadi defisit
oksigen. Hasil pembuangan sisa pakan KJA
merupakan buangan bahan organik yang dapat
membusuk atau terdegradasi oleh mikroorganisme,
sehingga hal ini akan menaikkan populasi
mikroorganisme di perairan. Keadaan ini akan
menyebabkan meningkatnya kebutuhan oksigen
terlarut yang diperlukan oleh mikroorganisme dalam
mengoksidasi bahan organik.
Tingginya kadar BOD di Danau Buyan
berbanding lurus dengan tingginya kadar Chemical
Oxygen Deman (COD). Metode indeks STORET
memberikan skor -20 di stasiun 3. Nilai COD saat
penelitian di Danau Buyan pada stasiun 3 sebesar
103.20 mg/l (>baku mutu). Nilai COD yang diperoleh
pada saat penelitian lebih besar daripada nilai BOD.
Menurut Marganof (2007), hal ini disebabkan bahan
organik yang dapat diuraikan secara kimia lebih
besar dibandingkan penguraian secara biologi. Selain
dimanfaatkan untuk kegiatan KJA, wilayah di
sekitar Danau Buyan juga dimanfaatkan sebagai
lahan pertanian. Penggunaan zat-kimia dalam
aktifitas pertanian menyebabkan sisa dari zat kimia
tersebut masuk ke perairan Danau Buyan.
Parameter selanjutnya yang menyebabkan status
kualitas air Danau Buyan tercemar berat adalah
Sulfida (H2S) dengan nilai rata-rata sebesar 0.0057
mg/l (>baku mutu). Metode indeks STORET
memberikan skor -16. Walaupun tidak ada aktivitas
vulkanik, keberadaan KJA dapat menyebabkan
tingginya kadar H2S yang ada di Danau Buyan.
Tingginya kadar H2S disebabkan oleh terbentuknya
NH3, H
2S dan CH
2 terbentuk dalam kondisi bahan
organik tinggi dalam oksigen rendah. Sunarto (2003),
menyatakan bahwa kadar H2S disebabkan oleh
beberapa faktor diantaranya yaitu perubahan pH,
nitrat, nitrit, suhu dan ammonia sebagai hasil dari
proses dekomposisi yang berlangsung di perairan
dimana kegiatan budidaya berlangsung.
Hasil analisis pada Indeks Pencemaran (IP)
didapatkan bahwa status perairan Danau Buyan
tergolong dalam kategori tercemar ringan. Hal ini
berbeda dengan dengan hasil analisis indeks
STORET. Perbedaan status pencemaran pada
metode indeks STORET dan indeks pencemaran
mungkin disebabkan oleh prinsip analisis yang
berbeda. indeks STORET memiliki prinsip
pendugaan nilai pencemaran berdasarkan
perbandingan hasil pengukuran dengan baku mutu,
sedangkan Indeks Pencemaran memiliki prinsip
pendugaan untuk mengetahui tingkat pencemaran
secara relatif terhadap parameter kualitas air
tertentu (Angraheni, 2015).
Hasil analisis yang telah dilakukan dengan
menggunakan indeks pencemaran didapat rata-rata
nilai IP sebesar 3.4347. Meskipun tergolong tercemar
ringan tetapi pada beberapa stasiun didapatkan nilai
IP yang lebih tinggi dari rata-ratanya yaitu stasiun
1,2,3,4 dan 6. Nilai IP tertinggi pada lokasi penelitian
di Danau Buyan berada di stasiun 4 dengan nilai
3.8673. Parameter yang memiliki nilai IP >1
(tercemar) di stasiun 4 lokasi pengamatan adalah
Ammonia (4.5654), Nitrat (4.7857), BOD (3.5190),
COD (1.1916), dan Sulfida (2.3359). Hal ini
dikarenakan pada stasiun pengamatan 4 memiliki
5
jarak yang cukup dekat dengan KJA yang ada di
Danau Buyan yaitu sejauh 150 meter kearah timur
KJA. Stasiun 4 juga merupakan stasiun terdekat
dengan lahan pertanian dan pemukiman
masyarakat. Tingginya nilai Ammonia, Nitrat, BOD,
COD dan Sulfida juga disebabkan oleh akumulasi
dari beberapa limbah pencemar yang berasal dari
sisa pakan KJA, limbah masyarakat sekitar, dan
aktifitas pertanian yang berada di sekitar Danau
Buyan. Lokasi stasiun pengamatan 4 yang dekat
dengan areal pertanian dan pemukiman
menyebabkan masuknya buangan limbah domestik
yang mengandung ammonia ke perairan Danau
Buyan. Hal ini akan menyebabkan konsentrasi nitrat
ikut tinggi dan tersebar ke beberapa stasiun
pengamatan lainnya karena adanya faktor arus yang
digerakkan oleh angin. Meskipun terdapat perbedaan
status pencemaran berdasarkan hasil analisis indeks
STORET dan Indeks Pencemaran. Namun pada
kedua metode tersebut stasiun pencemaran terendah
yaitu pada stasiun pengamatan 6 (-74 dan 2.5498).
Nilai pencemaran yang rendah pada stasiun
pengamatan 6 dapat disebabkan oleh pada stasiun
pengamatan 6 masukan bahan pencemar hanya
berasal dari limbah KJA dan tumbuhan air. Pada
stasiun pengamatan 6 tidak dipengaruhi oleh limbah
pertanian dan pemukiman.
Nilai pencemaran di stasiun pengamatan kontrol
tergolong cukup tinggi (IP : 3,3968 dan Indeks
STORET -74) dan terdapat 4 parameter (ammonia,
nitrat, BOD dan sulfida) yang melibihi ambang baku
mutu. Hal ini disebabkan pada saat pengamatan
ditemukan banyak tumbuhan air kiambang (Pastia
stratiodes) di stasiun kontrol. Adanya tumbuhan air
ini secara tidak langsung akan mempengaruhi nilai
parameter fisik dan kimia kualitas air yang diukur.
Sesuai dengan yang dinyatakan oleh Kovaks (1992),
bahwa tingginya kehadiran tumbuhan air di dalam
suatu perairan baik yang sejenis ataupun berbeda
jenis menandakan daerah tersebut memiliki tingkat
kesuburan tinggi dan dapat terjadi eutrofikasi.
Tumbuhan air yang membusuk akan meningkatkan
bahan pencemar di Danau Buyan. Hal ini karena
daun kiambang yang membusuk mempunyai
kandungan N dan P yang tinggi. Pada penelitian
yang telah dilakukan daun kiambang mengandung
N sebesar 0,216 mg/l dan P sebesar 0,054 mg/l.
Sedangkan pada akar mempunyai kandungan N
sebesar 0,073 mg/l dan kandungan P sebesar 0,021
mg/l (Angga dkk., 2010). Pengaruh arus yang cukup
sedang di perairan Danau Buyan juga membawa
bahan pencemar yang berasal dari KJA maupun
limbah pertanian terbawa hingga ke titik kontrol.
Hal ini dikarenakan arus air di danau dapat bergerak
ke berbagai arah (Effendi, 2003).
Pada Danau Buyan bahan pencemar pada
umumnya berasal dari limbah domestik, pertanian,
ataupun sisa pakan yang tidak termakan sangat
mudah terakumulasi karena rendahnya kecepatan
pergantian air. Untuk mencegah semakin rendahnya
status mutu kualitas air di perairan Danau Buyan
perlu dilakukan upaya pengelolaan lingkungan
perairan. Upaya perbaikan manajemen perikanan
di Danau Buyan yang dapat dilakukan diantaranya
yaitu :
a. Perlu dilakukan peninjauan kembali
berdasarkan hasil pengukuran kualitas air yang
telah dilakukan dalam pengembangan Keramba
Jaring Apung (KJA) yang ada di Danau Buyan.
Tidak hanya fokus di satu lokasi saja.
b. Penggunaan pakan alami (Azolla Microphylla)
pada KJA di Danau Buyan. Tanaman azolla
merupakan gulma air yang tidak
termanfaatkan, tetapi memiliki kandungan
protein yang cukup tinggi, yaitu 28,12% berat
kering (Handajani, 2000). Selama ini KJA di
Danau Buyan sepenuhnya menggunakan pakan
pellet. Penggunaan pakan alami pada KJA
Danau Buyan dapat mengurangi >50% sisa
pakan pellet yang masuk ke perairan Danau
Buyan khususnya pada stasiun pengamatan 1,
2 dan 3.
c. Karena tumbuhan air mendukung keberadaan
bahan organik dengan kecepatan perkembangan
tumbuhan air yang sedemikian cepat.
Menyebabkan bahan organik yang berada di
badan Danau Buyan semakin buruk. Maka
perlu dilakukan pembersihan tumbuhan air di
Danau Buyan tidak hanya pada wilayah Utara
(Stasiun Pengamatan 1, 2, & 3). Tetapi juga pada
wilayah Timur (Stasiun Pengamatan 4 & 5) dan
wilayah Barat (Stasiun Pengamatan 6 & 7).
d. Berdasarkan hasil pengukuran bahwa BOD,
COD, H2S, Phosfat, Ammonia dan Nitrat yang
tinggi berasal dari pertanian. Maka perlu
mengurangi limbah pertanian dengan cara
menghindari penggunaan pupuk dan insektisida
yang berlebihan. Penggunaan pupuk kandang
yang tidak terkontrol akan menyebabkan
pencemaran organik yang masuk ke badan
perairan wilayah Utara (Stasiun pengamatan 1,
2 dan 3) dan Barat (stasiun pengamatan 6 dan
7) Danau Buyan.
4. KESIMPULAN DAN SARAN
4.1. KESIMPULAN
Penilaian status pencemaran perairan di Danau
Buyan berdasarkan metode Indeks STORET dan
Indeks Pencemaran tergolong dalam kategori
tercemar berat dan tercemar ringan. Skor rata-rata
Indeks STORET yang didapat sebesar -82 dengan nilai
terburuk sebesar -98 (stasiun 3). Status pencemaran
yang tergolong tercemar berat ini disebabkan oleh
terdapat 7 parameter (kekeruhan, pH, ammonia,
Analisis Kualitas Air Danau Sebagai Dasar Perbaikan Manajemen Budidaya Perikanan di Danau Buyan ..... [I W. Rian Riki Saputra, dkk.]
6
ECOTROPHIC • VOLUME 11 NOMOR 1 TAHUN 2017 p-ISSN: 1907-5626, e-ISSN: 2503-3395
nitrat, BOD, COD, dan sulfida) yang melebihi
ambang baku mutu kualitas air di Danau Buyan.
Skor rata-rata Indeks Pencemaran yang didapat
sebesar 3.4347 dengan nilai tertinggi sebesar 3.8673
(stasiun 4). Status pencemaran yang tergolong
tercemar ringan ini disebabkan oleh 5 parameter
(ammonia, nitrat, BOD, COD, dan sulfida) yang
melebihi ambang baku mutu kualitas air di Danau
Buyan. Pada kondisi tersebut pengaruh KJA,
pertanian dan aktivitas lainnya memberikan beban
berat terhadap perairan di Danau Buyan. Hal ini
ditunjukkan dengan tingginya nilai parameter
kekeruhan, pH, ammonia, nitrat, BOD, COD dan
sulfida dari hasil pengukuran yang telah dilakukan.
Saran pengelolaan terhadap Danau Buyan dalam
usaha perbaikan kualitas perairan yaitu dengan
melakukan peninjauan kembali dalam
pengembangan KJA yang ada di Danau Buyan,
penggantian sebanyak >50% pellet dengan pakan
alami, melakukan pembersihan tumbuhan air
Kiambang (Pastia stratiodes) di bagian Utara, Timur
dan Barat Danau Buyan serta meminimalkan
penggunaan pupuk dan insektisida pada lahan
pertanian. Jika berdasarkan wilayah stasiun
pengamatan maka yang menjadi wilayah tercemar
adalah wilayah Utara (Stasiun 1, 2 dan 3) dan Timur
(Stasiun 4 dan 5). Selain dekat dengan KJA wilayah
Utara dan Timur juga dekat dengan lahan pertanian,
jadi mendapat masukan bahan pencemar lebih
banyak dibandingkan dengan wilayah Barat (Stasiun
6 dan 7).
4.2. SARAN
Mengacu pada kesimpulan, pengembangan KJA
di Danau Buyan harus dilakukan berdasarkan
pendekatan daya dukung perairan. Kalaupun sangat
strategis harus mengembangkan Keramba Jaring
Apung di Danau Buyan maka dibatasi jumlahnya
dan zonasinya harus sesuai. Pemerintah, stakeholder
dan masyarakat harus mengembangkan pertanian
berbasis organik atau sistem pertanian terpadu untuk
mengurangi beban pencemaran di Danau Buyan.
DAFTAR PUSTAKA
Angga, R.Muh, Salsabiela, Wahyu Mei S, Yuyun
Indriana dan Anggun Rina. 2010. Kajian Biologi
Gulma Mengenai Berbagai Macam Kandungan
dan
P e m a n f a a t a n G u l m a K i y a m b a n g . h t t p : / /
www.slideshare.net/RMABP_Permadi/biologi-
gulma-gulma-kiambang. Diakses tanggal 13 Juli
2016.
Anggoro, S. 1996. Dampak Pencemaran terhadap
Fisik-Kimia Air. Materi Kursus AMDAL. Pusat
Penelitian Lingkungan Hidup (PPLH) UNDIP.
Semarang. 1 (1) : 103.
Angraheni,W. 2015. Status Pencemaran Perairan
Pesisir Tanjung Pasir,Kabupaten Tangerang,
Banten.(Skripsi).Fakultas Kelautan dan Ilmu
Perikanan. Institut Pertanian Bogor.Bogor
[BLH]-Badan Lingkungan Hidup Provinsi Bali. 2010.
Kelestarian Danau Buyan Kabupaten Buleleng
Provinsi Bali. Poster Online BLH Bali. Hal : 2.
[BPS]-Badan Pusat Statistik Provinsi Bali. 2010. Bali
dalam Angka. Katalog BPS No.1102001.51:
465p.
Barus, T. A. 2004. Pengantar Limnologi, Studi
Tentang Ekosistem Sungai dan Danau.(Skripsi).
Jurusan Biologi Fakultas MIPA. Universitas
Sumatra Utara.Medan
Connel, D. W. dan Miller, G. J. 1995. Kimia dan
Otoksikologi Pencemaran. Cetakan Pertama.
Jakarta: Universitas Indonesia. 2 (1) : 93.
Djokosetiyanto, D., A. Sunarman dan Widanarni.
2006. Perubahan Ammonia (NH3-N), Nitrit
(NO2-N) dan Nitrat (NO3-N) pada Media
Pemeliharaan Ikan Nila Merah (Oreochromis
sp.) di dalam Sistem Resirkulasi. Jurnal
Akuakultur Indonesia. 5 (1) : 13-20.
Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi
Pengelolaan Sumber Daya dan Lingkungan
Perairan. Kanisius. Yogyakarta. 249 hal.
Erlania, Rusmaedi, A.B. Prasetio, J. Haryadi. 2010.
Dampak Manajemen Pakan dari Kegiatan
Budidaya Ikan Nila (Oreochromis niloticus) di
Keramba Jaring Apung Terhadap Kualitas
Perairan Danau Maninjau. Prosiding Forum
Inovasi Teknologi Akuakultur. Tanjung Raya.
Diakses tanggal 12 Juli 2016
Ginting, O. 2011. Studi Korelasi Kegiatan Budidaya
Ikan Keramba Jaring Apung dengan Pengayaan
Nutrien (Nitrat dan Fosfat) dan Klorofil-a di
Perairan Danau Toba. Jurnal Perikanan. 1 (2) :
4-25.
Goldman, C.R. and A.J. Horne, 1983. Limnology.
McGraw Hill Book Company.New York. 464
pages.
Handajani, 2000. Peningkatan Kadar Protein
Tanaman Azolla Microphylladengan Mikro-
simbion Anabaena Azollae dalam Berbagai
Konsentrasi N dan P yang Berbeda pada Media
Tumbuh.(Tesis).Program Program Pasca-
sarjana Institut Pertanian Bogor.Bogor
Halwart, M., Soto, D., & Arthur, J.R. 2007. Cage
aquaculture-regional reviews and global over-
view. FAO fisheries technical paper.241 pages.
Jenie. B.S.L & W.P. Rahayu. 1993. Penanganan
Limbah Industri Pangan: Kanisius.
Yogyakarta.172 hal
7
Kartamihardja E.S., 2008, Perubahan Komposisi
Komunitas Ikan dan Faktor Faktor Penting
yang Mempengaruhi selama 40 Tahun Umur
Waduk Djuanda. Jurnal Iktiologi Indonesia. 2
(3) : 13.
Kordi, M. G dan Tancung A. B., 2005. Pengelolaan
Kualitas air. Penerbit Rineka Cipta. Jakarta. 208
hal.
Kovaks, M. 1992. Biological indicators in
environmental protection. Ellis Horwood
Liimited, England.155 pages
Maniagasi, Richard. Sipriana S. Tumembouw, Yoppy
Mundeng. 2013. Analisis kualitas fisika kimia
air di areal budidaya ikan Danau Tondano
Provinsi Sulawesi Utara. Jurnal Budidaya
Perairan. 1 (2) : 12-13.
Margonof, 2007. Model Pengendalian Pencemaran
Perairan di Danau Maninjau Sumatera Barat.
(Tesis). Pascasarjana. Institut Pertanian
Bogor.Bogor
Nastiti, A.S., Krismono, & Kartamihardja, E.S. 2001.
Dampak Budidaya Ikan dalam Keramba Jaring
Apung Terhadap Peningkatan Unsur N dan P
di Perairan Waduk Saguling, Cirata, dan
Jatiluhur. Jurnal Penelitian Perikanan.
Indonesia, Pusat Riset Perikanan Budidaya.
Jakarta, 7(2): 22-30.
Odum, E, P. 1994. Dasar-Dasar Ekologi. Terj. T.
Samingan & B. Sriganono Yogyakarta : Edisi
ketiga. Gajah Mada University-Press. Hal 412.
Odum, E. P. 1996. Dasar – Dasar Ekologi. Gadjah
Mada University Press. Yogyakarta. Hal 341.
Pemerintah Republik Indonesia, 2001. Peraturan
Pemerintah Nomor 82 tahun 2001 Tentang
Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian
Pencemaran Air. Jakarta.
Sunarto. 2003. Peranan Dekomposisi dalam Proses
Produksi pada Ekosistem Laut, Institut
Pertanian Bogor. Bogor. 98 hal.
Analisis Kualitas Air Danau Sebagai Dasar Perbaikan Manajemen Budidaya Perikanan di Danau Buyan ..... [I W. Rian Riki Saputra, dkk.]
8
ECOTROPHIC • VOLUME 11 NOMOR 1 TAHUN 2017 p-ISSN: 1907-5626, e-ISSN: 2503-3395
BIODEGRADASI REMAZOL BRILIANT BLUE DALAM SISTEM BIOFILTRASI
VERTIKAL DENGAN INOKULUM BAKTERI DARI SEDIMEN SUNGAI MATI
IMAM BONJOL DENPASAR
Luh Putri Kriswidatari1*), I W Budiarsa Suyasa1), dan I Made Siaka1)
1)Jurusan Kimia Fakultas MIPA Universitas Udayana*Email : [email protected]
ABSTRACT
The biodegradation research of Remazol Brilliant Blue (RBB) has been done in vertical biofiltration
systems with bacterial inoculum that had seed from soil Mati River Imam Bonjol Denpasar. This aims of
research are to obtain the best active suspension grown from soil samples of Mati river sediment and to
determine the magnitude of the effectiveness and capacity of biosystem . The artificial waste water of RBB
has made with a concentration of 200 mg/L. In the first phase, the best active suspension is obtained by
determining the value of VSS ( Volatile Suspended Solid ) is the highest as a source of inoculum of bacteria
capable of degrading RBB. While the second phase, the effectiveness and capacity of biosystem is obtained by
determining the levels of waste of artificial RBB vertical biofiltration system (biosystem). Biofilm has made
with attached bacteria consortium in volcanic rock for 7 days. RBB subsequently incoporated into it to
determine the concentration of it and to determine the effectiveness and capacity and identified the bacteria
contained in biosystem. The results showed the best sludge active from soil sediments of the Mati River
Imam Bonjol Gang Keladian with a value of Volatile Suspended Solid (VSS) highest of 17200 mg/L when the
sreeding time of 48 hours. The results of processing using biosystem known to decreased when the processing
time from 6 hours up to 114 hours, from concentration of 200 mg/L to 19.6211 mg/L. Then the prosses has
increased again into 19.8209 mg/L at the time to 120 hours. The highest effectivity of biosystem to degrading
remazol brilliant blue of 90.19 % for 114 hours , while the highest capacity is obtained from the biosystem is
1.6525 x mg /g for 114 hours. The bacteria that act to decreased identified as Pseudomonas sp., Aeromonas
sp . and Plesiomonas sp, with Pseudomonas sp more dominant in the degrading of dye RBB. The value of the
colonists before degradation of 7.2 x CFU/gr and the value after the degradation of 2.6 x CFU/gr.
Keywords: Biodegradation ; Remazol Brilliant Blue ; Inoculum ; Bacteria ; Biosystem.
1. PENDAHULUAN
Limbah industri semakin bertambah, baik
volume maupun jenisnya. Hal ini menyebabkan
beban pencemaran lingkungan semakin berat,
sedangkan kemampuan alam untuk menerima beban
limbah terbatas. Jenis limbah industri banyak
macamnya, tergantung bahan baku dan proses yang
digunakan masing-masing industri. Setiap limbah
memerlukan penanganan tersendiri agar dapat
mencapai baku mutu yang ditetapkan oleh
pemerintah sebelum masuk ke lingkungan
(Sastrawidana et al., 2010). Salah satu limbah
industri yang menjadi kontributor utama penyebab
pencemaran air adalah limbah zat warna yang
dihasilkan dari proses pencelupan pada suatu industri
tekstil, seperti zat warna azo.
Zat warna azo disintesis untuk tidak mudah
rusak melalui perlakuan kimia maupun fotolitik.
Oleh sebab itu, bila limbah tersebut dibuang ke
perairan akan mengganggu estetika dan meracuni
biota air di dalam badan air tersebut. Hal ini
dikarenakan berkurangnya oksigen yang dihasilkan
selama proses fotosintesis akibat terhalangnya sinar
matahari untuk masuk ke dalam badan air yang
disebabkan oleh keberadaan limbah zat warna. Selain
itu perombakan zat warna azo secara aerobik pada
dasar perairan menghasilkan senyawa amina
aromatik yang kemungkinan lebih toksik
dibandingkan dengan zat warna azo itu sendiri (Zee,
2002). Remazol brilliant blue sangat tahan terhadap
oksidasi kimia karena kestabilan struktur aromatic
antaquinon.
Metode alternatif yang dapat digunakan untuk
menangani masalah di atas adalah penggunaan
mikroorganisme untuk mengolah limbah tekstil yang
disebut metode biodegradasi yang sangat berpotensi
untuk dikembangkan karena limbah tekstil dengan
kandungan bahan organik yang tinggi dapat
dimanfaatkan secara langsung maupun tidak
langsung oleh mikroorganisme sebagai nutrisi untuk
pertumbuhannya.
Metode biodegradasi ini diterapkan untuk
melenyapkan bahan pencemar yang terkontaminasi
dalam perairan. Perangkat yang digunakan dapat
berupa bioreaktor tunggal dengan menggunakan
ECOTROPHIC • 11 (1) : 8 - 14 p-ISSN: 1907-5626, e-ISSN: 2503-3395
9
pipa plastik yang didalamnya telah dihidupkan
inokulum bakteri spesifik zat warna azo remazol
brilliant blue. Metodenya dilakukan dengan
menambahkan bahan pencemar ke dalam suatu
bioreaktor tunggal (biofiltrasi vertikal) yang telah
berisi media cair untuk pertumbuhan mikroba.
Kultur mikroba yang digunakan adalah kultur
campur. Keunggulan dari proses pengolahan air
limbah dengan biofiltrasi vertikal ini adalah
pengolahannya sangat mudah, biaya operasi yang
rendah, dibandingakan dengan proses lumpur aktif,
lumpur yang dihasilkan relatif sedikit (Hefang et al.
2004).
Denpasar merupakan kota dengan aktivitas yang
padat, baik itu lalu lintasnya, penduduknya, maupun
industrinya. Dalam bidang industri, aktivitas
industri pencelupan terbilang cukup banyak dan
menghasilkan limbah yang dibuang langsung ke
sungai tanpa ditreatment terlebih daluhu. Sehingga
menimbulkan pencemaran sungai. Salah satu sungai
dengan limbah industri pencelupan dan percetakan
adalah sungai Mati yang berada di Jalan Imam Bonjol,
hal tersebut terbukti dari warna air sungai yang
selalu berubah-ubah setiap minggunya dan
menimbulkan bau yang tidak sedap dan jauh dari
nilai estetika yang baik. Maka dari itu, sungai Mati
memberikan kontribusi besar dalam pertumbuhan
mikroorganisme zat warna tekstil yang mengandung
zat warna sintetik khususnya remazol brilliant blue,
dimana selain itu Sungai Mati banyak mengandung
sampah, baik itu sampah organik maupun
anorganik. Sampah-sampah tersebut mengandung
limbah organik dan anorganik.
Berdasarkan permasalahan di atas, penelitian
ini ditujukan untuk memperoleh suspensi aktif
terbaik yang ditumbuhkan dari sampel sedimen
tanah Sungai Mati Jalan Imam Bonjol Denpasar
sebagai sumber inokulum bakteri yang mampu
mendegradasi zat warna remazol brilliant blue dan
menentukan besarnya efektivitas dan kapasitas
biosistem yang diinokulasi suspensi aktif dalam
mendegradasi zat warna remazol brilliant blue.
2. METODOLOGI
2.1. Bahan
Bahan yang digunakan yaitu sedimen yang
berasal dari Sungai Mati Imam Bonjol,Denpasar,
glukosa ; K2HPO
4 ; KH
2PO
4 ; (NH
4)
2[Fe(SO
4)
2].6H
2O ;
MgSO4 ; FeSO
4 ; ekstrak ragi, remazol brilliant blue,
batu vulkanik steril, NPK dan aquades.
2.2. Peralatan
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah
gelas ukur, gelas beker, sendok plastik, kantong
plastik, ice box, paralon, erlenmeyer, batang
pengaduk, aluminium foil, kertas saring, pipet
volume, labu ukur, pipet tetes, selang aerator,
aerator, kapas, furnace, desikator, oven, timbangan
analitik, saringan plastik, kawat, tabung biofiltrasi
vertikal dengan diameter 12 cm dan tinggi 60 cm
dan Spektrofotometer UV-Vis Shimidzu 1800.
2.3. Cara Kerja
A. Pengambilan Sampel
Pengambilan sampel dari sedimen perairan pada
beberapa titik di sungai Mati Jalan Imam Bonjol
Denpasar diambil pada kedalaman ± 10-15 cm dari
permukaan sedimen dengan berat 100 gram dengan
menggunakan sendok plastik. Selanjutnya sampel
yang telah didapat dimasukkan ke dalam kantong
plastik lalu diberi label dan dimasukkan ke dalam
kotak es (ice box). Sampel yang telah didapat
diseeding di laboraorium Kimia FMIPA Universitas
Udayana.
B. Pembuatan media cair (Nutrien)
Komposisi media cair yang digunakan adalah
sebanyak 2,0 gram glukosa (KH) ; 0,1 gram K2HPO
4
; 0,1 gram KH2PO
4 ; 0,1 gram (NH
4)
2[Fe(SO
4)
2].6H
2O
; 0,02 gram MgSO4 ; 0,02 gram FeSO
4 ; 0,02 gram
ekstrak ragi dan 2 mg remazol brilliant blue
kemudian dilarutkan dengan aquades. Selanjutnya
campuran diaduk hingga homogen dan dimasukkan
kedalam labu ukur 2 L dan diencerkan dengan
aquades hingga tanda batas. Kemudian larutan
media cair dimasukkan ke dalam erlenmeyer 2L, lalu
Erlenmeyer ditutup dengan kapas dilapisi aluminium
voil. Media disterilisasi selama 15 menit dengan suhu
121oC lalu didiamkan pada suhu 37oC selama 5 menit,
selanjutnya media dapat disimpan dalam lemari
pendingin sampai saat diperlukan (Ginting, 2007).
C. Pembuatan Larutan Standar Remazol
Brilliant Blue dan Larutan Limbah
Remazol Brilliant Blue
Larutan induk Remazol Brilliant Blue 1000
ppm, dibuat dengan menimbang 1 gram Remazol
Brilliant Blue, dimasukkan kedalam labu takar 1000
mL kemudian dilarutkan dengan aquades hingga
tanda batas. Untuk memperoleh larutan 20, 40,
80, 120, 160 dan 200 ppm, berturut – turut dipipet
sebanyak 2, 4, 8, 12, 16 dan 20 mL larutan Remazol
Brilliant Blue 1000 ppm lalu dimasukkan ke dalam
labu takar 100 mL kemudian ditambahkan akuades
hingga tanda batas. Larutan kemudian diukur
dengan Spektrofotometer UV-Vis untuk menentukan
panjang gelombang maksimum Remazol Brilliant
Blue. Sedangkan untuk memperoleh air limbah
artificial Remazol Brilliant Blue 200 ppm, dipipet 20
mL larutan Remazol Brilliant Blue 1000 ppm lalu
dimasukkan ke dalam labu takar 100 mL kemudian
ditambahkan akuades hingga tanda batas.
Biodegradasi Remazol Briliant Blue dalam Sistem Biofiltrasi Vertikal dengan Inokulum Bakteri dari Sidemen..... [L. Putri Kriswidatari, dkk.]
10
ECOTROPHIC • VOLUME 11 NOMOR 1 TAHUN 2017 p-ISSN: 1907-5626, e-ISSN: 2503-3395
D. Memperoleh Suspensi aktif Terbaik yang
Ditumbuhkan dari Sampel Sedimen Tanah
Aliran Sungai Jalan Imam Bonjol Denpa-
sar sebagai Sumber Inokulum Bakteri
dengan Waktu Tercepat dan VSS Terbesar
Dalam pembibitan dilakukan dengan
menyiapkan 3 buah erlenmeyer 500 mL dengan
kondisi bersih. Masing-masing sebanyak 250 mL
media cair dimasukkan ke dalam erlenmeyer A, B
dan C yang telah diisi label. Kemudian sampel
sedimen dari beberapa titik di Aliran Sungai Mati di
Jalan Imam Bonjol, Denpasar dimasukkan ke dalam
erlenmeyer berbeda dengan massa 5 gram untuk
masing – masing sampel. Setelah itu, media diaerasi
dengan menggunakan aerator yang diberi selang,
yang diletakkan di dasar erlenmeyer. Erlenmeyer
ditutup dengan kapas kemudian diaerasi dan
diinkubasi selama 3 hari. Kemudian pertumbuhan
mikroba diamati dengan mengukur nilai VSS-nya
dengan rentang waktu setiap 1 hari. Bibit yang paling
cepat tumbuh dan memiliki nilai VSS tertinggi,
maka sedimen tersebut merupakan bibit sedimen
terbaik yang akan digunakan dalam pengolahan
limbah (Suyasa, 2015).
E. Menentukan Kapasitas dan Efektivitas
Biosistem yang Diinokulasi Suspensi aktif
dalam Mendegradasi Remazol Brilliant
Blue
Disiapkan pipa plastik berdiameter 12 cm dan
tinggi 60 cm dengan dilengkapi kran di bagian
bawah. Amobilisasi inokulum bakteri mengikuti
metode yang telah dilakukan Castila, et al. (2003)
yaitu, sebanyak 800 - 1000 g batu vulkanik steril
dimasukkan ke dalam biosistem kemudian ke dalam
tabung dimasukkan bibit yang menghasilkan bibit
terbaik yang telah dilakukan pada percobaan 3.4.5
dengan cara mengambil bibit sedimen tersebut
sebanyak 25,0 gram lalu ditambahkan media cair 1
L dan ditambahkan NPK hingga mencapai volume
2 L, dimasukkan kedalam bioreaktor yang telah
dimasukkan batu vulkanik. Larutan dimasukkan
hingga batu vulkanik tersebut terendam semua. Bibit
direndam dan sambil diamati terbentuknya filamen
- filamen pada batu. Setelah perendaman selesai
dilakukan selama 7 hari, ditentukan jumlah serta
ciri koloni mikroba di Laboratorium Mikrobiologi.
Pada bioreaktor yang berisi batu dimasukkan
larutan remazol brilliant blue sebanyak 1000 mL
dengan konsentrasi 200 ppm, kemudian setiap 6 jam
kran pada bagian bawah tabung dibuka ditampung
pada botol gelap 30 mL. Larutan yang tertampung
di botol gelap diukur penurunan konsentrasinya
dengan menggunakan Spektrofotometer UV-Vis
dengan panjang gelombang maksimumnya setiap 6
jam. Setelah itu ditentukan jumlah serta ciri koloni
mikroba di Laboratorium Mikrobiologi, kemudian
efektivitas dan kapasitas biositem.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil pengukuran, dapat diketahui
panjang gelombang maksimum untuk larutan RBB
adalah 591,0 nm. Selanjutnya panjang gelombang
maksimum tersebut digunakan untuk pembuatan
kurva kalibrasi.
3.1. Suspensi aktif Terbaik sebagai Sumber
Inokulum Bakteri dengan VSS (Volatil
Suspended Solid) Terbesar
Sampel bibit diamati pertumbuhan mikroba
dengan mengukur nilai VSS setiap 6 jam selama
empat hari waktu aerasi (proses penambahan
oksigen) dengan perlakuan yang sama untuk masing-
masing sedimen. Aerasi berfungsi untuk mensuplai
jumlah oksigen terlarut dalam media sehingga cukup
untuk tumbuh kembang dari mikroorganisme
(Suharto, 2010). Peningkatan nilai VSS dapat dilihat
pada kurva Gambar 1.
Gambar 1. Kurva Nilai VSS rata-rata pada Tiga Titik Sungai Mati
Selama Pembibitan.
Berdasarkan kurva diatas selama 72 jam terlihat
peningkatan nilai VSS selama pembibitan yang
menyatakan adanya peningkatan biomassa.
Aktivitas mikroorganisme ditandai dengan adanya
pembelahan sel sehingga terbentuk sel baru pada
sistem suspensi aktif (Soeparno, 1992). Semakin tinggi
aktivitas mikroorganisme dalam menguraikan
bahan organik maka semakin tinggi pula biomassa
yang dihasilkan. Peningkatan biomassa ini
menyatakan jumlah bahan organik yang telah
didegradasi oleh mikororganisme (Atlas and Bartha,
1987). Bibit sedimen Gang Keladian Imam Bonjol
memberikan nilai VSS tertinggi yaitu 17200 mg/L
selama pembibitan 48 jam, dibandingkan dengan
bibit sedimen Pertigaan Jalan Gunung Soputan yaitu
12400 mg/L dan bibit sedimen Pertigaan Jalan Pulau
Galang yaitu 12400 mg/L. Nilai VSS pada bibit
sedimen Titik A dan bibit sedimen Titik B rendah
dibandingkan bibit sedimen Titik C dikarenakan
pertumbuhan mikroorganisme pada bibit tersebut
lambat yang disebabkan oleh waktu adaptasi yang
lebih lama pada media selektif. Nutrien merupakan
salah satu faktor yang sangat mempengaruhi
pertumbuhan sel serta aktivitas enzim yang
dihasilkan oleh mikroorganisme dalam mendegradasi
11
bahan pencemar. Jumlah mikroorganisme yang
dapat tumbuh pada proses pembibitan dipengaruhi
oleh faktor aerasi dan nutrien. Pemberian aerasi dan
nutrien yang seimbang akan memenuhi kebutuhan
mikroorganisme sebagai makanannya sehingga
dapat meningkatkan pertumbuhan yang akan
berbanding lurus dengan jumlah bahan pencemar
yang akan terdegradasi (Sudaryati et al., 2011).
Sehingga suspensi aktif yang berasal dari bibit
sedimen Sungai Mati di Gang Keladian Jalan Imam
Bonjol, Denpasar sangat baik digunakan pada
biosistem yang diinokulasi suspensi aktif untuk
mengolah limbah zat warna RBB.
3.2. Perubahan Kadar Limbah Remazol
Brilliant Blue selama Perlakuan dalam
Biosistem yang Diinokulasi Suspensi aktif.
Penentuan konsentrasi limbah RBB dalam
sistem biofiltrasi dilakukan dengan lumpur aktif
(suspensi aktif) yang telah diamobilisasi dengan batu
vulkanik untuk mengolah air limbah artificial
dengan kadar RBB 200 mg/L. Sedimen tanah yang
menghasilkan nilai VSS terbesar digunakan untuk
mengolah limbah RBB dalam biofiltrasi yang terbuat
dari pipa paralon berdiameter 12 cm dengan tinggi
60 cm. Berikut merupakan hasil konsentrasi limbah
RBB dalam biofiltrasi yang ditambahkan suspensi
aktif pada pada Gambar 2 berikut.
Gambar 2. Kurva Kadar Rata-rata Limbah RBB Artificial dari jam ke-0
hingga jam ke-120.
Berdasarkan hasil pengolahan menggunakan
biosistem dengan inokulum bakteri yang
diamobiloisasi pada batu vulkanik diketahui terjadi
penurunan konsentrasi air limbah RBB artificial
dalam 6 jam pertama diketahui penurunan
konsentrasinya menjadi 160.7842 mg/L dari
konsentrasi awal 200 mg/L. Penurunan terus terjadi
hingga mencapai waktu ke 114 jam dengan
konsentrasi air limbah RBB artificial menjadi
19.6211 mg/L. Kemudian terjadi peningkatan
konsentrasi air limbah RBB artificial menjadi
19.8209 mg/L pada waktu ke 120 jam.
Mikroorganisme dengan bantuan kosubstrat seperti
glukosa berfungsi sebagai donor elektron ke zat
warna azo yang dikatalisis oleh enzim azoreductase
sehingga terjadi pemutusan ikatan azo menghasilkan
amina aromatik. Penurunan konsentrasi yang besar
menandakan bakteri mampu mendegradasi zat
warna RBB dari awal konsentrasi 200 mg/L menjadi
19.6211 mg/L. Proses perombakan zat warna azo,
khususnya RBB oleh bakteri yang terlekat pada
media batu pada dasarnya merupakan suatu reaksi
redoks yang dikatalisis oleh enzim. Pada proses
glikolisis glukosa koenzim nikotinamida adenine
dinukleotida (NAD+) dibebaskan dengan bantuan
enzim dehirogenase yang berperan sebagai pembawa
elektron dan terlibat dalam reaksi enzimatik. Pada
kondisi tidak ada oksigen, NADH mengalami reaksi
oksidasi mengasilkan NAD+ sedangkan zat warna azo
mengalami reaksi reduksi menghasilkan amina-
amina aromatik yang bersesuaian. Putusnya ikatan
azo pada zat warna azo menyebabkan warna menjadi
hilang. Namun jika terdapat oksigen, maka zat
warna azo dan oksigen berkompetisi sebagai
penerima elektron dari NADH. Ion hidrogen pada
NADH lebih mudah ditransfer ke oksigen melalui
rantai transfer elektron. Dengan demikian, pada
kondisi aerobik zat warna azo sulit direduksi
sehingga warnanya tetap. Berikut merupakan
perombakan zat warna azo dengan adanya kosubstrat
yang dilaporkan oleh Van der Zee (2002) yang
disajikan pada Gambar 3
Gambar 3. Mekanisme perombakan zat warna azo secara direct
enzymatic.
3.3. Laju Penurunan Kadar Limbah RBB Arti-
ficial selama Perlakuan dalam Biosistem
yang Diinokulasi Suspensi aktif.
Laju penurunan kadar limbah RBB artificial
dapat ditentukan dengan manerapkan data
penurunan kadar limbah RBB yang diperoleh dalam
persamaan y = 0.00834x + 0.03516, dimana y adalah
serapan dari sampel dan x adalah kadar dari limbah.
Laju penurunan tersebut dibagi menjadi tiga laju
penurunan. Pertama laju penurunan cepat, kedua
laju penurunan lambat dan yang ketiga adalah laju
penurunan stagnan (tetap). Dimana laju penurunan
cepat digambarkan pada Gambar 4.
Dari Gambar 4 terjadi proses penurunan
konsentrasi limbah RBB artificial yang cepat dari
jam ke-0 hingga jam ke-36. Dimana terjadi
penurunan yang berlangsung cepat dengan
persamaan y = = -4.001x + 185.4 dengan koefisien
regresi linier (R2) sebesar 0.958. Nilai slope yang
merupakan tetapan laju penurunan konsentrasi
Biodegradasi Remazol Briliant Blue dalam Sistem Biofiltrasi Vertikal dengan Inokulum Bakteri dari Sidemen..... [L. Putri Kriswidatari, dkk.]
12
ECOTROPHIC • VOLUME 11 NOMOR 1 TAHUN 2017 p-ISSN: 1907-5626, e-ISSN: 2503-3395
limbah RBB artificial (k) adalah -4.001, dari nilai
tersebut dapat dinyatakan bahwa laju penurunan
konsentrasi limbah RBB artificial dari jam ke-0
hingga jam ke-36 adalah sebesar 4.001 mg/L/jam.
Selanjutnya pada jam ke 42 hingga jam 90 jam terjadi
laju penurunan lambat dengan persamaan y = -
0.442x + 60.88 dengan koefisien regresi linier (R2)
sebesar 0.920. Nilai slope yang merupakan tetapan
laju penurunan konsentrasi limbah RBB artificial
(k) adalah -0.442, dari nilai tersebut dapat dinyatakan
bahwa laju penurunan konsentrasi limbah RBB
artificial dari jam ke-42 hingga jam ke-78 adalah
sebesar 0.442 mg/L/jam. Laju penurunan terakhir
proses penurunan konsentrasi limbah RBB artificial
yang sangat lambat atau bisa dikatakan stagnan dari
jam ke-96 hingga jam ke-120. Dimana terjadi
penurunan yang berlangsung sangat lambat dengan
persamaan y = -0.099x + 31.26 dengan koefisien
regresi linier (R2) sebesar 0.791. Nilai slope yang
merupakan tetapan laju penurunan konsentrasi
limbah RBB artificial (k) adalah -0.099 dari nilai
tersebut dapat dinyatakan bahwa laju penurunan
konsentrasi limbah RBB artificial dari jam ke-96
hingga jam ke-120 adalah sebesar 0.099 mg/L/jam.
Laju penurunan konsentrasi limbah RBB artificial
yang berlangsung cepat ini menunjukkan bahwa
proses biodegradasi limbah RBB mampu
menguraikan dengan cepat zat warna RBB. Hal ini
menandakan bahwa mikroorganisme yang terdapat
pada sedimen hasil pembibitan mampu untuk
menurunkan konsentrasi limbah RBB artificial
dengan baik. Penurunan ini juga dikarenakan
mikroorganisme di dalam biosistem mengalami fase
eksponensial dengan kandungan nutrien yang
berlimpah dan mikroorganisme melakukan
mekanisme pertahanan diri agar tetap hidup (Gadd,
1990). Sedangkan laju penurunan lambat ini
menunjukkan bahwa proses biodegradasi limbah
RBB melambat dalam menguraikan zat warna RBB.
Hal ini dikarenakan mikroorganisme mengalami
penurunan dalam melakukan mekanisme untuk
menurunkan konsentrasi limbah RBB. Selain juga
dikarenakan nutrien yang tersedia mulai berkurang
dengan jumlah mikroorganisme yang semakin
banyak. Semakin memperbesar persaingan antar
mikroorganisme untuk mendapatkan nutrien,
sehingga kemampuan mikroorganisme untuk
menurunkan konsentrasi limbah RBB semakin
menurun. Sebab nutrien merupakan salah satu
faktor yang sangat mempengaruhi pertumbuhan sel
serta aktivitas enzim yang dihasilkan oleh
mikroorganisme untuk menurunkan konsentrasi
limbah RBB dalam larutan (Soeparno, 1992). Hal ini
dikarenakan mikroorganisme mengalami penurunan
dalam melakukan mekanisme untuk menurunkan
konsentrasi limbah RBB. Ini merupakan fase
stasioner, dimana kecepatan pertumbuhan seimbang
dengan kematian sel, tidak ada peningkatan sel,
metabolisme menurun. Selain itu juga dikarenakan
nutrien yang tersedia telah habis dengan jumlah
mikroorganisme yang semakin banyak, sehingga
kemampuan mikroorganisme untuk menurunkan
konsentrasi limbah RBB menurun dan akhirnya
stagnan.
3.4. Efektivitas Biosistem yang Diinokulasi
Suspensi aktif dalam Mendegradasi
Remazol Brilliant Blue.
Efektivitas biosistem dalam presentase
ditentukan dengan membandingkan konsentrasi
tertinggi dari hasil penurunan konsentrasi limbah
RBB artificial dengan penurunan konsentrasi limbah
RBB artificial hingga waktu akhir penurunan.
