30
Analisis Kasus Sengketa Saham Kepemilikan PT. Cipta Televisi Pendidikan Indonesia (TPI) antara PT. Berkah Karya Bersama Versus Ny. Siti Hardiyanti Rukmana dkk dikaitkan dengan Iklim Investasi di Indonesia Annissa Nurjanah Tuarita (1506696930), Aprilia Milasari (1506696943) 1. Faculty of Law, University of Indonesia, Kampus UI Salemba, Salemba, 10430, Indonesia 2. Faculty of Law, University of Indonesia, Kampus UI Salemba, Salemba, 10430, Indonesia E-mail: [email protected] [email protected] Abstract Arbitration clause in an agreement has binding force for the parties. According the principle Pacta Sunt Servanda , the arbitration clause into law for the parties. As in Article 3 and Article 11 of Law No. 30 of 1999 on Arbitration and Alternative Dispute Resolution which explains that the existence of an arbitration clause negates the authority of the district court to examine and adjudicate disputes. State court still must respect the authority possessed by the arbitral institution does not examine and adjudicate disputes that contain an arbitration clause. Neglects of Arbitral Institution authority by the State Court will cause the emergence of negative portrait towards the investors judgement. Because the investors viewed that the law condition became the measurement of nation conduciveness. Keywords : Arbitration Clause, The Authority Absolute, Investment. PENDAHULUAN Setiap badan peradilan di Indonesia mempunyai kompetensi yang berbeda-beda dalam memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara. Kompetensi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah kewenangan (kekuasaan) untuk menentukan 1

Analisis Kasus Sengketa Saham Kepemilikan PT. Cipta Televisi Pendidikan Indonesia (TPI) antara PT. Berkah Karya Bersama Versus Ny. Siti Hardiyanti Rukmana dkk dikaitkan dengan Iklim

  • Upload
    annissa

  • View
    120

  • Download
    16

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Analisis Kasus Sengketa Saham Kepemilikan PT. Cipta Televisi Pendidikan Indonesia (TPI) antara PT. Berkah Karya Bersama Versus Ny. Siti Hardiyanti Rukmana dkk dikaitkan dengan Iklim Investasi di Indonesia

Citation preview

Analisis Kasus Sengketa Saham Kepemilikan PT. Cipta Televisi Pendidikan Indonesia (TPI) antara PT. Berkah Karya Bersama Versus Ny. Siti Hardiyanti

Rukmana dkk dikaitkan dengan Iklim Investasi di Indonesia

Annissa Nurjanah Tuarita (1506696930), Aprilia Milasari (1506696943)

1. Faculty of Law, University of Indonesia, Kampus UI Salemba, Salemba, 10430, Indonesia

2. Faculty of Law, University of Indonesia, Kampus UI Salemba, Salemba, 10430, Indonesia

E-mail: [email protected] [email protected]

Abstract

Arbitration clause in an agreement has binding force for the parties. According the principle Pacta Sunt Servanda , the arbitration clause into law for the parties. As in Article 3 and Article 11 of Law No. 30 of 1999 on Arbitration and Alternative Dispute Resolution which explains that the existence of an arbitration clause negates the authority of the district court to examine and adjudicate disputes. State court still must respect the authority possessed by the arbitral institution does not examine and adjudicate disputes that contain an arbitration clause. Neglects of Arbitral Institution authority by the State Court will cause the emergence of negative portrait towards the investors judgement. Because the investors viewed that the law condition became the measurement of nation conduciveness.

Keywords : Arbitration Clause, The Authority Absolute, Investment.

PENDAHULUAN

Setiap badan peradilan di Indonesia mempunyai kompetensi yang berbeda-beda dalam memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara. Kompetensi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah kewenangan (kekuasaan) untuk menentukan (memutuskan sesuatu).1 Hukum Acara Perdata di Indonesia mengenal 2 (dua) macam kekuasaan mengadili yang disebut yurisdiksi (jurisdiction) atau kompetensi/kewenangan mengadili, yaitu pengadilan yang berwenang mengadili sengketa tertentu sesuai dengan ketentuan yang digariskan peraturan perundang-undangan.2

Adapun faktor perbedaan atau pembagian yurisdiksi berdasarkan lingkungan peradilan, yang melahirkan kekuasaan dan kewenangan absolut bagi masing-masing

1 Kamus Besar Bahasa Indonesia Online. http://kbbi.web.id/kompetensi diakses pada Minggu, 4 Oktober 2015 pukul 16.00.

2 www.hukumacaraperdata.com/2012/03/06/perihal-kekuasaan-mutlak-dan-kekuasaan-relatif-yang-harus-diketahui-seseorang-sebelum-mengajukan-gugatan/ , diakses pada Minggu, 4 Oktober 2015 pukul 17.30.