Efektivitas biosistem suspensi aktif dalam mengolah
limbah RBB artificial terbesar pada saat waktu
pengolahan sampel ke 114 jam, yaitu sebesar 90.19
%. Hal ini menunjukkan bahwa pada waktu
pengolahan ke 114 jam mikroorganisme dalam
biosistem telah dapat bekerja optimum untuk
mengolah limbah RBB artificial. Efisiensi menurun
setelah waktu pengolahan 114 jam, yang ditunjukkan
pada waktu pengolahan 120 jam dengan nilai
efektivitas sebesar 90.09 %. Penurunan efisiensi
terjadi karena meningkatnya toksisitas zat warna
terhadap bakteri yang merupakan racun bagi bakteri
dan terbloknya sisi aktif dari enzim azo reductase
oleh molekul zat warna. Selain itu mulai pada jam
ke 42 selisih efektivitas setiap jam penurunan
semakin berkurang. Hal itu terjadi karena
kemampuan bakteri dalam menguraikan limbah zat
warna RBB artificial semakin berkurang, namun
tetap meningkatkan efektivitas setiap jamnya hingga
mencapai 90.19 % pada jam ke-114.
Gambar 4 Kurva Laju Penurunan Kadar Limbah RBB Artificial dari jam
ke-0 hingga jam ke-120.
Keterangan : y1 = persamaan garis laju penurunan cepat
y2 = persamaan garis laju penurunan lambat
y3 = persamaan garis laju penurunan stagnan
13
3.5. Kapasitas Biosistem yang Diinokulasi
Suspensi aktif dalam Mendegradasi
Remazol Brilliant Blue.
Kapasitas merupakan kemampuan daya serap
atau daya tampung yang dilakukan oleh biosistem
yang diinokulasi Suspensi aktif dalam mendegradasi
limbah RBB artificial. Dimana telah diketahui
konsentrasi penurunan limbah RBB artificial,
sehingga bisa ditentukan nilai kapasitas dari
biosistem tersebut. Kapasitas terbesar dari biosistem
suspensi aktif dalam menurunkan konsentrasi
limbah RBB artificial adalah sebesar 1.6925 x mg/
gram. Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan
terbaik dari biosistem ditunjukkan pada pengolahan
limbah selama 114 jam. Dimana kemampuan
biosistem untuk menurunkan konsentrasi limbah
RBB cukup berhasil dengan nilai kapasitas sebesar
1.6925 x mg/gram, yang berarti kemampuan per
gram berat batu vulkanik dapat menurunkan
konsentrasi limbah RBB sebesar 1.6925 miligram.
3.6. Identifikasi Mikroorganisme yang
Berperan dalam Penurunan Konsentrasi
Limbah RBB pada Biosistem yang
diinokulasi suspensi aktif
Dari hasil uji identifikasi didapatkan hasil
jumlah masing-masing bakteri dan jumlah total
mikroorganisme, seperti pada tabel 2.
Berdasarkan Tabel 2 diketahui bahwa bakteri
yang terdapat pada biosistem adalah Coliform, E.coli,
Pseudomonas sp, Aeromonas sp., dan Plesiomonas
sp., sedangkan Vibrio sp. tidak terdapat dalam
biosistem. Dimana bakteri-bakteri tersebut mampu
mendegradasi limbah zat warna RBB yang
ditunjukkan oleh hasil dari jumlah koloni dari setiap
bakteri tersebut. Bakteri yang memberikan jumlah
koloni tertinggi tertinggi adalah bakteri
Pseudomonas sp. yang menunjukkan nilai sebelum
degradasi sebesar 7.2 x CFU/gr dan nilai sesudah
degradasi sebesar 2.6 x CFU/gr. Kedua adalah
bakteri Aeromonas sp. yang menunjukkan nilai
sebelum degradasi sebesar 6.3 x CFU/gr dan nilai
sesudah degradasi sebesar 2.0 x CFU/gr. Ketiga
adalah bakteri Plesiomonas sp. yang menunjukkan
nilai sebelum degradasi sebesar 1.4 x CFU/gr dan
nilai sesudah degradasi sebesar 8.0 x CFU/gr. Hal
ini menunjukkan bahwa bakteri Pseudomonas sp.,
Aeromonas sp. dan Plesiomonas sp. mampu
menguraikan dan tahan terhadap paparan zat warna
remazol brilliant blue.
4. SIMPULAN DAN SARAN
4.1. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan
maka dapat ditarik simpulan sebagai berikut :
1. Suspensi aktif terbaik diperoleh dari pembibitan
sampel tanah dari sedimen Sungai Mati Jalan
Imam Bonjol Denpasar dengan nilai Volatil
Suspended Solid (VSS) dari pertumbuhan
biomassa mikroorganisme terbanyak sebesar
17200 mg/L dalam 48 jam.
2. Efektivitas yang diperoleh dari biosistem yang
diinokulasi suspensi aktif dalam mendegradasi
zat warna remazol brilliant blue adalah sebesar
90.19% selama 114 jam, sedangkan kapasitas
terbesar yang diperoleh dari biosistem yang
diinokulasi suspensi aktif dalam mendegradasi
zat warna remazol brilliant blue adalah 1.6525
x mg/gram selama 114 jam.
3. Bakteri yang dapat menguraikan zat warna
remazol brilliant blue adalah Pseudomonas sp.,
Aeromonas sp. dan Plesiomonas sp, dengan
bakteri Pseudomonas sp. yang lebih dominan
dalam mendegradasi zat warna RBB yang
menghasilkan jumlah koloni awal sebelum
degradasi 7.2 x CFU/gr dan nilai sesudah
degradasi sebesar 2.6 x CFU/gr.
4.2. Saran
Dari penelitian yang telah dilakukan terdapat
beberapa hal yang menarik untuk diperhatikan lebih
lanjut, antara lain :
1. Perlu dilakukan penelitian lanjutan mengenai
proses pengolahan limbah zat warna tekstil
dengan sistem kombinasi anaerobik-aerobik.
2. Perlu dilakukan penelitian dengan
menggunakan parameter lain seperti Total
Suspended Solid (TSS) , COD dan BOD dengan
waktu pengolahan yang lebih lama untuk
melihat kemampuan bibit inokulum dan
efektivitasnya.
Tabel 2 Hasil Identifikasi Bakteri dalam Biosistem
Kode Coliform E.coli Pseudomonas sp. Aeromonas sp. Vibrio sp. Plesiomonas sp.
Sampel (MPN/100gr) (MPN/100 gr) (CFU/gr) (CFU/gr) (CFU/gr) (CFU/gr)
A 95 95 7.2 x 104 6.3 x 103 0 1.4 x 103
B 70 70 2.6 x 103 2.0 x 102 0 8.0 x 102
Sumber : Laboratorium Mikrobiologi Jurusan Biologi FMIPA UNUD
Keterangan : A : Sampel filamen sebelum biosistem diberikan limbah
B : Sampel filamen setelah biosistem diberikan limbah
Biodegradasi Remazol Briliant Blue dalam Sistem Biofiltrasi Vertikal dengan Inokulum Bakteri dari Sidemen..... [L. Putri Kriswidatari, dkk.]
14
ECOTROPHIC • VOLUME 11 NOMOR 1 TAHUN 2017 p-ISSN: 1907-5626, e-ISSN: 2503-3395
3. Perlu dilakukan pemurnian bakteri
Pseudomonas sp. dan Aeromonas sp. untuk
mengetahui hasil lebih lanjut.
DAFTAR PUSTAKA
Atlas, R. M and R. Bartha, 1987, Microbial Ecology
: Fundmentals and Applications 2nd ed, Menlo
Park : The Benjamin / Cummings Publ, Co., Inc.
Bollag, W. B and Bollag, J. M, 1992, Biodegradation
Encyclopedia of Microbiology, Ledergerg, J, Ed,
Academic Press Inc, Boston : 269 – 276.
Dad, 2000, Bacterial Chemistry and Physiology, John
Wiley and Sons Inc., NewYork.
Fessenden,R.J. dan J.S. Fessenden. 1999. Kimia
Organik. Jilid 1, a.b. Aloysius Hadyana Pudjaat-
maka, Erlangga, Jakarta.
Gadd, G. M., 1990, Metal Tolerance in Microbiology
of Extreme Envirenment, Edward, C., ed, Open
University Press, Milton Keynes : 178 – 210.
Ginting, P, 2007, Sistem Pengelolaan Lingkungan
dan Limbah Industri, Yrama Widya, Bandung.
Hefang, HuWenrong and LiYuezhong, 2004,
Biodegradition mechanisms and kinetics of azo
dys 4BS by a micobial consortium, Chemosphere
57:293-301.
Indrawati, 2008, Dekolorisasi Larutan Remazol
Brilliant Blue Menggunakan Ozon Hasil
Elektrolisis, Makalah Penelitian UNDIP,
Semarang.
Manurung, R & Irvan, 2004, Perombakan Zat Warna
Azo Reaktif Secara Anaerob, Jurnal Kimia USU,
Sumatera Utara.
Metcalf And Eddy, 2003, Wastewater Engineering,
Treatment and Reuse. Fourth Edition, McGraw
Hill Higher Education, New York.
Sastrawidana, I Dewa K., Bibiana W. Lay, Anas
Miftah Fauzi, Dwi Andreas Santoso, 2010,
Pengolahan Limbah Tekstil Sistem Kombinasi
Anaerobik-aerobik Menggunakan Biofilm
Bakteri Konsorsium dari Lumpur Limbah
Tekstil, Ecotrophic 3 (2) :55-60.
Soeparno, 1992, Ilmu dan Teknologi Daging, Gajah
Mada University, Yogyakarta.
Sudaryati, YS., Rahayu, SH., Setianingrum, N.,
Naiola, E, 2011, Kemampuan Bacillus
licheniformis dalam Memproduksi Enzim
Protease yang Bersifat Alkalin dan Termofilik,
Artikel, Media Litbang Kesehatan Volume 21
Nomor 2 Tahun 2011.
Suyasa, Wayan Budiarsa, 2015, Pencemaran Air dan
Pengolahan Air Limbah, Udayana University
Press, Denpasar.
Van der Zee, 2002, Anaerobic azo dye reduction,
Thesis, Wageningen University, Netherland.
15
STRATEGI PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG MANUCOCO
BERBASIS MASYARAKAT DI KOTA ADMINISTRATIF ATAURO,
DILI TIMOR-LESTE
Ernesto Matos Soares1*), I Made Antara 2), I Made Adhika 3)
1) Direktorat Jenderal Lingkungan Hidup Timor-Leste2) Fakultas Pertanian, Universitas Udayana
3) Fakultas Teknik, Universitas Udayana
*) Email: [email protected]
ABSTRACT
Manucoco Protected Area is a mountainous conservation area which is very important for Atauro
community because it functions as water catchment areas, especially water sources, important habitat for
birds and other biodiversity, but there are still problems that occur such as deforestation, shifting cultivation,
system of slash-and-burn cultivation, area zoning is not clear, the expansion of settlements and forest fires,
all of these problems can give a less impact on ecological functions of the forest. The aims of this study are 1)
to describe the perception of the public about the conservation of natural resources Manucoco Protected Area
as a conservation area 2) to formulate management strategies for community-based Manucoco Protected
Area. The data collection techniques used questionnaires, interviews, documentation, and focus group
discussions, whereas the determination of the respondents used a purposive sampling method. To formulate
a management strategy, internal and external factors were identified by using SWOT analysis. The results
showed that the public perception of the function of the forest was that the forests had multiple functions, the
public perception related to management policies showed that people did not know the forestry legislations.
Public perception regarding the rights and obligations in the management strategy namely the public has
the perception that forests are common property. Based on the SWOT analysis produced several community-
based management strategies that can be used in the management of Manucoco protected areas as follow 1)
Maximizing the primary function of forests, (2) Increasing public knowledge through an intensive socialization
(3) Increasing the involvement or participation of the community 4) Encouraging the community-based
forests protection through HKM 5) Acceleration of area zoning 6) Increasing related department supervision
7) Performing the empowerment of communities around the protected areas 8) Preparing management
plans which needs to involve all stakeholders 9) Establishing the management unit in the village/sub-district
levels.
Keywords: Manucoco Protected Area, Pubic Perception, Conservation, Management Strategy
1. PENDAHULUAN
Kawasan lindung sebagai kawasan yang
mempunyai manfaat untuk mengatur tata air,
pengendalian iklim mikro, habitat kehidupan liar,
sumber plasma nutfah serta fungsi sosial budaya bagi
masyarakat di sekitarnya dengan demikian
pengelolaan kawasan lindung harus betul-betul
sesuai tingkat kepentinganya bagi suatu wilayah.
Pengelolaan hutan mempunyai peran penting
untuk menunjang kelangsungan hidup semua
mahluk hidup khususnya umat manusia, hutan
tidak hanya memberikan manfaat langsung (tangible
use) sebagai sumber penghasil hasil hutan berupa
kayu dan non kayu, tetapi hutan juga memberikan
manfaat tidak langsung (intangible use) sebagai
pengatur tata air, kesuburan tanah, iklim mikro,
pencegah erosi dan longsor, sehingga eksistensinya
perlu tetap dipertahankan melalui pengaturan fungsi
hutan, sehingga hutan diartikan sebagai asosiasi
masyarakat tumbuh-tumbuhan dan hewan yang
didominasi oleh pohon-pohonan dengan luasan
tertentu sehingga dapat membentuk iklim mikro dan
kondisi ekologi tertentu (Suparmoko,1997). Widada
et al. (2006) bahwa hutan mempunyai beberapa
fungsi diantaranya; mengatur tata air, mencegah dan
membatasi banjir, erosi serta memelihara kesuburan
tanah selain itu juga menyediakan hasil hutan untuk
keperluan masyarakat, memberikan keindahan
alam khususnya dalam bentuk cagar alam, suaka
margasatwa,taman wisata, sebagai laboratorium
untuk ilmu pengetahuan, pendidikan dan pariwisata
fungsi lain juga sebagai salah satu unsur strategi
pembangunan nasional.
Pengelolaan berbasis masyarakat merupakan
suatu upaya pengelolaan yang dilakukan oleh
masyarakat bersama-sama dengan pemerintah
setempat, pengelolaan berbasis masyarakat
ECOTROPHIC • 11 (1) : 15 - 22 p-ISSN: 1907-5626, e-ISSN: 2503-3395
16
ECOTROPHIC • VOLUME 11 NOMOR 1 TAHUN 2017 p-ISSN: 1907-5626, e-ISSN: 2503-3395
bertujuan untuk melibatkan masyarakat secara aktif
dalam kegiatan perencanaan dan pelaksanaan
pengelolaan (Tulungen et al.2002).
Persepsi adalah pandangan atau penilaian
seseorang terhadap obyek tertentu yang dihasilkan
oleh kemampuan mengorganisasi pengamatan,
persepsi sebagai proses pengorganisasian,
penginterpretasian terhadap stimulus yang diterima
oleh organism atau individu sehingga merupakan
proses yang berarti dan merupakan proses integral
dalam diri individu. Persepsi merupakan proses
penginderaan dan penafsiran rangsangan suatu
obyek atau peristiwa yang diinformasikan, sehingga
seseorang dapat memandang, mengartikan dan
menginterpretasikan rangsangan yang diterimanya
sesuai dengan keadaan dirinya dan lingkungan
dimana berada, sehingga dapat menentukan
tindakannya Walgito (dalam Boedojo, 1986)
Wilayah hutan Timor-Leste ± 869.130.41ha,
mewakili 59% dari keseluruhan luas wilayah daratan
1.493.130.41 ha, kawasan hutan Timor-Leste
diklasifikasi menjadi dua bagian yaitu hutan yang
mempunyai tutupan bagus 312,930.67 ha dan
tutupan hutannya kurang 556.199.74 ha. (MAFP,
2004). Deforestasi disebabkan sistem curah hujan dan
topografi di mana 41% dari total wilayah memiliki
lereng lebih besar dari 40% (Mota, 2002). Timor-
Leste memiliki 44 Kawasan Lindung yang telah
ditetapkan berdasarkan Peraturan UNTAET No.19
tahun 2000.
Kawasan Lindung (KL) Manucoco merupakan
kawasan konservasi pegunungan yang sangat
penting bagi masyarakat Atauro karena mempunyai
fungsi sebagai daerah resapan air terutama sumber
mata air, habitat penting bagi burung dan
keanekaragaman hayati lainnya, kawasan ini
ditetapkan oleh Pemerintah Timor-Leste mengacu
pada peraturan UNTAET No.19 tahun 2000, luas
area KL Manucoco ± 4000 ha, secara administratif
KL Manucoco terletak di Kota Administatif Atauro
dengan ketinggian 700-970 meter dpl. Keberadaan
KL Manucoco sangat penting bagi Pulau Atauro yang
kondisi geografinya kebanyakan berlereng terdapat
sedikit dataran rendah di sekitar daerah pesisir,
kondisi topografinya didominasi oleh bebatuan
karang, curah hujannya pendek sehingga daerah ini
adalah daerah kering, sehingga sangat penting untuk
dikonservasi dan dilestarikan sebagai sumber
penyedia sumber air bagi pulau tersebut karena
kebanyakan sumber air bersih yang digunakan oleh
masyarakat sumbernya dari KL Manucoco.
Belum adanya upaya pengelolaan terhadap
kawasan lindung ini sehingga terjadi berbagai
fenomena di antaranya kegiatan berladang
masyarakat, pengambilan kayu bakar sebagai
sumber energi bahan bakar dan penebangan pohon
untuk kepentingan membuat rumah dan kapal
tradisional/sampan, ladang berpindah, sistem
bercocok tanam tebas dan bakar bertambahnya
pemukiman penduduk dan kebakaran hutan semua
permasalahan tersebut erat hubungannya dengan
masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan lindung.
Keberhasilan pengelolaan kawasan konservasi perlu
keterlibatan pemerintah secara aktif untuk
mengajak dan merangkul masyarakat sekitar hutan
untuk ikut menjaga keutuhan kawasan hutan dan
memberikan pemahaman betapa pentingnya fungsi
dan manfaat kawasan yang ada di sekitarnya,
masyarakat tidak dilibat dalam suatu rencana
pengelolaan maka masyarakat dihadapkan pada
posisi yang dilematis dimana di satu sisi bertindak
sebagai pelaku pembangunan dalam aktivitas
kesehariannya untuk bertindak sebagai pelindung
kelestarian hutan dan di sisi lain masyarakat juga
turut serta berpartisipasi dalam perusakan, hal ini
bisa di pengaruhi karena faktor ekonomi, sosial atau
budaya yang melatarbelangi serta faktor
pengetahuan yang minim.
Artikel ini membahas tentang dua hal pokok
yang menjadi fokus pada penelitian ini yaitu 1)
Bagaimana persespsi masyarakat tentang konservasi
sumberdaya alam KL Manucoco, 2) Bagaimana
strategi pengelolaan KL Manucoco sebagai kawasan
konservasi berbasis masyarakat.
Penelitian ini dimaksudkan untuk merumuskan
suatu strategi pengelolaan KL Manucoco berbasis
masyarakat berdasarkan persepsi masyarakat
sebagai acuan dan arahan untuk pengelolaan ke
depan.
2. METODOLOGI
Penelitian ini dilakukan di KL (Kawasan
Lindung) Manucoco Kota Administratif Atauro,
terutama desa yang berdekatan dengan kawasan
lindung seperti Desa Macadade, Desa Maquili, Desa
Vila dan Desa Beloi, metode yang digunakan adalah
metode penelitian kualitatif dan kuantitatif, data
yang digunakan dalam penelitian ini adalah data
primer dan data sekunder, untuk memperoleh data
persepsi masyarakat mengunakan kuisioner/angket,
analisis data mengunakan analisis deskriptif
kualitatif, dalam merumuskan strategi pengelolaan
mengunakan analisis SWOT berpedoman pada faktor
internal dan eksternal, diskusi wawancara dan
dokumentasi.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1. Keadaan Umum KL Manucoco
KL Manucoco merupakan kawasan hutan
konservasi yang berada di Kota Administratif Atauro
Kota Madya Dili dengan luas 4000 hektar, meskipun
sudah ditetapkan sebagai kawasan lindung kebijakan
17
pemerintah untuk melakukan pengelolaan terhadap
kawasan tersebut belum berjalan secara maksimal,
secara keseluruhan masyarakat bersedia untuk
mendukung kebijakan pemerintah dalam
pengelolaan KL Manucoco. Potensi sumberdaya alam
KL Manucoco seperti tanaman hias (bunga
anggrek),rotan, pohon enau, bambu, kopi dan
tanaman hutan lainnya seperti pohon kayu saria
(Toona sureni), pohon kenari (Canarium reidentalia),
ai na (Ptedocarpus indicus) dan berbagai jenis pohon
lainnya, KL Manucoco sebagai habitat penting bagi
burung, observasi peneliti terhadap aktivitas
masyarakat dapat dilihat bahwa masyarakat dari
desa yang ada di sekitar kawasan lindung banyak
melakukan aktivitas perladangan untuk menanami
jagung, kacang, ketela pohon, kelapa, pisang, nenas
dan tanaman buah-buahan lainnya.
KL Manucoco memiliki berbagai fungsi yakni
fungsi sosial, fungsi ekologis dan fungsi ekonomis,
fungsi sosial hutan sebagai tempat wisata atau
rekreasi, KL Manucoco menyimpan keindahan alam
dan keanekaraman hayati baik flora maupun fauna
yang bisa dikelola sebagai obyek wisata alam, fungsi
ekologis berdasarkan pengamatan di lapangan
terlihat bahwa masyarakat Atauro umumnya
mengunakan mata air yang ada di KL Manucoco
sebagai sumber air bersih, ada beberapa sumber mata
air yang permanen atau sepanjang tahun tersedia
yaitu di Desa Maquili terdapat Mata Air Tulai dan
Mata Air Ebua, sedangkan di Desa Macadade yaitu
Mata Air di Kampung Berau, Mata Air Era Amak,
Mata Air Essuan, Mata Air Era Apak, Mata Air Eralu
dan Mata Air Asame Lolon pemanfatan sumber air
yang ada untuk kepentingan masyarakat Kota
Administratif Atauro untuk memenuhi kebutuhan
sehari-hari baik untuk air minum,memasak
maupun mandi. Fungsi ekonomis ialah hutan dapat
menyediakan tanah yang subur dan hasil hutan yang
bisa dimanfaatkan oleh masyarakat untuk
mendapatkan uang untuk memenuhi kebutuhan
hidup yaitu melakukan aktivitas sehari-hari dengan
bertani di sekitar kawasan lindung, mencari kayu
bakar dan menebang pohon yang besar untuk
membuat perahu tradisional, pengalaman hidup
sehari-hari masyarakat memberikan kontribusi
terhadap timbulnya persepsi bahwa hutan memiliki
fungsi ekonomi.
3.2. Persepsi Masyarakat Mengenai KL
Manucoco Sebagai Kawasan Konservasi
Berdasarkan data persepsi masyarakat
mengenai pelestarian KL sebagai kawasan konservasi
terbagi dalam tiga bagian, diantaranya persepsi
masyarakat mengenai fungsi KL Manucoco, persepsi
masyarakat tentang kebijakan pengelolaan, persepsi
masyarakat tentang hak dan kewajiban masyarakat
dalam pengelolaan.
Gambar 3.1 Peta Lokasi Penelitian
Strategi Pengelolaan Kawasan Lindung Manucoco Berbasis Masyarakat di Kota Administratif Atauro...... [Ernesto Matos Soares, dkk.]
18
ECOTROPHIC • VOLUME 11 NOMOR 1 TAHUN 2017 p-ISSN: 1907-5626, e-ISSN: 2503-3395
3.2.1. Persepsi Masyarakat Mengenai Fungsi
Hutan KL Manucoco
A. Persepsi masyarakat mengenai fungsi hutan
Persepsi masyarakat mengenai fungsi hutan,
dianalisis bahwa hutan merupakan salah satu
komponen penting sumberdaya alam yang
mempunyai fungsi majemuk yaitu memiliki fungsi
sosial (sebagai tempat rekreasi/berlibur), fungsi
ekologis (seperti menyimpan cadangan air, mencegah
banjir/erosi dan sebagai tempat hidup fauna serta
keanekaragaman hayati lainya) dan fungsi ekonomi
(untuk mencari penghasilan), persepsi tersebut
ditunjukan dengan 60% respon den mempersepsikan
bahwa hutan memiliki banyak fungsi (majemuk)
sedangkan 40% mempersepsikan bahwa hutan
memilki fungsi tunggal.
B. Persepsi masyarakat mengenai fungsi
sumberdaya alam KL Manucoco
Pada umumnya masyarakat yang memper-
sepsikan fungsi hutan yang masih baik ditandai
dengan adanya kerapatan vegetasi, aktivitas
masyarakat yang rendah di dalam kawasan adanya
pemanfaatan jasa lingkungan serta ketersediaan
sumber mata air, masyarakat yang mempersepsikan
fungsi hutan masih baik mengindikasikan bahwa
secara sadar maupun tidak masyarakat akan
mengamati kondisi hutan seperti luas hutan dan
jumlah penduduk yang tinggal di kawasan hutan
meskipun masyarakat tidak secara spesifik
menyebutkan angka kuantitatif luas hutan dan
jumlah penduduk yang tinggal di kawasan hutan,
persepsi masyarakat dibuktikan dengan 66,67%
responden menyatakan bahwa KL Manucoco masih
berfungsi dengan baik sebagai kawasan konservasi,
17,78% menyatakan tidak berfungsi dengan baik dan
15,55 menyatakan tidak tahu, masyarakat yang
mengatakan bahwa kondisi hutan masih baik tidak
selalu bermakna fungsinya masih baik, melainkan
dapat bermakna bahwa masyarakat setempat masih
dapat menggantungkan kehidupan sosial
ekonominya akibat keberadaan hutan.
C. Persepsi masyarakat mengenai pengaruh KL
Manucoco terhadap kehidupan masyarakat
Berdasarkan hasil tabulasi terhadap persepsi
masyarakat menunjukkan bahwa 53,33%
menyatakan KL Manucoco berpengaruh terhadap
kehidup masayarakat, 20% menyatakan tidak
berpengaruh dan 26,67% tidak tahu, hasil tersebut
menunjukkan bahwa adanya interaksi masyarakat
terhadap kawasan hutan meningkat atau
kemungkinan masyarakat umumnya berprofesi
sebagai petani sehingga mau tidak mau harus
melakukan aktivitas bertani di sekitar kawasan
hutan sebagai sumber kehidupannya baik ekonomi
maupun sosial, sadar atau tidak meningkatnya
tingkat ketergantungan pada hutan akan
berpengaruh terhadap fungsi kawasan dan luasan
hutan.
3.2.2. Persepsi Masyarakat Tentang Kebijakan
Pengelolaan
A. Pengetahuan masyarakat mengenai peraturan
perundanagan
Berdasarkan hasil tabulasi pengetahuan
masyarakat tentang peraturan perundangan
menunjukkan bahwa 68,88% tidak mengetahui
tentang peraturan perundanagan kehutanandan
31,11% tahu, kondisi ini mungkin disebabkan karena
saat ini Timor-Leste belum memiliki UU Kehutanan
dan minimnya frekuensi sosialisasi.
B. Persepsi masyarakat mengenai kelembagaan
pengelolaan hutan.
Masyarakat punya persepsi bahwa lembaga
pengelola harus ditandai dengan adanya bangunan
fisik seperti tersedia kantor untuk aktivitas para
pengelola, persepsi tersebut dibuktikan dengan
71,11% responden menyatakan bahwa KL Manucoco
belum mempunyai lembaga pengelola, 6.67%
menyatakan ada dan 22,22% tidak tahu, berdasarkan
hasil tersebut secara tidak sadar masyarakat sudah
mempersepsikan bahwa hutan perlu dikelola. Belum
adanya lembaga pengelola secara psikologis terkait
dengan stimulan persepsi yang tumbuh di
masyarakat bahwa hutan merupakan teritori yang
bebas dan bisa di manfaatkan untuk kegiatan apa
saja secara bebas atau sembarangan oleh
masyarakat.
C. Persepsi masyarakat mengenai Pengelolaan
hutan membutuhkan rencana
Persepsi masyarakat mengenai perlu adanya
rencana dalam pengelolaan hutan maka baik
responden yang menjawab tahu tentang Undang-
Undang Kehutanan maupun yang tidak tahu,
semuanya menjawab bahwa dalam pengelolaan
hutan memerlukan rencana, hal ini dibuktikan
dengan 55,56% menjawab bahwa perlu adanya
rencana dalam pengelolaan sumberdaya hutan,
35,55% tidak membutuhkan rencana, 8,89% tidak
tahu, hasil ini menunjukkan masyarakat
mempersepsikan kebijakan sebagai sesuatu yang
sifatnya diberikan (given) dari pemerintah sebagai
pembuatan kebijakan tanpa diketahui masyarakat
dari mana asal kebijakan itu
D. Persepsi masyarakat mengenai peran serta
dalam pengelolaan KL Manucoco
Kebijakan yang diterapkan dengan tujuan untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat sehingga
masyarakat menyadari bahwa kebijakan sebagai
sesuatu yang familiar bagi masyarakat, berdasarkan
19
jawaban responden bahwa perlu peran serta
masyarakat dalam pengelolaan hutan, yaitu
sebanyak 64,44% responden berpendapat bahwa
masyarakat perlu dilibatkan dalam proses
pengelolaan hutan, tidak perlu 20% dan 15,56% tidak
tahu, hasil ini menunjukkan bahwa tidak ada
pelibatan masyarakat akan berdampak terhadap
tidak adanya rasa memiliki dan peran sertanya
dalam pelestarian hutan sedangkan masyarakat yang
dilibatkan dalam pengelolaan hutan tentu rasa
memiliki relatif lebih tinggi dibandingkan
masyarakat yang tidak dilibatkan.
E. Persepsi masyarakat mengenai bentuk pelibatan
yang diinginkan dalam pengelolaan
Kebijakan pengelolaan hutan yang diterapkan
harus menyentuh aspek mendasar kehidupan
masyarakat yakni aspek ekonomi, pelibatan dalam
kerangka pemenuhan kesejahteraan masyarakat
sebenarnya secara otomatis dapat menjamin bahwa
masyarakat memiliki rasa tanggungjawab untuk
menjaga kelestarian hutan sebagai sumber
penghidupannya Persepsi masyarakat mengenai
bentuk pelibatan menunjukkan 57,78% responden
ingin untuk berpatisipasi dalam pengelolaan (pola
pengelolaan partisipatif) sehingga dapat memperoleh
manfaat ekonomi, turut mengawasi pengelolaan
hutan supaya tidak disalahgunakan. Bentuk
pelibatan yang diinginkan tersebut berarti
masyarakat tidak ingin sekedar dilibatkan dalam
pengelolaan hutan dalam bentuk mengawasi
kelestarian hutan, melainkan melalui keterlibatan
akan mendapatkan manfaat ekonomi, keterlibatan
tersebut berhubungan dengan tingkat sosial ekonomi
masyarakat yang tinggal di kawasan hutan, artinya
jika ada masyarakat yang tinggal di kawasan hutan
maka kepentingan ekonominya harus diperhatikan.
F. Persepsi masyarakat mengenai Penyuluhan/
sosialisasi instansi terkait
Penyuluhan merupakan faktor yang penting dan
sebagai salah satu bentuk tindakan dalam rangka
implementasi kebijakan pengelolaan dan pelestarian
hutan, terkait dengan penyuluhan maka 48,88%
responden menjawab bahwa penyuluhan pernah
dilakukan dan tidak pernah 26,67% dan tidak tahu
24,44%, Jawaban ini menunjukkan bahwa tidak
meratanya sosialisasi yang dilakukan instansi terkait
kepada masyarakat, program penyuluhan yang
dilakukan hanya sebagai mengejar target program
semata tanpa mengedepan manfaat dari program
tersebut.
3.2.3. Persepsi Masyarakat mengenai Hak dan
Kewajiban dalam Pengelolaan
A. Persepsi masyarakat mengenai hak dan
kewajiban dalam pengelolaan
Berdasarkan analisis persepsi masyarakat
mengenai hak dan kewajiban dalam pengelolaan
hutan merupakan satu paket kegiatan yang tidak
dapat dipisahkan satu dan lainnya dalam rangka
memenuhi rasa keadilan publik (public justice)
artinya bahwa pemenuhan kewajiban oleh
masyarakat harus disertai adanya jaminan bahwa
haknya juga dipenuhi, sesuai dengan hasil analisis
diketahui bahwa masyarakat tidak memiliki
pengetahuan yang memadai tentang peraturan
perundangan kehutanan, jawaban ini dibuktikan
dengan 62,22% responden tidak mengetahui hak dan
kewajiban dalam pengelolaan hutan dalam konteks
hukum yang ada.
B. Persepsi masyarakat mengenai tindakan
konservasi
Masyarakat memiliki persepsi bahwa tindakan
konservasi itu perlu karena di dalam tindakan
konservasi tersebut masyarakat memiliki
kepentingan sosial ekonomi,tindakan konservasi
hutan sebenarnya dalam pengertian bahwa
konservasi tersebut mensyaratkan adanya periode
penanaman dan penebangan hutan, masyarakat
mempersepsikan bahwa jika sudah menanam dan
merawat tanaman/pohon di hutan, terlepas dari
jenisnya, periode penanaman dan pemanenan hasil,
maka menurut masyarakat hal itu berarti sudah
ikut berpartispasi dalam konservasi hutan,
masyarakat berpendapat bahwa konservasi tersebut
menguntungkan karena bisa memenuhi kebutuhan
ekonominya, persepsi ini dibuktikan dengan 88,89%
responden menjawab bahwa tindakan konservasi
menguntungkan dan 11,11% tidak tahu.
C. Persepsi masyarakat mengenai aktivitas
mengubah fungsi pokok KL Manucoco
Terlepas dari pengetahuan masyarakat tentang
fungsi pokok hutan masyarakat memiliki persepsi
bahwa di kawasan hutan dimana mereka berdomisili
cenderung tidak ada aktivitas yang merubah fungsi
pokok hutan, persepsi ini dibuktikan dengan jawaban
responden 46,67% ada aktivitas mengubah fungsi KL
Manucoco, tidak ada 42,22% dan tidak tahu 11,11%,
hasil ini menunjukkan bahwa berubahnya fungsi
pokok hutan salah satunya disebabkan oleh tekanan
kebutuhan akan perumahan seiring dengan
pertumbuhan penduduk dan aktivitas budidaya.
Strategi Pengelolaan Kawasan Lindung Manucoco Berbasis Masyarakat di Kota Administratif Atauro...... [Ernesto Matos Soares, dkk.]
20
ECOTROPHIC • VOLUME 11 NOMOR 1 TAHUN 2017 p-ISSN: 1907-5626, e-ISSN: 2503-3395
Tabel 3.1. Identifikasi Faktor Internal dan Faktor Eksternal
Faktor Internal Faktor Eksternal
Faktor Kekuatan (Strength) Faktor peluang (Opportunitties)
1. KL Manucoco sebagai kawasan konservasi 1. Adanya dukungan pemerintah lokal dalam upaya konservasi
2. Keinginan masyarakat untuk turut serta dalam pengelolaan 2. Masyarakat mendukung untuk berpartisipasi dalam pelestarian kawasan
hutan KL Manucoco lindung Manucoco
3. Sebagai daerah resapan air dan daerah penting bagi burung 3. Status sebagai kawasan lindung
4. Adanya kearifan lokal tarabandu untuk pelestarian hutan
5. Kondisi hutan primer masih baik
Faktor Kelemahan (weaknesses) Faktor Ancaman (Threats)
1. Pengetahuan masyarakat tentang peraturan perundangan 1. Penebangan pohon
kehutanan masih minim 2. Lahan berpindah
2. Kurangnya keterlibatan/swadaya masyarakat dalam pelestarian hutan 3. Adanya pemukiman warga masuk ke dalam kawasan hutan
3. Penataan kawasan belum jelas 4. Kebakaran hutan
4. Minimnya petugas kehutanan dalam pengawasan
5. Kurangnya pemberdayaan masyarakat.
6. Rendanya intensitas sosialisasi
7. Lemahnya penegakan hukum
8. Tidak ada unit/lembaga pengelola
21
D. Persepsi Masyarakat Mengenai Kearifan
Lingkungan
Kearifan lingkungan atau kearifan lokal (local
wisdom) merupakan suatu kebiasaan tradisional
yang ada pada suatu daerah yang dipercaya dapat
berkontribusi dalam menjaga atau melestarikan SDA
yang ada pada suatu daerah, menurut informasi yang
dapat di lapangan bahwa dalam upaya untuk
menjaga kelestarian SDA bahwa telah dilakukan
aktivitas upacara ritual tara bandu yang
diselengarakan yang diprakarsa oleh tokoh adat
setempat dengan bantuan dari pemerintah yaitu
sebagai upaya melarang masyarakat agar tidak
merusak sumberdaya alam, hal yang dipantangkan
seperti dilarang membakar hutan, jangan
sembarang menebang pohon di sumber mata air dan
lain-lain, apa bila melanggar atau kedapatan maka
akan dikenakan sanksi, persepsi ini dibuktikan
dengan 84,44% menyatakan ada kearifan lingkungan
untuk menjaga kelestarian SDA KL Manucoco.
3.3. Strategi Pengelolaan KL Manucoco Sebagai
Kawasan Konservasi
3.3.1. Identifikasi Faktor Internal dan
Eksternal
Penyusunan strategi pengelolaan sumberdaya
hutan KL Manucoco diawali dengan pengumpulan
data faktor internal (Kekuatan dan Kelemahan) dan
faktor eksternal (Peluang dan Ancaman) untuk
merumuskan strategi-strategi pengelolaan, seperti
disajikan pada Tabel 3.1
3.3.2 Strategi Pengelolaan KL Manucoco
Sebagai Kawasan Konservasi
Berpedoman pada hasil observasi lapangan
jawaban responden diskusi dan wawancara maka
terindentifakasi faktor internal (kekuatan dan
kelemahan) dan eksternal (peluang dan ancaman)
yang mempengaruhi pengelolaan KL Manucoco
kemudian dianalisis untuk merumuskan strategi
pengelolaan sumberdaya alam KL Manucoco sebagai
kawasan konservasi seperti pada Tabel 3.2
4. SIMPULAN DAN SARAN
4.1. Simpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan maka dapat
dirumuskan beberapa simpulan sebagai berikut:
1. Persepsi masyarakat terhadap pelestarian
sumberdaya alam KL Manucoco sebagai
kawasan konservasi antara lain:
a) Persepsi masyarakat mengenai fungsi hutan
bahwa hutan memiliki beraneka ragam
fungsi (majemuk) yaitu fungsi ekologis,
fungsi sosial dan fungsi ekonomi.
b) Persepsi masyarakat mengenai kebijakan
pengelolaan pada umumnya masyarakat
tidak mengetahui peraturan atau regulasi
yang mengatur tentang kehutanan,
sehingga masyarakat tidak mempunyai pola
berfikir mengenai tindakan pengelolaan dan
pelestarian hutan
c) Persepsi masyarakat mengenai hak dan
kewajiban dalam pengelolaan sumberdaya
alam ialah masyarakat beranggapan bahwa
hutan merupakan barang publik (common
property) sehingga masyarakat merasa
punya hak dan kewajiban untuk
berpartisipasi untuk menjaga dan
memelihara kelestarian sumberdaya alam
yang ada, selain itu masyarakat
mempersepsikan bahwa kearifan lokal/
aturan adat sangat bermanfaat dalam upaya
pelestarian sumberdaya alam.
2. Strategi Pengelolaan KL Manucoco Berbasis
Masyarakat yang perlu dilakukan yaitu: (1)
memaksimalkan fungsi utama hutan (2)
meningkatkan program sosialisai secara intensif
(3) Menerapkan pola perlindungan dan
pengamanan hutan berbasis masyarakat (4)
meningkatkan keterlibatan atau peran serta
masyarakat dan instansi terkait dalam upaya
konservasi terhadap KL Manucoco (5) percepatan
penataan kawasan (6) meningkatkan
pengawasan terhadap pelestarian hutan (7)
meningkatkan pemberdayaan terhadap
masyarakat sekitar kawasan lindung melalui
HKM (8) penyusunan rencana/kebijakan
pengelolaan bersama perlu melibatkan semua
komponen masyarakat (stakeholder) (9)
pembentukan unit pengelola tingkat desa atau
kecamatan.
4.2. Saran
Berdasarkan pembahasan maka dapat
disarankan beberapa hal yang perlu dilakukan dalam
pengelolaan KL Manucoco sebagai berikut:
1) Para pemangku kepentingan (stakeholder)
diharapkan untuk menerapkan strategi-strategi
yang hasilkan dalam penelitian ini sebagai acuan
untuk pengelolaan KL Manucoco ke depan
2) Pemerintah perlu merampungkan proses
pembuatan Peraturan Perundangan-
Kehutanan sebagai payung hukum untuk
mengatur tata kelola Kehutanan di Timor-Leste
dan khususnya KL Manucoco
3) Perlu membentuk unit pengelola tingkat desa
atau kecamatan (UPTD/UPTK) untuk
melakukan pengelolaan atau pelestarian
terhadap KL Manucoco
Strategi Pengelolaan Kawasan Lindung Manucoco Berbasis Masyarakat di Kota Administratif Atauro...... [Ernesto Matos Soares, dkk.]
22
ECOTROPHIC • VOLUME 11 NOMOR 1 TAHUN 2017 p-ISSN: 1907-5626, e-ISSN: 2503-3395
4) Perlu dilakukan sosialisasi secara intensif serta
meningkatkan pemberdayaan terhadap masya-
rakat yang tinggal di sekitar kawasan lindung
5) Bagi masyarakat Atauro perlu menghidupkan
nilai kebersamaan untuk mempertahankan KL
Manucoco sebagai aset penting melalui program
konservasi secara swadaya untuk tetap menjaga
fungsi ekologis hutan
DAFTAR PUSTAKA
Boedojo.1986. Arsitektur, Manusia dan Penga-
matannya. Jakarta: Djambatan
Hadi, P.2005. Dimensi Lingkungan Perencanaan
Pembangunan. Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta.
Mota,F. (2002). Timor Leste: As novas Florestas do
Pais.Ministério da Agricultura e Pescas, Direcção
Geral de Agricultura, Divisão de Florestas.
Suparmoko,1997. Ekonomi Sumberdaya Alam dan
Lingkungan, BPFE: Yogyakarta
Tulungen J. Bayer. T, Dimpudus. M, Kasmidi. M,
Rotinsulu. C, Sukmara. A,
Tangkilisan N. (2002). Panduan Pembentukan dan
Pengelolaan Daerah Perlindungan Laut Berbasis
Masyarakat. Departemen Kelautan dan
Perikanan Jakarta
Peraturan UNTAET No. 19/2000 Tentang Penetapan
Zona Kawasan Lindung Timor-Leste
Widada, Sri Mulyati, Hirishi Kobayashi, (2006).
Sekilas Tentang Konservasi Sumberdaya Alam
Hayati dan Ekosistemnya, Jakarta: Pt. Penebar
Swadaya
23
STATUS DAN STRATEGI PENGELOLAAN LINGKUNGAN PERHOTELAN
DI KAWASAN KOTA MADYA DILI TIMOR - LESTE
Adalgisa D.D.G. Alvares1*), Budiarsa Suyasa2), Syamsul A. Paturusi3)
1)Kementerian Pertanian dan Perikanan Timor-Leste2)Program Doktor Ilmu Lingkungan Universitas Udayana
3)Program Magister Kajian Pariwisata Universitas Udayana
* E-mail: [email protected]
ABSTRACT
The research held about to reach two goals. To find out the condition and the strategy about the
management of hotel environment at Dili. The decision of area research is held with purposive. All hotel in
Dili will be chosen as the samples, it means that it will be held with census. Next, as the respondents in this
research is the manager of the hotels. The result of this research shows that there are seven variables. They
are the loyalty for its regulation, the programme and appreciation of environment, green park and space, the
management of waste water, the management of rubbish, the management of emission, the management of
non enviromental things. The indicator of the regulation (rules) of the company can be identified by using
AMDAL document. The indicator of the programme and appreciation of environment can be identified by
using the policy and appreciation that is dotained from this environment. The indicator of waste water
management, can be recognized by using IPAL. The indicator of rubbish management can be recognized by
using its mechanism. The indicator of emission management can be recognized by using its mechanism.
The indicator of non environmental things management can be identified by using its mechanism. The level
of this implementation for the hotel environment at Dili is about 65,08 % (Fairly). The implementation of per
variable can be seen that the percentage of the loyalty for its regulation is about 74,8 % (good), the programme
and appreciation of environment is about 44 % (not good), green park and space is about 76,8 % (good), the
management of waste water is about 81,6 % (good), the management of rubbish is about 60,8 % (fairly), the
management of emission is about 63,2 % (fairly), the non enviromental things management is about 54,4 %
(fairly). The indicator supported by the environment needs the attention of hotel management which improves
the hotel image for tourist or guests in the hotel.
Key Words : Hotel, Area, Dili, Management, Condition, Strategy
1. PENDAHULUAN
Saat ini masalah lingkungan telah menjadi isu
global, ditengah-tengah proses pembangunan yang
berjalan pesat. Lingkungan alam, sangat penting
bagi manusia yang menjadi subyek pembangunan.
Protes,friksi, dan konflik yang kini terjadi dalam
proses pembangunan, karena manusia merasa telah
terdesak secara sosial,ekonomi, dan juga lingkungan.
Dampak lingkungan, bisa menyebabkan kehidupan
manusia menjadi tidak sehat,terdesak, dan tidak
mendapatkan manfaat yang wajar dari proses
pembangunan dikawasannya.
Pembangunan hotel dan infrastruktur lainnya
di Kota Dili telah menekankan pada keberlanjutan
prospek di bidang pariwisata. Hal ini tercermin pada
visi pembangunan kota Dili tahun 2011-2030 yakni
: menuju pembangunan berkelanjutan. Esensinya
adalah bahwa pembangunan Kota Dili memang
diharapkan akan menuju pada kemakmuran dan
kesejahteraan masyarakat. Namun dalam proses
untuk tujuan itu, haruslah dilandaskan pada prinsip
harmoni dan kebersamaan, sesuai dengan hakekat
konsep pembangunan nasional. Seiring dengan
penerapan strategi pembangunan pada Kawasan di
Kota Dili, maka hotel yang kini banyak dibangun di
Dili, diharapkan juga menerapkan strategi penge-
lolaan lingkungan yang baik karena pembangunan
hotel dalam proses pembangunan kepariwisataan di
Kota Dili memiliki dampak yang sangat besar.
Oleh karenanya, perlu ada penelitian tentang
status dan strategi pengelolaan lingkungan
perhotelan pada hotel-hotel di Kota Dili Timor-Leste,
Adapun tujuan pokok dari penelitian ini adalah
sebagai berikut : mengetahui status pengelolaan ling-
kungan perhotelan di Kawasan Kota Dili dan menyu-
sun strategi pengelolaan lingkungan perhotelan di
Kawasan Kota Dili.
2. METODOLOGI
Penelitian ini dilakukan di Kota Madya Dili
Timor-Leste. Penelitian ini merupakan penelitian
survei yang menggunakan pendekatan secara
deskriptif kualitatif yang dikombinasikan dengan
ECOTROPHIC • 11 (1) : 23 - 28 p-ISSN: 1907-5626, e-ISSN: 2503-3395
24
ECOTROPHIC • VOLUME 11 NOMOR 1 TAHUN 2017 p-ISSN: 1907-5626, e-ISSN: 2503-3395
analisis SWOT. Teknik pengumpulan data dilakukan
dengan cara observasi lapangan, wawancara
(interview) dan dokumentasi. Metode dan teknik
analisis data yang digunakan adalah analisis
deskriptif kualitatif dan analisis SWOT (Rangkuti,
2014).
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Kota Dili merupakan Pusat Ibu Kota Negara
Timor-Leste segala aktivitas terpusat di Kota Dili
salah satu sektor yang bergerak maju adalah sektor
pariwisata dimana Kota Dili mempunyai beberapa
Ikon pariwisata yang sangat menarik para
wisatawan untuk berkunjung ke Kota Dili.
Berdasarkan data dari Badan Pertanahan
Nasional Timor-Leste tahun (2009), luas wilayah
secara keseluruhan Kota Dili adalah 13.637,97 hektar
yang terbagi dalam 6 Kecamatan yaitu Kecamatan
Dom Aleixo, Kecamatan Cristo Rei, Kecamatan Vera
Cruz, Kecamatan Nain Feto, Kecamatan Metinaro,
Kecamatan Atauro.
Melihat kondisi riil di lapangan bahwa semua
hotel yang menjadi sampel dalam penelitian ini
terletak pada empat Kecamatan di Kota Dili Timor-
Leste yaitu pada Kecamatan Cristo Rei, Kecamatan
Dom Aleixo, Kecamatan Vera Cruz dan Kecamatan
Nain Feto
3.2 Status Pengelolaan Lingkungan Perho-
telan di Kawasan Kota Dili
Dalam kaitannya dengan penelitian tentang
status pengelolaan lingkungan perhotelan harus
dilaksanakan dengan tidak hanya untuk memahami
lingkungan fisik saja tetapi perlu juga memahami
berbagai hal yang berkaitan dengan lingkungan
manusia dan lingkungan spiritual. Hal itu
disebabkan karena hotel menampung para tamu yang
memiliki karakter yang berbeda-beda, namun
mereka memerlukan ketenangan dan harmoni
dalam kehidupannya. Dengan adanya harmoni,
maka keberlanjutan eksistensi hotel di kawasan itu
akan lebih terjamin dan para tamu yang menginap
di hotel tersebut merasa nyaman dan puas tinggal
di hotel tersebut.Semua data yang ditampilkan dalam
Tabel 1 tersebut bersumber dari data yang
dikumpulkan di lapangan dan selanjutnya di
tampilkan dalam Tabel 1.
Tabel 1. menunjukkan bahwa penerapan status
dalam pengelolaan lingkungan perhotelan di
Kawasan Kota Dili termasuk kategori cukup dengan
skor 65,08 %. Hal ini mungkin disebabkan karena
minimnya sumberdaya manusia di bidang perhotelan
dalam mengelola managemen perhotelan dan
kurangnya campur tangan pemerintah dalam
memonitoring aktivitas perhotelan di Kota Dili,
dengan demikian kesadaran tentang peranan
lingkungan yang sangat penting artinya dalam
perkembangan pariwisata perlu diperhatikan dengan
Gambar 3.1. Peta Lokasi Penelitian
Sumber : Dili Urban Master Plan, 2015.
25
baik. Oleh karena itu pihak hotel tentu saja harus
mengantisipasi permasalahan itu, dengan secara
sungguh-sungguh memperhatikan masalah
lingkungannya.
Berkaitan dengan eksistensi variabel tentang
status pengelolaan lingkungan perhotelan di kawasan
Kota Dili, maka berikut akan diuraikan penerapan
ketujuh elemen dalam status pengelolaan lingku-
ngan perhotelan sebagai berikut:
3.2.1 Status Pengelolaan Lingkungan Variabel
Perizinan
Indikator pengelolaan lingkungan diukur
dengan berbagai parameter dalam penelitian ini
parameter yang digunakan untuk mengukur adalah:
Adanya Izin Usaha, dalam penelitian ini didapatkan
skor adalah 100 % (Sangat Baik). Hal ini
menunjukkan bahwa dalam menerapkan variabel
ketaatan pada perizinan/peraturan yang ada semua
pihak hotel sudah memiliki kesadaran yang tinggi
dalam hal ini semua pihak hotel telah memiliki izin
usaha. Adanya dokumen AMDAL/UKL/UPL, ada
pelaporan pelaksanaan sesuai aturan yang berlaku,
ada pelatihan pada staf, ada program lingkungan,
ada pengelolaan lingkungan bersama masyarakat.
Adapun skor yang didapat adalah 49,6 % ( tidak
baik ). Hal ini menunjukkan bahwa kesadaran pihak
hotel terhadap sistem dokumen pengelolaan
lingkungan sangat minim.
3.2.2 Status Pengelolaan Lingkungan Variabel
Program dan Penghargaan Lingkungan
Berbagai indikator yang diukur dalam elemen
program dan penghargaan lingkungan adalah: (i)
Kebijakaan lingkungan; (ii) Penghargaan
lingkungan. Dalam penelitian ini didapatkan skor
adalah 57,6 % (Cukup/Sedang). Hal ini menunjukkan
bahwa dalam kegiatan operasional hotel pihak hotel
belum menerapkan kebijakan lingkungan secara
merata di lingkungan perhotelan.
Salah satu indikator yang diukur dalam
penelitian ini adalah variabel penghargaan
lingkungan dalam penelitian ini didapatkan skor
adalah 30,4 % (sangat tidak baik). Hal ini
menunjukkan bahwa dalam kegiatan operasional
hotel, pihak hotel belum secara serius
memperhatikan berbagai aspek lingkungan.
3.2.3 Status Pengelolaan Lingkungan Variabel
Taman dan RTH
Berbagai indikator yang diukur dalam variabel
taman dan RTH adalah (i) Taman di kawasan hotel,
(ii) Ruang terbuka hijau (RTH). Bahwa skor rata-
rata untuk variabel Taman dan RTH adalah sebesar
Tabel 1. Nilai Skor Rata-rata Status Pengelolaan Lingkungan Perhotelan
No Variabel Indikator Nilai Skor (%)
1 Ketaatan pada Peraturan 1.1 Adanya Izin Usaha 100
1.2 Adanya Dokumen AMDAL 49,6
Jumlah 149,6
Rata-rata 74,8
2 Program dan Penghargaan 2.1 Kebijakan Lingkungan 57,6
2.2 Penghargaan Lingkungan 30,4
Jumlah 88
Rata-rata 44
3 Taman dan RTH 3.1 Taman di kawasan Hotel 69,6
3.2 Ruang Terbuka Hijau 84
Jumlah 153,6
Rata-rata 76,8
4 Pengelolaan Air Limbah 4.1 Mekanisme IPAL 81,6
Jumlah 81,6
Rata-rata 81,6
5 Pengelolaan Sampah 5.1 Mekanisme Pengelolaan Sampah 60,8
Jumlah 60,8
Rata-rata 60,8
6 Pengelolaan Emisi 6.1 Mekanisme Pengelolaan Emisi 63,2
Jumlah 63,2
Rata-rata 63,2
7 Pengelolaan B3 7.1 Mekanisme Pengelolaan B3 54,4
Jumlah 54,4
Rata-rata 54,4
Skor Rata-rata 65,08
Sumber: Data Hasil Penelitian Hotel di Kota Dili, 2016.
Status dan Strategi Pengelolaan Lingkungan Perhotelan di Kawasan Kota Madya Dili Timor - Leste [Adalgisa D.D.G.Alvares, dkk.]
26
ECOTROPHIC • VOLUME 11 NOMOR 1 TAHUN 2017 p-ISSN: 1907-5626, e-ISSN: 2503-3395
76,8 % (baik). Skor tertinggi dicapai oleh indikator
ruang terbuka hijau (RTH) dengan skor 84 % (sangat
baik). Skor 69,6 % (baik) dicapai oleh indikator taman
dikawasan hotel. Dengan melihat data tersebut dapat
dikatakan logis kalau pihak hotel mengutamakan
penataaan taman di kawasan hotel sebagai hal yang
penting dan diutamakan karena menyangkut citra
hotel kepada tamu-tamunya secara langsung di
kawasan hotel tersebut.
3.2.4 Status Pengelolaan Lingkungan Variabel
Pengelolaan Air Limbah
Berbagai indikator yang diukur dalam variabel
pengelolaan air limbah adalah mekanisme Instalasi
Pengolahan Air Limbah (IPAL) tercatat bahwa skor
81,6% (baik). Hal ini menunjukkan bahwa perhatian
pihak hotel dalam pengelolaan limbah sudah baik.
3.2.5 Status Pengelolaan Lingkungan Variabel
Pengelolaan Sampah
Berbagai indikator yang diukur dalam variabel
pengelolaan sampah adalah mekanisme pengolahan
sampah tercatat bahwa skor 60,8 % (cukup / sedang).
Hal ini menunjukkan bahwa perhatian pihak hotel
dalam melakukan proses pengolahan sampah di
kawasan hotel masih sangat minim.
3.2.6 Status Pengelolaan Lingkungan Variabel
Pengelolaan Emisi
Indikator yang diukur dalam variabel
pengelolaan emisi adalah mekanisme pengelolaan
emisi tercatat bahwa skor 63,2 % (cukup / sedang).
Hal ini menandakan bahwa perhatian pihak hotel
dalam pengelolaan emisi perlu terus ditingkatkan.
Pada hal masalah pengelolaan emisi adalah masalah
yang sangat penting agar lingkungan alam tetap
lestari dan eksistensi hotel akan tetap berlanjut.
3.2.7 Pengelolaan Lingkungan Variabel
Pengelolaan B3
Indikator yang diukur dalam variabel
Pengelolaan B3 adalah mekanisme pengelolaan B3
tercatat bahwa skor 54,4 % (cukup / sedang). Hal
ini menunjukkan bahwa perhatian pihak hotel dalam
pengelolaan B3 perlu diawasi oleh pihak pemerintah.
Jadi perlu perhatian serius dari pihak pemerintah
dalam memonitoring segala aktivitas operasional
hotel di Kawasan Kota Dili.
Tabel 2. Implementasi Status Pengelolaan Lingkungan pada Masing-masing Hotel.
Rata – rata Implementasi ( % ) Rata-rata
No. Nama Hotel Implementasi Keterangan
Perizinan Program Taman Limbah Sampah Emisi B3 (%)
& RTH
1. Hotel Timor 100 100 100 100 40 100 100 91,4 Sangat Baik
2. Novo Turismo 60 20 100 80 80 100 60 81,2 Baik
3. Timor Plaza 90 20 30 60 80 100 60 85,7 Sangat Baik
4. Ramelau 100 70 70 60 40 80 60 68,5 Baik
5. Terra Santa 60 20 100 80 40 100 80 68,5 Baik
6. Excel Beach 100 60 100 80 80 100 100 88,7 Sangat baik
7. JL Villa 60 20 80 80 40 20 20 45,7 Tidak baik
8. D’City 80 20 70 80 20 80 60 58,5 Cukup
9. Dili Beach 80 90 80 80 40 20 20 58,5 Cukup
10. Lecidere 60 60 60 80 100 60 20 62,8 Cukup
11. Discovery Inn 100 60 70 100 100 100 20 78,5 Baik
12. The Plaza 60 60 80 100 80 60 60 71,4 Baik
13. Diamond 60 20 100 80 40 20 20 48,5 Tidak baik
14. Santos Living 90 60 100 100 40 20 60 67,1 Cukup
15. Sakura 60 20 40 80 40 100 20 51,4 Tidak baik
16. Oceanview 60 20 80 80 40 60 20 51,4 Tidak baik
17. Kolmera 60 20 90 80 40 20 20 47,1 Tidak baik
18. Ventura 70 20 80 80 80 20 80 64,2 Cukup
19. Beachside 100 70 60 80 100 60 100 81,4 Baik
20. Novo Horizonte 60 70 60 80 80 60 60 67,1 Cukup
21. Farol 100 60 100 80 20 100 100 80 Baik
22. VilaVerde 80 80 30 80 100 20 20 58,5 Cukup
23. Fen Kong 60 20 80 80 40 20 20 45,7 Tidak baik
24. Roccela 60 20 100 80 100 100 100 80,8 Baik
25. Sorte Diak 60 20 60 80 60 60 80 60 Cukup
27
3.3 Kriteria dan Implementasi Status
Pengelolaan Lingkungan pada Masing-
masing Hotel
Kriteria implementasi status pengelolaan
lingkungan perhotelan pada masing-masing hotel di
kawasan Kota Dili perlu diketahui. Hal itu penting,
agar diperoleh gambaran tentang bagaimana pihak
hotel mampu mengimplementasikan status
pengelolaan lingkungan perhotelan.
Data pada tabel 2 menunjukkan bahwa dari 25
hotel yang diteliti, enam hotel yang mengimple-
mentasikan status pengelolaan lingkungan pada
masing-masing hotel dalam kategori Tidak Baik,
delapan hotel berkategori Cukup, delapan hotel
berkategori Baik dan tiga hotel berkategori Sangat
Baik. Secara umum Implementasi status
pengelolaan lingkungan hotel di Kawasan Kota Dili
adalah cukup.
Hotel di kawasan kota Dili, yang skor
implementasinya paling tinggi adalah Hotel Timor (
91,4 % ) dengan kategori sangat baik. Sedangkan
hotel yang implementasinya paling rendah adalah
Hotel JL Villa dan Hotel Fen Kong (45,7 %) dengan
kategori tidak baik, umumnya skor yang
implementasinya paling rendah adalah penerapan
variabel program dan penghargaan lingkungan.
3.4 Deskripsi dan Implementasi Status
Pengelolaan Lingkungan Perhotelan di
Kawasan Kota Dili
Berdasarkan hasil observasi dan melalui
kegiatan wawancara mendalam baik secara individu
maupun melalui diskusi dengan pihak managemen
hotel diperoleh gambaran bahwa, hotel-hotel di
Kawasan Kota Dili harus fokus untuk
memperhatikan implementasi aktivitas operasional
hotel yang berhubungan dengan kondisi pengelolaan
lingkungan dengan lebih optimal untuk memperbaiki
kinerja hotel ke masa depan yang lebih baik, agar
wisatawan atau tamu lebih senang untuk
mengunjungi Kawasan pariwisata di Kota Dili, hal
ini perlu di perhatikan oleh pihak manajemen hotel
dan pemerintah setempat.
Faktor Internal
Faktor Eksternal Peluang
1. Terciptanya kawasan
perhotelan yang nyaman dan
bersih.
2. Terjaganya kelestarian
sumberdaya lingkungan
sekitarnya.
3. Adanya peningkatan minat
wisatawan domestik dan
mancanegara
Ancaman
1. Adanya ancaman atau sanksi
dari pemerintah
2. Adanya komplain dari
masyarakat
3. Kerusakan lingkungan
4. Turunnya minat wisatawan
Kekuatan
1. Sebagian besar hotel telah memiliki ketaatan pada
perizinan lingkungan yang lengkap
2. Beberapa hotel telah memiliki program dan
kebijakaan lingkungan yang baik tercermin pada
hotel Timor,Ramelau,Timor Plaza, Novo Turismo
3. Beberapa hotel memiliki Taman dan RTH seluas
40 % dari luas hotel tercermin pada hotel Timor,
Ramelau,Novo Turismo, Terra Santa,JL Villa,
Santos Living
4. Beberapa hotel telah memiliki sistem pengelolaan
sampah yang representatif tercermin dari
kebersihan lingkungan di hotel tercermin pada
hotel Timor, Ramelau,Novo Turismo,Timor Plaza
5. Beberapa hotel telah memiliki sistem pengelolaan
limbah, emisi dan B3 yang baik tercermin pada
hotel Timor,Ramelau,Timor Plaza, Novo Turismo
Strategi SO
1. Peningkatan penerapan sistem pengelolaan
limbah, sampah secara berkelanjutan dengan
menerapakan 3R.
2. Meningkatkan sistem pelaporan pengelolaan
lingkungan kepada pemerintah.
3. Menyediakan mekanisme insentif bagi hotel yang
menerapkan sistem pengelolaan lingkungan yang
sesuai dengan standar yang ditetapkan.
Strategi ST
1. Meningkatkan program pengelolaan lingkungan
secara berkelanjutan
2. Mendorong hotel untuk tetap menjaga lingkungan
dan komunikasi yang baik dengan masyarakat
di sekitarnya secara berkelanjutan.
3. Melakukan inovasi secara terus menerus dalam
penataan lingkungan perhotelan untuk
meningkatkan kenyamanan tamu/wisatawan.
Kelemahan
1. Masih ada hotel yang belum memiliki kebijakaan
lingkungan tercermin pada hotel JL Villa, Diamond,
Sakura, Oceanview, kolmera, Fen Kong.
2. Masih ada beberapa hotel yang tidak memiliki Taman
yang memadai (luasnya< 10 % dari luas area)
3. Masih ada hotel yang belum menerapkan sistem
pengelolaan sampah yang memadai.
4. Mekanisme pengelolaan limbah,emisi dan B3 pada
beberapa hotel belum memenuhi kriteria
Strategi WO
1. Sosialisasi ketaatan terhadap implementasi perizinan
dan dokumen lingkungan pada pihak hotel
2. Penerapan mekanisme sanksi kepada hotel yang tidak
menerapkan sistem pengelolaan limbah, sampah sesuai
dengan standar yang ditetapkan.
3. Mengadakan kegiatan lomba pada sistem pengelolaan
lingkungan hotel secara periodik.
Strategi WT
1. Mendorong hotel untuk memenuhi segala bentuk
perizinan dan dokumen lingkungan yang di perlukan
2. Mendorong hotel untuk menjaga lingkungan dan
komunikasi yang baik dengan masyarakat di sekitarnya
3. Melakukan penataan lingkungan perhotelan untuk
meningkatkan kenyamanan tamu/wisatawan.
Sumber : Data Hasil Penelitian, 2016.
3.5 Analisis SWOT Strategi Pengelolaan Lingkungan Perhotelan di Kawasan Kota Dili
Status dan Strategi Pengelolaan Lingkungan Perhotelan di Kawasan Kota Madya Dili Timor - Leste [Adalgisa D.D.G.Alvares, dkk.]
28
ECOTROPHIC • VOLUME 11 NOMOR 1 TAHUN 2017 p-ISSN: 1907-5626, e-ISSN: 2503-3395
4. SIMPULAN DAN SARAN
4.1 Simpulan
Berdasarkan uraian pada hasil dan pembahasan
penelitian, dan juga dengan mengacu pada tujuan
penelitian, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Status Pengelolaan lingkungan perhotelan di
kawasan kota Dili terlihat bahwa hotel di
Kawasan Kota Dili dengan skor penerapan
status pengelolaan lingkungan tertinggi adalah
Hotel Timor dengan skor (91,4 %), Hotel Timor
Plaza dengan skor (85,7 %) dan Hotel Excel
Beach dengan skor (88,7 %) dengan kriteria
Sangat Baik. Hotel dengan penerapan status
pengelolaan lingkungan dengan Kategori Baik
adalah Hotel Novo Turismo dengan skor (81,2
%), Hotel Beachside dengan skor (81,4%), Hotel
Rocella dengan skor (80,8 %), Hotel Farol dengan
skor (80 %), Hotel Discovery Inn dengan skor
(78,5 %), Hotel the Plaza dengan skor (71,4 %),
Hotel Ramelau dengan skor (68,5 %) dan Terra
Santa dengan skor (68,5 %). Hotel dengan
penerapan status pengelolaan lingkungan
dengan Kategori Cukup adalah Santos Living
dengan skor (67,1 %), Hotel Novo Horizonte (67,1
%), Hotel Ventura dengan skor (64,2 %), Hotel
D’City dengan skor (58,5%), Hotel Dili Beach
dengan skor (58,5%) dan Hotel Vila Verde (58,5
%). Hotel dengan penerapan status pengelolaan
lingkungan dengan Kategori Tidak Baik adalah
Oceanview Hotel dengan skor (51,4%), Hotel
Sakura dengan skor (51,4 %), Diamond Villa
dengan skor (48,5%), Hotel Kolmera dengan skor
(47,1%), JL Villa (45,7%) dan Fen Kong (45,7%).
Tingkat Implementasi Status Pengelolaan
lingkungan perhotelan di Kawasan Kota Dili
adalah sebesar 65,08% dengan kategori Cukup.
2. Untuk mendorong hotel menerapkan
pengelolaan lingkungan maka diperlukan
strategi sebagai berikut:
a. Sosialisasi ketaatan terhadap implementasi
perizinan dan dokumen lingkungan pada
pihak hotel.
b. Penerapan mekanisme sanksi kepada hotel
yang tidak menerapkan sistem pengelolaan
limbah, sampah sesuai dengan standar yang
ditetapkan.
Mengadakan kegiatan lomba pada sistem
pengelolaan lingkungan hotel secara
periodik.
4.2 Saran
1. Hotel yang penerapan status pengelolaan
lingkungan, dengan kriteria belum baik, perlu
melakukan berbagai kegiatan yang berkaitan
dengan implementasi status pengelolaan
lingkungan, agar kategorinya dapat meningkat.
Kegiatan yang dilakukan, sesuai dengan berbagai
indikator pada variabel program dan
penghargaan lingkungan tersebut.
2. Penerapan status pengelolaan lingkungan dalam
kategori skor tidak baik dan cukup, masih
ditemukan pada elemen program dan
penghargaan lingkungan, pengelolaan sampah,
pengelolaan emisi pada beberapa hotel. Untuk
itu perlu terus dikembangkan agar semua
variabel pengelolaan lingkungan pada hotel-hotel
di kawasan kota Dili, dapat masuk dalam
kategori minimal Baik.
3. Indikator hotel yang berbasis lingkungan
kiranya dapat terus dikembangkan lebih lanjut,
dan terus diuji pada kawasan pariwisata yang
lebih luas, sehingga dengan demikian akan
didapatkan suatu indikator yang baku di masa
yang akan datang. Dengan demikian akan dapat
dijadikan sebagai pegangan pokok dalam menilai
status dan strategi pengelolaan lingkungan pada
hotel-hotel di kawasan kota Dili
4. Penelitian ini merupakan penelitian yang baru
jadi perlu diteruskan atau dilanjutkan dalam
penelitian berikutnya karena penelitian ini
merupakan sumber informasi bagi pihak
pemerintah dan hotel untuk diketahui sejauh
mana kondisi dan strategi pengelolaan
lingkungan perhotelan pada saat ini.
DAFTAR PUSTAKA
Adi, Ni Putu Massuli. 2015. “ Pengelolaan
Lingkungan Hotel Berbasis Tri Hita Karana di
Kawasan Pariwisata Sanur.” (Tesis). Denpasar:
Universitas Udayana.
Kementerian Pariwisata Timor Leste, 2014. Data
Jumlah Hotel yang Beroperasi di Kota Dili.
Groiler Electronis Publising. Inc.1995. Pengertian
Hotel dan Defenisi Hotel.
Lensiana.HJ. 2010. “ Partisipasi Hotel Dalam
Pengelolaan Lingkungan di Kelurahan Ubud,
Kabupaten Gianyar.” (Tesis). Denpasar:
Universitas Udayana.
Rangkuti, Freddy. 2013. Analisis SWOT : Teknik
Membedah Kasus Bisnis. Jakarta: PT. Gramedia
Pustaka Utama.
Stedmon & Kasavana.2004. Resepsionis Hotel.
Jakarta. Penerbit Gramedia Pustaka Utama.
Undang- Undang Lingkungan Hidup Timor – Leste
No. 26 Tahun 2012. Tentang Pengelolaan
Lingkungan hidup.
Undang-Undang No. 26 Tahun 2007. Tentang
Penataan Ruang.
Undang-undang No. 32 Tahun 2009. Tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup.
29
PENGARUH JUMLAH BAKTERI METHANOBACTERIUM DAN LAMA
FERMENTASI TERHADAP PROPORSI GAS METANA (CH4)
PADA PENGOLAHAN SAMPAH ORGANIK DI TPA SUWUNG DENPASAR
I. Putu Yudiandika 1*), I Wayan Suarna2) dan I Made Sudarma 3)
1)SMK Ilmu Komputer Ganesha Udayana2)Fakultas Peternakan Universitas Udayana
3)Fakultas Pertanian Universitas Udayana
*Email : [email protected]
ABSTRACT
A research has been conducted to find out the effect to the amount of methanobacterium bacteria and
fermentation duration toward proportion of methana (CH4) at organic waste processing at TPA Suwung
Denpasar. Methana gas produced from this organic waste will be processed become fuel of electric generation.
From this study will be expected to get all methana gas that contained at the waste so that there is no
methana gas loss to the atmosphere. This study was conducted by using 4 treatments that are without
bacteria (B0), bacteria with number of population 106 CFU/ml (B1), bacteria with population of 107 CFU/ml
(B2), and bacteria with population of 108 CFU/ml (B3). Each treatment conducted thrice (3) repeat. The four
treatments conducted measurement of gas variable after fermentation during 0 week, 3 weeks, 5 weeks, 7
weeks and 9 weeks by uisng gas analyzer GA 2000 Geotech. Data from study result then analyzed by using
complicated factorial design (RAL). From ANOVA analysis shows there was significant bacteria number and
fermentation duration toward proportion or procentage of methana gas resulted. The longer fermentation
time takes place, the bigger the proportion of the methane gas produced. However, the greater number of the
bacteria population does not always produce bigger proportion of methane gas To find out the combination
which could give best effect the researcher used Duncan test. The result of analysis from Duncan shows that
combination at the ninth weeks by number of bacteria 107 CFU/ml giving best result that was percentage of
methana gas is 55,10%.
Keywords: Methanobacterium, Fermentation duration, Organic waste, Methana, TPA Suwung.
1. PENDAHULUAN
Sampah adalah sisa kegiatan sehari-hari
manusia dan/atau proses alam yang berbentuk padat
(Kementerian Lingkungan Hidup Republik Indonesia,
2008). Jumlah atau volume sampah sebanding
dengan tingkat konsumsi manusia terhadap barang
atau material yang digunakan sehari-hari, sehingga
pengelolaan sampah tidak terlepas dari pengelolaan
gaya hidup masyarakat. Sampai saat ini
permasalahan sampah belum tertangani dengan baik
terutama di perkotaan. Sampah telah menjadi
permasalahan nasional sehingga pengelolaannya
perlu dilakukan secara komprehensif dan terpadu
dari hulu sampai ke hilir agar dapat memberikan
manfaat secara ekonomi, sehat bagi masyarakat, dan
aman bagi lingkungan.
Peningkatan produksi sampah telah
menimbulkan masalah pada lingkungan seiring
dengan peningkatan jumlah penduduk perkotaan.
Sementara itu, lahan tempat pemrosesan akhir (TPA)
sampah juga semakin terbatas. Kondisi ini semakin
memburuk manakala pengelolaan sampah di
masing-masing daerah kurang efektif, efisien, dan
berwawasan lingkungan serta tidak terkoordinasi
dengan baik. Permasalahan sampah merupakan
permasalahan yang sangat sulit dan rumit
khususnya di Kota Denpasar, baik dari segi
pengumpulan, pengiriman dan pengelolaan sampah
di TPA.
Tempat pemrosesan akhir Suwung merupakan
TPA regional yang mencakup wilayah Denpasar,
Badung, Gianyar, dan Tabanan (SARBAGITA).
Tempat pemrosesan akhir Suwung terletak di Desa
Pesanggaran, Kecamatan Denpasar Selatan, Kota
Denpasar. Kondisi TPA Suwung saat ini memang
sangat memprihatinkan dan sudah over load, salah
satu penyebabnya adalah pengelolaan TPA kurang
baik, minimnya kesadaran masyarakat dan
keterlibatan komponen pemerintah daerah dalam
mengelola sampah (Nawawi, 2003).
Dengan meningkatnya tumpukan sampah,
maka perlu dipikirkan cara penanganannya. Salah
satu cara yang dapat dilakukan yaitu menjadikan
sampah memiliki nilai tambah yang bermanfaat.
Nilai tambah ini bukan hanya untuk memperlambat
laju eksploitasi sumber daya alam, seperti lewat
konsep Reuse, Recycle, and Recovery, namun juga
ECOTROPHIC • 11 (1) : 29 - 33 p-ISSN: 1907-5626, e-ISSN: 2503-3395
30
ECOTROPHIC • VOLUME 11 NOMOR 1 TAHUN 2017 p-ISSN: 1907-5626, e-ISSN: 2503-3395
pemanfaatan sampah dari produk proses pengolahan
sampah itu sendiri (Nugroho, 2006).
Sampah apa pun jenis dan sifatnya, mengandung
senyawa kimia yang sangat diperlukan manusia baik
secara langsung maupun tidak langsung. Namun
jika pengelolaan sampah dilakukan secara tidak
benar maka sampah akan dapat mencemari
lingkungan khususnya atmosfer karena sampah
dapat memproduksi gas berbahaya seperti metana
(CH4) dan karbon dioksida (CO
2)
yang dapat
menyebabkan pemanasan global. Jadi agar sampah
menjadi bermanfaat, yang terpenting adalah
bagaimana kita dapat menggunakan dan
memanfaatkan sampah tersebut. Pemanfaatan
sampah antara lain sebagai sumber pupuk organik,
misalnya kompos yang sangat dibutuhkan oleh petani
sebagai sumber humus. papan komposit (komposit
serbuk kayu plastik daur ulang), bahan baku dalam
pembuatan bata (briket), serta manfaat lain yang
bisa diambil dari sampah adalah bahan pembuat
biogas (Dodik, 2012).
Di TPA Suwung, penggunaan sampah untuk
penyediaan energi penggerak mesin pembangkit
listrik sudah lama dicoba. Namun masih mengalami
beberapa kendala diantaranya yaitu rendahnya gas
metana (CH4) yang dihasilkan untuk dimanfaatkan
menjadi sumber energi. Untuk mendapatkan
kandungan gas CH4 yang terus meningkat dalam
proses pengolahan sampah ditentukan oleh banyak
faktor seperti temperatur, waktu fermentasi, jumlah
bakteri (khususnya bakteri penghasil gas metana),
katalisator, kadar air bahan, serta aerasi atau
kandungan O2 dalam sampah
,( Nugroho,2006). Atas
dasar tersebut penelitian ini akan diteliti sebagian
dari faktor tersebut yaitu pengaruh penambahan
bakteri dan lamanya waktu fermentasi terhadap
produksi gas CH4 pada sampah organik di TPA
Suwung Denpasar.
2. METODOLOGI
Penelitian dilakukan di TPA Suwung Desa
Suwung Kauh Kecamatan Denpasar Selatan, Kota
Denpasar. Penelitian ini dilaksanakan selama tiga
bulan yang dimulai bulan Mei sampai dengan bulan
Juli 2014. Percobaan menggunakan rancangan acak
lengkap (RAL) dengan 4 perlakuan dan 3 kali
pengulangan. Adapun keempat perlakuan tersebut
adalah B0 = tanpa bakteri Methanobacterium, B
1 =
dengan bakteri Methanobacterium 106 CFU/ml, B2
= dengan bakteri Methanobacterium 107 CFU/ml,
B3 = dengan bakteri Methanobacterium 108 CFU/ml.
Keempat perlakuan tersebut dilakukan pengukuran
variabel gas setelah fermentasi 0 minggu, 3 minggu,
5 minggu, 7 minggu dan 9 minggu.
Adapun bahan pada penelitian ini adalah
sampah organik dengan komposisi sampah sesuai
dengan komposisi yang ada pada TPA Suwung.
Sampah yang digunakan adalah 100% sampah
organik dengan komposisi 50% dedaunan dan
rumput, 30% dari sampah pasar seperti sisa sayur
dan buah-buahan dan 20% sampah rumah tangga
seperti nasi dan sisa makanan. Bakteri
Methanobacterium dengan jumlah populasi 106 CFU/
ml, 107 CFU/ml, 108 CFU/ml. Ember sebagai degister
dengan volume ember 20 L dan dapat menampung
sampah sebanyak 10 kg.
Penelitian ini diawali dengan pemilahan sampah
sesuai jenisnya, kemudian sampah organik
dikumpulkan. Massa sampah yang akan diproses
ditimbang sebanyak 5 kg kemudian ditempatkan
pada ember degister yang sudah dipasangi sampel
poin (keran) yang berfungsi menyalurkan gas
metana yang terbentuk dan memudahkan pada saat
melakukan pengukuran gas. Sampah tersebut
kemudian ditambahkan bakteri Methanobacterium
sebanyak 160 ml yang sudah dicampur dengan 4 L
air, 2 sendok makan urea dan 4 sendok makan gula
pasir. Tumpukan sampah ditutup rapat agar terjadi
proses anaerobik.
Analisis data hasil penelitian dengan
menggunakan model statistika faktorial yang terdiri
dari dua faktor dengan pola dasar RAL dengan faktor
W (lama fermetasi) dan B (jumlah bakteri)) adalah
sebagai berikut:
Yij = ì + W
i + B
j + WB
ij + ª
ij (1)
Keterangan:
Yij
: nilai pengamatan (respon) dari kelompok/
perlakuan ke-1 yang memperoleh taraf ke-i
dari faktor W ( minggu ke nol sampai
mingggu ke 9) dan taraf ke-j dari faktor B
(kontrol sampai jumlah bakteri 108).
ì : nilai rata-rata yang sesungguhnya (nilai
tengan populasi).
Wi
: pengamatn aditif ke-i dari faktor W
Bj
: pengamtan aditif ke-j dari faktor B
ªij
: pengaruh galat percobaan pada kelompok
ke-1 yang memperoleh kombinasiW (taraf
ke-i dari faktor W dan taraf ke-j dari faktor
B ).
Untuk mengetahui kombinasi yang memberikan
pengaruh terbesar dilakukan dengan menggunakan
uji Duncan.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) sampah
Suwung melayani pembuangan sampah dari wilayah
Kabupaten Badung dan Kota Denpasar. Jumlah
sampah yang terdata dan terangkut ke TPA sampah
Suwung tahun 2011 sampai 2015 disajikan dalam
Tabel 1.
31
Berdasarkan komposisinya adapun sampah yang
masuk ke TPA Suwung Denpasar dapat dilihat pada
Tabel 2.
Tabel 2 Komposisi Sampah TPA Suwung Denpasar.
NO. JENIS SAMPAH JUMLAH RATA RATA
1. Sampah Organik 780,12 Kg 44,29 %
2. Sampah Anorganik :
- Kertas 53,98 Kg 0,06 %
- Kayu 43,5 Kg 8 %
- Kain/Plastik 18 Kg 1,02 %
- Plastik 368,2 Kg 21 %
- Logam 6,39 Kg 0,36 %
- Karet/Kulit Tiruan 14,5 Kg 1 %
- Gelas/Kaca 6,43 Kg 0,36 %
- Tanah, Batu Pasir 54 Kg 3,06 %
3. Residu 256,16 Kg 14,54 %
J u m l a h 1061,28 Kg / 5,4 M³ 93,69 %
Sumber : Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Denpasar (2015).
Berdasarkan data pada Tabel 1 jumlah sampah
yang masuk ke TPA Suwung terus mengalami
peningkatan tiap tahunnya. Sedangkan dilihat dari
komposisinya sampah organik mencapai 44,29%.
Melihat hal tersebut sangatlah potensial untuk
dikembangkan menjadi salah satu sumber energi
alternatif untuk menghasilkan listrik.
Pengolahan sampah organik menjadi listrik
diawali dengan pemilahan sampah. Setelah sampah
dipilah kemudian difermentasi selanjutnya
dilakukan pengukuran persentase gas dengan
menggunakan gas analiser tipe GA2000. Adapun
hasil pengukuran proporsi gas metana yang
dihasilkan pada berbagai waktu dan bakteri dalam
penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Proporsi Gas Metana (%) Pada Berbagai Waktu (Minggu) dan
Bakteri (CFU/ml).
Waktu
Bakteri
W0 W3 W5 W7 W9
B0 I 0.1 5.6 18.1 20.3 21.8
II 0 5.1 19.2 21.7 22.1
III 0 6.2 18.3 21.3 22.4
B1 I 0 7.9 24.3 35.2 37.6
II 0.1 8.3 26.2 35.2 38.2
III 0.1 7.7 25.8 34.6 36.8
B2 I 0 9.3 30.2 50.4 56.7
II 0 10.2 29.2 51.2 54.8
III 0.1 10.6 28.6 49.8 53.8
B3 I 0 12.5 32.8 35.6 37.4
II 0.1 12.3 31.6 34.7 36.8
III 0 11.9 32.6 35.8 37.1
Data diatas selanjutnya dianalisis statistik.
Berdasarkan analisis ANOVA didapat nilai signifikah
0,000 untuk interaksi waktu*Bakteri yang
dibandingkan dengan alpha (á) 5%, maka nilai
signifikan lebih kecil dari alpha (0,000 < 0,05) maka
tolak H0 artinya ada pengaruh interaksi antara faktor
W (lama fermetasi) dan faktor B (jumlah bakteri
terhadap proporsi gas CH4). Interkasi mana yang
memberikan pengaruh dapat dilihat dengan
menggunakan uji Duncan. Adapun hasil analisis
proporsi gas metana pada berbagai bakteri dan waktu
dengan menggunakan uji Duncan dapat dilihat pada
Tabel 4.
Dari hasil analisis dapat dilihat bahwa semakin
lama waktu fermentasi maka proporsi gas metana
yang dihasilkan akan semaki banyak. Laju efektif
dari peningkatan proporsi gas metana yang
dihasilkan terjadi pada mingu ke tiga sampai dengan
minggu ke lima yaitu terjadi peningkatan persentase
Tabel 1. Volume/Jumlah Sampah Yang Terangkut Ke TPA Sampah Suwung (m3) tahun 2011-2015.
Tahun
Bulan
2011 2012 2013 2014 2015
Januari 80.146 88.872 96.712 108.135 106.118
Februari 69.048 84.892 87.805 99.954 99.086
Maret 73.075 88.418 95.405 100.448 107.239
April 73.558 84.315 92.248 96.324 106.138
Mei 75.946 83.365 95.753 106.730 100.756
Juni 72.957 82.369 93.766 105.495 107.230
Juli 78.589 85.359 102.099 105.078 109.314
Agustus 77.109 86.552 100.553 106.048 111.568
September 73.561 89.180 92.275 103.007 108.184
Oktober 78.008 86.729 103.903 103.974 112.268
November 79.960 82.903 102.175 104.469 110.467
Desember 86.248 83.987 109.614 108.086 115.968
Jumlah 918.205 1.026.941 1.179.208 1.247.769 1.294.336
Sumber : Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Denpasar (2015).
Pengaruh Jumlah Bakteri Methanobacterium dan Lama Fermentasi terhadap Proporsi Gas Metana (CH4) ..... [I Putu Yudiandika, dkk.]
32
ECOTROPHIC • VOLUME 11 NOMOR 1 TAHUN 2017 p-ISSN: 1907-5626, e-ISSN: 2503-3395
gas metana sebesar 17,44%. Akan tetapi pengaruh
berbeda terjadi pada penambahan populasi bakteri
yang diberikan, semakin banyak populasi bakteri
yang diberikan belum tentu menghasilkan proporsi
gas metana yang semakin besar. Hal ini disebabkan
karena dalam proses pembentukan gas metana
merupakan kelanjutan dari dua proses sebelumnya
yaitu proses hidrolisis dan proses asidogenesis. Jadi
dalam pembentukan gas metana juga ditentukan oleh
peranan bakteri pembusuk pada proses hidrolisis dan
bakteri pengurai pada proses asidogenesis sehingga
berpengaruh terhadap nutrisi (asam asetat) yang
akan diubah menjadi gas metana oleh bakteri
methanobacterium.
Selain itu menurut Junus (1987) dalam proses
fermentasi jumlah bakteri asam dan bakteri
metanogenik harus bekerja dalam jumlah yang
berimbang. Kegagalan dalam produksi metana dapat
dikarenakan tidak seimbangnya populasi bakteri
metanogenik terhadap bakteri asam yang
menyebabkan lingkungan menjadi sangat asam
(pH<7) yang selanjutnya menghambat kelangsungan
hidup bakteri penghasil metana.
Dalam pembuatan biogas ada banyak faktor
yang dapat mempengaruhi produksi gas metana yang
dihasilkan diantaranya yaitu keadaan lingkungan
abiotis (kondisi anaerob), temperatur, derajat
keasaman (pH), rasio perbandingan C dan N, jumlah
bakteri, dan waktu atau lamanya fermentasi.
Meskipun demikian tidak semua faktor akan dibahas
karena keterbatasan alat yang digunakan tidak
semua faktor-faktor dapat terukur dalam proses
penelitian. Adapun faktor-faktor yang dibahas adalah
sebagai berikut:
1. Kondisi lingkungan abiotis
Menurut Sutejo (2002) proses anaerob
merupakan faktor terpenting dalam pembuatan
biogas oleh sebab itu sebisa mungkin degister
biogas tidak boleh sampai bocor. Adapun
indikator kebocoran degister biogas adalah
meningkatnya persentase gas oksigen (O2) pada
proses pengukuran dengan menggunakan gas
analiser. Pada saat pengukuran apabila
persentase gas oksigen melebihi 2% itu
menandakan degester mengalami kebocoran.
Jika terjadi kebocoran maka dipastikan
persentase gas metana akan berkurang dan
persentase gas balance akan meningkat. Jika
kebocoran ini dibiarkan maka tidak akan
terbentuk gas metana hal ini disebabkan karena
bakteri metanogenik menjadi mati sehingga
proses fermentasi tidak berjalan maksimal
terhenti hanya pada tahap hidrolisis dan
asidogenisis sedangkan proses metanogenesis
tidak terjadi. Selain itu jika terjadi kebocoran
gas maka gas metana akan bereaksi dengan
oksigen menjadi karbon dioksida dan air.
2. Temperatur/Suhu
Suhu lingkungan juga sangat menentukan
aktif tidaknya bakteri yang berperan dalam
pembuatan biogas. Perkembangbiakan bakteri
sangat dipengaruhi oleh suhu. Suhu yang terlalu
tinggi atau rendah dapat menyebabkan kurang
atau tidak aktifnya mikroba penghasil biogas.
Menjaga agar suhu tetap berada pada kondisi
optimal merupakan suatu hal yang sangat
penting. Kondisi optimum merupakan kondisi
dimana laju pertumbuhan mencapai maksimum
sehingga laju penguraian senyawa organik juga
akan mencapai maksimum. Produksi biogas
akan menurun secara cepat akibat perubahan
temperatur yang mendadak didalam instalasi
pengolahan biogas (Simamora,S et al. 2006) Pada
penelitian ini tidak terjadi perubahan suhu yang
terlalu tinggi pada setiap minggunya. Semua
sampel berada pada suhu ideal yaitu (270C – 370C).