1

lingkungan peradilan yang disebut juga atribusi kekuasaan (attributive competentie, attributive jurisdiction).3 Selain perbedaan lingkungan, ditambah lagi dengan faktor kewenangan khusus (spesific jurisdiction) yang diberikan undang-undang kepada badan extra judicial, seperti arbitrase atau Mahkamah Pelayaran.4 Sama halnya dengan badan peradilan lainnya, arbitrase memiliki kewenangan absolutnya sendiri. Konvensi New York 1958 telah menempatkan status arbitrase sebagai forum atau mahkamah yang memiliki kewenangan absolut dalam menyelesaiakan dan memutus sengketa, apabila para pihak telah membuat persetujuan tentang itu.5

Ketentuan pemilihan jalur penyelesaian sengketa dibuat dalam bentuk perjanjian arbitrase yaitu suatu kesepakatan berupa klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa, atau suatu perjanjian arbitrase tersendiri dibuat para pihak setelah timbul sengketa.

Pada sengketa yang terjadi antara PT Berkah Karya Bersama dengan Siti Hardiyanti Rukmana diawali dengan adanya Investement Agreement yang ditandatangani oleh kedua belah pihak pada tanggal 23 Agustus 2003, dimana Di dalam Investment Agreement tersebut terkandung klasul arbitrase. Namun setelah terjadi sengketa pihak Tutut membawa sengketa tersebut ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Televisi Pendidikan Indonesia (TPI) sendiri pertama kali mengudara pada 1 Januari 1991 selama 2 jam dari pukul 19.00-21.00 WIB. TPI diresmikan Presiden Soeharto pada 23 Januari 1991 di Studio 12 TVRI Senayan, Jakarta.6 TPI didirikan oleh putri sulung Pesiden Soeharto, Siti Hardiyanti Rukmana dan sebagian besar sahamnya dimiliki oleh PT Cipta Lamtoro Gung Persada.

Secara berangsur-angsur kinerja keuangan stasiun televisi ini memburuk. Utang-utang pun kian menumpuk. Pada tahun 2002 posisi utang TPI telah mencapai Rp 1,1634 triliun, jumlah yang sangat besar untuk periode tahun itu. Kemudian PT Berkah Karya Bersama diminta membantu masalah keuangan yang dihadapi oleh Siti Hardiyanti Rukmana. PT Berkah Karya Bersama memutuskan membantu dengan limit US$55,000,000,00. Dengan kompensasi bahwa PT Berkah Karya Bersama akan diberi 75% saham di TPI.7 Oleh karena itu dilakukan Investment Agreement sebagai perjanjian pokok yang ditanda tangani pada tanggal 23 Agustus 2002 antara seluruh pemegang saham TPI pada waktu itu serta suatu supplemental agreement yang merupakan tambahan atas Investment Agreement yang ditandatangani pada tanggal 7 Februari 2003 dan ditanda tangani oleh pihak yang sama.

Berdasarkan Investment Agreement PT Berkah Karya Bersama akan melakukan pembiayaan dan restrukturisasi hutang-hutang TPI dengan nilai maksimal US$55,000,000,00 dan berdasarkan Supplemental Agreement, apabila pembiayaan dan restrukturisasi yang dilakukan melebihi nilai maksimal tersebut dan membutuhkan dana lebih dari US$55,000,000,00, maka hal tersebut menjadi tanggung jawab para pemegang

3 Subekti, Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Bina cipta, 1997)., 28 4 Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), 179. 5 Yahya Harahap, Arbitrase, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), 26.6 Kronologi Kasus Sengketa TPI, 2010 dari Detik Finance,

http://finance.detik.com/read/2010/07/02/131753/1391619/6/1/kronologi-sengketa-saham-tpi diakses pada Senin, 28 September 2015 pukul 09.00.