3. Karbon dioksidaDalam proses pembuatan biogas keberadaan
gas karbon dioksida merupakan indikator bahwagas metana akan terbentuk. Pada minggu-ming-gu awal yaitu dari minggu ke nol sampai mingguke tiga maka persentase gas karbon dioksidaterus meningkat. Pada minggu berikutnya gaskarbon dioksida mulai menurun seiring mulaiterbentuknya gas metana. Hal ini disebabkankarena terbentuknya gas metana merupakanhasil reduksi dari gas karbon dioksida.
4. Asam sulfidaAsam sulfida merupakan salah satu
indikator bau dalam pembuatan biogas ataupun
Tabel 4. Proporsi Gas Metana (%) Pada Berbagai Bakteri (CFU/ml) dan
Waktu (Minggu) Menggunakan Uji Duncan.
Waktu Jumlah Bakteri Rata-rata
fermetasi
B0 B1 B2 B3
W0 0,03a 0,07a 0,03a 0,03a 0,04a
A A A A
W3 5,63b 7,97b 10,03b 12,23b 8,97b
A B C D
W5 18,53c 25,43c 29,33c 32,33c 26,41c
A B C D
W7 21,10d 35,00d 50,47d 35,37e 35,48d
A B C D
W9 22,10e 37,53e 55,10e 37,10e 37,96e
A B C D
Rata-rata 13,48 21,20 28,99 23,41
A B D C
Keterangan : Nilai rata-rata perlakuan yang diikuti oleh hurup kecil yang
sama pada satu kolom dan hurup kapital yang sama pada
satu baris adalah tidak berbeda nyata pada taraf uji 5%,
berdasarkan uji jarak berganda Duncan (Steel and Torrie.
1981).
33
pengomposan sampah. Asam sulfida merupakan
hasil sampingan selain gas karbon dioksida.
Semakin besar jumlah asam sulfida dari sampah
maka akan semakin menyengat aroma atau bau
dari sampah tersebut begitu juga sebaliknya
semakin sedikit jumlah asam sulfida maka
aroma atau bau busuk dari sampah akan
berkurang. Dari hasil penelitian didapat bahwa
penambahan bakteri dapat mengurangi bau atau
aroma tidak sedap dari sampah. Jika
dibandingkan dengan sampel yang tidak
ditambahkan bakteri (B0) dimana jumlah H2S
terus mengalami peningkatan. Sampah yang
ditambahkan dengan bakteri menjadi tidak
berbau hal ini disebabkan karena hidrogen
sulfida yang terbentuk dari pembusukan
sampah organik dengan bantuan bakteri akan
diubah menjadi ion sulfat dan senyawa sulfur
oksida
5. Lama permentasi
Lama fermentasi berpengaruh terhadap
membentukan biogas karena jika waktu
fermentasi belum mencukupi biogas tidak akan
terbentuk. Dari hasil penelitian didapat bahwa
semakin lama waktu fermentasi maka proporsi
gas metana yang dihasilkan akan semakin besar.
Laju efektif dari peningkatan proporsi gas
metana yang dihasilkan terjadi pada mingu ke
tiga sampai dengan minggu ke lima yaitu terjadi
peningkatan persentase gas metana sebesar
17,44%. Menurut Hermawan dkk, (2007)
persentase gas metana akan maksimum pada
kisaran 55-75%. Jadi jika persentase gas metana
sudah mencapai maksimum, meskipun waktu
fermentasi terus diperpanjang maka persentase
gas metana tidak akan mengalami peningkatan.
4. SIMPULAN DAN SARAN
4.1 Simpulan
Berdasarkan pembahasan maka adapun
simpulan pada penelitian ini adalah jumlah bakteri
Methanobacterium dan lama fermentasi berpenga-
ruh terhadap proporsi gas metana pada pengolahan
sampah organik di TPA Suwung Denpasar. Semakin
lama waktu fermentasi maka proporsi gas metana
yang dihasilkan juga semakin besar, akan tetapi
semakin banyak populasi bakteri yang diberikan
belum tentu menghasilkan proporsi gas metana yang
semakin besar. Hasil terbaik dari kombinasi kedua
faktor tejadi pada minggu ke sembilan dengan jumlah
bakteri 107 CFU/ml yaitu sebesar 55.10%.
4.2 Saran
Adapun saran yang dapat penulis sampaikan
yaitu dalam penelitian ini alat ukur yang digunakan
penulis tidak dapat mengukur volume gas yang
dihasilkan. Oleh sebab itu diperlukan penelitian lebih
lanjut untuk mengukur volume gas yang dihasilkan
dari fermentasi sampah sehingga lebih mudah
dihitung potensi daya listrik yang dihasilkan. Selain
itu semakin lama waktu fermentasi memerlukan
bakteri metanobacterium yang lebih sedikit untuk
mendapatkan produksi gas metana yang maksimal.
DAFTAR PUSTAKA
Dinas Kebersihan dan Pertamanan. 2015. Data
Komposisi dan Volume Sampah. Denpasar :
DKP Kota Denpasar.
Dodik, P. 2012. Kompos. Avaible from : URL : http:/
/ d o d i k f a p e r t a . b l o g s p o t . c o m / 2 0 1 2 / 0 2 /
kompos.html, diakses tanggal 24 Juli 2013.
Hermawan, dkk. 2007. Pemanfaatan Sampah
Organik sebagai Sumber Biogas Untuk
Mengatasi Krisis Energi Dalam Negeri. Karya
Tulis Ilmiah Mahasiswa Universitas Lampung.
Bandar Lampung
Junus. 1987. Teknik Membuat dan Memanfaatkan
Gas Bio. Yogyakarta : Gadjah Mada UniversityPress.
Kementerian Lingkungan Hidup Republik Indonesia.
2008. Jakarta : Undang-undang Nomor 18 tahun
2008 Tentang Pengelolaan Sampah
Nawawi. S. Ir , 2003, Studi Khusus Pengolahan
Sampah Secara Tuntas Di Sarbagita – Bali.
Surabaya :PT. Heliawan Elang Perkasa.
Nugroho, A. 2006. Studi Pustaka Pemanfaatan
Proses Biokonversi Sampah Organik Sebagai
Alternatif Memperoleh Biogas. Program Studi
Pendidikan Kimia PMIPA FKIP UNS.
Simamora, S. et al. 2006. Membuat Biogas Pengganti
Bahan Bakar Minyak Dan Gas Dari Kotoran
Ternak. Jakarta: AgroMedia Pustaka.
Steel, R.G.D and J.H Torrie. 1981. Principles and
Procedures of Statistic. New York : Mc. Graw-
Hill Book Co.,Inc.
Sutejo, M. 2002. Penambahan Tepung Darah Dalam
Pembuatan Pupuk Organik Padat Limbah
Biogas dari Fases Sapi dan Sampah Organik
Terhadap Kandungan N, P dan K. Jakarta :
Rineka Cipta
Pengaruh Jumlah Bakteri Methanobacterium dan Lama Fermentasi terhadap Proporsi Gas Metana (CH4) ..... [I Putu Yudiandika, dkk.]
34
ECOTROPHIC • VOLUME 11 NOMOR 1 TAHUN 2017 p-ISSN: 1907-5626, e-ISSN: 2503-3395
RESIDU PESTISIDA GOLONGAN ORGANOFOSFAT
KOMODITAS BUAH CABAI MERAH (Capsicum annuum L.)
PADA BERBAGAI LAMA PENYIMPANAN
I G A Surya Utami Dewi1*), I Gede Mahardika2), Made Antara3)
1)Magister Ilmu Lingkungan, Universitas Udayana2)Fakultas Peternakan, Universitas Udayana
3)Fakultas Pertanian, Universitas Udayana
*Email: [email protected]
ABSTRACT
In order to control pests and diseases in red chili plants, farmers use pesticides was over as impact
leaving residue in the chili. The purpose of this study was to determine type, dose and frequency of pesticides
used by the farmers, as well as to determine the organophospate residual in chili on different storage times.
This study was conducted in two phases namely survey to 10 respondent farmers in Baturiti district, Tabanan
regency used questioner and treatment pilot study used different storage time from 0, 1 and 3 days samples
took from Apuan Village, Baturiti, Tabanan. Class of organophosphate pesticide residue analysis conducted
in Denpasar Branch Police Forensic Laboratory. The results showed dominant pesticides used was
organophosphates profenofos (curacron) 60 % and klorpirifos (kaliandra) 20 %. Dose pesticides used was > 40
ml (> 4 bottle cover volume 10 ml) and > 40 gram (> 4 spoon) for tank volume 17 liter and also > 30 ml (> 3
bottle cover volume 10 ml) and > 30 gram (> 3 spoon) for tank volume 14 liter. Frequency of pesticides used
by farmers on 1 plant season was 90 % more than 12 times and the other 10 % used frequency 10-12 times.
Farmers do not comply dose and frequency with the pesticides used regulations. Analysis result showed that
the treatment effect of different storage time is not real to organophosphate pesticide residues groupon red
pepper. The average residues detected are indicating a trend with residue storage profenofos on day 0, 1 and
day 3 for 1,20 mg/kg, 2,70 mg/kg and 1,37 mg/kg and the amount of chlorpyrifos residues on the storage day
0, day 1 and day 3 is 0,0027 mg/kg, 0,0039 mg/kg and 0,0021 mg/kg. Profenofos and chlorpyrifos residue
content is still below the Maximum Residue Limit (MRL) under the provisions of MRL profenofos on red
pepper, which is 5 mg/kg and chlorpyrifos, which is 0,5 mg/kg.
Keywords: Pesticides Residue; Organophosphates; Profenofos; Chlorpyrifos
1. PENDAHULUAN
Dewasa ini tanaman cabai menjadi komoditi
sayuran penting di Indonesia, memiliki nilai
ekonomis yang tinggi, dan seiring dengan
pertambahan jumlah penduduk maka permintaan
akan cabai merah akan meningkat tajam
(Yusniawati, 2008). Meningkatnya permintaan
masyarakat pada komoditas cabai di Bali dapat
dilihat dari tingkat produksi cabai pada tahun 2013
yang mengalami peningkatan 20,23 % dari tahun
sebelumnya, dimana produksi sayuran cabai
mencapai 35.856 ton dari tahun sebelumnya yang
hanya mencapai 29.824 ton (BPS Bali, 2013). Namun
kendalanya dalam budidaya cabai yaitu rentan akan
serangan hama dan penyakit. Serangan hama dan
penyakit pada tanaman dapat menyebabkan
terjadinya penurunan hasil produksi serta gagal
panen. Pestisida merupakan salah satu alternatif
utama yang dipakai petani dalam menanggulangi
serangan hama dan penyakit karena dianggap lebih
efektif dibandingkan dengan penanggulangan secara
biologis dan fisik. Rata-rata peningkatan total
konsumsi pestisida per tahun mencapai 6,33 %,
namun pada kenyataanya di lapangan diperkirakan
dapat mencapai lebih dari 10-20 % (Djunaedy, 2009).
Penggunaan pestisida pada tanaman cabai paling
sering ditemukan kandungan residunya. Kandungan
residu yang ditemukan yaitu pestisida golongan
organofosfat jenis propenofos residunya melebihi batas
maksimum residu profenofos pada tanaman cabai
yaitu 5 mg/kg. Hal ini dikarenakan adanya petani
yang sering mengambil langkah praktis, mereka
langsung menyemprot dengan pestisida tanpa
memperhatikan nilai ambang ekonomi hama, dosis
anjuran dan jenis pestisida (Afriyanto, 2008).
Berdasarkan hasil penelitian Soemirat (2003) residu
insektisida golongan organofosfat ditemukan pada
berbagai jenis sayuran seperti bawang merah dengan
konsentrasi 0,565-1,167 mg/kg, kentang 0,125-4,333
mg/kg. Sedangkan cabai dan wortel mengandung
profenofos 0,11 mg/kg, detakmetrin 7,73 mg/kg,
klorpirifos 2,18 mg/kg, tulubenzuron 2,89 mg/kg, dan
permetrin 1,80 mg/kg.
Struktur kimia dan cara kerja organofosfat
berhubungan erat dengan gas syaraf. Organofosfat
ECOTROPHIC • 11 (1) : 34 - 39 p-ISSN: 1907-5626, e-ISSN: 2503-3395
35
dapat menurunkan populasi serangga dengan cepat,
persistensinya di lingkungan sedang sehingga
organofosfat secara bertahap dapat menggantikan
organoklorin. Organofosfat merupakan insektisida
yang paling toksik diantara jenis pestisida lainnya
dan sering menyebabkan keracunan pada manusia.
Termakan hanya dalam jumlah sedikit saja dapat
menyebabkan kematian, tetapi diperlukan beberapa
milligram untuk dapat menyebabkan kematian pada
orang dewasa (Zulkarnain, 2010).
Residu pestisida pada cabai dapat berasal dari
hasil penyemprotan pada tanaman. Residu pestisida
terdapat pada semua tubuh tanaman seperti batang,
daun, buah, dan juga akar. Walaupun sudah dicuci
atau dimasak residu pestisida ini masih terdapat pada
bahan makanan. Oleh karena itu maka dibuatlah
suatu percobaan untuk mengetahui pengaruh lama
penyimpanan terhadap residu pestisida golongan
organofosfat pada komoditas buah cabai merah.
Percobaan yang dilakukan juga diperkuat dengan
data wawancara mendalam yang dilakukan kepada
petani untuk mengetahui aplikasi jenis dosis dan
frekuensi penggunaan pestisida oleh petani di
Kecamatan Baturiti, Tabanan.
2. METODOLOGI
Penelitian dilaksanakan pada bulan Oktober
sampai Desember 2015. Penelitian ini terdiri dari 2
tahapan yaitu penelitian tahap 1 dengan wawancara
menggunakan kuisioner kepada petani di Kecamatan
Baturiti, Kabupaten Tabanan dengan mengambil 10
orang responden secara acak masing-masing di Desa
Apuan, Desa Bangli, Desa Angsri, Desa Baturiti,
Desa Perean dan Desa Candikuning. Variabel
penelitian tahap 1 yaitu pengamatan mengenai jenis,
dosis serta frekuensi penggunaan pestisida pada
petani cabai merah. Instrumen yang digunakan
dengan prosedur kerja melakukan wawancara
langsung sekaligus mencatat jawaban responden.
Hasil wawancara selanjutnya ditabulasi.
Penelitian tahap 2 menggunakan rancangan
acak lengkap (RAL) dengan perlakuan yang
dicobakan yaitu : CO : Lama penyimpanan 0 hari
(panen); C1 : Lama penyimpanan 1 hari dan C3 :
Lama penyimpanan 3 hari. Setiap unit perlakuan
diulang sebanyak 3 kali sehingga secara keseluruhan
terdapat 9 petak percobaan. Sampel buah cabai
merah yang digunakan dalam penelitian diambil di
Desa Apuan, Kecamatan Baturiti, Kabupaten
Tabanan. Variabel penelitian tahap 2 yaitu
kandungan residu pestisida golongan organofosfat
jenis profenofos dan klorpirifos pada buah cabai
merah dengan perlakuan lama penyimpanan. Untuk
mengetahui kandungan residu pestisida golongan
organofosfat pada buah cabai merah sampel buah
cabai merah dianalisis di Laboratorium Forensik
Polri Cabang Denpasar dengan gas kromatografi (GC-
MS).
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Aplikasi Jenis, Dosis dan Frekuensi
Penggunaan Pestisida Oleh Petani Cabai
Merah di Kecamatan Baturiti, Tabanan
Data kuisioner menunjukkan merk dagang
insektisida yang paling banyak digunakan sejumlah
60 % yaitu Curacron 500 EC, 20 % merk Kaliandra
482 EC dan sisanya 20 % menggunakan insektisida
dengan merk yang beragam diantaranya yaitu
Winder, Decis, Bima, Matador, Metindo dan Sanval
(Tabel 1).
Curacron dengan bahan aktif profenofos memiliki
gugus brom dan klor yang dikhawatirkan akan
memiliki bahaya yang sama dengan organoklor.
Toksisitas pestisida dapat diketahui dari nilai LD 50
oral dan dermal yaitu dosis yang diberikan dalam
makanan hewan-hewan percobaan yang
menyebabkan 50 % dari hewan-hewan tersebut mati.
Nilai LD 50 profenofos yaitu LD 50 (tikus) sekitar
358 mg/kg; LD 50 dermal (kelinci) dengan kelas
toksisitas beracun sedang (IPCS, 1996). Sifat
profenofos sebagai golongan organofosfat yaitu tidak
menimbulkan kontaminasi terhadap lingkungan
untuk jangka waktu yang lama, lebih toksik
terhadap hewan-hewan bertulang belakang jika
dibandingkan dengan organoklorin, mempunyai cara
kerja menghambat fungsi enzim cholinesterase dan
berefek toksik bila tertelan (Afriyanto, 2008). Umur
residu dari profenofos ini tidak berlangsung lama
sehingga peracunan kronis terhadap lingkungan
cenderung tidak terjadi karena faktor-faktor
lingkungan mudah menguraikan senyawa-senyawa
profenofos menjadi komponen yang tidak beracun.
Walaupun demikian senyawa ini merupakan racun
akut sehingga dalam penggunaannya faktor-faktor
keamanan sangat perlu diperhatikan. Pestisida
Tabel 1. Penggunaan Jenis Pestisida Oleh Petani Cabai Merah di
Kecamatan Baturiti Tabanan
No Jenis Penggunaan Pestisida Jumlah (%)
1 Jenis pestisida yang digunakan
A. Pestisida organik/biopestisida 0
B. Pestisida anorganik 100
2 Jenis pestisida yang paling banyak digunakan
A. Herbisida 0
B. Fungisida 10
C. Insektisida 90
D. Lain-lain 0
3 Merek dagang insektisida yang paling banyak digunakan
A. Curacron 60
B. Diazinon 0
C. Kaliandra 20
D. Lain-lain 20
Residu Pestisida Golongan Organofosfat Komoditas Buah Cabai Merah (Capsicum annuum L.) pada Berbagai Lama ..... [IGA Surya Utami Dewi, dkk.]
36
ECOTROPHIC • VOLUME 11 NOMOR 1 TAHUN 2017 p-ISSN: 1907-5626, e-ISSN: 2503-3395
curacron merupakan pestisida yang memiliki izin
terdaftar dan beredar untuk pertanian dan
kehutanan tahun 2016 di Indonesia.
Kaliandra dengan bahan aktif klorpirifos
memiliki 3 gugus klor yang juga dikhawatirkan
dampak negatifnya. Nilai LD 50 klorpirifos yaitu LD
50 oral (tikus) sebesar 135-163 mg/kg; LD 50 dermal
(tikus)>2.000 mg/kg dengan kriteria toksisitas
beracun sedang (IPCS, 1996). Umur residu dari
klorpirifos ini sama dengan profenofos yaitu tidak
berlangsung lama sehingga peracunan kronis
terhadap lingkungan cenderung tidak terjadi karena
faktor-faktor lingkungan mudah menguraikan
senyawa-senyawa klorpirifos menjadi komponen yang
tidak beracun.
Penggunaan pestisida yang dilakukan oleh
petani dalam hasil wawancara 100 % melebihi dari
dosis pemakaian pestisida yang dianjurkan (Tabel
2). Dalam penggunaan pestisida sebagian besar petani
tidak membaca aturan pakai yang tertera dalam
kemasan pestisida. Pengukuran dosis pestisida yang
dipakai petani adalah dengan menggunakan tutup
botol pestisida atau menggunakan takaran sendok
makan. Pencampuran pestisida yang dilakukan yaitu
> 40 ml (> 4 tutup kemasan ukuran 10 ml) dan > 40
gram (> 4 sendok makan) untuk tanki ukuran 17
liter serta > 30 ml (> 3 tutup kemasan ukuran 10
ml) dan > 30 gram (> 3 sendok makan) untuk tanki
ukuran 14 liter. Hal ini tidak sesuai dosis
berdasarkan kriteria dosis dan ukuran tanki. Apabila
pestisida tersebut tidak dapat membunuh hama,
maka petani akan meningkatkan dosis
pemakaiannya. Pada saat menjelang panen dosis yang
dipakai bisa meningkat 2 kali dari dosis pemakaian
biasanya.
Petani di Kecamatan Baturiti melakukan
penyemprotan pestisida tidak sesuai dengan anjuran
dari Dinas Pertanian yang menganjurkan
penyemprotan dilakukan hanya menggunakan satu
jenis bahan pestisida. Petani di daerah ini
melaksanakan penyemprotan dengan mencampur
insektisida, fungisida, pupuk dan bahan perekat pada
saat penyemprotan dengan alasan untuk menghemat
waktu dan tenaga. Frekuensi penyemprotan
pestisida oleh petani pada tanaman cabai di
Kecamatan Baturiti dalam 1 musim tanam 90 % lebih
dari 12 kali dan sisanya 10 % dalam rentangan
frekuensi 10-12 kali. Penyemprotan dilakukan pada
saat tanaman cabai berumur 1 minggu sampai
dengan cabai siap panen. Waktu awal penanaman
cabai sampai dengan siap panen rata-rata 105 hari.
Frekuensi penyemprotan yang dilakukan berbeda-
beda, pada saat musim hujan penyemprotan pestisida
dilakukan lebih intensif yaitu 2 sampai 3 hari sekali
karena lebih rentan akan serangan hama dan
penyakit. Sedangkan pada musim kemarau
penyemprotan pestisida dilakukan 7 hari sekali.
Penyemprotan pestisida dilakukan pada pagi atau
sore hari. Interval penyemprotan yang pendek tentu
saja tidak efisien dan dapat menimbulkan dampak
negatif dari residu yang ditimbulkannya.
Tabel 2. Dosis dan Frekuensi Penggunaan Pestisida Oleh Petani Cabai
Merah di Kecamatan Baturiti Tabanan
No Dosis dan Frekuensi Penggunaan Pestisida Jumlah (%)
1 Dosis yang digunakan melebihi atau kurang dari dosis
yang dianjurkan
A. Lebih dari dosis yang dianjurkan 100
B. Kurang dari dosis yang dianjurkan 0
2 Frekuensi penyemprotan pestisida pada tanaman
dalam 1 musim tanam
A. 5-10 kali 0
B. 10-12 kali 10
C. Lebih dari 12 kali 90
3 Waktu penyemprotan pestisida terakhir sebelum panen
A. 1-2 hari menjelang panen 20
B. 3-7 hari menjelang panen 80
C. Lebih dari 1 minggu menjelang panen 0
Waktu penyemprotan pestisida terakhir yang
dilakukan sebelum panen menunjukkan hasil 80 %
dilakukan pada 3 sampai 7 hari menjelang panen
dan sisanya 20 % 1 sampai 2 hari menjelang panen.
Rekomendasi penyemprotan terakhir insektisida
berbahan aktif klorpirifos minimal 15 hari sebelum
panen (Amoako, 2012), sementara aplikasi terakhir
profenofos yang dianjurkan 14 hari sebelum panen
(Irie, 2007). Secara teori makin lama waktu aplikasi
insektisida golongan organofosfat sebelum panen
maka kadar residunya juga semakin rendah, hal
tersebut mencerminkan lebih besarnya proses
degradasi residu yang terjadi pada buah cabai akibat
pengaruh suhu dan cahaya matahari yang lebih
tinggi. Insektisida golongan organofosfat tidak tahan
terhadap suhu tinggi dan cahaya matahari,
khususnya spektrum ultraviolet (Syahbirin et al.,
2001). Penelitian Triani (2005), juga melaporkan
bahwa semakin dekat waktu antara penyemprotan
terakhir dengan waktu panen, semakin banyak residu
insektisida yang ada.
3.2 Residu Pestisida Golongan Organofosfat
Pada Buah Cabai Merah dengan Perlakuan
Lama Penyimpanan
Hasil analisis residu pestisida golongan
organofosfat jenis profenofos dan klorpirifos dengan
perlakuan lama penyimpanan pada buah cabai
merah menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata.
Hasil analisis residu disajikan pada Tabel 3.
Kandungan residu profenofos dan klorpirifos pada
cabai merah menunjukkan adanya trend
berdasarkan perlakuan lama penyimpanan pestisida
yang diuji cobakan. Rata-rata residu profenofos yang
terdeteksi yaitu 1,20 mg/kg sampai 2,70 mg/kg
sedangkan rata-rata residu klorpirifos yang terdeteksi
37
yaitu 0,0021 mg/kg sampai 0,0039 mg/kg. Kurva
kadar residu profenofos dan klorpirifos disajikan pada
gambar 2 dan 3.
Tabel 3. Hasil Analisis Residu Profenofos dan Klorpirifos
Jenis Perlakuan
Pestisida
Hari ke-0 Hari ke-1 Hari ke-3
(Panen) (Penyimpanan (Penyimpanan
1 hari) 3 hari)
Profenofos 1,20 a 2,70 a 1,37 a
Klorpirifos 0,0027 a 0,0039 a 0,0021 a
Keterangan: Nilai rata-rata yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom
yang sama, menunjukkan pengaruh yang tidak berbeda
nyata pada uji Duncan.
Gambar 1. Kurva Residu Profenofos Buah Cabai Merah
CO: Residu lama penyimpanan 0 hari; C1: Residu lama penyimpanan
1 hari; C3: Residu lama penyimpanan 3 hari
Gambar 2. Kurva Residu Klorpirifos Cabai Merah
CO: Residu lama penyimpanan 0 hari; C1: Residu lama penyimpanan
1 hari; C3: Residu lama penyimpanan 3 hari
Hasil residu profenofos lebih tinggi dari residu
klorpirifos disebabkan oleh penggunaan insektisida
dengan bahan aktif klorfirifos di Desa Apuan masih
lebih rendah penggunaan dosisnya dibandingkan
dengan penggunaan insektisida dengan bahan aktif
profenofos. Residu pestisida profenofos terdeteksi lebih
tinggi juga disebabkan karena tekanan uap
profenofos sebesar 1,87 x 10 -5 Pa bersifat tidak volatil,
sehingga bahan aktifnya cenderung untuk terdeposit
dipermukaan bahan (Suardiana, 2014).
Gambar kurva 2 dan 3 menunjukkan kadar
residu rata-rata profenofos pada hari ke-0 yang
terdeteksi yaitu 1,20 mg/kg, setelah disimpan 1 hari
rata-rata residu meningkat menjadi 2,70 mg/kg dan
setelah disimpan kembali selama 3 hari rata-rata
residu turun menjadi 1,37 mg/kg. Sedangkan kadar
residu rata-rata klorpirifos pada hari ke-0 yaitu 0,0027
mg/kg, setelah disimpan selama 1 hari rata-rata
residu naik menjadi 0,0039 mg/kg dan disimpan
selama 3 hari rata-rata residu menurun menjadi
0,0021 mg/kg.
Kandungan residu profenofos dan klorpirifos pada
hari ke-0 lebih rendah dari perlakuan penyimpanan
selama 1 hari disebabkan karena pada saat hari ke-
0 kadar air yang terkandung dalam sampel cabai
merah cenderung tinggi dalam kondisi sampel masih
segar. Pada kondisi kadar air tinggi residu menurun
karena sebagian besar residu berikatan dengan air
membentuk persenyawaan.
Setelah disimpan selama 1 hari didalam karung
berongga (perlakuan sama dengan penyimpanan yang
dilakukan petani/pedagang) residu profenofos dan
klorpirifos meningkat karena kadar airnya menurun
dan berat tanaman cabai mengalami penyusutan,
inilah yang menyebabkan residu pestisida
terkonsentrasi sehingga terjadi peningkatan kadar
residu.
Pada perlakuan penyimpanan sampel cabai
selama 3 hari, residu profenofos dan klorpirifos rata-
rata menurun dari perlakuan penyimpanan selama
1 hari. Penelitian (Chairul et al, 2007) menyebutkan
bahwa penyimpanan cabai merah pada suhu 5oC
selama 7 hari dapat menurunkan kandungan residu
insektisida. Hal ini disebabkan karena senyawa
profenofos dan klorpirifos mempunyai waktu paruh
yang relatif singkat sehingga dengan dilakukannya
penyimpanan selama 3 hari sudah mampu
menurunkan kandungan residu pestisida pada buah
cabai. Penurunan residu juga disebabkan karena
pestisida golongan organofosfat mudah terdegradasi
dan mudah menguap. Degradasi untuk semua jenis
pestisida rata-rata >80 % dalam 10 hari setelah
aplikasi (Zhang et al, 2007).
Atmawidjaja (2004) juga menyebutkan pestisida
golongan organofosfat adalah pestisida yang tidak
memerlukan waktu lama untuk mengalami
penguapan. Pestisida yang menguap ke udara akan
terurai karena pengaruh suhu, kelembaban dan sinar
matahari khususnya sinar ultra violet. Penguraian
bahan pestisida tersebut tidak terjadi seketika itu
juga, melainkan sedikit demi sedikit. Perubahan
kimia yang terjadi pada residu organofosfat juga dapat
dipengaruhi oleh faktor panas, kelembaban, radiasi,
Residu Pestisida Golongan Organofosfat Komoditas Buah Cabai Merah (Capsicum annuum L.) pada Berbagai Lama ..... [IGA Surya Utami Dewi, dkk.]
38
ECOTROPHIC • VOLUME 11 NOMOR 1 TAHUN 2017 p-ISSN: 1907-5626, e-ISSN: 2503-3395
enzim dari tanaman atau mikroorganisme tanaman.
Pestisida golongan organofosfat umumnya mudah
terurai oleh faktor–faktor tersebut karena itu residu
yang terdeteksi rendah atau tidak terdapat sebagai
residu dalam tanaman (Spear, 1991).
Kandungan residu profenofos dan klorpirifos
masih dibawah Batas Maksimum Residu (BMR)
pestisida dengan ketentuan BMR profenofos pada
cabai merah yaitu 5 mg/kg dan klorpirifos yaitu 0,5
mg/kg. Kandungan residu pestisida organofosfat yang
rendah pada buah cabai disebabkan oleh faktor curah
hujan rata-rata daerah penelitian serta faktor
karakteristik buah cabai merah.
Pada daerah penelitian pengambilan sampel di
Desa Apuan, Kecamatan Baturiti, Kabupaten
Tabanan memiliki curah hujan rata-rata mencapai
1800 mm/tahun yang tergolong sangat tinggi.
Pestisida organofosfat larut dalam air sehingga
mudah hilang dalam pencucian (Alegantina et al.,
2005). Klorpirifos hanya melekat pada permukaan
daun maupun buah sehingga kemungkinan terbasuh
air hujan sangat tinggi. Hal ini dijelaskan pula pada
hasil penelitian Zhang et al (2007) menunjukkan
bahwa hujan merupakan penyebab utama hilangnya
pestisida. Sejalan dengan hal tersebut Srikandi (2010)
menjelaskan bahwa residu permukaan dapat
menghilang karena pembilasan dan hidrolisis. Dalam
waktu 1-2 jam setelah tanaman diperlakukan dengan
pestisida kemungkinan besar 40 % deposit telah
hilang karena pencucian jika terjadi hujan, sisanya
terurai oleh sinar ultra violet. Faktor lain yang
menyebabkan residu yang terdeteksi masih dibawah
BMR yaitu karena karakteristik tanaman yang
permukaannya mempunyai malam (wax), sukar
dibasahi, sehingga absorpsinya lebih sukar dan
deposit pestisidanya sedikit. Cabai merah
mempunyai permukaan licin, pestisida yang
menempel pada kulit buah lebih sukar terabsorpsi
sehingga deposit pestisida sedikit (Amvrazi, 2011).
Walaupun hasil residu pestisida dalam buah
cabai merah masih berada dibawah BMR, tidak
menutup kemungkinan seseorang untuk mengalami
gangguan kesehatan jika terpapar terus menerus.
Organofosfat memiliki waktu paruh di dalam tubuh
selama 10-12 hari, yang kemudian akan diekresikan
lewat urine (Marbun et al., 2015). Residu insektisida
organofosfat yang terdapat pada sayuran masuk
kedalam tubuh manusia melalui mulut, maka dapat
memberikan pengaruh terhadap kesehatan manusia.
Dampak terhadap konsumen umumnya berbentuk
keracunan kronis yang tidak langsung dirasakan.
Namun, dalam waktu lama bisa menimbulkan
gangguan. Gejala keracunan ini baru kelihatan
setelah beberapa bulan atau tahun kemudian
(Djojosumarto, 2008).
4. SIMPULAN DAN SARAN
4.1 Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan
dapat disimpulkan beberapa hal yaitu:
1. Pestisida dominan yang digunakan petani cabai
merah di Kecamatan Baturiti Tabanan adalah
insektisida golongan organofosfat dengan jenis
profenofos (curacron) 60 % dan klorpirifos
(kaliandra) 20 %. Dosis dan frekuensi
penggunaan pestisida yang digunakan petani
cabai merah di Kecamatan, Baturiti, Tabanan
tidak sesuai dengan aturan/ketentuan
pemakaian pestisida.
2. Tidak ada perbedaan yang nyata dari kandungan
residu pestisida golongan organofosfat pada
komoditas buah cabai merah di Desa Apuan,
Baturiti Tabanan yang disimpan selama 3 hari.
4.2 Saran
Adapun saran yang diajukan dalam penyususan
tesis ini yaitu sebagai berikut.
1. Perlu dilakukan kegiatan penyuluhan dan
monitoring dari pemerintah kepada petani
mengenai penggunaan pestisida yang bijaksana
sesuai dengan anjuran/aturan.
2. Perlu dilakukan pengamatan pada parameter
kadar air, suhu, kelembaban dalam penelitian
pengaruh residu pestisida terhadap lama
penyimpanan untuk mendapatkan data
penelitian yang lebih akurat.
3. Perlu dilakukan penelitian lanjutan mengenai
residu pestisida golongan organofosfat dengan
perlakuan rentangan lama penyimpanan lebih
panjang untuk melihat pengaruhnya terhadap
kandungan residu pestisida.
4. Perlu dilakukan penelitian residu pestisida bahan
aktif lain selain organofosfat untuk melihat jenis
residu pestisida dominan yang terdeteksi di
lapangan.
5. Perlu adanya penelitian-penelitian mengenai
bahan alam/tanaman yang dapat dipakai mende-
gradasi pengaruh residu pestisida terhadap
lingkungan sehingga pencemaran lingkungan
akibat residu pestisida dapat dikurangi.
6. Perlu dilakukan penelitian-penelitian mengenai
biopestisida sehingga dapat digunakan sebagai
alternatif pestisida ramah lingkungan pengganti
pestisida kimia.
DAFTAR PUSTAKA
Afriyanto. 2008. “Kajian Keracunan Pestisida Pada
Petani Penyemprot Cabe di Desa Candi
Kecamatan Bandungan Kabupaten Semarang”
(tesis).Semarang: Universitas Diponegoro.
39
Alegantina, S., Raini, M., Lastri. 2005. Penelitian
Kandungan Organofosfat Dalam Tomat dan
Selada yang Beredar di Beberapa Jenis Pasar
di DKI Jakarta. Media Litbang Kesehatan
Volume XV Nomor I.
Amoako P.K.,Kumah P. and Appiah F. 2010.
Pesticides Usage In Cabbage (Brassica olearacea)
Cultivation In The Ejisu-Juaben Municipality Of
The Ashanti Region Of Ghana. International
Journal Of Research And Chemistry And
Environment. Vol 2 Issue 3 July 2012 (26-31).
Amvrazi, EG. 2011. The Impacts Of Pesticides
Exposure. M. Stoytcheva (Ed). Fate Of Pesticide
Residues on Raw Agricultural Crops after
Postharvest Storage and Food Processing to
Edible Portions, Pesticides-Formulations, Effects,
Fate.576-588. Rijeka: Intech.
Atmawidjaja., Tjahjono., Rudyanto. 2004. Pengaruh
Perlakuan Terhadap Kadar Residu Pestisida
Metidation Pada Tomat. [cited 5 Maret 2015].
Available from: URL: http://acta.fa.itb.ac.id.
BPS Provinsi Bali. 2013. Bali Dalam Angka 2013.
Denpasar: Badan Pusat Statistik Provinsi Bali
Chairul, S. M. dan . N. Kuswadi. 2007. Penurunan
Kandungan Residu Insektisida Dimetoat dalam
Cabai Merah (Capsicum annum L.) Akibat
Iradiasi Gamma. JFN 1(1):23-30.
Djojosumarto, P. 2008. Teknik Aplikasi Pestisida
Pertanian. Yogyakarta: Kansius.
Djunaedy, A. 2009. Biopestisida Sebagai Pengendali
Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) Yang
Ramah Lingkungan. Embryo Vol 6 No 1. ISSN
0216-0188.
IPCS, 1996. Pesticide residues in food—1991: Joint
FAO/WHO Meeting on Pesticide Residues
Evaluations 1991. Part II. Toxicology. Geneva:
World Health Organization.
Irie, M. 2007. Pesticide Residues in Food. Report of
the JMPR 2007, FAO Plant Production and
Protection Paper, 191, pp 210. pages 1357,144.
Marbun, Lulu Hotdina.,Nurmaini.,Taufik Ashar.
2015. Analisis Kadar Residu Pestisida
Organofosfat Pada Sayuran Serta Tingkat
Perilaku Konsumen Terhadap Sayuran yang
Beredar di Pasar Tradisional Pringgan
Kecamatan Medan Baru Tahun 2015. Medan:
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas
Sumatera Utara.
Soemirat. 2003. Analisis Residu Pestisida Pada
Sayuran. Jurnal Pertanian Vol 45 (1), 10-14.
Spear, Robert. 1991. Recognized and Posible exposure
to Pesticides dalam Handbook of Pesticide
Toxicology, vol. I, 245- 255.
Srikandi. 2010. “Hubungan Antara Tingkat Residu
Pestisida dan Komunitas Biota Tanah pada
Lahan Padi Sawah”(tesis). Bogor: Institut
Teknologi Bogor.
Suardiana, P. P. 2014. “Analisis Residu Pestisida
Organofosfat Dalam Sayuran Dari Daerah
Pertanian Kintamani Bangli”(tesis). Denpasar:
Universitas Udayana.
Syahbirin, G., Purnama, H., Prijono, D. 2001. Residu
Pestisida pada Tiga Jenis Buah Impor. Buletin
Kimia (2001) 1, 113-118. [cited 1 April 2016].
Available from: URL:http://repository.ipb.ac.id/
b i t s t r e a m / h a n d l e / 1 2 3 4 5 6 7 8 9 / 9 7 9 0 /
Gustini_Syahbirin%20_Residu_pestisida.pdf?sequence=1.
Triani, I, G, A, L. 2005. “Residu Insektisida Sidazinon
pada Kacang Panjang (Vigna sinensis) yang
Dihasilkan di Kabupaten Tabanan” (Tesis).
Denpasar: Program Magister Ilmu Lingkungan
Universitas Udayana.
Yusniwati. 2008. Studi Regenerasi Beberapa Genotipe
Cabai (Capsicum annum L.) untuk Rekayasa
Genetika. Padang: Direktorat Jenderal
Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan
Nasional, Pp 4-5.Vol 20.
Zhang, Z.Y.,Liu, X., Yu, X.,Zhang, C., Hong, X. 2007.
Pesticide Residue In Spring Cabbage (Brassica
Oleacea L.Var.Capitata) Grown In Open Field.
Food Conf. 18 (6): 723-730.
Zulkarnain, I. 2010. Aplikasi Pestisida dan Analisa
Residu Pestisida Golongan Organofosfat pada
Beras di Kecamatan Portibi Kabupaten Padang
Lawas Utara. (Serial Online). [cited 10 Maret
2015]. Available from: URL:http://
repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/16894/
5/Chapter%20I.pdf.
Residu Pestisida Golongan Organofosfat Komoditas Buah Cabai Merah (Capsicum annuum L.) pada Berbagai Lama ..... [IGA Surya Utami Dewi, dkk.]
40
ECOTROPHIC • VOLUME 11 NOMOR 1 TAHUN 2017 p-ISSN: 1907-5626, e-ISSN: 2503-3395
BIODEGRADASI ZAT WARNA REMAZOL BLACK B
SECARA AEROBIK- ANAEROBIK DALAM SISTEM BIOFILTRASI VERTIKAL
DENGAN MENGGUNAKAN TANAMAN TALAS (Colocasia esculenta)
Febby Hartesa W1*), I Wayan Budiarsa Suyasa1), I Nengah Simpen1)
1) Jurusan Kimia FMIPA Universitas Udayana, Bukit Jimbaran, Bali* Email : [email protected]
ABSTRACT
The research was conducted to decrease concentration of remazol black b on vertical biosystem of Colocasia
esculenta plant with and without addition of activated suspension as variable. The activated suspension was
collected from many sources such as sediment of Badung river, Serangan river, Soputan river and dying
waste treatment. The aims of this research are: 1) to determine the best activated suspension from seeding
sample from some ecosystems, 2) to determine optimal time of vertical biosystem plant to decrease concentration
of remazol black b, 3) to know effectivity and capacity of vertical biosystem plant to decrease concentration of
remazol black b, TDS and TSS. The results of research show that best activated suspension was provided
from sample Serangan river sediment, optimal time to decrease concentration of remazol black b with and
without addition of activated suspension is 60 hours and 96 hours. The effectivity system with addition
activated suspension to decrease concentration of remazol black b is 97,82% and capacity is 2,7963 ppm/
m3hours. The effectivity system with addition activated suspension to decrease concentration of TDS is
83,93% and capacity is 14,44 ppm/m3hours. The effectivity on system with addition activated suspension to
decrease concentration of TSS 89,75% and capacity is 9,1568 ppm/m3. The effectivity on system without
addition activated suspension to decrease concentration of remazol black b is 89,35% and capacity is 2,5543
ppm/m3hours. The effectivity on system without addition activated suspension to decrease concentration of
TDS is 65,71% and capacity is 11,31 ppm/m3hours. The effectivity on system without addition activated
suspension to decrease concentration of TSS is 72,29% and capacity is 7,3746 ppm/m3 hours.
Keywords : activated suspension; biosystem; Colocasia esculenta; remazol black b.
1. PENDAHULUAN
Industri tekstil merupakan salah satu industri
yang tengah berkembang di Indonesia, hal ini dapat
dilihat dari banyaknya keberadaan industri-industri
tekstil baik dalam skala besar maupun skala kecil.
Keberadaan industri tekstil semakin meningkat
seiring dengan meningkatnya kebutuhan akan
pakaian. Sebagai salah satu industri yang tengah
berkembang di Indonesia saat ini, industri tekstil
menghasilkan air limbah berwarna. Perkembangan
industri tekstil terus meningkat tidak sebanding
dengan pengolahan air limbah yang dihasilkan.
Kebanyakan air limbah yang mengandung zat warna
dibuang begitu saja ke lingkungan tanpa ada
pengolahan terlebih dahulu (Daneshvar et al, 2007).
Zat warna azo paling sering digunakan pada
industri tekstil karena dapat terikat kuat pada kain,
sehingga tidak mudah luntur dan memberikan
warna yang baik. Selain itu, zat warna azo mudah
ditemukan dan memiliki variasi warna yang lebih
banyak dibandingkan pewarna alami (Pandey et al.,
2007). Zat warna azo disintesis untuk tidak mudah
rusak oleh perlakuan kimia maupun fotokatalitik,
sehingga apabila dibuang ke dalam perairan akan
merusak estetika perairan tersebut serta meracuni
biota air. Hal ini disebabkan berkurangnya oksigen
yang dihasilkan dari proses fotosintesis akibat
terhalangnya sinar matahari yang masuk ke dalam
badan air (Zee, 2002). Untuk itu, sebelum dibuang
ke lingkungan limbah zat berwarna tersebut harus
diolah terlebih dahulu untuk menghilangkan atau
menurunkan kadar bahan pencemar yang
terkandung didalamnya sehingga limbah cair aman
untuk dibuang ke badan air atau lingkungan (sesuai
dengan baku mutu yang ditetapkan).
Dalam hal penanganan pencemaran limbah yang
ditimbulkan dari industri pencelupan tekstil dapat
dilakukan pengolahan terhadap air limbah berwarna
baik secara kimia, fisika, biologi maupun gabungan
dari ketiganya. Pengolahan limbah tekstil secara
kimia dan fisika cukup efektif untuk menghilangkan
warna, namun memiliki kelemahan yaitu biaya
operasional relatif mahal. Pengolahan air limbah
yang mengandung berbagai bahan organik dan
anorganik haruslah efisien, tidak memerlukan lahan
yang luas, ekonomis, serta tidak menimbulkan
polutan baru yang dapat mencemari lingkungan.
Suatu sistem pengolahan limbah yang efektif harus
mampu menurunkan kadar bahan-bahan pencemar
dalam air limbah hingga memenuhi ketentuan yang
berlaku. Pengolahan secara biologis adalah
ECOTROPHIC • 11 (1) : 40 - 46 p-ISSN: 1907-5626, e-ISSN: 2503-3395
41
pengolahan limbah yang efektif, murah dan ramah
lingkungan. Pengolahan air limbah secara biologis
terutama diarahkan untuk mengolah bahan organik
terlarut dari air limbah, dilakukan dengan cara
anaerob, aerob atau dengan gabungan cara anaerob-
aerob (Budiyono dan Sunarso, 2007).
Biofiltrasi merupakan salah satu proses
pengolahan limbah secara biologis yang pada
prinsipnya melibatkan mikroba (bakteri pengurai)
sebagai media penghancur bahan-bahan pencemar.
Proses perombakan zat warna azo oleh bakteri pada
dasarnya merupakan reaksi redoks yang dikatalisis
oleh enzim. Koenzim nikotinamida adenin
dinukleotida (NAD+) yang dibebaskan pada proses
glikolisis glukosa dengan bantuan enzim
dehidrogenase berperan sebagai pembawa elektron
dan terlibat dalam reaksi enzimatik. Pada kondisi
tidak ada oksigen, NADH mengalami reaksi oksidasi
menghasilkan NAD+ sedangkan zat warna azo
mengalami reaksi reduksi menghasilkan amina-
amina aromatik yang bersesuaian. Putusnya ikatan
azo pada zat warna azo menyebabkan warna menjadi
hilang. Pada kondisi anaerob degradasi zat warna
tekstil menggunakan bakteri lebih cepat
dibandingkan dengan kondisi aerob, namun
kelemahannya yaitu menghasilkan amina aromatik
yang bersifat lebih toksik dibandingkan dengan zat
warna azo itu sendiri. Hasil uji toksisitas
menunjukkan degradasi limbah tekstil pada kondisi
anaerob lebih toksik dibandingkan dengan limbah
awal (Sastrawidana, 2012). Untuk itu perlu
dilanjutkan pengolahan pada tahap anaerob untuk
mengubah senyawa organik menjadi CO2, H
2O, NH
3.
Hasil penelitian Purnamawati (2015)
menyatakan bahwa, pengolahan limbah rhodamin b
dalam biofiltrasi sistem tanaman mampu
menurunkan kadar rhodamin b, TDS dan TSS
berturut-turut sebesar 51,07%, 47,60%, 50,44%.
Wibowo dan Komarawidjaja (2012) dalam
penelitiannya menggunakan tanaman talas mampu
mereduksi kandungan bahan pencemar dalam air
terutama Nitrogen (N), karbon (C), dan fosfat (PO4
3-
), sehingga talas dapat dimanfaatkan untuk
mereduksi suatu pencemar organik.Tanaman
merupakan makhluk hidup yang memerlukan
unsur-unsur hara yang esensial bagi
pertumbuhannya. Tanaman mampu menyerap zat-
zat yang terkandung dalam air limbah, seperti nitrit,
nitrat, amonium, dan sulfur dalam bentuk sulfat
(Lakitan, 2007). Oleh karena itu, pada penelitian ini
dilakukan penurunan kadar zat warna remazol black
b secara aerobik-anaerobik dalam sistem biofiltrasi
vertikal dengan menggunakan tanaman talas.
Teknik biofilter memiliki beberapa keunggulan
diantaranya pengoperasiannya mudah, lumpur yang
dihasilkan sedikit, tingkat efisiensinya tinggi, serta
dapat menghilangkan padatan tersuspensi dengan
baik. Pengolahan ini diawali dengan cara melakukan
pembibitan untuk memilih suspensi aktif terbaik
yang nantinya akan ditambahkan kedalam sistem
pengolahan. Adapun sumber suspensi aktif yang
digunakan diambil dari beberapa tempat berbeda
yaitu, sedimen Sungai Badung, sedimen Sungai yang
berlokasi di Pulau Serangan, sedimen Sungai Soputan
dan lumpur hasil pengolahan limbah tekstil.
Parameter pendukung dalam penelitian ini adalah
TSS dan TSS, pemilihan kedua parameter tersebut
adalah untuk mengetahui kemampuan sistem
biofiltrasi vertikal tanaman dalam mengurangi
padatan total serta benda padat terlarut yang
terkandung setelah pengolahan. Sistem pengolahan
ini diharapkan dapat melakukan proses pengolahan
dalam menurunkan kadar remazol black b, serta
penyisihan bahan organik terlarut dan tersuspensi
dalam limbah zat warna remazol black b.
2. METODOLOGI
2.1 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di Laboratorium Penelitian
Jurusan Kimia FMIPA Unud Laboratorium Bersama
FMIPA Unud di Kampus Bukit Jimbaran. Waktu
penelitian selama 3 bulan dari bulan maret- mei.
2.2 Alat dan Bahan Penelitian
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian
ini adalah: zat warma tekstil buatan (remazol black
b teknis), tanaman (Colocasia esculenta), sampel
tanah dari beberapa ekosistem, glukosa, K2HPO
4,
KH2PO
4, (NH
4)
2[Fe(SO
4)
2].6H
2O, MgSO
4, FeSO
4,
K2Cr
2O
4 berasal dari Merck, ekstrak ragi dari Haan,
Aqua DM dari Brataco Chemika. Alat-alat yang
diperluan dalam penelitian ini antara lain :
aluminium foil, kain kasa, kertas saring Whatman
42 dari Ajax Chemical, erlenmeyer Pyrex, gelas ukur
Approx, bola hisap, pipet tetes, pipet volume dari
Socorex, tanur, gelas beker Pyrex, aerator 6 buah,
spektrofotometer UV-VIS 1800 Shimadzu, oven dari
Memmert, desikator, labu ukur Approx, kulkas,
autoklaf All American 75x, timbangan Ohaus Galaxy
400, neraca analitik Pioneer.
Unit pengolahan biofiltrasi tanaman vertikal
dibuat dari pipa paralon berukuran diameter 12 cm
dan panjang 90 cm. Pipa diposisikan dalam keadaan
vertikal, bagian dalam pipa diisi dengan batu koral
setinggi 60 cm dari dasar permukaan pipa dan
diatasnya ditambahkan pasir setinggi 22 cm sebagai
media tumbuhnya tanaman. Di dalam pipa paralon
tersebut ditanam 1 buah Colocasia esculenta yang
memiliki daun 3 lembar dengan posisi tegak. Pada
bagian bawah pipa dibuat kran setinggi 15 cm dari
dasar pemukaan pipa untuk mengalirkan efluen air
limbah yang sudah memasuki keadaan aerobik –
anaerobik. Sistem biofilter tanaman vertikal
Biodegradasi Zat Warna Remazol Black B Secara Aerobik-Anaerobik Dalam Sistem Biofiltrasi Vertikal dengan ..... [Febby Hartesa W., dkk.]
42
ECOTROPHIC • VOLUME 11 NOMOR 1 TAHUN 2017 p-ISSN: 1907-5626, e-ISSN: 2503-3395
Gambar 1. Sistem Biofilter Vertikal Tanaman
2.3 Prosedur Penelitian
2.3.1 Sampling Sedimen
Sedimen lumpur tercemar diambil
menggunakan sekop dengan kedalaman 10 - 20 cm
dari permukaan dasar sebanyak 100 gram. Masing-
masing lumpur diambil dengan menentukan tiga titik
sesuai arah mata angin yaitu pada bagian utara,
selatan dan barat sungai maupun bak pembuangan
limbah dengan asumsi dapat mewakili satu tempat,
lalu diletakkan sementara pada kantong plastik klip
dan disimpan pada cooler box.
2.3.2 Pembibitan (Seeding)
Pembibitan suspensi aktif dilakukan dengan
mengambil 0,5 gram sedimen lumpur dari masing-
masing ekosistem kemudian tiap sedimen dimasukan
kedalam gelas beaker yang berisi media cair sebanyak
500 mL. Media pada masing-masing gelas beaker
diaerasi dengan menggunakan aerator yang diberi
selang yang diletakan didasar gelas beaker. Gelas
beaker ditutup dengan kain kasa dan diikat dengan
karet lalu didiamkan selama 48 jam. Pada jam ke 6,
12, 28 dan 48 aerator dimatikan dan didiamkan
beberapa saat selama 10-15 menit untuk mengetahui
perkembangan isolat bakteri dengan mengukur nilai
VSS (Volatile Suspended Solid).
2.3.3 Pengolahan limbah sistem biofilter
vertikal tanaman secara aerobik –
anaerobik
Dua buah paralon disiapkan sebagai sistem
biofiltrasi vertikal tanaman. Pipa pertama dan kedua
diisi media koral, pasir serta tanaman talas yangtumbuh sehat dan baik. Pada pipa pertamadimasukkan sejumlah air limbah yang mengandungremazol black b konsentrasi 46,517 ppm sampaisistem biofilter basah oleh air limbah. Pada pipakedua, sebelum dialirkan zat warna remazol black bkonsentrasi 46,517 ppm, ditambahkan terlebihdahulu sumber bibit terbaik kemudian sumber bibitdiadaptasikan selama 12 jam pada sistem biofilter.Setelah itu sumber bibit dialirkan keluar melaluikran. Sejumlah air limbah remazol black b sebanyak3,6 L dimasukkan kedalam sistem biofilter hinggasistem basah oleh air limbah. Proses pengolahanremazol black b pada sistem biofiltrasi vertikaldilakukan selama 96 jam. Setiap selang waktu 4 jampengolahan, dilakukan pengambilan sampel airuntuk analisis penurunan konsentrasi remazol blackb dengan memplot grafik antara waktu pengolahandan penurunan konsentrasi. Kurva yang mengalamipenurunan konstan dianggap sebagai kadar akhirserta dapat ditentukan waktu optimal terhadappenurunan kadar remazol black b berdasarkan bakumutu air limbah domestik. Pengamatan sampel airjuga dilakukan dengan mengukur kadar TotalDissolved Solid (TDS), dan kadar Total SuspendedSolid (TSS). Dari pengukuran kadar remazol blackb dilakukan perhitungan mengenai tingkatefektivitas dan kapasitas sistem biofiltrasi vertikaltanaman dalam menurunkan kadar remazolblack b, TDS dan TSS sesuai baku mutu yangditetapkan.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Hasil Suspensi Aktif Terbaik denganPembibitan Sampel Sedimen Sungai dariBeberapa EkosistemBerdasarkan hasil nilai VSS yang diperoleh pada
masing-masing suspensi aktif pada prosespembibitan, menunjukan bahwa suspensi aktif IIdengan komposisi lumpur yang berasal dari sedimenSungai Serangan merupakan suspensi aktif terbaik.Pemilihan suspensi aktif terbaik berdasarkan waktutercepat dalam memperoleh nilai VSS tertinggi,dimana pada waktu optimal pembibitan 12 jam nilaiVSS tertinggi ditunjukan pada suspensi aktif yangberasal dari sedimen lumpur Sungai Serangan.
Jika dilihat dari kurva pertumbuhan nilai VSSyang diperoleh suspensi aktif II pada jam ke 6 terjadipeningkatan yang sangat cepat terhadappertumbuhan biomassa. Hal ini kemungkinandisebabkan jumlah dan aktivitas mikroorganismeyang tinggi sehingga selama pembibitan terjadipertumbuhan yang cepat. Pada jam ke 12 terjadi fasestasioner dimana tidak terjadi pengingkatan maupunpenurunan terhadap pertumbuhan biomassa. Hal initerjadi karena nutrien yang dibutuhkan oleh bakteritelah berkurang. Pada jam ke 28 dan 48 terjadi fasekematian akibat nutrisi dalam media cair telah habissehingga terjadi penurunan kurva nilai VSS.
43
Kecepatan kurva kematian lebih lambatdibandingkan kurva penurunan biomassa.
Dibandingkan ketiga suspensi aktif lainnya,sedimen lumpur Sungai Serangan memiliki waktutercepat, yakni 12 jam untuk mencapai nilai VSStertinggi sebesar 1600 mg/L. Kondisi lingkungandisekitar tempat pengambilan sampel SungaiSerangan merupakan perairan tercemar yangmengandung limbah domestik dengan kadar organikyang tinggi dimana apabila suatu perairan tercemarmengandung bahan organik tinggi akan terciptasuasana yang sesuai bagi mikroba untukmenggunakan bahan organik tersebut dalam prosesmetabolismenya. Aktivitas mikroba yang semakintinggi dalam menguraikan bahan organik makasemakin tinggi pula biomassa yang dihasilkan(Mukono, 2000).
3.2 Waktu Optimal Perlakuan BiosistemVertikal Tanaman Terhadap PerubahanKadar Remazol Black BPada penelitian ditentukan waktu optimal
pengolahan dengan membandingkan hasilpenurunan kadar remazol black b setiap selang 4jam dengan baku mutu air limbah domestik yangsudah ditetapkan. Adapum kurva pengukuran kadarremazol black b selama 96 jam disajikan padaGambar 3 dan Gambar 4.
Pada sistem pengolahan dengan perlakuan tanpapenambahan suspensi aktif terlihat bahwa kurvakadar remazol black b mengalami laju penurunanyang pesat diawal perlakuan hingga jam ke 12,kemudian pada rentang waktu pengolahan jam ke12 hingga jam ke 36 laju penurunan masih terlihatpesat. Hal ini dikarenakan kebutuhan nutrien bagimikroorganisme masih mencukupi untukberkembang biak serta melaksanakan aktivitaspenguraian. Ketika memasuki waktu pengolahan jam
ke 36, terlihat laju kurva penurunan kadar remazolblack b mulai melambat hingga memasuki waktupengolahan jam ke 84. Hal ini terjadi karena kondisimikroorganisme mulai kehabisan sumber nutriendan tidak ada tambahan nutrien lagi sehinggamikroorganisme tidak bisa melakukan pertumbuhandan aktivitas penguraian akan semakin menurunkarena mikroorganisme sudah berada dalam kondisijenuh yang disebut dengan keadaan stationary phase.Jika waktu pengolahan dilanjutkan diatas 96 jammaka kemungkinan besar grafik yang dihasilkanakan cenderung stabil yang menunjukkan bahwamikroorganisme sudah tidak mampu lagimelakukan aktivitasnya dalam menguraikanremazol black b akibat kekurangan nutrien sehinggalama kelamaan akan mencapai endogenous phase,yaitu suatu kondisi dimana mikroorganismemengalami kematian dengan laju kematian tinggidan terjadi cell lysis. Selain itu, pada waktuperlakuan ke 96 jam kadar remazol black b telahberada dibawah baku mutu air limbah domestikdengan konsentrasi sebesar 4,9530 ppm, sehinggawaktu optimal yang diperlukan untuk menurunkankadar remazol black b hingga berada dibawah bakumutu adalah 96 jam.
Gambar 2. Kurva Pertumbuhan Biomassa Suspensi Aktif
Keterangan:
• Suspensi Aktif I = sedimen Sungai Badung
• Suspensi Aktif II = sedimen Sungai Serangan
• Suspensi Aktif III = sedimen Sungai Soputan
• Suspensi Aktif IV = lumpur limbah pencelupan tekstil
Gambar 3. Tanpa Penambahan Suspensi Aktif
Gambar 4. Penambahan Suspensi Aktif
Biodegradasi Zat Warna Remazol Black B Secara Aerobik-Anaerobik Dalam Sistem Biofiltrasi Vertikal dengan ..... [Febby Hartesa W., dkk.]
44
ECOTROPHIC • VOLUME 11 NOMOR 1 TAHUN 2017 p-ISSN: 1907-5626, e-ISSN: 2503-3395
Berdasarkan Gambar 4. pada sistem pengolahandengan penambahan suspensi aktif terlihat bahwalaju penurunan kadar remazol black b terjadi denganpesat diawal waktu pengolahan hingga jam ke 36.Hal ini kemungkinan disebabkan adanya sumbernutrien yang mencukupi pada selang waktupengolahan tersebut sehingga menyebabkan aktivitasmikroorganisme untuk menguraikan remazol blackb akan semakin pesat. Kurva laju penurunan kadarremazol black b mulai mengalami perlambatan padajam ke 48. Hal ini menunjukan bahwamikroorganisme sudah memasuki stationary phase.Pada jam ke 84 penurunan kurva kadar remazolblack b mulai stabil, dimana dalam keadaan initerjadi endogenous phase. Pada pengolahanpenambahan suspensi aktif kurva penurunan kadarzat warna lebih cepat stabil dibandingkan dengansistem pengolahan tanpa penambahan suspensi aktif.Hal ini dikarenakan pada sistem dengan penambahansuspensi aktif mendapat tambahan mikroorganismedari luar sehingga jumlah mikroorganisme yang adalebih banyak dalam menggunakan sumber nutirensebagai makanan dalam proses menguraikan zatwarna. Waktu optimal yang diperoleh dalammenurunkan kadar remazol black b sesuai bakumutu pada sistem pengolahan dengan penambahansuspensi aktif adalah 60 jam. Perbedaan pencapaianwaktu optimal ini disebabkan karena adanyapenambahan mikroorganisme dari luar pada pipa IIdengan perlakuan penambahan suspensi aktifsehingga jumlah mikroorganisme semakin banyak,maka kemampuan aktivitas mikroorganisme dalammemutuskan ikatan azo semakin meningkat danmampu menurunkan kadar zat warna dibawah baku
mutu yang ditetapkan sebelum mikoorganismeberada dalam kondisi stationary phase.
3.3 Efektifitas dan Kapasitas PengolahanBiosistem Vertikal Tanaman dalamMenurunkan Kadar Remazol Black B, TDSdan TSSEfektivitas dari pengolahan limbah remazol
black b secara biosistem vertikal tanaman dengandan tanpa penambahan suspensi aktif dalammenurunkan kadar remazol black b, nilai TDS danTSS berturut-turut disajikan dalam Gambar 5, Tabel1, dan Tabel 2.
Pada biosistem vertikal tanaman dengan
penambahan suspensi aktif dengan waktu optimal
selama 60 jam, diperoleh nilai efektivitas sebesar
Gambar 5. Grafik Efektivitas (%) Penurunan Kadar Remazol
Black B pada Pengolahan Biosistem Tanaman
Tabel 1. Efektivitas (%) Penurunan Nilai TDS pada Pengolahan Biosistem VertikalTanaman
Waktu TDS rata-rata dengan Efektivitas (%) TDS rata-rata Efektivitas (%)perlakuan (jam) penambahan suspensi penambahan penambahan mikroorga- tanpa penambahan
aktif (mg/L) suspensi aktif nisme (mg/L) suspensi aktif
0 280 0 280 024 241 13,93 256 8,5748 196 30 208 25,7172 112 60 174 37,8596 45 83,93 96 65,71
Keterangan : Nilai TDS maksimum yang dibolehkan berdasarkan Baku Mutu Air Limbah Industri Tekstil ( Peraturan Menteri Lingkungan Hidup RepublikIndonesia Nomor 5 Tahun 2014) : 50 mg/L.
Tabel 2. Efektivitas (%) Penurunan Nilai TSS pada Pengolahan Biosistem Vertikal Tanaman
Waktu TSS rata-rata dengan Efektivitas (%) TSS rata-rata dengan Efektivitas (%)perlakuan (jam) penambahan suspensi penambahan penambahan miroor- tanpa penambahan
aktif (mg/L) suspensi aktif ganisme (mg/L) suspensi aktif
0 166 0 166 024 132 20,48 156 6,0248 98 40,96 117 29,5272 66 60,24 84 49,3996 17 89,75 46 72,29
Keterangan : Nilai TSS maksimum yang dibolehkan berdasarkan Baku Mutu Air Limbah Industri Tekstil ( Peraturan Menteri Lingkungan Hidup RepublikIndonesia Nomor 5 Tahun 2014) : 50 mg/L
45
90,36%, sedangkan biosistem vertikal tanpa
penambahan suspensi aktif dengan waktu optimal
selama 96 jam, diperoleh nilai efektivitas sebesar
89,35%. Untuk nilai TDS, efektivitas ditentukan
berdasarkan penurunan terbaik karena nilai TDS
diawal perlakuan untuk sistem baik dengan dan
tanpa penambahan suspensi aktif sudah berada
dibawah baku mutu air limbah domestik. Untuk
biosistem vertikal tanaman dengan penambahan
suspensi aktif pemurunan nilai TDS terbaik terjadi
pada waktu perlakuan 96 jam dengan persentase
efektivitas sebesar 83,93%, sedangkan pada
biosistem vertikal tanaman tanpa penambahan
suspensi aktif penurunan nilai TDS terbaik terjadi
pada waktu perlakuan 96 jam dengan persentase
efektivitas sebesar 65,71%. Untuk nilai TSS, nilai
efektivitas pada biosistem dengan penambahan
suspensi aktif dengan penurunan 89,75% selama 96
jam, sedangkan untuk biosistem tanpa penambahan
suspensi aktif turun sebesar 72,29% dan nilai TSS
yang diperoleh untuk perlakuan dengan dan tanpa
penambahan suspensi aktif sudah berada dibawah
baku mutu yang ditentukan masing – masing
sebesar 17 mg/L dan 46 mg/L. Pada pengolahan
biosistem vertikal tanaman dengan penambahan
suspensi aktif nilai efektivitas TDS dan TSS lebih
besar dari pada biosistem vertikal tanaman tanpa
penambahan suspensi aktif, hal ini terjadi karena
adannya peranan mikroorganisme yang
ditambahkan dalam mengubah bahan organik
seperti senyawa azo menjadi ukuran yang lebih kecil
dalam proses degradasi sehingga menyebabkan
penurunan kadar TDS dan TSS lebih rendah
sehingga nilai efektivitas keduanya lebih besar.
Penurunan nilai dari ketiga parameter tersebut
menunjukan hasil yang bagus, baik dengan sistem
yang terdapat penambahan suspensi aktif maupun
tidak karena nilainya sudah berada di bawah baku
mutu air limbah domestik. Pengolahan biosistem
vertikal tanaman sangat efektif dalam menurunkan
nilai parameter TDS, TSS dengan sistem
penambahan suspensi aktif serta kadar remazol
black b untuk sistem dengan dan tanpa penambahan
suspensi aktif karena efektitivitas yang diperoleh
berada diatas 80%. Untuk sistem pengolahan tanpa
penambahan suspensi aktif terbilang efektif dalam
menurunkan nilai parameter TDS dan TSS karena
efektivitas yang diperoleh keduanya berkisar antara
50%-80%.
Penelitian dengan pengolahan biosistem vertikal
tanaman talas dengan penambahan suspensi aktif
memiliki nilai efektivitas yang lebih besar dalam
menurunkan parameter zat warna, TDS dan TSS
dibandingkan penelitian yang dilakukan oleh
Sumarni (2012), dengan metode absorben kombinasi
karbon aktif dan pasir aktif dalam menurunan kadar
zat warna dan nilai TSS, dimana persentase
efektivitas yang diperoleh adalah 86,5% dan 87,9%.
Berdasarkan efektivitas pengolahan limbah
remazol black b maka dapat ditentukan kapasitas
dari pipa pengolahan biosistem vertikal tanaman
dalam menurunkan kadar remazol black b, nilai TDS
dan TSS. Dalam menurunkan kadar remazol black
b oleh pipa pengolahan biosistem vetikal tanaman
talas, diperoleh kapasitas sebesar 2,5543 ppm/m3jam
untuk pipa pengolahan tanpa penambahan suspensi
aktif dan 2,5832 ppm/m3jam untuk pipa pengolahan
dengan penambahan suspensi aktif. Jadi selama
waktu tinggal 96 jam, 1 m3 pipa pengolahan mampu
menurunkan nilai TDS sebanyak 11,31 ppm/m3jam
tanpa penambahan suspensi aktif dan 14,44 ppm/
m3jam dengan penambahan suspensi aktif. Untuk
menurunkan nilai TSS, pipa pengolahan mempunyai
kapasitas sebesar 7,3746 ppm/m3jam tanpa
penambahan suspensi aktif dan 9,1568 ppm/m3jam
untuk sistem dengan penambahan suspensi aktif.
Dari data di atas dapat dilihat bahwa biosistem
dengan penambahan suspensi aktif memiliki nilai
kapasitas pengolahan yang lebih besar dalam
menurunan kadar remazol black b, nilai TDS dan
TSS karena dengan mikroorganisme yang lebih
banyak maka senyawa organik yang dapat diuraikan
akan semakin banyak pula. Hasi penelitian ini juga
didukung oleh Putra (2015), yang menyebutkan
bahwa hasil pengolahan biosostem tanaman dengan
penambahan suspensi aktif memiliki nilai kapasitas
pengolahan yang lebih besar dalam menurunkan
kandungan surfaktan, fosfat, dan COD pada air
limbah laundri.
4. SIMPULAN DAN SARAN
4.1 Simpulan
1. Suspensi aktif terbaik diperoleh pada sampel
sedimen Sungai Serangan dengan perolehan nilai
VSS tertinggi1600 mg/L pada jam ke 12.
2. Waktu optimal yang diperlukan dalam
menurunkan kadar remazol black b hingga
berada dibawah baku mutu yang ditentukan
untuk pengolahan dengan penambahan suspensi
aktif adalah 60 jam sedangkan untuk
pengolahan tanpa penambahan suspensi aktif
adalah 96 jam.
3. Efektivitas dan kapasitas pada sistem tanpa
penambahan suspense aktif untuk penurunan
kadar remazol black b adalah 89,35% dan 2,5543
ppm/m3jam. Untuk TDS sebesar 65,71% dan
11,31 ppm/m3jam dan 72,29% dan 7,3746 ppm/
m3jam untuk TSS. Efektivitas dan kapasitas
dengan penambahan suspensi aktif untuk
penurunan kadar remazol black b adalah 90,36%
dan 2,5832 ppm/m3jam. Untuk TDS sebesar
83,93% dan 14,44 ppm/m3jam dan 89,75% dan
9,1568 ppm/m3jam untuk TSS.
Biodegradasi Zat Warna Remazol Black B Secara Aerobik-Anaerobik Dalam Sistem Biofiltrasi Vertikal dengan ..... [Febby Hartesa W., dkk.]
46
ECOTROPHIC • VOLUME 11 NOMOR 1 TAHUN 2017 p-ISSN: 1907-5626, e-ISSN: 2503-3395
4.2 Saran
1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan
menggunakan jenis tanaman yang berbeda
untuk menurunkan kadar remazol black b.
2. Perlu dilakukan penelitian menggunakan zat
warna yang langsung berasal dari industri
tekstil.
DAFTAR PUSTAKA
Budiyono, I. N., dan Sunarso, W., 2007,
Perkembangan Teknologi Pengolahan Air
Limbah Rumah Pemotongan Hewan (RPH),
Prosiding Nasional Fundamental dan Aplikasi
Teknik Kimia, Institut Teknologi Sepuluh
November, Surabaya
Daneshvar, N., Ayazloo, M., Khatae, A.R., and
Pourhassan, M., 2007, Biological Decolorization
of Dye Solution Containing Malachite Green
by Microalgae Cosmarium sp, Bioresource
Technology. 98 (6) : 1176- 1182
Lakitan, B, 2007, Dasar-dasar Fisiologi Tumbuhan,
PT. Raja Grifando Persada, Jakarta.
Mukono, H.J., 2000, Prinsip Dasar Kesehatan
Lingkungan, Airlangga University Press
Pandey, A., Singh, P., Lyengar L., 2007, Bacterial
Decolorization and Degradation of Azo Dyes,
Journal Int Biodet Biodeg, 59 : 73-84
Purnamawati, K.Y., Suyasa, I.W.B., Mahardika,
I.G., 2015, Penurunan Kadar Rhodamin B dalam
Air Limbah dengan Biofiltrasi Sistem Tanaman,
Ecotrophic: Journal of Environmental Science.,
9 (2) : 46-51
Putra, S., 2015, Biofilter Saringan Tanaman Pasir
Pada Limbah Deterjen dalam Menurunkan
Surfaktan, BOD (Biological Oxygen Demand)
dan COD (Chemical Oxygen Demand), Skripsi,
Universitas Udayana, Bali
Sastrawidana, I D. K., Maryam, S., Sukarta, I. N.
2012. Perombakan Air Limbah Tekstil
Menggunakan Jamur Pendegradasi Kayu Jenis
Polyporus Sp 56 Teramobil Pada Serbuk Gergaji
Kayu. Jurnal Bumi Lestari, 12 (2) : 382 – 389
Sumarni, 2012, Adsorpsi Zat Warna dan Zat Padat
Tersuspensi dalam Limbah Cair Batik,
Prosiding: Seminar Nasional Aplikasi Sains &
Teknologi (SNAST) Periode III, Yogyakarta, 3
November 2012
Zee, V.D., 2002, Anaerobic Azo Dye Reduction, Thesis,
Wageningen University, Netherlands
47
DAMPAK KEGIATAN PERTANIAN TERHADAP TINGKAT EUTROFIKASI
DAN JENIS – JENIS FITOPLANKTON DI DANAU BUYAN
KABUPATEN BULELENG PROVINSI BALI
Ni Putu Vivin Nopiantari1*), I Wayan Arthana2) dan Ida Ayu Astarini 3)
1)Program Studi Magister Ilmu Lingkungan Pesisir Universitas Udayana2)Fakultas Kelautan Dan Perikanan Universitas Udayana
3)Fakultas MIPA Universitas Udayana*Email : [email protected]
ABSTRACT
This research was conducted to find out the impact of agricultural activities in the various levels of
eutrophication and diversity of phytoplankton in Buyan Lake, Buleleng, Bali Province. Purposive sampling
method was organized to determining research station, where the sampling stations were determined based
on various considerations, such as conditions of study area, and predominant use of agricultural land in the
study area. Sampling method of phytoplankton and the lake water were done by setting the 4 stations that
represent agricultural activities around Buyan Lake. Phytoplankton samples were taken by filtering the
water on the lake surface as much as 100 liters, using the plankton net with a mesh size of 25µm. Phytoplankton
parameters was analyzed in laboratory. Data was analyzed using analysis of phytoplankton abundance,
Equity index and dominance index. Results showed that abundance of phytoplankton at each stations in
Buyan Lake was ranged between 1150 – 1791.67 cells / l. Average abundance of phytoplankton in all stations
was 1504.17 cells / l. Based on the abundance of phytoplankton, waters of Buyan Lake was classified into
water that have low fertility rate (oligotrophic). Agricultural activities around Buyan Lake resulted a moderate
eutrophication level (mesotrofik).
Keywords: Eutrophication, phytoplankton, Buyan Lake
1. PENDAHULUAN
Danau merupakan salah satu bentuk ekosistem
air tawar yang bersifat menggenang (lentic).
Ekosistem ini menempati daerah yang relatif tidak
luas pada permukaan bumi dibandingkan dengan
habitat laut dan daratan (Effendi, 2003). Danau
Buyan adalah sebuah danau yang terletak di Desa
Pancasari, Kecamatan Sukasada, Kabupaten
Buleleng, Bali. Luas Danau Buyan 301.84 Ha ini
merupakan satu dari tiga danau kembar yang
terbentuk di dalam sebuah kaldera besar. Danau
Buyan diapit oleh kedua danau lainnya, yakni Danau
Tamblingan di sebelah barat dan Danau Beratan di
sebelah timur. Kedalaman Danau Buyan
diperkirakan sekitar 80 meter, dimana kedalaman
danau ini pernah mencapai 140 meter sebelum terjadi
pendangkalan dasar danau akibat erosi dan
eutrofikasi.
Pemanfaatan pupuk anorganik untuk budidaya
sayuran dan tanaman buah-buahan di sekitar Danau
Buyan, diduga sudah melewati ambang batas baku
mutu dan mengakibatkan meningkatnya pence-
maran zat kimia. Pencemaran itu menyebabkan
degradasi atau penurunan kualitas lingkungan. Hal
itu terjadi disebabkan tingginya pemakaian pupuk
kimia dan pestisida yang menyebabkan masuknya
kandungan nitrat dan fosfat. Petani di sekitar Danau
Buyan yang dikenal sebagai sentra sayuran dan buah
– buahan menggunakan pupuk anorganik untuk
meningkatkan kualitas maupun kuantitas hasil
panen. Namun penggunaan pupuk yang melebihi
dosis diduga terus meningkatkan pencemaran
perairan Danau Buyan.
Penyuburan perairan (eutrofikasi), termasuk
yang terjadi di Danau Buyan ternyata sudah menjadi
salah satu permasalahan yang rumit. Permasalahan
eutrofikasi ini terkait dengan berbagai kegiatan
aktivitas masyarakat di sekitar perairan. Penelitian
ini bertujuan untuk mengidentifikasi dampak
kegiatan pertanian terhadap tingkat eutrofikasi di
perairan Danau Buyan, mengetahui struktur
kumunitas fitoplankton sebagai bio indicator dan
untuk mengetahui tingkat kesuburan perairan
Danau Buyan dilihat dari kelimpahan fitoplankton.
2. METODOLOGI
Penentuan lokasi pengambilan sampel air
menggunakan metode purposive sampling yaitu
penentuan stasiun pengamatan dilakukan dengan
memperhatikan berbagai pertimbangan dan kondisi
daerah penelitian, serta kondisi dominan
pemanfaatan lahan pertanian pada lokasi penelitian.
Untuk itu ditentukan 4 stasiun yang mewakili
ECOTROPHIC • 11 (1) : 47 - 54 p-ISSN: 1907-5626, e-ISSN: 2503-3395
48
ECOTROPHIC • VOLUME 11 NOMOR 1 TAHUN 2017 p-ISSN: 1907-5626, e-ISSN: 2503-3395
kegiatan pertanian disekitar Danau Buyan. Pada
masing – masing stasiun ditentukan 10 sub stasiun
pengambilan sampel, sehingga ada 40 sub stasiun.
Ke 10 sub stasiun pada masing – masing stasiun di
komposit sehingga mendapatkan sampel yang
homogen. Sampel Fitoplankton diambil dengan
menyaring air permukaan sebanyak 100 liter
menggunakan jaring plankton dengan ukuran mesh
25. Pengambilan sampel dilakukan pada bulan
Februari 2014. Analisis kandungan bahan organik
dalam sampel air dilakukan di UPT Balai
Laboratorium Kesehatan Provinsi Bali. Analisis
struktur komunitas fitoplankton dilaksanakan di
UPT Laboratorium, Sumberdaya Genetika dan
Biologi Molekuler Universitas Udayana Denpasar.
Untuk identifikasi dan menghitung kelimpahan
fitoplankton berpedoman pada Yamaji (1976), dan
Davis (1995). Sedangkan untuk perhitungan
kelimpahan fitoplankton menggunakan rumus
APHA (1989)
(1)
Dimana :
N = Kelimpahan individu fitoplankton (Individu/
liter)
Z = Jumlah individu fitoplankton
X = Volume air sampel yang tersaring (50ml)
Y = Volume 1 tetes air (0,06 ml)
V = Volume air yang disaring (100l)
Indeks Keanekaragaman yang digunakan untuk
menghitung indeks ini adalah persamaan Sharon-
Wiener (Michael, 1994).
(2)
Dimana :
H1 = indeks Keanekaragaman
Pi = ni/N
ni = jumlah individu jenis ke I
N = jumlah total individu
H’<1 = komunitas biota tidak stabil atau kualitas
air tercemar berat, 1<H’<3 = stabilitas komunitas
biota sedang atau kualitas air tercemar sedang, H’>3
= stabilitas komunitas biota dalam kondisi prima
(stabil) atau kualitas air bersih.
Indeks Kesamaan menurut Michael (1994),
Indeks ini menunjukkan pola sebaran biota yaitu
merata atau tidak. Jika nilai indeks relatif tinggi
maka keberadaan setiap jenis biota di perairan dalam
kondisi merata.
(3)
Dimana :
E : Indeks kesamaan
H’ maks : Ln s ( s adalah jumlah genus)
H : Indeks keanekaragaman
E = 0-0.5, pemerataan antar spesies rendah, artinya
kekayaan individu yang dimiliki masing-masing
spesies sangat jauh berbeda. E =0.6-1, pemerataan
antar spesies relatif seragam atau jumlah individu
masing-masing spesies relatif sama.
Indeks dominansi menggambarkan komposisi
jenis dalam komonitas jenis dalam komunitas dan
spesies yang dominan dalam suatu komunitas
memperlihatkan kekuatan spesies lain (Krebs, 1978).
Indesk dominansi dapat dihitung menggunakan
persamaan Indeks Dominansi Simpson (Odum, 1993)
yaitu sebagai berikut :
(4)
Dimana :
C = Indeks dominansi Simpson
ni = Jumlah individu jenis ke-i
N = Jumlah total individu
S = Jumlah genus
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil pengamatan mikroskopis menunjukkan
bahwa fitoplankton yang didapatkan di Danau Buyan
sebanyak 30 spesies (Tabel 3) yang terdiri dari 6
Divisi, yaitu Bacillariophyta (7 genus), Chlorophyta
(5 genus), Cyanophyta (3 genus), Chrysophyta (2
genus), Dinophyta (1 genus), Pyrrophycophyta (1
genus ), seperti yang terlihat pada Tabel 5.2. Jumlah
spesies yang ditemukan pada setiap stasiun, yaitu
stasiun 1 (18 spesies), stasiun 2 (10 spesies), stasiun
3 (15 spesies), dan stasiun 4 (20 spesies). Terdapat
beberapa spesies yang selalu ditemukan pada keempat
stasiun antara lain Bacillariophyta (3 spesies),
Chlorophyta (3 spesies), dan Chrysophyta (1 spesies).
Komposisi (%) Fitoplankton berdasarkan
kelimpahan masing – masing Phyllum di Danau
Buyan didominasi oleh Phyllum Bacillariophyta
sebanyak 81,7%. Selain phylum Bacillariophyta,
terdapat beberapa phylum fitoplankton lain yang
menyusun populasi plankton di Danau Buyan, seperti
Chlorophyta 13,3%, Cyanophyta 3,1%, Chrysophyta
1,7% dan Phyllum terendah 0,1% yaitu Dinophyta
dan Phyrophycophyta. Hal tersebut menunjukan
phylum Bacillariophyta memiliki penyebaran yang
luas di perairan Danau Buyan. (Gambar 1.).
Pengukuran kualitas air danau buyan dilakukan
secara in situ pada parameter Suhu, DO dan pH
sedangkan pengukuran laboratorium dilakukan pada
49
parameter TDS, TSS, Amonia, Nitrit, Nitrat, BOD,
COD dan Fosfat (Tabel4)
Pola hubungan kadar nitrat dan fosfat pada
setiap stasiun pengambilan sampel. Pada stasiun 1
terlihat perbandingan nilai yang cukup tinggi dimana
nilai nitrat di stasiun 1, yaitu 5.545 mg/l dan fosfat
di strasiun 1, yaitu 1.259 mg/l. Pada stasiun 2 nilai
nitrat juga lebih tinggi dari pada nilai fosfat dan
menurun pada stasiun 3 dan 4 yaitu nilai fosfat lebih
tinggi dari pada nitrat.(Gambar 2).
Pola hubungan nitrat dan fitoplankton di Danau
Buyan dapat dilihat pada Gambar 4. Pola hubungan
Tabel 3. Jenis dan Kelimpahan rata – rata fitoplankton (ind/l) yang ditemukan di Danau Buyan
Gambar 1. Komposisi (%) Fitoplankton berdasarkan kelimpahan masing
– masing Phyllum di Danau Buyan
Dampak Kegiatan Pertanian terhadap Tingkat Eutrofikasi dan Jenis-jenis Fitoplankton di Danau Buyan ..... [Ni Putu Vivin Nopiantari, dkk.]
50
ECOTROPHIC • VOLUME 11 NOMOR 1 TAHUN 2017 p-ISSN: 1907-5626, e-ISSN: 2503-3395
nitrat di Danau Buyan memiliki kecenderungan
berbanding terbalik pada stasiun 1 , stasiun 3 dan
stasiun 3, yaitu ketika kadar nitrat menurun
kelimpahan fitoplankton meningkat begitu juga
sebaliknya. Ketika kadar nitrat meningkat
kelimpahan fitoplankton menurun. Sedangkan di
stasiun 2 pola hubungan nitrat dan fitoplankton
menunjukan hubungan sejalan yaitu ketika kadar
nitrat menurun kelimpahan fitoplankton juga
menurun.
Pola hubungan fosfat dan fitoplankton di Danau
Buyan dapat dilihat pada Gambar 4. Pada setiap
stasiun pengambilan sampel menunjukan pola
hubungan fosfat dan kelimpahan fitoplankton yang
sejalan. Ketika kadar fosfat menurun kelimpahan
fitoplankton juga ikut menurun dan sebaliknya.
Tabel 4. Hasil Analisis Kualitas Air Danau Buyan
Gambar 2. Pola hubungan nitrat dan fosfat di Danau Buyan
Gambar 3. Pola hubungan nitrat dan fitoplankton
Gambar 4. Pola hubungan fosfat dan fitoplankton
51
Kelimpahan rata – rata fitoplankton di Danau
Buyan selama penelitian berkisar antara 1150 –
1791,67 ind/l. Kelimpahan fitoplankton tertinggi di
dapatkan pada stasiun 3. Hal tersebut kemungkinan
karena stasiun 3 merupakan tempat keramba ikan
sehingga unsur hara yang tersedia melimpah.
Fitoplankton memanfakatkan unsur hara nitrat dan
fosfat untuk mendukung pertumbuhannya. Kadar
nitrat dan fhosfat yang di dapatkan di masing – masih
stasiun penelitian cukup tinggi yaitu nilai nitrat
0,895 – 5,545 dan nilai Fosfat berkisar 1,1711 – 1,259,
sehingga fitoplankton memanfaatkan makronurien
tersebut untuk mengoptimalkan pertumbuhannya.
Hal ini di dukung oleh pendapat Mackenthun (1969),
pertumbuhan optimal fitoplankton diperoleh pada
kadar nitrat 0,9 – 3,5 mg/l dan kadar fhosfat 0,09 –
1,8 mg/l. tingginya unsur hara tersebut karena
adanya kegiatan pertanian di sekitar tepi Danau
Buyan sehingga limpasan pupuk pertanian masuk
ke badan air yang di bawa oleh aliran air hujan. Sisa
– sisa unsure hara dari aktivitas pemupukan,
terutama pemupukan urea akan terbawa melalui
saluran – saluran irigasi ataupu aliran air hujan.
Selain itu menurut, Wahyuni (2010) faktor –
faktor yang mempengaruhi kelimpahan fitoplankton
adalah ketersediaan nutrien, keberadaan cahaya
dikolom perairan dan laju grazing oleh organisme
lain selain itu tinggi rendahnya kelimpahan plankton
dipengaruhi oleh kondisi parameter fisika kimia
perairan antara lain: DO, BOD, COD, Nitrat, Nitrit,
fosfat dan Amonia. Fitoplankton adalah makhluk
renik yang melayang di permukaan air (Yatim,
2003). Menurut Nontji (2006), fitoplankton
merupakan tumbuhan yang seringkali ditemukan
di seluruh massa air pada zona eufotik, berukuran
mikroskopis dan memiliki klorofil sehingga mampu
membentuk zat organik dari zat anorganik melalui
fotosintesis. Fitoplankton sebagai organisme autotrof
menghasilkan oksigen yang akan dimanfaatkan oleh
organisme lain, sehingga fitoplankton mempunyai
peranan penting dalam menunjang produktifitas
perairan. Keberadaan fitoplankton dapat dilihat
berdasarkan kelimpahannya di perairan, yang
dipengaruhi oleh parameter lingkungan. Selain
sebagai produsen primer, fitoplankton juga sebagai
penghasil oksigen terlarut di perairan bagi organisme
lain (Kamali, 2004).
Spesies dominan dari masing-masing kelompok
fitoplankton yang ditemukan pada keempat stasiun
penelitian di Danau Buyan. Pada divisi Chlorophyta
ditemukan 2 spesies yang dengan kelimpahan
terbesar yaitu dengan rata – rata pada ke empat
Gambar 5. Peta sebaran kelimpahan fitoplankton di Danau Buyan
Dampak Kegiatan Pertanian terhadap Tingkat Eutrofikasi dan Jenis-jenis Fitoplankton di Danau Buyan ..... [Ni Putu Vivin Nopiantari, dkk.]
52
ECOTROPHIC • VOLUME 11 NOMOR 1 TAHUN 2017 p-ISSN: 1907-5626, e-ISSN: 2503-3395
stasiun, Synedra ulna (860.42sel/l) dan Rhizosolenia
stolterfothii (22.92 sel/l). dari hasil penelitian oleh
Samudra, dkk., (2013) yang di lakukan pada
keramba, perairan non keramba dan muara, Synedra
ulna merupakan spesies doninan yang di temukan
dengan kelimpahan keramba (970 sei/l), perairan non
keramba (485 sel/l) dan muara (4365 sel/l).
Kelimpahan rata – rata fitoplankton tertinggi di
setiap stasiun secara keseluruhan adalalah jenis
Synedra ulna. Synedra ulna adalah spesies diatom
dominan yang ditemukan pada lapisan atas, spesies
ini hadir diduga karena pengaruh akumulasi
sedimentasi yang terjadi. Diatom merupakan
mikroalga dengan persebaran yang luas dan bersifat
kosmopolitan, beberapa diatom dapat digunakan
sebagai bioindikator perubahan lingkungan masa
lampau, karena sensitifitasnya terhadap kondisi
habitatnya dan sifat diatom yang mampu terfosil
dengan baik (Hariyati dkk., 2009).
Selain itu pada divisi Chlorophyta juga
ditemukan 2 spesies dominan dengan rata – rata
kelimpahan tertinggi antara lain Staurastrum
paradoxum (102.08 sel/l) dan Chlorococcum
humicola (56.25 sel/l). kedua spesies domina tersebut
dari hasil penelitian Erdina, dkk., (2010) pada
perairan daerah pertanian juga di temukan
Staurastrum paradoxum (2,31 sel/l) dan
Chlorococcum humicola (6,93 sel/l). sekitaran Danau
Buyan juda di kelilingi oleh lahan pertanian sehingga
hal ini juga merupakan salah satu factor keberadaan
spesies dominan Staurastrum paradoxum dan
Chlorococcum humicola pada perairan Danau
Buyan.