7Hary Tanoesoedibjo: Kami Akan Bertahan, 2015, Tempo Interaktif,

http://tempointeraktif.com/khusus/selusur/tpi/page08.php diakses pada Senin, 28 September 2015 pukul 09.30.

2

saham TPI pada waktu itu termasuk Siti Hadiyanti Rukmana, melalui penjualan aset miliknya Berdasarkan Investment Agreement, PT Berkah Karya Bersama diberikan hak atas 75% saham TPI dengan cara penerbitan saham baru/dilusi.

Didalam Investment Agreement juga diatur bahwa setiap perselisihan mengenai interpretasi, pelaksanaan, keabsahan, kekuatan berlaku dan pemutusan hak dan kewajiban parra pihak dari setiap sengketa (disputes) disepakati diselesaikan melalui Badan Arbitrase Nasional (BANI). Pengadilan Negeri Jakarta Pusat hanya berwenang untuk pelaksanaan eksekusi) dari putusan arbitrase Untuk merealisasikan Investment Agreement telah diperjanjikan dalam Pasal 14 ayat (1) Investment Agreement bahwa Para pihak dalam Investment Agreement akan menandatangani dokumen-dokumen yang diperlukan.

Atas dasar ketentuan dalam Investment Agreement Siti Hardiyanti Rukmana dkk memberikan kuasa kepada PT Berkah Karya Bersama untuk mengajukan permohonan mengadakan Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) dan mengghadiri RUPLSB yang agendanya adalah untuk mengubah susunan direksi dan komisaris TPI, mengubah anggaran dasar TPI, menambah modal TPI serta serta hal-hal lainnya sehubungan dengan implementasi Investment Agreement. Berdasarkan surat kuasa tersebut PT Berkah Karya Bersama menghadiri RUPLSB 18 Maret 2005 dan mengeluarkan keputusan terkait kepemilikan 75% saham TPI oleh PT Berkah Karya Bersama, sesuai dengan dan sebagai implementasi dari Investment Agreement. Kemudian Siti Hardiyanti Rukmana juga mengadakan RUPS pada tanggal 17 Maret 2005 dengan alasan telah membatalkan secara sepihak adendum surat kuasa pengambil alihan 75% saham TPI kepada PT Berkah Karya Berrsama. Atas sengketa kasus ini BANI telah melakukan arbitrase yang hasilnya adalah Putusan BANI No 547/2013 yang menyatakan bahwa kepemilikan saham PT Berkah Karya Bersama di TPI adalah sah. Kemudian pihak Siti Hardiyanti Rukmana tidak puas dengan putusan BANI dan mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Kasus ini berlanjut ke Pengadilan Tinggi Jakarta, Mahkamah Agung dan terakhir telah dilakukan Peninjauan Kembali. Melalui Putusan PN Jakarta Selatan No 533/PDT.G/ 2013 memenangkan gugatan Siti Hardiyanti Rukmana.

RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka masalah yang diteliti dalam penelitian ini adalah apakah Pengadilan Negeri berwenang mengadili perkara yang mengandung klausul arbitrase di dalam Investment Agreement para pihak serta dampak Putusan Pengadilan Negeri yang mengadili kasus sengketa kepemilikan saham PT. Cipta Televisi Pendidikan Indonesia (TPI) yang mengandung klausul arbitrase tersebut terhadap iklim investasi di Indonesia.

TUJUAN PENELITIAN

Berdasarkan pada permasalahan, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis apakah Pengadilan Negeri memiliki kewenangan untuk mengadili perkara yang mengandung klausul arbitrase serta dampak Putusan PN tersebut terhadap iklim investasi di Indonesia.