Spesies yang mendominasi pada divisi
Cyanophyta yaitu, Gloeocapsa magma (18.75 sel/ l).
dari hasil penelitian Pratiwi (2015) di temukan
Gloeocapsa sp. (59 sel/l) di perairan laut malang.
Menurut Fachrul, dkk., (2008) Gloeocapsa sp. Juga
di temukan di perairan sungai ciliwung Jakarta.
Spesies yang dominan pada divisi Chrysophyta yaitu,
spesies Melosira granulate (16.67 sel/l). dari hasil
penelitian Hariyati, (2009) pada perairan Danau
Rawapening Semarang Jawa Tengah di temukan
Melosira sp sebanyak 153 sel / l. sedangkan pada 2
divisi Dinophyt dan Pyrrophycophyt tidak ditemukan
spesies yang terlalu dominan, namun di temukan
spesies Diplopsalis lenticula (2.08 sel /l) dan pada
divisi Pyrrophycophyt juga ditemukan spesies
Hypnodinium sphaericum (2.08 sel/l). Kelompok
dimana ditemukan kelimpahan fitoplankton yang
rendah memiliki karakteristik perairan dengan
kandungan oksigen terlarut rendah serta nitrat yang
rendah. Hal yang sama juga dijumpai pada kelompok
yang memiliki kelimpahan fitoplankton yang relatif
tinggi, dengan kandungan oksigen terlarut dan
nitrat juga ditemukan lebih tinggi. Parameter
oksigen terlarut dan nitrat memiliki peranan yang
sangat besar dalam membedakan tinggi rendahnya
kelimpahan fitoplankton di Danau Buyan. Meskipun
demikian parameter lainnya juga ikut berperan
bersama-sama tetapi dengan peranan yang relatif
lebih kecil dibandingkan dengan peranan parameter
DO dan nitrat (Meiriyani, 2013).
Indeks dominansi fitoplankton di Danau Buyan
berkisar antara 0,469 – 0,698. Nilai rata – rata Indeks
Dominansi Fitoplankton adalah 0,59. Hal tersebut
menunjukan dominansi spesies di Danau Buyan
tergolong rendah, karena nilai tersebut mendekati
0. Nilai indeks dominansi tidak jauh berbeda pada
ke empat stasiun, hal ini di sebabkan karena pada
seluruh stasiun pengambilan sampel terdapat
dominansi satu spesies yaitu Synedra ulna. Dari
hasil penelitian yang dilakukan oleh Wahyudiati,
(2016) Indek dominansi fitoplankton di Bendungan
Telaga Tunjung juga tergolong rendah antara 0,24 –
0,38, hal ini juga disebabkan karena terdapat satu
spesies dominan yaitu Peridinium sp. Hal ini juga
di dukung oleh penelitian yang dilakukan oleh,
Jannah (2012) hasil analisis indeks dominansi
menunjukkan bahwa secara umum di wilayah
estuaria Krueng Aceh tidak didominasi oleh jenis -
jenis tertentu terlihat dari nilai indeks dominansi
yang rendah. Indeks dominansi pada Stasiun 1
adalah 0,016, pada Stasiun 2 adalah 0,045 dan pada
Stasiun 3 adalah 0,040. Hal ini diduga karena kondisi
lingkungan yang terukur selama penelitian seperti
suhu, salinitas dan kecerahan, mendukung
pertumbuhan fitoplankton.
Nilai Indeks keanekaragaman di Danau Buyan
antara 0.812 - 1.455. Nilai rata – rata indeks
keanekaragaman fitoplankton 1,09. Nilai tersebut
menunjukan keanekaragaman spesies di Danau
Buyan rendah. Menurut, Wahyudiati, (2016) Indeks
keanekaragaman dikatakan rendah jika nilainya
kurang dari 2,306. Hal ini mengindikasikan perairan
tersebut sedang mengalami tekanan ekologi. Nilai
indeks keanekaragaman terendah berada di stasiun
III dan tertinggi di stasiun IV. Hal tersebut
berbanding terbalik dengan indeks dominansi.
Indeks kesamaan di Danau Buyan berkisar
antara 0,326 – 0,662. Nilai rata – rata indeks
kesamaan fitoplankton adalah 0,47. Nilai ini tergolong
sedang, karena lebih dari 0,5. Hal ini menunjukan
penyebaran spesies merata dan komonitas
fitoplankton dalam kondisi labil. Nilai indeks yang
mendekati 1 mempunyai keanekaragaman jenis
yang tinggi, sebaliknya jika nilai indeks yang
mendekati 0 menunjukkan rendahnya keragaman
jenis yang dimiliki oleh suatu komunitas (Odum,
1993).
Eutrofikasi adalah pengkayaan perairan oleh
unsur hara, khususnya nitrogen dan fosfat sehingga
mengakibatkan pertumbuhan tidak terkontrol dari
tumbuhan air. Berdasarkan kandungan unsur
haranya, maka perairan dapat dikategorikan menjadi
oligotrofik, mesotrofik dan eutrofik. Kesuburan
53
perairan merupakan pengayaan air dengan nutrient/
unsur hara berupa bahan anorganik yang dibutuhkan
oleh tumbuhan dan mengakibatkan terjadinya
peningkatan produktivitas primer perairan
(Suprapto, 2014). Kesuburan perairan juga berkaitan
dengan kelimpahan fitoplankton. Kelimpahar rata –
rata fitoplankton yaitu sebesar 1504.17 sel/l. nilai
ini menunjukan bahwa kesuburan perairan di Danau
Buyan tergolong rendah (oligotrofik). Danau di
katakana oligotrofik jika memiliki nilai kelimpahan
antara 0 – 2000 sel/l (Handayani, 2009). Menurut
Soeprobowati (2010) dari hasil penelitiannya di Danau
Rawa Pening termasuk kategori oligotrofik. Hal ini
karena kandungan klorofil-a yang terukur
merupakan ekspresi dari fitoplankton (produsen
primer). Produktivitas primer ditentukan oleh
kandungan klorofil-a. Jika di suatu perairan terjadi
blooming mikroalga, tentu saja kandungan
klorofilnya akan tinggi. Namun, yang terjadi di
Danau Rawa Pening, mikroalga kalah bersaing
dengan tumbuhan tingkat tinggi sehingga
populasinya rendah dan tumbuhan air yang
mendominasi. Itulah sebabnya kandungan klorofil-
a di Danau Rawa Pening kurang mengekspresikan
status trofik. Hal ini sesuai dengan keadaan Danau
Buyan saat penelitian yaitu banyaknya terdapat
tanaman air yang merambat di permukaan perairan
Danau Buyan.
Selain berdasarkan kelimpahan plankton, status
kesuburan perairan juga dapat diketahui dari kadar
nitrat. Kadar nitrat rata – rata di Danau Buyan
sebesar 2,31 mg/l. hal ini menunjukan tingkat
kesuburan Danau Buyan tergolong sedang
(mesotrofik). Menurut Wetzel (1983), kadar nitra 0 –
1 mg/l menujukan perairan tersebut tergolong
oligotrofik, kadar nitrat 1 – 5 mg/l tergolong dalam
perairan mesotrofik dan kadar 5 – 50 mg/l tergolong
perairan eutrofik. Hal ini sesuai dengan penelitian
yang dilakukan Aisyah (2013) hasil penelitian
menunjukkan bahwa kisaran nilai nitrat, fosfat dan
klorofil-a pada Bulan Mei dan Juni masing-masing
adalah 1,38–2,18 mg/L dan 1,32–2,12 mg/L (eutrofik);
0,013–0,030 mg/L dan 0,012–0,031 mg/L (eutrofik)
serta 4,67-7,22 mg/L dan 4,71–7,30 mg/L
(mesotrofik). Berdasarkan kelimpahan plankton dan
kadar nitrat, perairan Danau Buyan tergolong
kedalam perairan yang memiliki kesuburan sedang
(mesotrofik).
4. SIMPULAN DAN SARAN
4.1 Simpulan
Kegiatan pertanian di sekitar Danau Buyan di
lihat dari kandungan nitrat mengakibatkan tingkat
eutrofikasi sedang (mesotrofik). Kelimpahan rata –
rata fitoplankton pada setiap stasiun di Danau Buyan
berkisar antara 1150-1791,7 sel/l. Berdasarkan
kelimpahan fitoplankton, perairan Danau Buyan
tergolong kedalam perairan yang memiliki
kesuburan sedang (mesotrofik).
4.2 Saran
Perlu adanya pengendalian penggunakan pupuk
anorganik disekitar perairan Danau Buyan dan
pembersihan tanaman air secara rutin yang di
lakukan oleh masyarakat sekitar danau agar tidak
menghambat kelimpahan fitoplankton, mengingat
fitoplankton merupakan suber makanan ikan.
DAFTAR PUSTAKA
APHA (American Public Health Association). 1989.
Standar Methods for The Examination of Water
and Wastewater. American Public Control
Federation. 20th edition, Washington DC.
American Public Health Asosiation.
Aisyah. 2013. Status Trofik Perairan Rawa Pening
Ditinjau Dari Kandungan Unsur Hara Nitrat
dan Fosfat Serta Klorofil-a. Pusat Penelitian
Pengelolaan Perikanan dan Konservasi
Sumberdaya Ikan.
Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air bagi Pengelola
Sumber Daya dan Lingkungan Perairan.
Kanisius. Yogyakarta.
Erdina, dkk. 2010. Keanekaragaman dan
Kemelimpahan Alga Mikroskopis Pada Daerah
Persawahan di Desa Sungai Lumbah Kecamatan
Tanalalak Kabupaten Barito Kuala. Jurnal
Wahana Bio Volume III.
Fachrul, dkk. 2008. Komposisi dan Model
Kemelimpahan Fitoplankton di Perairan Sungai
Ciliwung, Jakarta Composition and abundance
model of phytoplankton in water of Ciliwung
River. Biodiversita. ISSN: 1412-033X Volume 9,
Nomor 4 Oktober 2008 Halaman: 296-
300.JurusanTeknik Lingkungan, Universitas
Trisakti.
Handayani, D. 2009. Kelimpahan dan
Keanekaragaman Plankton di Perairan Pasang
Surut Keramba Blanakan Subang. Progam
Studi Biologi. Fakultas Sains dan Teknologi.
Universitas Islam Negeri Syarif Hidaya Tullah.
Jakarta.
Hariyati, R. Trias, S.W. 2009. Struktur Komunitas
Fitoplankton sebagai Bio Indikator Kualitas
Perairan Danau Rawapening Kabupaten
Semarang Jawa Tengah. Laboratorium Ekologi
dan Biosistematika Jurusan Biologi F. MIPA
UNDIP. 5 (5) : 55-61.
Jannah., dkk. 2012. Komunitas fitoplankton di
daerah estuaria Krueng Aceh, Kota Banda Aceh
Dampak Kegiatan Pertanian terhadap Tingkat Eutrofikasi dan Jenis-jenis Fitoplankton di Danau Buyan ..... [Ni Putu Vivin Nopiantari, dkk.]
54
ECOTROPHIC • VOLUME 11 NOMOR 1 TAHUN 2017 p-ISSN: 1907-5626, e-ISSN: 2503-3395
Phytoplankton community in estuary area of
Krueng Aceh, Banda Aceh. Depik, 1(3): 189-195
Desember 2012 ISSN 2089-7790 189. Jurusan
Budidaya Perairan, Koordinatorat Kelautan dan
Perikanan, Universitas Syiah Kuala. Banda
Aceh 23111, Provinsi Aceh.
Kamali, Dzikrulloh. 2004. Kelimpahan Fitoplankton
Pada Keramba Jaring Apung Di Teluk Hurun
Lampung. Skripsi. IPB, Bogor.
Krebs, C.J., 1985. Ecology (The experimental Analysis
of Distribution and Abundance). Harper & Row
Publisher. New York.
Nontji, A. 2006. Tiada Kehidupan Di Bumi Tanpa
Keberadaan Plankton. Lembaga Ilmu Penge-
tahuan Indonesia Pusat Penelitian Oseanologi,
Jakarta. 248p
Mackenthum,K.M. 1969. The Practice of Water
Pollution Biology. United States Departement of
Interior, Federal Water Pollution Control
Administration Division of Technical Support.
Michael, P. 1994. Metode Ekologi Untuk Penyelidikan
Lapangan dan Laboratorium. UI press, Jakarta.
Meiriyani , dkk. 2011. Komposisi dan Sebaran
Fitoplankton di Perairan Muara Sungai Way
Belau, Bandar Lampung . Putri Program Studi
Ilmu Kelautan FMIPA Universitas Sriwijaya.
Journal 03 (2011) 69-77.
Odum, E.P., 1971. Dasar-dasar Ekologi. Gajah Mada
University Press.
Pratiwi, E.D. 2015. Hubungan Kelimpahan Plankton
Terhadap Air di Perairan Malang Rapat
Kabupaten Bintan Provinsi Kepulauan Riau.
Mahasiswa Jurusan Ilmu Kelautan, FIKP
UMRAH.
Samudra, dkk. 2013. Komposisi, Kemelimpahan dan
Keanekaragaman Fitoplankton Danau Rawa
Pening Kabupaten Semarang. BIOMA. ISSN:
1410-8801 Vol. 15, No. 1, Hal. 6-13. Program
Studi Magister Biologi, Universitas Diponegoro.
Suprapto, dkk. 2014. Aquatic Productivity Analysis
based on The Relationship between Physical and
Chemical of Benthic Sediment with NO3 and PO4
in the Estuarine of Tuntang River Available
online at Indonesian Journal of Fisheries Science
and Technology (IJFST). Saintek Perikanan
(Indonesian Journal of Fisheries Science and
Technology), ISSN : 1858-4748 56.
Wahyudiati, W.D. 2016. Strutur Komonitas Plankton
dan Kualitas Perairan Di Bendungan Telaga
Tunjung Tabanan. Program Studi Kelautan.
Universitas Udayan Bukit Jimbaran Bali.
Wetzel, R.G. 1983. Limnology 2nd Edition. Saunders
College Publishing. Philadephia.
Yamaji, I. 1976. Illustration of Marine Plankton.
Japan: Hoikusha Publishing Co Ltd. 371p.
Yatim, W. 2003. Biologi Medern Biologi Sel.Tarsito.
Bandung.
55
HUBUNGAN SANITASI RUMAH DENGAN KEJADIAN PENYAKIT
TUBERKULOSIS (TB) DI KECAMATAN KUTA
I Made Mudana1*), Nyoman Adiputra2), I.B.G. Pujaastawa3)
1)Dinas Kesehatan Kabupaten Badung2)Fakultas Kedokteran Universitas Udayana
3)Program Studi Magister (S2) Kajian Budaya Universitas Udayana*Email: [email protected]
ABSTRACT
One of the endemic infectious diseases occured in the community is tuberculosis (TB). The World Health
Organization (WHO) estimated about one third of the world’s population has been infected by the bacteria
mycobacterium tuberculosis. Badung regency as one of the districts in the province of Bali also having cases
of tuberculosis. From the report Badung Health Agency in 2015 was recorded 275 TB patients. From 6
districts in Badung district, subdistrict of Kuta occupy the highest number of cases recorded 100 patients.
tuberculosis is closely related to homes sanitation that do not meet health requirements. The purpose of this
study was to determine the relationship of home sanitation with disease incidence of tuberculosis in the
district of Kuta. Based on the type of research is observational analytic, design research is a case control
studies linking ie risk factors. (Home sanitation) with TB disease events, by comparing the case group and
the control group. The population in this study are patients with TB BTA (+) were treated working area
Puskesmas Kuta I and Puskesmas Kuta II sanitation as well as his home. The number of samples in this
study was 60 consisting of the case group and the control group. How sampling is the total population of TB
patients in the last 3 months of 2015 as well as sanitary home. Data collected from interviews, observations
and measurements and then analyzed using chi square and followed by multiple logistic regression test.
From the statistic test bivariate home sanitation with tuberculosis disease incidence 6 variables showed
that: (1) lighting p = 0,00 (p< 0,05) OR = 21, (2) humidity p = 0,00 (p< 0,05) OR = 21,36 , (3) ventilation p =
0,00 (p< 0,05)OR = 11, (4) the walls of the house p = 0,00 (p< 0,05) OR = 8,64, (5) density residential home p
= 0,00 (p<0,05) OR = 16,43 and (6) house floor p = 0,22 (p>0,05) OR = 2,143. To determine the relationship of
all independent variables simultaneously multivariate analysis with multiple logistic regression test. Based
on the results obtained that there are three independent variables significantly related (p<0,05) with the
dependent variable is the humidity (OR = 19,158, 95% CI 3,171 –115,751), ventilation (OR = 6,408, 95% CI
= 1,199 to 34,236), residential density (OR = 13,342, 95% CI = 2,261 – 78,733). Probability of people who
occupy the house with sanitation (Humidity, Ventilation and Residential density) in the district of Kuta to
contract tuberculosis (TB) is 97,08%. Based on these results, we can conclude that from the test bivariate (6
variables) are: lighting, humidity, ventilation, walls of houses, residential density and house floor associated
with the incidence of tuberculosis in the district of Kuta. While the advice may be given to: (1). people who
live in the district of Kuta in order to build or occupy a dwelling house to take into account the standard of
sanitation and healthy home. (2). Government / agencies in order to provide guidance to the public in order
to build houses of spatial attention and care homes that meet health requirements so that people who lived in
the house to feel safe, comfortable, and avoid the disease especially those stemming from poor sanitation
home.
Keywords: Sanitation, Home, Disease, Tuberculosis (TB)
1. PENDAHULUAN
Salah satu penyakit menular yang masih
endemis terjadi di masyarakat adalah penyakit
tuberkulosis (TB). Menurut World Health
Organization (WHO) diperkirakan sekitar sepertiga
penduduk dunia telah terinfeksi oleh kuman
mycobacterium tuberculosis, Pada tahun 1995
diperkirakan terdapat 9 juta pasien TB paru dan 3
juta kematian akibat TB di seluruh dunia.
Diperkirakan 95% kasus TB dan 98% kematian
akibat TB di dunia terjadi pada negara-negara
berkembang (Kemenkes RI, 2011).
Sumber penularannya adalah pasien TB BTA
positif, pada waktu batuk atau bersin pasien
menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk
percikan dahak (droplet nuclei). Percikan dapat
bertahan selama beberapa jam dalam keadaan yang
gelap dan lembab. Daya penularan seorang pasien
ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan
ECOTROPHIC • 11 (1) : 55 - 61 p-ISSN: 1907-5626, e-ISSN: 2503-3395
56
ECOTROPHIC • VOLUME 11 NOMOR 1 TAHUN 2017 p-ISSN: 1907-5626, e-ISSN: 2503-3395
dari parunya. Makin tinggi derajat kepositifan hasil
pemeriksaan dahak, makin menular pasien tersebut.
Faktor yang memungkinkan seseorang terpajan
kuman TB ditentukan oleh konsentrasi percikan
dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut.
(Kemenkes RI, 2011).
Sejak lama telah diketahui bahwa timbulnya
penyakit tidak hanya disebabkan oleh kuman saja,
tetapi faktor lingkungan sangat berpengaruh
terhadap timbulnya suatu penyakit. Penyebaran
penyakit tuberkulosis erat kaitannya dengan sanitasi
lingkungan tempat tinggal seperti ; Pencahayaan,
kelembaban, suhu, ventilasi, kepadatan hunian,
dinding rumah dan lantai rumah. Faktor kesehatan
lingkungan rumah yang berhubungan dengan
kejadian TB Paru adalah pencahayaan (OR = 4,214),
ventilasi (OR = 4,932), kelembaban (OR = 2,571), suhu
udara (OR = 2,674), jenis lantai (OR = 1,626),
kepadatan hunian (OR = 0,820), status gizi (OR =
2,737), (Fatimah, 2008).
Kabupaten Badung sebagai salah satu destinasi
pariwisata internasional di samping memperoleh
manfaat ekonomi yang signifikan dari penerimaan
pajak hotel dan restoran (PHR), tetapi juga
dihadapkan dengan masalah kian meningkatnya
arus urbanisasi dan migrasi penduduk yang
disebabkan oleh berkembangnya sektor
kepariwisataan di daerah ini. Fenomena ini
membawa sejumlah dampak, di antaranya semakin
padatnya permukiman penduduk di daerah-daerah
kawasan pariwisata, terutama di Kawasan
Pariwisata Kuta. Meskipun di kawasan ini terdapat
berbagai fasilitas pariwisata bertaraf internasional,
namun di sisi lain juga ditemui adanya sejumlah
permukiman penduduk dengan tingkat kepadatan
yang tinggi dan terkesan kumuh. Kenyataan ini
dikhawatirkan berpotensi terjangkitnya berbagai
penyakit, termasuk penyakit tuberkulosis.
Berdasarkan laporan Dinas Kesehatan
Kabupaten Badung tentang penyakit TB dalam 3
tahun terakhir yaitu tahun (2013- 2015), diketahui
bahwa jumlah kasus tuberkulosis pada tahun 2013
tercatat 128 orang pada tahun 2014 tercatat 170 orang
dan tahun 2015 tercatat 275 orang (Dinas Kesehatan
Badung, 2014, 2015, 2016). Jumlah kasus
tuberkulosis tersebut tersebar di masing – masing
puskesmas yang berada di wilayah Kabupaten
Badung. Jumlah kasus penderita TB tertinggi
terdapat di Kecamayan Kuta yang mewilayahi
Puskesmas Kuta I tercatat 80 kasus dan Puskesmas
Kuta II tercatat 20 kasus, sehingga total di
Kecamatan Kuta mencapai 100 kasus.
Tingginya jumlah kasus penderita tuberkulosis
di Kecamatan Kuta merupakan fenomena yang
cukup menarik untuk dikaji, mengingat wilayah ini
tergolong kawasan pariwisata yang cukup populer
baik di kalangan wisatawan nusantara maupun
mancanegara. Masalah tersebut akan dicoba
dijelaskan dengan menjawab pertanyaan penelitian
yang diformulasikan sebagai berikut : 1.
Bagaimanakah hubungan sanitasi rumah yang
meliputi pencahayaan, kelembaban, suhu, ventilasi,
kepadatan hunian, dinding rumah dan lantai rumah
dengan kejadian penyakit tuberkulosis di Kecamatan
Kuta ? 2. Seberapa jauh hubungan variabel sanitasi
rumah yang meliputi pencahayaan, kelembaban,
suhu, ventilasi, dinding rumah, kepadatan hunian,
dan lantai rumah dengan kejadian penyakit
tuberkulosis di Kecamatan Kuta ?
2. METODOLOGI
Berdasarkan jenisnya penelitian ini termasuk
penelitian analitik observasional, untuk menganalisis
faktor sanitasi rumah terhadap kejadian penyakit
tuberkulosis paru di Kecamatan Kuta . Rancang
bangun penelitian ini termasuk case control yaitu
penelitian yang menghubungkan faktor risiko atau
variabel bebas (sanitasi rumah) dengan kejadian
penyakit tuberkulosis dengan cara membandingkan
kelompok kasus (penderita tuberkulosis paru) dan
kelompok kontrol (bukan penderita). Jumlah sampel
yang diambil sebanyak 60 orang yang terdiri dari 30
kasus dan 30 kontrol. Data yang diperoleh diolah dan
dianalisis dengan menggunakan komputer dengan
program SPSS . Sedangkan untuk analisis data yang
dilakukan meliputi analisis univariat, bivariat dan
multivariat (Yasril, 2009).
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Kecamatan Kuta secara administrasi terdiri dari
5 desa/kelurahan dengan 33 banjar dengan luas
wilayah 17,52 km2. Secara geografis Kecamatan Kuta
terletak antara 08043’32.6" Lintang Selatan dan
115010’39.2" Bujur Timur. Wilayah Kecamatan Kuta
tergolong wilayah pesisir dengan letak ketinggian
terletak 27 m di atas permukaan laut (Badung dalam
Angka, 2015). Di wilayah Kecamatan Kuta terdapat
2 puskesmas induk yang dimenfaatkan oleh
masyarakat selain rumah sakit dan klinik yaitu
Puskesmas Kuta I dan Puskesmas Kuta II. Peta
Kecamatan Kuta dapat dilihat pada Gambar 1.
3.2 Distribusi Frekuensi Kondisi
Pencahayaan, Kelembaban, Suhu,
Ventilasi, Dinding Rumah, Kepadatan
Hunian dan Lantai Rumah
57
Tabel 1. Hasil Pengukuran Sanitasi Rumah di Kecamatan Kuta
Variabel Penelitian Jumlah(n=60) Persentase
PencahayaanTidak memenuhi syarat 24 40Memenuhi syarat 36 60KelembabanTidak memenuhi syarat 27 45Memenuhi syarat 33 55SuhuTidak memenuhi syarat 0 0Memenuhi syarat 60 100VentilasiTidak memenuhi syarat 32 53,3Memenuhi syarat 28 46,7Dinding rumahTidak memenuhi syarat 24 40Memenuhi syarat 36 60Kepadatan hunianTidak memenuhi syarat 32 53,3Memenuhi syarat 28 46,7Lantai rumahTidak memenuhi syarat 14 23,3Memenuhi syarat 46 76,7
3.3 Hubungan Pencahayaan dengan Kejadian
Penyakit TB
Hasil yang didapatkan dari analisis data
penelitian terhadap variable pencahayaan dengan
kejadian penyakit TB adalah seperti pada tabel 2.
Berdasarkan Tabel 2, menunjukkan bahwa 70
% kasus penghuni rumah dengan pencahayaan yang
tidak memenuhi syarat kesehatan dan 30 % penghuni
rumah dengan pencahayaan yang memenuhi syarat
kesehatan menunjukkan bahwa secara statistik
terdapat hubungan yang bermakna pencahayaan
rumah terhadap kejadian penyakit TB. (p< 0,05)
dengan nilai odd ratio 21. Hasil penelitian ini sesuai
dengan hasil penelitian Ahmad dan Sulistyorini (2005)
yang menemukan bahwa penerangan alami
memperoleh nilai p = 0,047 (p<0,05), hasil penelitian
Dewi, (2012) yang menemukan bahwa pencahayaa
alami memperoleh nilai p = 0,003 (p<0,05). Hal ini
berarti pencahayaan mempunyai pengaruh terhadap
kejadian penyakit TB paru.
Gambar .1. Peta Kecamatan Kuta
Hubungan Sanitasi Rumah dengan Kejadian Penyakit Tuberkulosis (TB) di Kecamatan Kuta [I Made Mudana, dkk.]
58
ECOTROPHIC • VOLUME 11 NOMOR 1 TAHUN 2017 p-ISSN: 1907-5626, e-ISSN: 2503-3395
3.4 Hubungan Kelembaban dengan Kejadian
Penyakit TB
Berdasarkan Tabel 3, menunjukkan bahwa 76,7
% kasus penghuni rumah dengan kelembaban yang
tidak memenuhi syarat kesehatan dan 23,3 %
penghuni rumah yang memenuhi syarat kesehatan.
Secara statistik terdapat hubungan yang bermakna
antara kondisi kelembaban rumah dengan kejadian
TB Paru (p< 0,05) dengan nilai odd ratio 21,36,. Hal
ini sesuai dengan hasil penelitian Maryani (2012)
yang dilakukan di Kelurahan Bandarharjo Kota
Semarang, bahwa kelembaban kamar memperoleh
nilai sig p = 0,000 (p<0,05). Hasil yang sesuai juga
diperoleh dari hasil penelitian Nindya dan
Sulistyorini (2005) bahwa kelembaban ruangan
berpengaruh terhadap ISPA pada balita. Hasil
penelitian Sujana, dkk (2013) juga diperoleh
kelembaban ruangan mempunyai pengaruh terhadap
kejadian penyakit TB paru dengan nilai p = 0,00
(p< 0,05).
3.5 Hubungan Suhu dengan Kejadian Penyakit
TB
Berdasarkan Tabel.4, terlihat bahwa suhu tidak
berpengaruh terhadap kejadian TB Paru dalam
penelitian ini. Rumah yang sehat harus mempunyai
Tabel 2. Hubungan Pencahayaan Dengan Tingkat Kejadian Penyakit TB
Kejadian Penyakit TB
Pencahayaan Odd Ratio (OR) P
Kasus Kontrol
F % F %
Tidak memenuhi syarat 21 70 3 10 21 0,00
Memenuhi syarat 9 30 27 90
Total 30 100 30 100
Tabel 3. Hubungan Kelembaban Dengan Tingkat Kejadian Penyakit TB
Kejadian Penyakit TB
Kelembaban Odd Ratio (OR) P
Kasus Kontrol
F % F %
Tidak memenuhi syarat 23 76,7 4 13,3 21,36 0,00
Memenuhi syarat 7 23,3 26 86,7
Total 30 100 30 100
Tabel 4. Hubungan Suhu dengan Tingkat Kejadian Penyakit TB
Kejadian Penyakit TB
Suhu Odd Ratio (OR) P
Kasus Kontrol
F % F %
Tidak memenuhi syarat 0 0 0 0
Memenuhi syarat 30 100 30 100
Total 30 100 30 100
Tabel 5. Hubungan Ventilasi dengan Tingkat Kejadian Penyakit TB
Kejadian Penyakit TB
Ventilasi Odd Ratio (OR) P
Kasus Kontrol
F % F %
Tidak memenuhi syarat 24 80 8 26,7 11 0,00
Memenuhi syarat 6 20 22 73,3
Total 30 100 30 100
59
suhu yang diatur sedemikian rupa sehingga suhu
badan dapat dipertahankan. Jadi suhu dalam
ruangan harus dapat diciptakan sedemikian rupa
sehingga tubuh tidak terlalu banyak kehilangan
panas atau sebaliknya tubuh tidak sampai kepanasan
(Azwar, 1996).
3.6 Hubungan Ventilasi dengan Kejadian
Penyakit TB
Berdasarkan Tabel 5, menunjukkan bahwa 80%
kasus penghuni rumah dengan ventilasi rumah yang
tidak memenuhi syarat kesehatan dan hanya 20 %
yang memenuhi syarat kesehatan. Secara statistik
terdapat hubungan yang bermakna antara kondisi
ventilasi dengan kejadian penyakit TB (p< 0,05)
dengan nilai odd ratio 11. Ventilasi rumah
mempunyai fungsi (Azwar, 1999). Fungsi pertama
adalah untuk menjaga agar aliran udara di dalam
rumah tersebut tetap segar. Hal ini berarti
keseimbangan O2 yang diperlukan oleh penghuni
rumah tersebut tetap terjaga. Kurangnya ventilasi
akan menyebabkan kurangnya O2 di dalam rumah
yang berarti kadar CO2 yang bersifat racun bagi
penghuninya menjadi meningkat.
3.7 Hubungan Dinding Rumah dengan
Kejadian Penyakit TB
Berdasarkan Tabel 6, menunjukkan bahwa 63,3
% untuk kasus penghuni rumah dengan didnding
rumah yang tidak memenuhi syarat kesehatan dan
36,7 % yang memenuhi syarat kesehatan. Secara
statistik terdapat hubungan yang bermakna antara
kualitas dinding rumah dengan kemungkinan
terjadinya TB (p < 0,05) dengan nilai odd ratio 8,64.
Ini berarti responden memiliki rumah tidak
memenuhi persyaratan dinding rumah memiliki
kemungkinan 8,64 kali lebih besar terkena penyakit
TB dibandingkan dengan responden yang memenuhi
persyaratan dinding rumah.
3.8 Hubungan Kepadatan Hunian dengan
Kejadian Penyakit TB
Berdasarkan Tabel 7, menunjukkan bahwa 83,3
% kasus penghuni rumah dengan kepadatan hunian
yang tidak memenuhi syarat kesehatan dan 16,7 %
kasus dengan kepadatan hunian yang memenuhi
syarat kesehatan. Secara statistik terdapat
hubungan yang bermakna antara kepadatan hunian
dengan kejadian penyakit TB (p < 0,05) dengan nilai
odd rationya 16,43. Ini berarti responden yang
memiliki rumah tidak memenuhi persyaratan
kepadatan hunian memiliki kemungkinan 16,43 kali
lebih besar untuk terkena penyakit TB dibandingkan
dengan responden yang memiliki rumah memenuhi
persyaratan kepadatan hunian Sesuai dengan hasil
penelitian yang dilakukan oleh Sugiharto (2004), yang
menemukan bahwa adanya hubungan yang
bermakna antara kepadatan hunian dengan kejadian
TB paru dengan nilai OR = 2,716, sesuai pula hasil
penelitian oleh Wiasa (2009) bahwa ada hubungan
yang bermakna antara kepadatan hunian dengan
kejadian penyakit dengan nilai OR = 11,76.
Tabel 6. Hubungan Dinding Rumah dengan Tingkat Kejadian Penyakit TB
Kejadian Penyakit TB
Dinding rumah Odd Ratio (OR) P
Kasus Kontrol
F % F %
Tidak memenuhi syarat 19 63,3 5 16,7 8,64 0,00
Memenuhi syarat 11 36,7 25 83,3
Total 30 100 30 100
Tabel 7. Hubungan Kepadatan Hunian dengan Tingkat Kejadian Penyakit TB
Kejadian Penyakit TB
Kepadatan hunian Odd Ratio (OR) P
Kasus Kontrol
F % F %
Tidak memenuhi syarat 25 83,3 7 23,3 16,43 0,00
Memenuhi syarat 5 16,7 23 76,7
Total 30 100 30 100
Hubungan Sanitasi Rumah dengan Kejadian Penyakit Tuberkulosis (TB) di Kecamatan Kuta [I Made Mudana, dkk.]
60
ECOTROPHIC • VOLUME 11 NOMOR 1 TAHUN 2017 p-ISSN: 1907-5626, e-ISSN: 2503-3395
3.9 Hubungan Lantai Rumah dengan Kejadian
Penyakit TB
Berdasarkan Tabel 8, menunjukkan bahwa 30
% kasus penghuni rumah dengan lantai rumah yang
tidak memenuhi syarat kesehatan dan 70 % penghuni
rumah dengan lantai rumah yang memenuhi syarat
kesehatan. Secara statistik terdapat hubungan yang
bermakna antara kualitas lantai rumah dengan
tingkat kejadian TB (p < 0,05) dengan nilai odd ratio
2,143. Ini berarti jika memiliki rumah dengan
kualitas lantai tidak memenuhi persyaratan
memiliki kemungkinan terkena penyakit TB 2,143
kali lebih besar dibandingkan dengan yaang memiliki
lantai rumah memenuhi syarat. Untuk mencegah
masuknya air ke dalam rumah, untuk rumah bukan
panggung sebaiknya tinggi lantai ± 10 cm dari
pekarangan dan 25 cm dari badan jalan (Adnani,
2011).
3.10Besar Hubungan Sanitasi Rumah dengan
Kejadian TB
Untuk mengetahui hubungan semua variable
bebas secara bersamaan dengan variable terikat
dilakukan analisis multivariate menggunakan
uji regresi logistik. Variabel yang bisa dimasukkan
ke dalam analisis regresi logistic adalah variable
yang nilainya (p< 0,25) yaitu: pencahayaan,
kelembaban, ventilasi, dinding rumah, kepadatan
hunian dan lantai rumah. Dalam penelitian ini
digunakan uji regresi logistic karena dari hasil uji
Hosmer-Lemeshow terhadap data hasil penelitian,
didapatkan nilai chi-squarenya 4,417 dengan
nilai signifikansi 0,491. Nilai signifikansi yang
didapat lebih besar dari 0,05, sehingga dapat
disimpulkan bahwa data kelompok hasil
observasi dikatakan fit dengan model regresi
logistik.
Tabel 9. Besar Hubungan Sanitasi Rumah dengan Kejadian Penyakit TB
95% CI untuk ORVariabel Odd Ratio (OR) B P
Low Upp
Step 1Pencahayaan 5,130 1,635 0,212 124,084 0,314Kelembaban 16,01 2,773 0,522 490,837 0,112Ventilasi 16,32 2,792 1,543 172,555 0,020Dinding rumah 0,858 -0,153 0,111 6,649 0,884Kepadatan hunian 12,743 2,545 1,188 136,701 0,036Lantai rumah 0,187 -1,674 0,010 3,630 0,268Constant 0,014 -4,296 0,001Step 2Pencahayaan 5,075 1,624 0,318 0,209 123,422Kelembaban 14,995 2,708 0,109 0,545 412,258Ventilasi 16,007 2,773 0,020 1,543 166,081Kepadatan hunian 11,677 2,458 0,019 1,494 91,285Lantai rumah 0,2 -1,607 0,264 0,012 3,357Constant 0,014 -4,287 0,001Step 3Kelembaban 53,896 3,987 0,003 4,058 715,868Ventilasi 9,082 2,206 0,018 1,466 56,261Kepadatan hunian 17,506 2,863 0,004 2,433 125,945Lantai rumah 0,126 -2,073 0,141 0,008 1,990Constant 0,017 -4,091 0,001Step 4Kelembaban 19,158 2,953 0,001 3,171 115,751Ventilasi 6,408 1,858 0,030 1,199 34,236Kepadatan 13,342 2,591 0,004 2,261 78,733Constant 0,24 -3,718 0,000
Tabel 8. Hubungan Lantai Rumah dengan Tingkat Kejadian Penyakit TB
Kejadian Penyakit TB
Ventilasi Odd Ratio (OR) P
Kasus Kontrol
F % F %
Tidak memenuhi syarat 9 30 5 16,7 2,143 0,22
Memenuhi syarat 21 70 25 83,3
Total 30 100 30 100
61
Berdasarkan Tabel 9, didapatkan hasil bahwa
terdapat tiga variable bebas yang secara statistik
berhubungan secara bermakna (p < 0,05) dengan
variable terikat yaitu kelembaban (OR = 19,158, 95%
CI 3,171 – 115,751), ventilasi (OR = 6,408, 95% CI =
1,199 – 34,236), kepadatan hunian (OR 13,342, 95%
CI = 2,261 – 78,733)
4. SIMPULAN DAN SARAN
4.1 Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian tentang hubungan
sanitasi rumah dengan kejadian penyakit
tuberkulosis (TB) di Kecamatan Kuta, maka dapat
disimpulkan sebagai berikut :
1. Terdapat hubungan antara sanitasi rumah
dengan kejadian penyakit tuberkulosis (TB) di
Kecamatan Kuta.
2. Variabel sanitasi rumah yang berhubungan
dengan kejadian penyakit tuberkulosis (TB) di
Kecamatan Kuta adalah : pencahayaan,
kelembaban, ventilasi, dinding rumah,
kepadatan hunian dan lantai rumah. Sedangkan
yang tidak berhubungan dengan kejadian
penyakit tuberkulosis (TB) adalah suhu .
3. Dari hasil uji statistik probabilitas orang yang
menempati rumah dengan sanitasi buruk
(kelembaban, ventilasi dan kepadatan hunian)
di Kecamatan Kuta untuk terkena tuberkulosis
(TB) adalah 97,08%.
4.2 Saran
Dari hasil kesimpulan untuk dapat menurunkan
kejadian tuberkulosis (TB) di Kecamatan Kuta yang
berhubungan dengan sanitasi rumah, maka dapat
disarankan sebagai berikut:
1. Kepada masyarakat yang tinggal di Kecamatan
Kuta agar dalam membangun atau menempati
rumah tinggal memperhatikan faktor sanitasi
dan standar rumah sehat. Untuk dapat
memenuhi standar rumah sehat maka syarat
rumah sehat wajib untuk dipenuhi seperti :
pencahayaan, kelembaban, suhu, ventilasi,
kepadatan hunian, dinding rumah dan lantai
rumah.
2. Kepada Pemerintah / SKPD terkait agar
memberikan pembinaan ataupun arahan kepada
masyarakat supaya dalam membangun rumah
memperhatikan tata ruang serta
memperhatikan rumah yang memenuhi syarat
kesehatan sehingga masyarakat yang
menempati rumah tersebut merasa aman,
nyaman dan terhindar dari bahaya penyakit
khususnya yang bersumber dari sanitasi rumah
yang buruk, seperti terjadinya kasus TB.
3. Kepada Non Government Organization (NGO)/
LSM terkait supaya dapat menjadi pendamping/
memberi masukan dalam melaksanakan
pembangunan/penataan perumahan khususnya
masalah lingkungan dan rumah yang memenuhi
standar kesehatan.
DAFTAR PUSTAKA
Adnani, 2011. Ilmu Kesehatan Masyarakat.
Yogyakarta : Nuhu Medika.
Ahmad, Y.N, dan Lilis Sulistyorini. 2005. Hubungan
Sanitasi Rumah Secara Fisik Dengan Kejadian
ISPA Pada Balita. Jurnal Kesehatan
Lingkungan I (2) : 110-119.
Depkes R.I. 2011. Strategi Nasional Pengendalian
TB di Indonesia. Jakarta : Ditjen PPM – PLP.
Dewi, S. 2012.” Pengaruh Sanitasi Lingkungan
Rumah Penghasilan Keluarga dan Pengendalian
Terhadap Kejadian Penyakit TB Paru Pada Ibu
Rumah Tangga di Puskesmas Mulyorejo Kab.
Deli Serdang” (Tesis). Medan : Universitas
Sumatera Utara.
Dinas Kesehatan Kabupaten Badung. 2014. Laporan
Tahunan Dinas Kesehatan Kabupaten
Badung2013. Mangupura : Dinas Kesehatan
Kabupaten Badung.
Dinas Kesehatan Kabupaten Badung. 2015. Laporan
Tahunan Dinas Kesehatan Kabupaten Badung
2014. Mangupura : Dinas Kesehatan Kabupaten
Badung.
Dinas Kesehatan Kabupaten Badung. 2016. Laporan
Tahunan Dinas Kesehatan Kabupaten Badung
2015. Mangupura : Dinas Kesehatan Kabupaten
Badung.
Fatimah,S. 2008. Faktor Kesehatan Lingkungan
Rumah yang berhubungan dengan Kejadian TB
paru di Kabupaten Cilacap. Tesis : Undip
Semarang.
Pemerintah Kabupaten Badung. 2015. Badung
Dalam Angka 2014. Mangupura :
Pemerintah Kabupaten Badung
Sugiharto, 2004. Hubungan Kepadatan Hunian
Rumah dengan Kejadian Penyakit TB Paru di
Puskesmas Jenggot. Tesis : Universitas
Diponegoro. Semarang
Sujana, I.K, Patra, I.M, dan Mahayan, B. I, M, 2013.
Pengaruh Sanitasi Rumah Terhadap Kejadian
Penyakit TB Paru di Wilayah Kerja UPT.
Puskesmas Mengwi I. Jurnal Kesehatan
Lingkungan 4 (1) : 93 – 98.
Wiasa, I. W, 2009. Hubungan Faktor Lingkungan
Fisik Rumah dengan Kejadian TB Paru di
Kabupaten Tabanan. Tesis. Universitas Air
Langga Surabaya.
Yasril, Kasjono, S. H. 2009. Analisis Multivariat
untuk Penelitian Kesehatan. Yogyakarta : Mitra
Cendikia Offset.
Hubungan Sanitasi Rumah dengan Kejadian Penyakit Tuberkulosis (TB) di Kecamatan Kuta [I Made Mudana, dkk.]
62
ECOTROPHIC • VOLUME 11 NOMOR 1 TAHUN 2017 p-ISSN: 1907-5626, e-ISSN: 2503-3395
EFEKTIVITAS PENERAPAN AMDAL DALAM PENGELOLAAN
LINGKUNGAN HIDUP PADA PEMBANGKIT LISTRIK
DI BALI – STUDI KASUS PLTD/G PESANGGARAN
Helga Margareta Hunter1*), Made Sudiana Mahendra2), I.G.B. Sila Dharma3)
1)PT General Energy Bali, Bali, Indonesia2)Fakultas Pertanian Universitas Udayana
3)Fakultas Kelautan dan Perikanan Universitas Udayana*Email: [email protected]
ABSTRACT
The development and sustainability of power plant’s activity has a positive impact, such as the increasedelectricity energy which will indirectly boost the economy, but it also has negative impact, such as the risingpressure towards environment. One way to prevent it from damaging environment is to require stakeholdersand industry actors to have the environment permit including EIA (Environment Impact Assessment). Theobjective of this study was to find out the effectiveness of EIA application on power plant on PLTD/GPesanggaran. This study was conducted with a descriptive qualitative approach which used data fromobservations, interviews, questionnaires, and literatures. Location of this study was at PLT/D Pesanggaran.The data that were gathered is used to be the base for value determination from valuation categories, so thatthe value of effectiveness of EIA application in PLTD/G Pesanggaran is subsequently gained. The EIAimplementation of PLTD/G Pesanggaran as a whole was sufficient and in accordance with the environmentaldocument. Supervision of RKL-RPL implementation which was done by BLH had been carried outsystematically and effectively. The effectiveness value of EIA implementation in PLTD/G Pesanggaran was94%, which means that the EIA implementation was effective.
Keywords: EIA; power plant; effectiveness; management; supervision; environment
1. PENDAHULUAN
Kebutuhan energi listrik pada era globalisasi
menjadi kebutuhan pokok di seluruh dunia,
termasuk Indonesia. Dengan meningkatnya tingkat
kesejahteraan masyarakat, maka kebutuhan akan
energi listrik juga akan meningkat.
Seiring dengan semakin pesatnya perkem-
bangan industri pariwisata dan tata kota, kebutuhan
energi listrik di Bali meningkat dengan pesat.
Direktur Bisnis Regional Jawa Bagian Timur dan
Bali Amin Subekti mengatakan (2016), kebutuhan
energi listrik di Bali dari tahun ke tahun semakin
meningkat dan sekarang ini ketersediaan listrik di
daerah ini hanya 1.300 megawatt (MW) dengan beban
puncak 834 MW, sedangkan menurut RUPTL PLN
2016-2025 (2016), kebutuhan energi listrik di
Indonesia akan meningkat 8,2% per tahun dan di
Bali sendiri akan meningkat sebesar 7,7% per tahun.
Pemadaman listrik yang sering terjadi setahun
belakangan ini di Bali akibat rusaknya kabel
transmisi listrik bawah laut yang memasok
kebutuhan listrik di Pulau Bali dari Jawa
menunjukan adanya ketergantungan pemasokan
energi listrik di Bali dari Jawa. Pembangunan
beberapa pembangkit listrik (power plant) di Bali
dilakukan untuk mengurangi ketergantungan akan
energi litrik yang disuplai dari Jawa.
Pembangunan dan keberlangsungan kegiatan
power plant memberikan dampak positif yaitu
bertambahnya pengadaan energi listrik yang secara
tidak langsung meningkatkan perekonomian,
namun juga memberikan dampak negatif berupa
meningkatnya tekanan terhadap lingkungan.
Tekanan terhadap lingkungan dari pembangunan
yang kurang memperhatikan daya dukung dan daya
tampung lingkungan setempat, pada akhirnya akan
menyebabkan kerusakan lingkungan (Wahyono,
dkk, 2012). Kerusakan lingkungan tersebut menjadi
tanggung jawab bersama seluruh pemangku
kepentingan, termasuk masyarakat, pemerintah dan
pemrakarsa.
Sari, dkk, (2012) mengungkapkan bahwa salah
satu upaya preventif yang dilakukan untuk
menghindari kerusakan lingkungan tersebut adalah
dengan mewajibkan kepada setiap pelaku industri
untuk memiliki Izin Lingkungan dengan menyer-
takan Analisis mengenai Dampak Lingkungan
(Amdal), Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup dan
Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup (UKL-UPL).
Kedua studi tersebut merupakan studi kelayakan
lingkungan yang harus dibuat oleh pemrakarasa
kegiatan dan atau usaha yang baru atau belum
beroperasi, sehingga melalui dokumen ini dapat
diperkirakan dampak yang akan timbul dari suatu
kegiatan kemudian bagaimana dampak tersebut
ECOTROPHIC • 11 (1) : 62 - 69 p-ISSN: 1907-5626, e-ISSN: 2503-3395
63
dikelola baik dampak negatif maupun dampak positif.
Pasal 22 ayat (1) UUPLH menyebutkan bahwa
“setiap usaha dan/atau kegiatan yang berdampak
penting terhadap lingkungan hidup wajib memiliki
Amdal” dan Pasal 34 ayat (1) bahwa “setiap usaha
dan/atau kegiatan yang tidak termasuk dalam
kriteria wajib Amdal, wajib memiliki dokumen UKL-
UPL”. Dokumen lingkungan ini digunakan sebagai
instrumen pencegahan pencemaran yang dibuat pada
tahap perencanaan usaha dan/atau kegiatan.
Dokumen Amdal memuat Dokumen Kerangka
Acuan Analisis Dampak Lingkungan (KA-Andal),
Dokumen Analisis Dampak Lingkungan Hidup
(ANDAL), Dokumen RencanaPengelolaan
Lingkungan Hidup (RKL), dan Dokumen Rencana
Pemantauan Lingkungan Hidup (RPL). Pasal 2 ayat
(1) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor
27 tahun 2012 tentang Izin Lingkungan menetapkan
setiap usaha dan/atau kegiatan yang wajib memiliki
Amdal atau UKL-UPL wajib memiliki Izin
Lingkungan. Pasal 53 ayat (1) huruf b mengatakan
setiap pemegang izin lingkungan memiliki kewajiban
membuat dan menyampaikan laporan pelaksanaan
terhadap persyaratan dan kewajiban dalam izin
lingkungan kepada Menteri, gubernur, atau bupati/
walikota dan sesuai Pasal 53 ayat (2) laporan tersebut
disampaikan secara berkala setiap 6 (enam) bulan.
Menurut Sabaruddin (2007), instansi yang
bertanggung jawab di bidang lingkungan hidup
mempunyai kewenangan dalam pengendalian
dampak lingkungan, pencemaran, dan kerusakan
lingkungan serta pengawasan pelaksanaan UKL-
UPL di daerahnya. Peran yang efektif dari
pemerintah diperlukan dalam dokumen lingkungan,
agar dapat lebih meningkatkan kualitas dan
integritas dokumen lingkungan (Ross, et. al., 2006).
Koordinasi/hubungan dan mekanisme kerja antar
pusat, provinsi, dan kabupaten/kota sangat
diperlukan, sehingga terdapat kejelasan mandat,
untuk menghindarkan terjadinya kerancuan dan
tumpang tindihnya wewenang dan tanggung jawab
di bidang pengelolaan sumberdaya alam dan
lingkungan. Sosialisasi dan komunikasi menjadi
kunci penting bagi implementasi pembangunan
berwawasan lingkungan (Sarbi, 2006).
Pada kenyataannya, studi kelayakan lingkungan
baik dalam bentuk Amdal maupun UKL-UPL yang
dijadikan usaha preventif tidak selalu berjalan dan
berhasil optimal. Menurut Rosita dalam Sambutan
Rapat Kerja Amdal tahun 2009 (Wahyono, dkk, 2012),
sampai saat ini masih banyak dokumen Amdal yang
berkualitas buruk, masih tingginya tingkat plagiasi
diantara dokumen Amdal, dan sebagainya.
Dilaporkan bahwa ada sekitar 9.000 lebih dokumen
Amdal telah disetujui oleh pemerintah, namun tidak
menjamin kerusakan lingkungan dapat
diminimalkan. Penyebabnya antara lain komisi
Amdal belum semua berfungsi dengan baik dan
lemahnya penegakan hukum lingkungan.
Revitalisasi sistem Amdal dilakukan oleh
pemerintah pada tahun 2004 karena dirasakan
terdapat banyak hal yang kurang dalam pelaksanaan
Amdal. Hal ini diperkuat dengan masukan beberapa
pakar Amdal. Ada beberapa alasan mengapa program
revitalisasi dilakukan, antara lain (Wahyono, dkk,
2012):
a. Efektivitas Amdal perlu ditingkatkan karena
Amdal belum dilakukan sebagai perangkat
pencegahan dampak lingkungan dan cenderung
hanya untuk memenuhi persyaratan
administrasi saja.
b. Kualitas Amdal masih sangat rendah. Hasil
evaluasi pada tahun 2004 menunjukan hanya
22% dari sampel Amdal yang dievaluasi memiliki
katagori baik dan sangat baik.
c. Pelaksanaan Amdal belum dilakukan dengan
serius dan konsisten.
d. Penaatan dan penegakan hukum Amdal belum
efektif atau persisnya tidak ada upaya pentaatan
hukum.
Menurut Wahyono, dkk. (2012), efektivitas
pelaksanaan Amdal juga perlu ditingkatkan karena
beberapa fakta menunjukan bahwa pada
kenyataannya:
a. Pemrakarsa baru menyusun Amdal setelah izin
mulainya kegiatan dikeluarkan, artinya Amdal
tidak berperan sebagai alat pembantu
pengambilan keputusan.
b. Pemrakarsa masih memandang Amdal sebagai
tambahan biaya ketimbang alat pengelolaan
lingkungan hidup. Pengelolaan lingkungan yang
terdapat dalam RKL-RPL belum berorientasi
pada langkah-langkah untuk penurunan biaya
produksi.
c. Perencanaan Amdal sebagai bahan studi
kelayakan masih lemah karena sering kali
terlambat dilaksanakan setelah aspek ekonomi
dan teknis dinyatakan layak. Dengan demikian
rendah sekali kemungkinan bagi hasil studi
Amdal untuk memberikan masukan perbaikan
dan masukan alternatif bagi kegiatan.
d. Amdal disusun dengan kualitas rendah dan
cenderung tidak fokus.
e. Penilai Amdal belum mampu mengarahkan
agar kualitas Amdal dapat ditingkatkan, masih
banyak dokumen yang berkualitas rendah
diloloskan juga dengan berbagai alasan.
Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk
mengetahui tentang efektivitas penerapan Amdal
dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup pada
pembangkit listrik di Bali - Studi Kasus PLTD/G
Pesanggaran.
Efektvitas Penerapan AMDAL dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup Pada Pembangkit Listrik di Bali ..... [Helga Margareta Hunter, dkk.]
64
ECOTROPHIC • VOLUME 11 NOMOR 1 TAHUN 2017 p-ISSN: 1907-5626, e-ISSN: 2503-3395
2. METODOLOGI
2.1 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di PLTD/G
Pesanggaran di Kota Denpasar, Bali. Alasan
pemilihan lokasi penelitian ini adalah pembangkit
listrik tersebut telah memiliki dokumen Amdal.
Penelitian dilaksanakan selama 6 bulan, mulai dari
Bulan Juli sampai dengan Desember 2016.
2.2 Prosedur Penelitian
Sesuai dengan bentuk pendekatan penelitian
kualitatif dan sumber data yang akan digunakan,
maka teknik pengumpulan data yang digunakan
adalah dengan teknik observasi, wawancara,
kuesioner, dan studi pustaka.
2.3 Analisis Data
Data primer yang terkumpul melalui kuesioner
dan wawancara dilakukan pengolahan dengan
menggunakan analisis deskriptif kualitatif. Data
berupa deskripsi, interpretasi maupun nilai kualitatif
akan dikelompokan tersendiri sebagai data
pendukung dalam penyusunan laporan.
Efektivitas adalah suatu keadaan yang
menunjukkan tingkat keberhasilan atau kegagalan
kegiatan dalam mencapai tujuan yang telah
ditetapkan terlebih dahulu. Dalam efektivitas
penerapan Amdal dan pelaksanaan RKL-RPL dalam
pengelolaan lingkungan hidup di Bali, Kriteria
efektivitas pengelolaan lingkungan yang dipakai
adalah (Wahyono, 2012):
0 – 33% : belum efektif
34 – 66% : cukup efektif
67 – 100% : sudah efektif
Hasil analisis data sesuai dengan permasalahan
dan tujuan penelitian disajikan dalam bentuk formal
dan informal. Dalam bentuk informal, yakni berupa
uraian kalimat secara deskriptif yang menjelaskan
semua aktivitas penelitian yang disusun secara
sistematis dalam bentuk bab-bab. Selanjutnya, dalam
bentuk formal, yakni dapat berupa tabel, yaitu
pendeskripsian tentang data hasil penelitian, baik
berupa angka maupun kata-kata; berupa gambar,
yaitu visualisasi yang melukiskan segala sesuatu
yang berkaitan dengan penelitian.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Deskripsi Kegiatan Perusahaan
PT. Indonesia Power UP Bali adalah sebuah
perusahaan yang bergerak di bidang Pembangkit
Tenaga Listrik. yang terletak di Jalan Brigjen I Gusti
Ngurah Rai nomor 535, Kelurahan Pedungan,
Kecamatan Denpasar Selatan, Kota Denpasar,
Provinsi Bali. Dokumen Amdal yang dimiliki sesuai
dengan SK Amdal yang disetujui No. 371 Tahun 2004
tanggal 25 November 2004 dan adendum surat
persetujuan Kelayakan Lingkungan dari Gubernur
Bali nomor 660.1/1748/BLH/2015 tanggal 14 Agustus
2015. Luas lahan yang dimiliki lebih kurang 71.970
m2 (7,2 Ha) dan di atas lahan tersebut berdiri
bangunan gedung kantor, tangki induk BBM, tempat
parkir, taman, mesin PLTD/G 12 unit, Pembangkit
Listrik Tenaga Gas (PLTG) sebanyak 4 unit dan 1
diantaranya menggunakan pemantauan Continous
Emission Monitoring System (CEMS). Kapasitas
terpasang pada PLTG 125,45 MW dan PLTD/G 200
MW yang bisa menggunakan dua metode bahan
bakar yaitu Bahan Bakar Minyak (BBM) dan Bahan
Bakar Gas (BBG).
Mesin-mesin pembangkit tersebut telah
dioperasikan sejak tahun 1974 sampai dengan
sekarang dan didukung oleh 165 personil yang terdiri
dari 1 orang General Manager, 5 Manajer Bidang
dan 180 orang staf.
3.2 Pelaksanaan Pengelolaan dan Pemantauan
PLTD/G Pesanggaran dalam melakukan
kegiatan pembangkit listrik menimbulkan dampak
terhadap lingkungan, sehingga memerlukan upaya
pengelolaan dan pemantauan lingkungan dan
pelaksanaannya dilakukan oleh perusahaan
sebagaimana tertuang dalam dokumen RKL-RPL.
Semua komponen lingkungan, baik komponen geo-
fisik kimia, biologi, sosial ekonomi, sosial budaya dan
kesehatan masyarakat, telah dilakukan upaya
pengelolaan, namun untuk pemantauan lingkungan
ada beberapa parameter yang belum dipantau.
Pelaksana pengelolaan dan pemantauan lingkungan
pada PLTD/G Pesanggaran dilakukan seluruhnya
oleh perusahaan dengan bagian terkait. Pengawasan
dari instansi/dinas mendorong pelaksanaan upaya
pengelolaan dan pemantauan lingkungan pada
PLTD/G Pesanggaran.
Seluruh responden merasakan manfaat
pelaksanaan pengelolaan dan pemantauan
lingkungan pada PLTD/G Pesanggaran yang
dilakukan. Menurut hasil penelitian, manfaat yang
didapat pemrakrsa dari pelaksanaan pengelolaan dan
pemantauan lingkungan adalah lingkungan tetap
bersih dan lingkungan tidak rusak dan tercemar.
Kendala dalam pelaksanaan pengelolaan dan
pemantauan lingkungan pada PLTD/G Pesanggaran
sebagian besar adalah karena sulitnya sosialisasi ke
masyarakat sekitar yang belum memahami kaidah
lingkungan. Biaya, ketersediaan sumber daya
manusia dan tidak adanya teknologi juga menjadi
salah satu kendala pelaksanaan pengelolaan dan
pemantauan lingkungan.
PLTD/G Pesanggaran membuat laporan
semester pelaksanaan pengelolaan dan pemantauan
lingkungan dan melakukan pelaporan setiap
semester atau dua kali setiap tahunnya dengan
format yang telah memenuhi ketentuan peraturan.
65
PLTD/G Pesanggaran juga telah memiliki
program Coorporate Social Responsibility (CSR) dan
community development (comdev). Program CSR
yang dilakukan antara lain penanaman 3500 pohon
di sekitar Bali bekerja sama dengan BLH Kota
Denpasar, budidaya kuda laut di Pulau Serangan
dan pemberian sepeda kepada masyarakat untuk
pengembangan Ekowisata Desa Pedungan. Untuk
comdev yang dijalankan adalah mengembangkan
Koperasi dan Kelompok Usaha Kecil.
3.3 Pelaksanaan Pengawasan Pengelolaan dan
Pemantauan Lingkungan
Pelaksanaan pengawasan pengelolaan dan
pemantauan lingkungan pada PLTD/G Pesanggaran
dilakukan oleh instansi pemerintah pada bidang
lingkungan dari pemerintah pusat sampai
pemerintah daerah. Instansi yang melakukan
pengawasan terhadap pengelolaan dan pemantauan
lingkungan PLTD/G Pesanggaran adalah BLH Kota
Denpasar, BLH Provinsi Bali, dan Pusat
Pengendalian Pembangunan Ekoregion (P3E) Bali
Nusra (Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan Republik Indonesia). Hasil penelitian ini
didapat dari penelitian yang dilakukan terhadap BLH
Kota Denpasar mengenai pengawasan pengelolaan
dan pemantauan lingkungan di PLTD/G
Pesanggaran.
Pengawasan BLH Kota Denpasar dimulai dari
pembahasan penyusunan dokumen Amdal PLTD/G
Pesanggaran. Kegiatan pengawasan penerapan
Amdal PLTD/G Pesanggaran dilaksanakan secara
sistematis dengan mekanisme sebagai berikut:
a. Melakukan kunjungan lapangan secara rutin
dan berkala.
b. Membaca dan mencermati laporan pelaksanaan
RKL-RPL.
c. Jika ada penyimpangan dari standar baku mutu,
BLH akan memberikan saran kepada PLTD/G
Pesanggaran untuk melakukan perbaikan.
d. Melakukan pengawasan secara terus menerus
hingga tercapai standar baku mutu yang
ditetapkan.
Laporan pelaksanaan RKL-RPL secara rutin
setiap semester disampaikan PLTD/G Pesanggaran
kepada BLH Kota Denpasar. Dalam pelaksanaan
pengawasan yang dilakukan BLH Kota Denpasar,
tidak ada penyimpangan yang ditemukan baik
dalam pengelolaan dan pemantauan lingkungan yang
dilakukan PLTD/G Pesanggaran. Belum pernah ada
sanksi administratif yang diberikan BLH Kota
Denpasar kepada PLTD/G Pesanggaran.
Sempat ada informasi atau keluhan dari warga
sekitar PLTD/G ke BLH secara langsung atau tidak
langsung. Informasi atau keluhan tersebut antara
lain permasalahan mengenai perluasan lahan dan
juga suara bising dari mesin pembangkit, namun
permasalahan tersebut telah diselesaikan.
BLH Kota Denpasar sebagai pengawas
penerapan Amdal PLTD/G Pesanggaran menilai
bahwa pengelolaan dan pemantauan yang dilakukan
PLTD/G Pesanggaran sudah sesuai dan efektif.
3.4 Efektivitas Pelaksanaan Amdal
Nilai efektivitas penerapan Amdal PLTD/G
Pesanggaran didapat dari analisis deskriptif
kualitatif dari kategori penilaian efektivitas
penerapan Amdal (Wahyono, 2012) seperti terlihat
dalam Lampiran 1. Seluruh data yang didapat dari
observasi, kuesioner, dan wawancara menjadi dasar
penilaian untuk 25 indikator yang dibagi menjadi 8
bagian.
PLTD/G Pesanggaran telah memiliki cerobong
yang dilengkapi dengan tangga dan lubang sampling
yang memenuhi syarat serta telah menggunakan
CEMS, sehingga untuk indikator pertama didapatkan
nilai 4. Begitu juga untuk hasil uji laboratorium
emisi dan udara ambien dilakukan secara periodik
untuk semua parameter dan hasilnya sesuai baku
mutu yang ditetapkan, sehingga untuk indikator
kedua didapat nilai 4.
Kebisingan tertinggi di PLTD/G Pesanggaran
hanya di sekitar mesin pembangkit. Alat peredam
sudah dipasang di mesin pembangkit dan areal mesin
pembangkit sehingga suara bising mesin tidak
keluar. Penggunaan APD dan penanaman pohon
juga sudah dilakukan untuk mengurangi suara
bising, sehingga untuk indikator ketiga dan keempat
mendapat nilai masing-masing 4.
Indikator selanjutnya yaitu pengendalian
pencemaran air juga mendapat angka 4 karena
PLTD/G Pesanggaran telah memiliki IPAL yang
dilengkapi dengan pengukur debit di inlet dan outlet
serta dilakukan uji lab berkala. Pemantauan intern
untuk air juga dilakukan dan juga dilakukan
pencatatan setiap bulannya sehingga untuk indikator
pemantauan intern mendapat nilai 4.
Uji laboratorium untuk air sumur dilakukan
secara periodik, namun hasil uji laboratorium untuk
beberapa parameter ada yang melebihi baku mutu
seperti paremeter seng pada bulan Juni 2015
mencapai 0,110 mg/l sedangkan baku mutu yang
diperbolehkan hanya 0,05mg/l dan parameter sulfida
mencapai 0,009 mg/l sedangkan baku mutu yang
diperbolehkan hanya 0,002 mg/l (Laporan RKL-RPL
PLTD/G Pesanggaran, 2015). Begitu pula parameter
besi pada bulan Juni 2016 mencapai 0,112 mg/l
sedangkan baku mutu yang diperbolehkan adalah
0,1 mg/l (Laporan RKL-RPL PLTD/G Pesanggaran,
2016). Hal ini menyebabkan nilai untuk indikator
ketujuh mendapat nilai 3.
Uji laboratorium untuk air kali/sungai dan air
laut dilakukan secara periodik, namun hasil uji lab
untuk beberapa parameter air sungai melebihi baku
mutu seperti parameter amonia dan BOD pada bulan
Juni 2015 (Laporan RKL-RPL PLTD/G Pesanggaran,
Efektvitas Penerapan AMDAL dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup Pada Pembangkit Listrik di Bali ..... [Helga Margareta Hunter, dkk.]
66
ECOTROPHIC • VOLUME 11 NOMOR 1 TAHUN 2017 p-ISSN: 1907-5626, e-ISSN: 2503-3395
2015). Parameter amonia mencapai 2,767 mg/l,
sedangkan baku mutu yang ditetapkan adalah 0,5
mg/l dan parameter BOD mencapai 32,04 mg/l,
sedangkan baku mutu yang ditetapkan adalah 12
mg/l. Hal ini menyebabkan nilai untuk indikator
kedelapan dari kategori penilaian mendapat nilai 3.
Uji laboratorium terhadap biota flora dan fauna
air dilakukan secara periodik. Hasil yang ditunjukan
mengalami fluktuasi untuk jumlah jenis, jumlah
individu, dan indeks diversitas baik fauna maupun
flora seperti terlihat pada Tabel 1. Hasil uji
laboratorium terakhir (Pemantauan Biologi, 2016)
menunjukan peningkatan jumlah jenis, jumlah
individu, dan indeks diversitas sehingga untuk
indikator kategori penilaian kesembilan mendapat
nilai 4.
Pengelolaan dan pemantauan limbah PLTD/G
Pesanggaran dilakukan dengan baik. Pengelolaan
limbah cair dilakukan dengan IPAL yang
dioperasikan secara rutin. Limbah cair juga diuji
secara periodikdan hasilnya baik di bawah baku
mutu yang ditetapkan. Limbah B3 diletakan di
Tempat Penyimpanan Sementara (TPS) Limbah B3
yang telah memiliki ijin, setiap limbah B3 diberi label
untuk setiap jenisnya, dan pengolahan limbah B3
akan dilakukan dengan bekerja sama dengan pihak
ketiga yang telah memiliki ijin. Pengelolaan limbah
sampah/padat dilakukan dimulai dari penyediaan
tempat sampah di beberapa titik untuk selanjutnya
dibawa ke TPS untuk dipilah. Sampah organik akan
dijadikan pupuk dengan metode composting atau
bekerja sama dengan pihak ketiga. Sampah
anorganik akan dipilah untuk dimanfaatkan oleh
pihak ketiga. Berdasarkan deskripsi tersebut, nilai
untuk indikator kesepuluh-ketigabelas masing-
masing 4.
Berdasar hasil wawancara, perekrutan tenaga
lokal sudah dilakukan oleh perusahaan hanya sekitar
15-20% dan mayoritas oleh perusahaan outsource.
Tenaga kerja lainnya berasal dari luar Bali karena
perekrutan dilakukan dari pusat. Perekrutan tenaga
lokal masih berada dibawah 25% sehingga untuk
indikator keempatbelas diberi nilai 1. Pendapatan
yang diberikan kepada tenaga kerja di PLTD/G
sesuai dengan upah minimum regional (UMR). Para
pekerja juga diberikan asuransi serta tunjangan
lainnya seperti tunjangan hari raya dan tunjangan
jabatan, sehingga untuk indikator kelima belas
diberikan nilai 4.
Keberadaan usaha kecil menengah (UKM) di
sekitar PLTD/G seperti beberapa warung makan dan
warung yang menjual barang kebutuhan sehari-hari
menunjukan adanya peningkatan kesempatan
berusaha. Meski tidak banyak, tetapi UKM tersebut
tertata rapih. Indikator keenam belas tentang
peningkatan kesempatan berusaha diberi nilai 3.
Untuk program CSR, perusahaan telah memiliki
kebijakan dan secara rutin dilaksanakan sehingga
indikator ketujuh belas diberi nilai 4.
Pengelolaan gangguan K3 dilakukan dengan
menyediakan APD dan mewajibkan para pekerja
untuk mengenakan APD sesuai dengan SOP masing-
masing bagian, sehingga untuk indikator kedelapan
belas diberi nilai 4. Pengelolaan lalu lintas di sekitar
PLTD/G Pesanggaran dilakukan dengan pengadaan
lahan parkir, rambu lalu lintas, dan petugas
keamanan, sehingga nilai untuk indikator
kesembilan belas adalah 4.
Manajemen PLTD/G Pesanggaran memberikan
wewenang kepada divisi K3 Lingkungan (K3L) untuk
bertanggung jawab terhadap penerapan Amdal dan
pelaksanaan RKL-RPL. Divisi K3L akan melakukan
sosialisasi dengan divisi lain dan melakukan
koordinasi untuk pelaksanaan pengelolaan dan
pemantauan lingkungan dengan divisi yang
berkaitan. Karena pelaksanaan pengelolaan dan
pemantauan dilakukan secara periodik dan
terintegrasi maka manfaat dari pelaksanaan
pengelolaan dan pemantauan agar lingkungan tidak
tercemar dan rusak menjadi efisien dan mencapai
75-100%. Berdasarkan deskripsi tersebut, nilai untuk
indikator kedua puluh dan dua puluh satu adalah
masing-masing 4.
PLTD/G Pesanggaran secara rutin melaporkan
kegiatan pengelolaan dan pemantauan kepada BLH
Kota Denpasar dan BLH Provinsi Bali. Laporan yang
dikumpulkan antara lain Laporan Pelaksanaan RKL-
RPL yang dilakukan setiap semester, Laporan
Pemantauan Biologi yang dilakukan setiap 3 bulan,
dan Laporan pengelolaan limbah B3. Pelaksanaan
pengelolaan dan pemantauan serta pelaporan
dilakukan secara rutin sehingga menciptakan
lingkungan yang baik sehingga tidak ada sanksi
adimistratif dari pemerintah setempat untuk PLTD/
Tabel 1. Data kuantitatif fauna dan flora air PLTD/G Pesanggaran periode 2015-2016
Fauna Flora
No Parameter
Juni 2015 Des 2015 Mar 2016 Juni 2015 Des 2015 Juni 2016
1 Jumlah jenis 17 14 15 15 11 13
2 Jumlah individu 134 74 102 635 594 605
3 Indeks diversitas 2,431 2,433 2,539 1,5421 1,5563 1,7794
Sumber: Pemantauan Biologi (Fauna Air dan Flora Air) di Lingkungan PLTD/G/U Pesanggaran-Bali (2016)
67
G Pesanggaran. Aduan dari masyarakat tentang
PLTD/G Pesanggaran juga tidak pernah diterima
BLH Kota Denpasar. Kerja sama dengan instansi
terkait pengelolaan lingkungan juga dilakukan
antara lain kerja sama dengan BLH Kota Denpasar
untuk membuat 1000 biopori di sekitar Pesanggaran
dan kerja sama dengan PPLH untuk pemantauan
biota. Berdasarkan deskripsi tersebut maka nilai
untuk indikator kedua puluh dua sampai dua puluh
lima masing-masing adalah 4.
Berdasarkan hasil analisa data dengan
menggunakan analisis deskriptif kualitatif,
efektivitas penerapan Amdal PLTD/G Pesanggaran
adalah 94%. Sesuai kriteria efektifitas pengelolaan
lingkungan yang dipakai Wahyono (2012), nilai
efektifitas penerapan Amdal PLTD/G Pesanggaran
berada dalam kisaran 67-100% yaitu sudah efektif.
3.5 Evaluasi Pelaksanaan RKL-RPL PT
Indonesia Power UP Bali
Berdasarkan hasil kajian pelaksanaan
pengelolaan dan pemantauan lingkungan yang telah
dilaksanakan oleh PLTD/G Pesanggaran terlihat
pada Tabel 2.
Dari Tabel 2. dapat diuraikan sebagai berikut:
1) Pengelolaan dampak pada kualitas udara
Pengelolaan dengan melakukan penghijauan,
pemasangan CEMS, pemasangan filter di setiap
stack , dan pemeliharaan setiap mesin
pembangkit dan mesin pendukung. Kualitas
udara dan emisi sudah dipantau secara rutin.
Pengujian udara ambien sudah dilakukan
dengan uji laboratorium dan dilaporkan dalam
laporan RKL-RPL, untuk emisi sudah dilakukan
menggunakan CEMS namun uji laboratorium
emisi belum dilakukan. Kualitas udara ambien
dan emisi di PLTD/G Pesanggaran masih berada
di bawah baku mutu yang ditetapkan peraturan
perundang-undanganan.
2) Pengelolaan dampak pada kebisingan
Pengendalian kebisingan dengan memasang alat
peredam suara pada alat dan gedung pembang-
kit, penggunaan APD, penanaman pohon di
sekitar pembangkit, dan pemeliharaan mesin
pembangkit. Pengujian terhadap kebisingan
sudah dilakukan dan sudah sesuai dengan baku
mutu yang ditetapkan peraturan perundang-
undanganan seperti ditampilkan pada Tabel 3.
Hasil uji juga sudah dilaporkan kepada instansi
melalui laporan RKL-RPL setiap semester.
3) Pengelolaan kualitas air
Pengelolaan untuk kualitas air dilakukan
dengan membuat IPAL, membuat bak
penampungan limbah cair, dan pengolahan
limbah cair. Pengujian untuk kualitas air
dilakukan secara rutin untuk air limbah, air
tanah, dan air laut sekitar. Hasil uji
laboratorium untuk air sudah dilaporkan kepada
instansi melalui laporan RKL-RPL setiap
semester. Beberapa hasil uji laboratorium untuk
air sumur di Pesanggaran dan air sungai sekitar
PLTD/G Pesanggaran melebihi baku mutu yang
ditetapkan peraturan perundang-undanganan.
4) Pengelolaan dampak pada limbah padat
Pengelolaan limbah padat dilakukan antara lain
dengan menyediakan tempat sampah terpisah,
melakukan 3R, menyimpan limbah B3 di tempat
penyimpanan yang sudah disediakan dan
bekerja sama dengan pihak lain yang memiliki
izin untuk pengolahannya, dan melakukan
composting untuk limbah padat organik.
Laporan pengolahan limbah B3 juga telah
dilaksanakan secara rutin.
Tabel 2. Evaluasi Pelaksanaan RKL-RPL PLTD/G Pesanggaran
Pelaksanaan
No Komponen lingkungan Ket
Ya Tidak
1 Kualitas udara V Belum sesuai
2 Kebisingan V Hasil sesuai
3 Kualitas air V Hasil belum sesuai
4 Limbah padat V Hasil sesuai
5 Hidrologi V Hasil sesuai
6 Pendapatan masyarakat V Hasil sesuai
7 Kenyamanan hidup V Hasil sesuai
8 Persepsi masyarakat V Hasil sesuai
9 Kesehatan masyarakat V Hasil sesuai
10 Pola lalu lintas V Hasil belum sesuai
Sumber: Analisis data (2016)
Tabel 3. Data Pengujian Intensitas Kebisingan PLTD/G Pesanggaran (Juni 2016)
Hasil Pengujian
Lokasi Pengukuran Satuan Baku Mutu
Range Rerata
Depan Kantor Pertanian (BPTP) dB.A 54,3-59,2 55,96 70
Halaman Parkir dB.A 58,7-63,3 59,68 85
Timur Pembangkit dB.A 45,9-53,9 48,38 70
Barat Pembangkit dB.A 58,4-69,1 65,10 70
Perkantoran dB.A 58,4-69,1 65,10 70
Sumber: Laporan Pemantauan dan Pengelolaan Lingkungan PLTD/G Pesanggaran (2016)
Efektvitas Penerapan AMDAL dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup Pada Pembangkit Listrik di Bali ..... [Helga Margareta Hunter, dkk.]
68
ECOTROPHIC • VOLUME 11 NOMOR 1 TAHUN 2017 p-ISSN: 1907-5626, e-ISSN: 2503-3395
5) Penurunan Biota air
Pengelolaan biota air dilakukan antara lain
dengan menyediakan waste water treatment dan
oil separator, penyediaan TPS limbah B3 untuk
oli dan sludge, dan melakukan treatment pada
air yang akan dibuang ke media lingkungan.
Pemantauan dilakukan dengan melakukan
penelitian biologi yang hasilnya dilaporkan secara
rutin kepada instansi terkait.
6) Pengelolaan dampak pada sosial ekonomi dan
budaya.
Pengelolaan dilakukan antara lain dengan
melakukan social mapping, membuat dan
menjalankan program CSR dan comdev, dan
berpartisipasi dalam kegiatan masyarakat
setempat.
7) Pengelolaan dampak kesehatan
Pengelolaan lingkungan dilakukan berkaitan
dengan kecelakaan dan gangguan kesehatan
antara lain dengan penggunaan APD, penetapan
SOP, dan penanaman pohon untuk mengurangi
penyebaran polusi serta pelaksanaan jaminan
asuransi kesahatan terhadap pekerja dan
masyarakat yang terkena dampak.
8) Pelaksanaan pendukung pengelolaan lingkungan
lainnya
Selain pelaksanaan pengelolaan lingkungan yang
sesuai dengan RKL-RPL, PLTD/G Pesanggaran
juga melaksanakan pelaksanaan pengelolaan
lingkungan yang didasarkan pada ISO
14001:2004 tentang Sistem Manajemen
Lingkungan dan Sistem Manajemen
Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3).
PLTD/G Pesanggaran juga telah ikut dalam
Program Penilaian Peringkat Kinerja
Perusahaan (PROPER) yang merupakan salah
satu upaya Kementerian Negara Lingkungan
Hidup untuk mendorong penaatan perusahaan
dalam pengelolaan lingkungan hidup melalui
instrumen informasi.
4. SIMPULAN DAN SARAN
4.1 Simpulan
1. Penerapan Amdal oleh PLTD/G Pesanggaran
secara keseluruhan sudah cukup sesuai dengan
dokumen lingkungan. Beberapa kegiatan
pengelolaan dan pemantauan khususnya
kualitas limbah, air, dan emisi perlu
ditingkatkan termasuk dalam hal pelaporan
pelaksanaan pengelolaan dan pemantauan.
2. Pengawasan pelaksanaan RKL-RPL yang
dilakukan oleh instansi melalui Badan
Lingkungan Hidup dilaksanakan secara
sistematis dan sudah efektif.
3. Dari hasil penelitian diketahui bahwa PLTD/G
Pesanggaran memiliki nilai efektivitas sebesar
94% dan berada pada kelompok atas dengan nilai
rentang 67–100% yang menunjukan bahwa
pelaksanaan pengelolaan dan pemantauan
lingkungan sudah efektif.
4.2 Saran
Berdasarkan penelitian yang dilakukan
terhadap penerapan Amdal pada PLTD/G
Pesanggaran, saran yang dapat diberikan penulis
adalah pemrakarsa perlu melakukan kegiatan
pengelolaan dan pemantauan lingkungan secara
tepat waktu sesuai dengan arahan dokumen RKL-
RPL, termasuk dalam hal penyampaian pelaporan
pelaksanaan pengelolaan dan pemantauan
lingkungan, khususnya terkait dengan kualitas
limbah, air dan emisi dengan bukti-bukti analisis
dan dokumen pendukung lainnya, serta pemrakarsa
harus menaati peraturan perundangan sesuai dengan
kondisi terkini secara cermat.
DAFTAR PUSTAKA
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Republik
Indonesia. 2016. Keputusan Menteri Energi dan
Sumber Daya Mineral Republik Indonesia Nomor
5899K/20/MEM/2016 tentang Pengesahan
Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listik PT
Perusahaan Listrik Negara (persero) Tahun 2016
s.d. 20255. Indonesia.
Pemerintah Republik Indonesia. 2009. Undang-
undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun
2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup. Lembaran Negara RI Tahun
2009, No. 140. Sekretariat Negara, Indonesia.
Pemerintah Republik Indonesia. 2012. Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 27 Tahun
2012 tentang Izin Lingkungan. Lembaran
Negara RI Tahun 2012, No. 48. Sekretariat
Negara, Indonesia.
Ross, W.A., A.M. Saunders, and R. Marshall. 2006.
Common Sense in Environmental Impact
Assessment: It Is Not as Common as It Should
Be. Impact Assessment and Project Appraisal,
volume 24 nomor 1.
Sabaruddin, A. K. 2007. Amdal dan Kewenangan
Bapedalda Dalam Menjaga Pelestarian Fungsi
Lingkungan Hidup di Kota Balikpapan. Risalah
Hukum Fakultas Hukum Unmul. 3 (1):13-20.
Sarbi, S. 2006. Strategi Pengembangan Kapasitas
Pengelolaan Lingkungan Hidup di Era Otonomi
Daerah Kabupaten Polmas Sulawesi Barat.
Jurnal Bumi Lestari, Volume 6 No. 2.
69
Sari, Tri Fitri Puspita, Mochamad Makmur &
Mochamad Rozikin. 2014. Efektivitas
Implementasi UKL-UPL dalam Mengurangi
Kerusakan Lingkungan (Studi pada Badan
Lingkungan Hidup Kabupaten Malang dan
Masyarakat Sekitar PT Tri Surya Plastik
Kecamatan Lawang). Jurnal Administrasi
Publik (JAP). 2 (1):161-168.
Wahyono, Suntoro & Sutarno. 2012. Efektivitas
Pelaksanaan Dokumen Lingkungan Dalam
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup Di Kabupaten Pacitan Tahun 2012. Jurnal
EKOSAINS. 4 (2): 43-52.
Efektvitas Penerapan AMDAL dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup Pada Pembangkit Listrik di Bali ..... [Helga Margareta Hunter, dkk.]
70
ECOTROPHIC • VOLUME 11 NOMOR 1 TAHUN 2017 p-ISSN: 1907-5626, e-ISSN: 2503-3395
KERAGAMAN MIKOFLORA TANAH SUPRESIF
DALAM MENGENDALIKAN PENYAKIT AKAR GADA
PADA TANAMAN KUBIS (BRASSICA OLERACEA L.)
Ni Nengah Darmiati1) dan I Made Sudarma1*)
1)Program Studi Agroekoteknologi, Fakultas Pertanian Universitas Udayana
*email: [email protected].
ABSTRACT
Cabbage (Brassica oleracea L.) was a vegetable crops cultivated in the highlands to meet the needs of the
community vegetable. The main obstacle was the cultivation of cabbage root disease outbreak mace (clubroot),
which until now have not found an effective control techniques. Clubroot disease caused by organisms that
resemble fungi: Plasmodiophora brassicae Wor. which was the soil inhibitant and soil borne pathogen.
Therefore, there must be a way to control environmentally friendly by using suppressive soil, find microbes
antagonists related to the cabbage plant habitat in the soil. The results showed that the index of diversity
both on suppressive and conducive soil of 1.2304 and 1.2811 respectively, and the index of dominance on the
suppressive and conducive soil were 0.6677 and 0.6838. Prevalence micoflora of the suppressive soil amounted
to 44.22 % and 43.06 % conducive soil all dominated by Fusarium spp. Microbial antagonist as a potential
control of P. brassicae was Trichoderma sp. Based on the analysis in the suppressive soil as much as 171 x
103 cfu /g soil, higher than on the conducive soil to 90 x 103 cfu /g soil.
Keywords: Cabbage (Brassica oleracea L.), supperessive and condussive soil, Palmodiophora brassicae,
prevalence, and soil inhibitant.
1. PENDAHULUAN
Tanaman kubis (Brassica oleracea L.) telah lama
dibudidayakan sebagai tanaman sayuran dan
merupakan sumber vitamin, mineral dan serat
(Keinath et al., 2006). Di Bali tanaman kubis-kubisan
banyak dibudidayakan didataran tinggi seperti
Baturiti-Tabanan, Candikuning-Buleleng dan
Kintamani-Bangli. Menurut Semangun (1989)
tanaman kubis-kubisan yang ditanam sekarang ini
telah menderita penyakit akar gada (clubroot) yang
disebabkan oleh jamur Plasmodiophora brassicae
Wor.). Kerugian yang disebabkan oleh penyakit akar
gada pada tanaman kubis-kubisan di Inggris,
Jerman, Amerika Serikat, Asia dan Afrika Selatan
mencapai 50-100%. Di Australia patogen ini
menyebabkan kehilangan hasil sekitar 10% setiap
tahun dengan kehilangan pendapatan sebesar US$
13 juta. Di Indonesia penyakit ini menyebabkan
kerusakan pada kubis-kubisan sekitar 88,60% dan
pada tanaman caisin sekitar 5,42-64,81% (Cicu,
2006).Usaha pengendalian terhadap penyakit akar
gada membutuhkan cara alternatif lain yang ramah
lingkungan, efisien dan efektif dibandingkan yang
hanya bertumpu pada pestisida sintetis. Untuk itu
pemanfaatan tanah supresif dengan peran mikroba
yang adadi dalamnya diharapkan lebih menjanjikan
untuk mengendalikan penyakit ini (Garbeva et al.,
2004). Mikroba di dalam tanah jumlah dan jenisnya
sangat banyak, tergantung tingkat kesuburan tanah.
Conklin (2008) menyatakan dalam satu gram tanah
terdapat bakteri 108-109 jenis. actinomycetes 107-
108 jenis per gram tanah, jamur terdapat 105-106
propagul per gram tanah. Mikroba ini (bakteri,
actinomycetes dan jamur) jumlahnya cukup besar
dalam tanah. Kalia dan Gupta (2005) menyatakan
bahwa perlu langkah konservasi apabila telah
mengetahui kegunaan dari keragaman mikroba
seperti : berperanan dalam biogeochemical dalam
siklus nutrisi, penggunaan lahan berkelanjutan,
produk mikroba untuk pertanian, biodegradasi dari
xenobiotik dan pemanfaatan untuk industri.
2. METODOLOGI
2.1.Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan di dua tempat di
lapangan yaitu disentar produksi kubis Bali yakni
di Candi Kuning, tabanan dan Panca Sari, Buleleng.
Penelitian dilaksanakan dari bulan Maret sampai
dengan Juni 2015. Setelah sampel diperoleh
dilanjutkan dengan analisis mikroba tanah di
laoratorium Ilmu Penyakit Tumbuhan fakultas
Pertanian Universitas Udayana.
2.2. Penelitian di Lapangan
Sampel tanah diperoleh dari habitat rizosfer
tanaman kubis sakit dan sehat yang diambil dari di
areal sentra tanaman kubis di sentra produksi kubis
ECOTROPHIC • 11 (1) : 70 - 75 p-ISSN: 1907-5626, e-ISSN: 2503-3395
71
Bali. Tanaman kubis yang sakit diamati, banyaknya
rumpun, jumlah tanaman sakit, sehingga dapat
ditentukan serangan penyakit dengan menggunakan
rumus yakni : jumlah tanaman sakit dibagi dengan
seluruh tanaman yang diamati kali 100%.
Pengambilan data tanah diambil berdasarkan hasil
survei pada sentra tanaman sehat dan sakit dengan
mengambil tanah di dekat perakaran tanaman kubis
sehat dan sakit dengan kedalam kurang lebih 20 cm
masing-masing sebanyak 100 gram, setiap tanaman
diambil 4 kali kemudian dicampur merata.
2.3. Penelitian di Laboratorium
A. Menentukan Populasi Mikoflora Tanah
Tanah sampel satu gram dilarutkan dalam air
steril kemudian dicampur dan divortek. Suspensi
tanah diencerkan sampai mencapai volume 10 ml.
Pengenceran bertingkat dilakukan 10-2 - 10-7 di
bawah kondisi steril. Suspensi diambil 1 ml
dituangkan ke dalam piring Petri bersama dengan
media biakan Media potato dextrose agar (PDA)
dengan campuran kentang 200 g, gula 15 g, agar 20
g dalam aquades 1000 ml dan livoplosaxin (antibiotik
antibakteri) dengan konsentrasi 0,1% (w/v)
digunakan untuk isolasi jamur. Lima cawan Petri
disiapkan untuk setiap larutan. Biakan diinkubasi
pada ruang gelap pada suhu 27±2oC, selanjutnya
koloni dihitung sebagai colony forming unit (CFU).
Koloni tunggal dipindahkan ke dalam cawan Petri
baru yang berisi media PDA dan diikubasi pada suhu
kamar. Isolat diidentifikasi secara makroskopis
setelah berumur 3 hari untuk mengetahui warna
koloni dan laju pertumbuhan, dan identifikasi secara
mikroskopis untuk mengetahui septa pada hifa,
bentuk spora/konidia dan sporangiofor (Samson et
al., 1981; Pitt dan Hocking, 1997; Barnett dan
Hunter, 1998; Indrawati et al., 1999).
B. Menentukan Indek Keragaman dan Dominasi
Mikroba Tanah
Keragaman dan dominasi mikroba tanah dapat
diketahui dengan menghitung indek keragaman
Shannon-Wiener (Odum, 1971) dan dominasi
mikroba tanah dihitung dengan menghitung indeks
Simpson (Pirzan dan Pong-Masak, 2008).
1) Indek keragaman mikroba
Indek keragaman mikroba tanah ditentukan
dengan indek keragaman Shannon-Wiener yaitu
dengan rumus (Odum, 1971):
(1)
Keterangan:
H’ = indek keragaman Shannon-Wiener
S = Jumlah genus
Pi = ni/N sebagai proporsi jenis ke i
(ni = Jumlah total individu jenis mikroba total
i,
N = Jumlah seluruh individu dalam total n)
Kriteria yang digunakan untuk menginter-
prestasikan keragaman Shannon-Wiener
(Ferianita-Fachrul et al., 2005) yakni: H’nilainya
< 1, berarti keragaman rendah, H’ nilainya 1 –
3 berarti keragaman tergolong sedang dan H’
nilainya > 3 berarti keragaman tergolong tinggi.
2) Indek dominasi
Indek dominasi mikroba tanah dihitung
dengan menghitung indeks Simpson (Pirzan
dan Pong-Masak, 2008), dengan rumus sebagai
berikut :S C = “ Pi2 i=1 Keterangan : C = indek
Simpson S = Jumlah genus Pi = ni/N yakni
proporsi individu jenis i dan seluruh individu (ni
= Jumlah total individu jenis i, N = Jumlah
seluruh individu dalam total n) Selanjutnya
indek dominasi spesies (D) dapat dihitung
dengan formulasi 1- C (Rad et al.2009).
Kreteria yang digunakan untuk menginter-
prestasikan dominasi jenis mikroba tanah
yakni: mendekati 0 = indek rendah atau semakin
rendah dominasi oleh satu spesies mikroba atau
tidak terdapat spesies yang secara ekstrim
mendominasi spesies lainnya, mendekati 1 =
indek besar atau cendrung didomnasi oleh
beberapa spesies mikroba (Pirzan dan Pong-
Masak, 2008).
3) Analisis Chi kuadrat
Keragaman mikroba tanah pada habitat
tanaman kubis dengan dan tanpa gejala sakit
lebih banyak atau sedikit dapat dibuktikan
dengan menggunakan analisis Chi kuadrat (X2),
atau t test dengan rumus (Gomes dan Gomes,
2007; Sugiyono, 2009):
(2)
Keterangan :
p = banyaknya kelas
ni = banyaknya satuan yang diamati yang
termasuk kelas i
Ei = banyaknya satuan yang diharapkan
termasuk ke dalam kelas i
Selanjutnya nilai Chi kuadrat hitung
dibandingkan dengan Chi kuadrat tabel, bila Chi
kuadrat hitung lebih kecil dari tabel, maka Ho
diterima dan sebaliknya.
Keragaman Mikoflora Tanah Supresif dalam Mengendalikan Penyakit Akar Gada pada Tanaman Kubis (Brassica Oleracea L.) [Nengah Darmiati, dkk.]
72
ECOTROPHIC • VOLUME 11 NOMOR 1 TAHUN 2017 p-ISSN: 1907-5626, e-ISSN: 2503-3395
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1. Populasi Jamur Tanah
Populasi jamur tanah di tiga lokasi baik di tanah
supresif maupun pada tanah kondusif (Gambar 1)
menunjukkan perbedaan yang sangat nyata. Pada
lokasi I jumlah koloni yang dapat ditemukan pada
tanah supresif sebanyak 22 x 103 cfu/g tanah, pada
tanah kondusif sebanyak 10 x 103 cfu/g tanah, pada
lokasi II tanah supresif sebanyak 90 x 103 cfu/g tanah
dan tanah kondusif 49 cfu/g tanah, pada lokasi III
pada tanah supresif sebanyak 75 x 103 cfu/g tanah,
dan pada tanah kondusif sebanyak 40 x 103 cfu/g
tanah (Gambar 2).
Hal ini menunjukkan bahwa pada tanah supresif
terdapat banyak mikoflora tanah dibadingkan pada
tanah kondusif. Berarti salah satu ada sebagai
mikroga antagonis yang menekan perkembangan
patogen penyebab penyakit akar gada di tiga lokasi
tersebut. Tanah bagi patogen tanaman adalah sebuah
rumah sakit, melalui pembatasan baik lamanya
bertahan hidup ataupun pertumbuhan patogen.
Setiap tanah diketahui menekan patogen atau
penyakit. Tanah supresif sangat ditentukan oleh
keragaman mikroba tanah, sedangkan keragaman
mikroba tanah dipengaruhi oleh tiga hal utama: (a)
tipe tanaman yang merupakan penentu utama
struktur dari komunitas mikroba dalam tanah,
seperti tanaman penyedia utama karbon dan sumber
energi, (b) tipe tanah merupakan penentu utama
komunitas mikroba, sperti kombinasi struktur dan
tekstur tanah, bahan organik, stabilitas
mikroagregat, pH, dan keberadaan hara kunci
seperti N, P, dan Fe menetukan habitat dalam tanah,
dan (c) cara mengelola pertanian yakni rotasi
tanaman, pengelohan tanah, herbisida, aplikasi
pemupukan dan irigasi juga menentukan struktur
komunitas mikroba tanah (Nannipieri, et al., 2003;
Garbeva et al., 2004).
Berdasarkan pengamatan selama penelitian
ditemukan hanya 7 spesies jamur yang
mengkolonisasi habitat tanah supresif maupun tanah
Gambar 1. Perbedaan tanah supresif (A) dan kondusif (B) yang ditanami kubis (sumber: dokumen pribadi)
Gambar 2. Jumlah koloni mikoflora tanah pada tanah supresif dan tanah kondusif
73
kondusif. Ketujuh jamur tersebut antara lain:
Aspergillus spp., Aspergillus flavus, Aspergillus
niger, Fusarium spp., Penicillium spp., Rhizopus
spp., dan Trichoiderma spp. (Tabel 1).
3.2. Indek Keragaman, Dominasi dan
Prevalensi Mikoflora Tanah Supresif dan
Kondusif
Indek keragaman pada tanah supresif 1,2304
dalam kreteria rendah, dengan indek dominasi
sebesar 0,6677, prevalensi tertinggi ditemukan pada
Fusarium spp. sebesar 44,22%, sedangkan pada
tanah kondusif indek keragaman mencapai 1,2811,
dengan indek dominasi 0,6838. Prevalensi tertinggi
dicapai oleh Fusarium spp. sebesar 43,06%. Indek
keragaman menunjukkan variasi mikoflora yang
terdapat dalam habitat tanaman kubis di tiga lokasi.
Indek keragaman 1,2304 dan 1,2811 menunjukkan
indek yang rendah, yang ini diakibatkan ada
dominasi dari mikoflora lainnya yakni dalam hal ini
adalah Fusarium spp. sebesar 44,22% dan 43,06%
(Tabel 1).
Rendahnya indek keragaman disebabkan oleh
banyaknya jamur yang mendominasi pada tanah
supresif maupun tanah kondusif, dalam hal ini
adalah Fusarium spp., disamping Fusarium spp., ada
juga jamur Trichoderma spp. yang mendominasi
kedua pada tanah supresif sebesar 28,64.
Trichoderma spp. dikenal sebagai jamur mikoparasit
yang antagonis terhadap jamur lainnya dalam tanah
Ada beberapa mekanisme supresi biologi
penyakit tumbuhan meliputi: (1) antagonisme,
kemampuan dari mikroba spesifik yang
menguntungkan untuk menghasilkan antibiotic yang
dapat membunuh organism petogen, (2) kompetisi
untuk nutrisi dan energy, yakni pada beberapa kasus
organisme patogenik adalah competitor yang jelek
dalam hubungannya dengan mikroba yang
menguntungkan. Dalam nutrisi dan energy yang
terlibat dalam substrat, (3) kompetisi untuk
kolonisasi akar, hal ini berhubungan dengan penyakit
akar. Beberapa mikroba berguna memeiliki
kemampuan untuk mengadakan kolonisasi pada
akar tanaman sebelumpatogen dapat menginfeksi,
sehingga akar terlindungi, (4) induced systemic
resistence (ISR) atau systemic acquired resistence
(SAR), adalah sebuah mekanisme dimana gen
supresif aktif bekerja untuk menghadap patogen
penyebab penyakit, gen tanaman yang menyandi
senyawa ketahanan berkerja baik akibat rangsangan
mikroba berguna maupun patogen penyebab
penyakit (McKellar dan Nelson, 2003; Alexander,
2006; Singh dan Singh, 2008).
3.3. Uji Antagonistik
Hasil uji antagonistik (spora jamur Trichoderma
sp. terhadap P. brassicae pada tanaman sawi putih)
menunjukkan bahwa Trichoderma sp, dapat
menekan pertumbuhan jamur patogen P. brassicae.
Uji antagonistik dilakukan dengan cara mengamati
Tabel 1. Indek keragaman, dominasi dan prevalensi mikoflora tanah supresif dan kondusif
Tanah supresif Tanah kondusif
Nama jamur Populasi Prevalensi H’ Populasi Prevalensi H’
(x103cfu/g)** (%) (x103cfu/g) (%)
Aspergillus spp. 139 23,28 122 28,71
Aspergillus flavus 2 0,34 2 0,47
Aspergillus niger 3 0,50 1 0,24
Fusarium spp. 264 44,22 1,2304 183 43,06 1,2811
Penicillium spp. 9 1,51 25 5,88
Rhizopus spp. 9 1,51 2 0,47
Trichoderma spp. 171 28,64 90 21,18
Jumlah 597 425
**berbeda sangat nyata uji Chi kuadrat, H’ = indek keragaman
Tabel 2. Pengaruh pemberian spora jamur Trichoderma sp. sebagai jamur antagonsitik Plasmodiophora brassicae terhadap tinggi tanaman sawi putih
Perlakuan Tinggi tanaman (cm)
Tanpa Trichoderma sp. 15,50 d
Pengenceran spora Trichoderma sp. 10 ml (47,5 x 108 spora/ml) 19,67 a
Pengenceran spora Trichoderma sp. 30 ml (136 x 107 spora/ml) 18,37 b
Pengenceran spora Trichoderma sp. 50 ml (95 x 107 spora/ml) 17,73 c
Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan pengaruh yang tidak berbeda nyata pada uji BNT taraf 5%
Keragaman Mikoflora Tanah Supresif dalam Mengendalikan Penyakit Akar Gada pada Tanaman Kubis (Brassica Oleracea L.) [Nengah Darmiati, dkk.]
74
ECOTROPHIC • VOLUME 11 NOMOR 1 TAHUN 2017 p-ISSN: 1907-5626, e-ISSN: 2503-3395
pertumbuhan tinggi tanaman sawi dari awal tanam
sampai dengan tanaman kontrol menampakkan
gejala akar gada. Hasil pengamatan uji antagonistik
dapat dilihat pada Tabel 2.
Pertumbuhan tinggi tanaman sawi putih pada
perlakuan dengan pemberian spora Trichoderma sp.
10 ml, menunjukkan pertumbuhan paling tinggi
yaitu 19,67 cm, dan pada perlakuan tanpa
Trichoderma sp. menunjukkan pertumbuhan yang
paling rendah yaitu 15,5 cm (Gambar 3). Dalam
analisis statistika menunjukkan pengaruh
pemberian spora jamur Trichoderma sp. nyata
terhadap pertumbuhan tanaman sawi. Tanaman
kubis tanpa perlakuan pertumbuhannya paling
rendah karena adanya serangan jamur P. brassicae
yang menyebabkan pertumbuhan tanaman sawi atau
kubis menjadi kerdil dan merana, karena adanya
pembengkakan pada sistem perakaran dari tanaman
kubis.
4. SIMPULAN DAN SARAN
4.1. Simpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan dapat
disimpulkan sebagai berikut: Indek keragaman baik
pada tanah supresif maupun kondusif berturut
sebesar 1,2304 dan 1,2811, dan indek dominasi pada
tanah supresif dan kondusif berturut-turut sebesar
0,6677 dan 0,6838. Prevalensi mikoflora pada tanah
supresif sebesar 44,22% dan tanah kondusif 43,06%
semuanya dikuasai oleh Fusarium spp. Mikroba
antagonis yang potensial sebagai pengendalikan P.
brassicae adalah Trichoderma sp. Berdasarkan hasil
analisis pada tanah supresif sebanyak 171 x 103 cfu/
g tanah, lebih tinggi dibandingkan pada tanah
kondusif sebanyak 90 x 103 cfu/g tanah. Hasil uji
antagonistik dengan spora Ttrichoderma sp.
menunjukkan hasil yang signifikan dalam
mengendalikan penyakit akar gada yang telah diuji
cobakan pada sawi putih.
4.2. Saran
Berdasarkan hasil dan pembahasan dapat
disarankan sebagai berikut: Sebaiknya dilakukan
analisis tanah untuk menentukan kandungan
tekstur dan struktur tanah, biologi dan kimiawi
tanah dalam mendukung data tanah supresif.
Mengingat patogen bersifat obligat, jadi agak
kesulitan dalam uji antagonistik secara buatan,
sehingga diperlukan uji antagonistik langsung di
lapangan.
DAFTAR PUSTAKA
Alexander, R. 2006. Compost and disease suppression,
R. Alexander Assiciates, Inc., a Copmany
specializing in organic recycled produkct and
market development, 1-5 p.
Barnett, H.L. and B.B. Hunter. 1998. Illustrated
Genera of Imperfect Fungi. APS Press. The
American Phytopathological Sociey. St Paul,
Minnesota. Pp. 218.
Cicu. 2006. Penyakit akar gada (Plasmodiphora
brassicae Wor.) pada tanaman kubis-kubisan dan
upaya pengendaliannya. Jurnal Litbang
Pertanian, 25(1): 16-21.
Conklin, A.R. 2002. Soil Microorganisms. Soil
Sediment and Water. Http://www.aehsmag.com/
issues/2002/januray/microorganisms.htm.
AEHS Magazine. Disitir tanggal 10 Oktober
2008. 2h.
Ferianita-Fachrul, M., H. Haeruman, dan L.C.
Sitepu. 2005. Komunitas Fitoplankton Sebagai
Bio-Indikator Kualitas Perairan Teluk Jakarta.
FMIPA-Universitas Indonesia Depok.
Garbeva, P., J.A. van Veen and J.D. van Elas. 2004.
Microbial diversity in soil: selection of microbial
population by plant and soil type and implications
for disease suppressiveness. Annu. Rev.
Phytopathol. 42: 243-270.
Gomes, K.A. dan A.A. Gomes, 2007. Prosedur
Statistik untuk Penelitian Pertanian. Edisi
kedua. Penerbit Universitas Indonesia (UI-
Press).
Indrawati. G., R.A. Samson, K. Van den Tweel-
Vermeulen, A. Oetari dan I. Santoso. 1999.
Pengenalan Kapang Tropik Umum. Yayasan
Obor Indonesia. Universitas Indonesia
(University of Indonsia Culture Collection) Depok,
Indonsia dan Centraalbureau voor
Schirmmelcultures, Baarn, The Netherlands.
Kalia, A. And R.P. Gupta. 2005. Conservation and
Utilization of Microbial Diversity. NBA Scientific
Bulletin Number-1. National Biodiversity
Authority. Chennai, Tamilnadu, India. Pp: 35.
Keinath, A.P., M.A. Cubeta and D.B. Langston, Jr.
2006. Cabbage Diseases: Ecology and Control.
Encyclopedia of Pest Management DOI. Taylor
and Francis.
75
McKellar, M.E., and E.B. Nelson, 2003. Compost-
Induced Suppression of Pyhthium Damping-off
is Mediated by Fatty-Acid-Metabolizing Seed-
Colonizing Mikrobial Communities. Applied and
Environemental Microbiology 69(1): 452-460.
Nannipieri, P., J. Ascher, M.T. Ceccherini, L. Landi,
G. Pietramellara and G. Renella. 2003. Micronial
diversity and soil functions. Europe Journal od
Soil Science 54:655-670.
Odum, E.P. 1971. Fundamentals of Ecology. Third
Edition. W.B. Saunders Company.Philadelphia,
Toronto, London. Toppan Company, Ltd. Tokyo,
Japan.
Pirzan, A.M., dan P. R. Pong-Masak. 2008.
Hubungan Keragaman Fitoplankton dengan
Kualitas Air di Pulau Bauluang, Kabupaten
Takalar, Sulawesi Selatan. Biodiversitas, 9 (3)
217-221.
Pitt, J.I. and A.D. Hocking. 1997. Fungi and Food
Spoilage. Blackie Avademic and Professional.
Second Edition. London-Weinhein-New York-
Tokyo-Melboune-Madras.
Rad, J.E., M. Manthey and A. Mataji. 2009.
Comparison of Plant Species Diversity with
Different Plant Communities in Deciduous
Forests. Int. J. Environ. Sci. Tech, 6(3): 389-
394.
Samson, R.A., E.S. Hoekstra, and C. A.N. Van
Oorschot. 1981. Introduction to Food-Borne
Fungi. Centraalbureau Voor-Schimmelcultures.
Institute of The Royal Netherlands. Academic of
Arts and Sciences.
Semangun, H. 1989. Penyakit-penyakit Penting
Tanaman Hortikultura di Indonesia. Gadjah
Mada Press. Yogyakarta.
Sinh, D.P. and H.B. Singh. 2008. Microbial wealth
regulate crop quality and soil health. Knowledge
Treasure on ELISA. Departement of Mycology
and Plant Pathology, Institute of Agriculture
Sciences, Baranas Hindu University, 25-26 p.
Sugiyono, 2009. Statistika untuk Penelitian. Penerbit
Alfabeta. Bandung.
Keragaman Mikoflora Tanah Supresif dalam Mengendalikan Penyakit Akar Gada pada Tanaman Kubis (Brassica Oleracea L.) [Nengah Darmiati, dkk.]
76
ECOTROPHIC • VOLUME 11 NOMOR 1 TAHUN 2017 p-ISSN: 1907-5626, e-ISSN: 2503-3395
EVALUASI DAN PENETAPAN LAHAN PERTANIAN BERKELANJUTAN
UNTUK PENCEGAHAN ALIH FUNGSI LAHAN
DI KABUPATEN BANGLI
I Made Adnyana1*), I Nyoman Puja, 1) I Dewa Made Arthagama1)
1)Program Studi Agroekoteknologi, Fakultas Pertanian Universitas Udayana
*Email : [email protected]
ABSTRACT
The research was done in the area of paddy soil in Bangli District, Bangli Regency to identification,
evaluation, and mapping the paddy soil area that have to maintain as a sustainable agriculture. To achieve
these objectives, the research conducted through several activities, namely: soil survey and environment,
physical and chemistry of soil analysis, and mapping the model of the prevented exchangeable paddy soil
functions. Depend on plan lay out space (called RTRW) of Bangli regency, there were two models of sustainable
agriculture decision at district of Bangli, where in each model, land (Subak) mapping as subak everlasting,
subak buffer, and Subak convertion. Subak convertion was have opportunity to changing function. Subak
convertion of Model I as 158,68 ha (2011 – 2021) and Model II as 78,14 ha (2021 – 2031) respectively.
Keyword: sustainable agriculture, changing land function, land (subak) mapping
1. PENDAHULUAN
Pemerintah Republik Indonesia sudah
menghasilkan Undang Undang Republik Indonesia
Nomor 41 Tahun 2009, tentang Perlindungan Lahan
Pertanian Berkelanjutan. Ruang lingkup perlin-
dungan lahan pertanian mencakup perencanaan dan
penetapan, pengembangan, penelitian, pemanfaatan,
pembinaan, pengendalian, pengawasan, system
informasi, pemberdayaan petani, pembiayaan, dan
peran serta masyarakat. Dalam pasal 11 Undang
Undang tersebut diamanatkan perencanaan lahan
pertanian berkelanjutan disusun baik di tingkat
nasional, provinsi, maupun kabupaten/kota; dengan
tujuan untuk pencegahan alih fungsi lahan pertanian
yang tidak terkontrol. Persyaratan minimum
pembangunan berkelanjutan adalah terpeliharanya
dengan baik segala sesuatu yang diberikan oleh alam
(total natural capital stock) pada tingkat yang sama
atau kalau bisa lebih tinggi dibandingkan dengan
keadaan sekarang (Saragih, 2002; dan Thuc Son, and
Quang Ha. 2002)
Kabupaten Bangli dengan luas wilayah 520,81
km2 atau 9,25% dari luas wilayah Provinsi Bali
memiliki lahan pertanian seluas 36.327 ha, terdiri
atas lahan sawah 2.886 ha dan lahan bukan sawah
33.441 ha (Bangli Dalam Angka 2016 dan Pasedahan
Agung, 2013). Lahan sawah Kabupaten Bangli tidak
hanya penting untuk produksi padi dan ketahanan
pangan, tetapi nilai-nilai budaya agrarisnya dan
lahan dengan lansekap yang indah dan eksotik
merupakan faktor yang sangat penting bagi
perkembangan pariwisata dan sektor-sektor lainnya.
Upaya mempertahankan integritas budaya dan
lansekap fisik tentu bukan hal yang mudah karena
pembangunan akan selalu membawa perubahan
terhadap ekosistem (Reijntjes, at.al, 2006 ; Nguyen
Van Bo, 2002; Adnyana, 2006, dan Adnyana, 2010)
Pembangunan pariwisata harus memperhatikan
kelestarian lingkungan, karena perkembangan
pariwisata menyebabkan kebutuhan keruangan
untuk prasarana fisik dan aktifitas sosial budaya.
Kecenderungan terlalu mengedepankan sektor favorit
pariwisata telah terbukti diberbagai tempat lainnya
sebagai akar penyebab terjadinya lingkungan yang
tidak seimbang, keindahan dan estetika lingkungan
terancam, dan pembangunan yang tidak
berkelanjutan. Untuk itu, perlu dilakukan kajian
penentuan dan penetapan lahan pertanian
berkelanjutan untuk kelestarian lingkungan
Kabupaten Bangli. Kegiatan ini sangat penting,
karena berdasarkan hasil kajian yang akan
dilakukan akan teridentifikasi dan dapat dipetakan
lahan-lahan pertanian yang harus dipertahankan
sebagai lahan pertanian berkelanjutan, tidak boleh
dialihfungsikan dengan pertimbangan komprehensif
mulai dari aspek geografis dan lokasinya strategis,
sosial-ekonomi-budaya, potensi dan kesesuaian alam,
estetika lingkungan, nice view, dan lain-lain.
2. METODOLOGI
2.1. Survei Kondisi Sawah dan Lingkungan
Penelitian dilakukan pada areal sawah yang
tersebar di Kecamatan Bangli, Kabupaten Bangli,
melalui metode survey yang dilakukan baik ke Dinas
Pertanian, Perkebunan, dan Perhutanan, Bappeda
ECOTROPHIC • 11 (1) : 76 - 80 p-ISSN: 1907-5626, e-ISSN: 2503-3395
77
Dan PM Kabupaten Bangli, maupun ke kelian subak.
Pada setiap subak dikumpulkan informasi sebagai
beriut : (1) kesesuaian lokasi sawah dengan RTRW,
(2) penggunaan lahan, (3) posisi subak pada DAS dan
satuan administrasinya, (4) air irigasi, (5) curah
hujan, (6) bentuk wilayah, (7) elevasi, (8) kesesuaian
lahan, (9) produktivitas lahan, (10) jarak subak dari
pusat kota, (11) luas lahan, (11) view, dan (12)
keberadaan tempat suci. Semua informasi tersebut
diberi bobot, skor dan nilai sesuai metode strategi
pengendalian alih fungsi lahan oleh Subadiyasa et
al. (2013), yang telah dimodifikasi oleh penulis
2.2. Analisis Karakterestik Tanah
Pengambilan contoh tanah dilakukan di seluruh
Subak yang tersebar di Kecamatan Bangli,
Kabupaten Bangli. Tanah diambil pada lapisan olah
sedalam 30 cm, sehingga terkumpul 46 sampel.
Contoh tanah dikering-udarakan, ditumbuk dan
diayak dengan saringan 2 mm, selanjutnya dianalisis
karakterestik tanah seperti Tabel 1. Di samping itu
dicatat pula data pendukung seperti : lereng,
kedalaman efektif, singkapan batuan, curah hujan,
kondisi banjir, dan teknik budidaya yang dilakukan
petani. Selanjutnya, berdasarkan data tersebut,
dilakukan evaluasi kesesuaian lahan, menggunakan
metode oleh Puslittanak, Bogor (1997).
Tabel 1. Analisis Laboratorim Karakterestik Tanah
No Macam Analisis Metode
1 Tekstur tanah Pipet
2 Kapasitas Tukar Kation (KTK) Ekstrak NH4Oac. pH 7
3 Kejenuhan Basa Ekstrak NH4Oac. pH 7
4 pH tanah pH meter
5 Salinitas Tanah Conductometer
6 N total Kjeldhal
7 P tersedia Bray 1
8 K tersedia Bray 1
9 C organik Black and Walkley
2.3. Pemetaan model alih fungsi lahan
pertanian
Langkah-langkah pemodelan :
1. Penyiapan Software QGIS 2.10.01 dan ArcGis
10.3, Data Citra Quickbird Tahun 2013
Kabupaten Bangli Liputan Tahun 2012 yang
telah di Orthoretrifikasi.
2. Penyiapan Data-data Spasial per parameter
dengan format shp, kemudian di registrasi dan
disamakan system proyeksi koordinatnya
menjadi UTM WGS 50 s.
3. Setelah itu masing-masing data parameter
digitas ditambahkan kolom keterangan, skor,
dan nilai, kemudian diisi sesuai dengan data
skoring parameter.
4. Melakukan proses Geoprcesing (overlay) dengan
jenis Intersect seluruh data spasial parameter.
5. Kemudian hasil overlay di tambahkan kolom
skor total dan dihitung total dalin keseluruhan
nilai parameter.
6. Database hasil overlay dipindahkan kedalam
excel, kemudian dilakukan pencarian Ring
Populasi untuk mengetahui kelompok sebaran
data hasil overlay digital.
7. Kemudian dari skor total dilakukan proses
klasifikasi (pemodelan) dengan mencari data rata-
rata, jumlah data hasil overlay digital, standar
deviasi. Klasifikasi dilakukan dengan beberapa
pemodelan dari data rata-rata dan standar
deviasi.
8. Kemudian data –data klasifikasi di input
kedalam database digital untuk dilakukan
klasifikasi spasial di Qgis. Dan didapatkan
Batas-batas Zonasi Subak dalam beberapa
pemodelan.
9. Setelah itu dilakukan pengukuran luas untuk
mendapatkan luas subak lestari, penyangga,
dan terkonversi dari setiap pemodelan zonasi
sawah.
10. Proses kartografi (layout) peta-peta (11 Peta
Parameter + 4 Peta Pemodelan).
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1. Model Penetapan lahan Pertanian
Berkelanjutan
Kabupaten Bangli memiliki RTRW yang berlaku
mulai tahun 2011 dan berakhir pada tahun 2031.
Model penetapan lahan pertanian berkelanjutan
disusun selama periode berlakunya RTRW. Model I
berlaku mulai tahun 2011 sampai 2021 yang terdiri
dari luas Subak Lestari = 115,53 ha; luas Subak
Penyangga = 361,40 ha; dan luas Subak Terkonversi
= 158,68 ha. Model II berlaku mulai 2021 sampai
2031, yang terdiri dari luas Subak Lestari = 412,35
ha; luas Subak Penyangga = 145,13ha; dan luas
Subak Terkonversi = 78,14ha. Data selengkapnya
disajikan pada Gambar 1 dan Gambar 2
Berdasarkan citra satelit, luas lahan sawah di
Kecamatan Bangli, Kabupaten Bangli adalah 635,58
ha; sedangkan menurut RTRW, sawah yang berada
di zone pertanian adalah 458,89 ha, sawah di luar
zone pertanian adalah 176,66 ha, dan non sawah di
zone pertanian adalah 137, 99 ha. Sebaiknya alih
fungsi lahan dilakukan pada areal sawah diluar zone
pertanian atau areal non sawah, sesuai aturan
perundangan yang berlaku, serta sebaran dan
luasnya di masing masing desa bervariasi (Tabel 2).
Evaluasu dan Penetapan Lahan Pertanian Berkelanjutan Untuk Pencegahan Alih Fungsi Lahan di Kabupaten Bangli [I Made Adnyana, dkk.]
78
ECOTROPHIC • VOLUME 11 NOMOR 1 TAHUN 2017 p-ISSN: 1907-5626, e-ISSN: 2503-3395
Gambar 1. Fungsi lahan, Model I
79
Gambar 2. Fungsi Lahan, Model II
Evaluasu dan Penetapan Lahan Pertanian Berkelanjutan Untuk Pencegahan Alih Fungsi Lahan di Kabupaten Bangli [I Made Adnyana, dkk.]
80
ECOTROPHIC • VOLUME 11 NOMOR 1 TAHUN 2017 p-ISSN: 1907-5626, e-ISSN: 2503-3395
4. SIMPULAN DAN SARAN
4.1. Simpulan
Terkait dengan masa berlakunya RTRW
Kabupaten Bangli, terdapat dua model penetapan
lahan pertanian berkelanjutan di Kecamatan Bangli,
Kabupaten Bangli, dimana pada masing masing
model, lahan (subak) dirinci sebagai subak lestari,
subak penyangga, dan subak terkonversi. Lahan
pertanian (subak) terkonversi adalah lahan yang
mempunyai peluang untuk beralih fungsi. Pada
model I (2011- 2021), lahan terkonversi adalah
158,68 ha, sedangkan model II, lahan terkonversi
menjadi 78,14 ha (2021- 2031).
4.2. Saran
Penetapan lahan pertanian berkelanjutan
hendaknya dilakukan pada lahan pertanian lestari,
sedangakan alih fungsi lahan pertanian ke non
pertanian sebaiknya diprioritaskan pada lahan
pertanian terkonversi
DAFTAR PUSTAKA
Adnyana, I.M. 2006. Teknologi Zone Agroekologi
dalam Pembangunan Pertanian Berwawasan
Lingkungan. Jurnal lingkungan hidup. Bumi
Lestari. (6) : 1. Pusat Penelitian Lingkungan
Hidup Lembaga Penelitian Universitas
Udayana, Denpasar
Adnyana, I.M. 2010.Peningkatan kualitas tanah
dalam mewujudkan produktivitas lahan
pertanian secara berkelanjutan.Bumi Lestari.
(11) : 1. Pusat Penelitian Lingkungan Hidup
Tabel 2. Sebaran dan luas sawah terkonversi (alih fungsi) di Kecamatan Bangli, Kabupaten Bangli
Model 1 (ha) Model 2 (ha)
No Desa Luas Sawah (ha)
Lestari Penyangga Terkonversi Lestari Penyangga Terkonversi
1 Bunutin 110.97 0 100.56 10.41 78.40 18.87 13.70
2 Taman Bali 158.63 0 142.40 16.23 95.17 38.82 24.77
3 Bebalang 132.89 0.85 0 132.04 49.97 62.38 20.54
4 Kawan 107.41 35.82 71.59 0 73.79 14.35 19.27
5 Cempaga 125.72 78.87 46.85 0 115.02 10.70 0
Total 635.62 115.54 361.4 158.68 412.35 145.12 78.28
Lembaga Penelitian Universitas Udayana,
Denpasar
Nguyen Van Bo. 2002. The role of fertilizer in modern
agriculture production in Vietnam. P 1-9. http:/
/www.fadinap.org/vietnam/fertilizer.html
Kabupaten Bangli Dalam Angka 2016. Badan Pusat
Statistik Kabupaten Bangli
Pasedahan Agung. 2013. Data Subak/Subak Abian
di Kabupaten Bangli. Dinas Pendapatan/
Pasedahan Agung Kabupaten Bangli
Reijntjes, C.; B. Haverkort and A. Water Bayer.
2006. Farming for the future. An Introduction
to low-external-input and sustainable
agriculture. The MacMillan Press Ltd, London.
Cetakan ke 8, edisi Indonesia oleh Kanisius
Saragih, B. 2002. Kebijakan Pemberdayaan Lahan
Kering untuk Mendukung Pembangunan
Pertanian Berkelanjutan.Lokakarya Kurikulum
Inti Facultas Pertanian se Indonesia. Mataram,
26-28 Mei 2002.
Thuc Son, and Quang Ha. 2002. Some feature of
fertilizer need and fertilizer production in
Vietnam. http://www.fadinap.org/vietnam/
fertilizer.html
Subadiyasa, N.N; I.Lanya; dan K. Sardiana. 2010.
Strategi pengendalian alih fungsi lahan subak
berbasis masyarakat dan upaya peningkatan
produktivitas lahan di kabupaten Tabanan, Bali.
Laporan penelitian. Universitas Udayana
Winarno, S. 2005. Kesuburan tanah. Dasar-dasar
kesehatan tanah dan kualitas tanah. Gava
Media, Yogjakarta
81
PEDOMAN PENULISAN
JUDUL MANUSCRIPT
Nama Penulis1*), Nama Penulis2), Nama Penulis3)
1)Insitusi penulis pertama, alamat2)Insitusi penulis kedua, alamat3)Insitusi penulis ketiga, alamat
*)Email: [email protected]
ABSTRACT
Judul manuscript ditulis dengan huruf kapital times new roman ukuran 14 tebal, nama-nama penulis
ditulis dengan jenis huruf times new roman 12, sedangkan institusi penulis dan email penulis pertama
(correspondent author) ditulis dengan huruf times new roman 11. Abstrak ditulis dalam bahasa inggris,
huruf times new roman ukuran 12. Setelah abstrak, ditulis kata kunci (Keywords) minumum 4 kata kunci
yang dipisahkan oleh tanda titik koma (;).
Keywords: Kata Kunci; Kata Kunci; Kata Kunci; Kata Kunci
1. PENDAHULUAN
Isi teks manuscript ditulis dengan jenis huruf Times New Roman dengan ukuran huruf 12 dan
spasi 12 pt (1 spasi). Setiap paragraf baru baris pertama maju (first line) sebesar 0.25 inchi. Penulisan
Bab Manuscript atau selevelnya (Abstrak, Pendahuuan, metodologi, hasil dan pembahasan dan daftar
pustaka) ditulis dengan huruf times new roman kapital ukuran 12 dan bold, rata kiri, spasi sebelumnya
(space before) 18 pt dan setelahnya (space after) adalah 6 pt. Penulisan kutipan dan daftar pustaka
menggunakan Harvad style. Setiap penulis yang pendapatnya disitir dalam teks harus disebutkan
namanya dalam teks dan dituliskan dalam daftar pustaka. Contoh penulisan dalam teks adalah: Komar
(1983) menyatakan bahwa.... atau ..... (Komar, 1983; Eryani et al., 2009).
2. METODOLOGI
2.1. Sub Bab
Penulisan sub bab ditulis dengan huruf times new roman ukuran 12 dan bold, spasi sebelum (space
before) penulisan Sub-bab adalah 12 pt dan setelahnya (apace after) adalah 6 pt. Tabel ditulis dengan
menggunakan sistem tabel pada MS Word. Judul tabel ditulis dengan huruf times new roman ukuran
12 dan diletakan di atas tabel dengan rata tengah. Garis pada tabel hanya diisi garis horizontal pada
judul tabel dan akhir tabel (Tabel 1).
Tabel 1. Kondisi Terumbu Karang Nusa Penida Pada Kedalaman 3 Meter
Desa LCC H’ E D HC/LCC
Pajukutan 74,7 2,9 0,7 0,2 0,75
Batu Nunggul 81,3 2,2 0,6 0,4 0,84
Batu Madeg 78,7 3,0 0,8 0,2 0,81
Kutampi Kaler 60,0 2,9 0,8 0,2 0,78
Jungut Batu 83,7 2,3 0,6 0,3 0,96
Lembongan 78,3 2,8 0,7 0,2 0,94
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambar dimasukan dalam teks dengan format *.jpg dan rata tengah. Gambar harus memiliki
resolusi minimal 300 dpi. Judul gambar diletakan setelah gambar dan rata tengah dengan huruf times
new roman ukuran 12 (Gambar 1). Persamaan ditulis dengan menggunakan fungsi MathType
equationpada MS Word dengan rata tengah diikuti dengan nomor persamaan tersebut rata kanan,
berupa angka yang diapit oleh kurung buka dan kurung tutup (Persaman 1).
82
ECOTROPHIC • VOLUME 11 NOMOR 1 TAHUN 2017 p-ISSN: 1907-5626, e-ISSN: 2503-3395
Gambar 1. Peta Satuan Wilayah Pengelolaan dan Titik Pengambilan Data LIT
(1)
4. SIMPULAN DAN SARAN
Penulisan daftar pustaka ditulis dengan Harvad style seperti contoh dibawah. Penulisan daftar
pustaka menggunakan huruf times new roman ukuran 12 dengan spasi setelah (after) adalah 6 pt.
DAFTAR PUSTAKA
Chen, S., Chen, L., Liu, Q., Li, X., Tan, Q. 2005. Remote sensing and GIS based integrated analysis of
coastal changes and their environmental impacts in LingdingBay, Pearl River Estuary, South China.
Ocean and Coastal Management, 6 (48): 65–83.
Eryani, I.G.A.P., Ardantha, I.M., Sinartha, I.N. 2009. Pengaruh Perubahan Iklim Global terhadap
Karakteristik Kerusakan Pantai di Kabupaten Badung, Provinsi Bali. Bali, Indonesia: Pusat Penelitian
Lingkungan Hidup, WarmadewaUniversity.
Handoko, P. 2007. “Mediasi Konflik Penanganan Kerusakan Pantai: Studi kasus Penanganan Abrasi Pantai
Kuta Bali” (thesis).Semarang: DiponegoroUniversity.
Komar, P. D. 1983. Beach Processes and Erosion. In: Komar, P.D., Moore, J.R., editors. CRC Handbook of
Coastal Processes and Erosion. 3rd Ed. Boca Raton, Florida: CRC Press Inc. p.1–20.
Philander, S.G. 1990. El Niño, La Niña, and the Southern Oscillation. San Diego, CA: Academic Press. 289
pp.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Sistem Pendidikan Nasional. 8 Juli 2003. Jakarta,
Indonesia: Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 4301.
83
CARA BERLANGGANAN
Untuk berlangganan Jurnal ECOTROPHIC secara berkala, dimohon mengisi formulir (dapat di fotocopy) dibawah ini, setelah dilengapi dikirik ke alamat :
Redaksi ECOTROPHICProgram Studi Magister Ilmu LingkunganProgram Pascasarjana Universitas UdayanaJl. PB. Sudirman Denpasar 80232 Bali.
Harga langganan untuk satu tahun (dua volume) termasuk ongkos cetak dan kirim adalah Rp. 35.000,- untukPulau Bali, dan Rp. 45.000,- unhtuk luar Bali.
Pembayaran dapat dilakukan melalui :- Pos wesel- Pembayaran langsung
Kepada Yth.Redaksi ECOTROPHICProgram Studi Magister Ilmu LingkunganProgam Pascasarjana Universitas UdayanaJl. PB. Sudirman Denpasar 80232 Bali.
Nama : ..................................................................................................
Instansi : ..................................................................................................
Alamat : ..................................................................................................
Edisi : ..................................................................................................
Status : a. Individu b. Instansi/Lembaga
Pembayaran : a. Transfer b. Wesel C. Langsung
VOLUME 11 NO. 1 MEI 2017 p-ISSN: 1907-5626 e-ISSN: 2503-3395
ECOTROPHICJURNAL ILMU LINGKUNGAN
JOURNAL OF ENVIRONMENT SCIENCE
KETUA DEWAN REDAKSI
Prof. Dr. I Wayan Nuarsa, MSi.
REDAKTUR PELAKSANA
Prof. Sudiana Mahendra, Ph.D.
Prof. Ir. I Wayan Arthana, MS, PhD.
Prof. Dr. I Wayan Budiarsa Suyasa, MS.
Prof. Dr. I Gede Mahardika, MS.
Dr. Ir. I Made Adhika, MSP.
Assoc. Prof. Dr. Takahiro Osawa
Ir. I Gusti Bagus Sila Dharma, MT, Ph.D.
Abd. Rahman As-syakur, SP,M.Si.
KESEKRETARIATAN
Ni Putu Indah Rahadiyani
I Made Karsika
KANTOR
Program Studi Magister Ilmu Lingkungan
Program Pascasarjana UniversitasUdayana
Gedung Pasca Lantai 1, Ruang 22
Jl. PB. Sudirman, 80232
phone: +62 361 261182.
e-mail: [email protected]
Ecotrophic, Journal of Environmental Science atau yang disingkat EJES,
merupakan media publikasi bagi hasil-hasil penelitian, artikel dan resensi buku dibidang ilmu
lingkungan. EJES adalah peer-reviewed, diterbitkan oleh Program Studi Ilmu Lingkungan,
Program Pascasarjana Universitas Udayana.
i
VOLUME 11 NO. 1 MEI 2017 p-ISSN: 1907-5626 e-ISSN: 2503-3395
ECOTROPHICJURNAL ILMU LINGKUNGAN
JOURNAL OF ENVIRONMENT SCIENCE
DAFTAR ISI
ANALISIS KUALITAS AIR DANAU SEBAGAI DASAR PERBAIKAN MANAJEMEN BUDIDAYA PERIKANANDI DANAU BUYAN KABUPATEN BULELENG, PROVINSI BALI
I Wayan Rian Riki Saputra, I Wayan Restu, Made Ayu Pratiwi ....................................................................................... 1-7
BIODEGRADASI REMAZOL BRILIANT BLUE DALAM SISTEM BIOFILTRASI VERTIKAL DENGAN INOKULUM BAKTERIDARI SEDIMEN SUNGAI MATI IMAM BONJOL DENPASAR
Luh Putri Kriswidatari, I W Budiarsa Suyasa, dan I Made Siaka .................................................................................... 8-14
STRATEGI PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG MANUCOCO BERBASIS MASYARAKATDI KOTA ADMINISTRATIF ATAURO, DILI TIMOR-LESTE
Ernesto Matos Soares, I Made Antara, I Made Adhika ................................................................................................ 15-22
STATUS DAN STRATEGI PENGELOLAAN LINGKUNGAN PERHOTELANDI KAWASAN KOTA MADYA DILI TIMOR - LESTE
Adalgisa D.D.G. Alvares, Budiarsa Suyasa, Syamsul A. Paturusi ............................................................................... 23-28
PENGARUH JUMLAH BAKTERI METHANOBACTERIUM DAN LAMA FERMENTASITERHADAP PROPORSI GAS METANA (CH
4) PADA PENGOLAHAN SAMPAH ORGANIK DI TPA SUWUNG DENPASAR
I Putu Yudiandika, I Wayan Suarna dan I Made Sudarma .......................................................................................... 29-33
RESIDU PESTISIDA GOLONGAN ORGANOFOSFAT KOMODITAS BUAH CABAI MERAH (Capsicum annuum L.)PADA BERBAGAI LAMA PENYIMPANAN
I G A Surya Utami Dewi, I Gede Mahardika, Made Antara .......................................................................................... 34-39
BIODEGRADASI ZAT WARNA REMAZOL BLACK B SECARA AEROBIK- ANAEROBIK DALAM SISTEM BIOFILTRASIVERTIKAL DENGAN MENGGUNAKAN TANAMAN TALAS (Colocasia esculenta)
Febby Hartesa W, I Wayan Budiarsa Suyasa, I Nengah Simpen ................................................................................. 40-46
DAMPAK KEGIATAN PERTANIAN TERHADAP TINGKAT EUTROFIKASI DAN JENIS – JENIS FITOPLANKTONDI DANAU BUYAN KABUPATEN BULELENG PROVINSI BALI
Ni Putu Vivin Nopiantari, I Wayan Arthana dan Ida Ayu Astarini ................................................................................ 47-54
HUBUNGAN SANITASI RUMAH DENGAN KEJADIAN PENYAKIT TUBERKULOSIS (TB) DI KECAMATAN KUTAI Made Mudana, Nyoman Adiputra, I.B.G. Pujaastawa ............................................................................................... 55-61
EFEKTIVITAS PENERAPAN AMDAL DALAM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP PADA PEMBANGKIT LISTRIKDI BALI – STUDI KASUS PLTD/G PESANGGARAN
Helga Margareta Hunter, Made Sudiana Mahendra, I.G.B. Sila Dharma ...................................................................... 62-69
KERAGAMAN MIKOFLORA TANAH SUPRESIF DALAM MENGENDALIKAN PENYAKIT AKAR GADAPADA TANAMAN KUBIS (BRASSICA OLERACEA L.)
Ni Nengah Darmiati dan I Made Sudarma ................................................................................................................. 70-75
EVALUAI DAN PENETAPAN LAHAN PERTANIAN BERKELANJUTAN UNTUK PENCEGAHAN ALIH FUNGSI LAHANDI KABUPATEN BANGLI
I Made Adnyana, I Nyoman Puja, I Dewa Made Arthagama ....................................................................................... 76-80
Pedoman Penulisan .............................................................................................................................................................. 81
ii