METODE PENELITIAN

3

Metode penelitian yang digunakan yaitu metode penelitian hukum normatif. Metode penelitian hukum yang normatif atau metode penelitian hukum kepustakaan adalah metode atau cara yang dipergunakan di dalam penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka yang ada.8 Penelitian ini ditujukan untuk mendapatkan hukum yang obyektif yaitu berupa norma hukum dengan cara mengadakan penelitian terhadap masalah hukum yang terjadi.Bahan hukum yang dipergunakan dalam penelitian ini yaitu:a. Bahan Hukum PrimerBahan hukum primer adalah bahan hukum yang mengikat atau yang membuat orang taat pada hukum yang berlaku seperti peraturan perundang-undangan dan putusan hakim. Bahan hukum primer yang penulis gunakan yakni: Undang - Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa dan Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 238/Pk/Pdt/2014.b. Bahan Hukum SekunderBahan hukum sekunder berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi.9 Bahan hukum sekunder terdiri atas buku-buku teks yang ditulis para ahli hukum yang berpengaruh, jurnal-jurnal hukum, pendapat para sarjana, kasus-kasus hukum, yurisprudensi, dan hasil-hasil simposium mutakhir yang berkaitan dengan topik penelitian.10

c. Bahan Hukum TersierBahan hukum tersier adalah bahan hukum yang mendukung bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder dengan memberikan pemahaman dan pengertian atas bahan hukum lainnya. Bahan hukum yang dipergunakan oleh penulis adalah Kamus Hukum Black’s Law Dictionary dan Kamus Besar Bahasa Indonesia.

Alat pengumpulan data yang digunakan adalah berupa riset pustaka. Dalam riset pustaka pengumpulan data dilakukan dengan cara mempelajari buku-buku dari perpustakaan yang berhubungan dengan Arbitrase dan Penyelesaian Sengketa, serta hukum Investasi di Indonesia.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Menurut ketentuan pasal 1338 KUH Perdata11 bahwa perjanjian yang dibuat secara sah, yaitu memenuhi syarat-syarat pasal 1320 KUH Perdata berlaku sebagai undang-undang bagi yang membuatnya, tidak dapat ditarik kembali tanpa persetujuan kedua belah pihak atau karena alasan-alasan yang cukup menurut undang-undang, dan harus dilaksanakan dengan itikad baik.

Berdasarkan kebebasan tersebut, berdasar kesepakatan para pihak yang terlibat dalam suatu perjanjian dapat menentukan hukum mana yang berlaku dan forum penyelesaian sengketa mana yang diberlakukan ketika terjadi suatu sengketa di kemudian hari. Sebagai konsekuensi logis dari diberlakukannya prinsip kebeasan berkontrak, maka para pihak dalam suatu perjanjian dapat juga menentukan sendiri hal- hal sebagai berikut:12

8 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, cet. 11, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2009), 13-14.

9 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011), 141.10 Johny Ibrahim, Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Malang: Bayumedia

Publishing, 2007), 296.11 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek). Diterjemahkan oleh R. Soebekti

dan R. Tjitrosudibio, Cet. 35, (Jakarta: Pradnya Paramita, 2004.)12 Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang Bagi Para

Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, (Jakarta: Institut Bankir Indonesia, 1993), 47.

4

1. Pilihan forum (choice of jurisdiction ), para pihak menentukan sendiri pengadilan atau forum mana yang berwenang memeriksa sengketa diantara para pihak dalam kontrak;

2. Pilihan hukum (choice of law), para pihak menentukan sendiri hukum mana yang berlaku dalam interpretasi kontrak tersebut;

3. Pilihan domisili (choice of domicile), para pihak menunujuk sendiri domisili hukum dari para pihak tersebut.

Pada umunya para pelaku usaha yang terlibat dalam suatu perjanjian bisnis lebih memilih untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi dengan jalur arbitrase. Arbitrase merupakan cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh pihak yang bersengketa. Di Indonesia penyelesaian sengketa melalui arbitrase diatur oleh Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.

Hal-hal yang boleh dicantumkan dalam suatu perjanjian arbitrase biasa disebut dengan isi klausul arbitrase. Penggunaan istilah klausul arbitrase mengandung konotasi bahwa perjanjian pokok yang bersangkutan diikuti atau dilengkapi dengan persetujuan mengenai pelaksanaan arbitrase.13 Klausul arbitrase dalam sebuah perjanjian pada umumnya secara spesifik memberi para pihak kekuasaan yang besar berkaitan dengan beberapa aspek. Klausul arbitrase mungkin menunjuk sebuah badan arbitrase tertentu, lokasi arbitrase berlangsung, hukum dan aturan-aturan yang akan digunakan, kualifikasi para arbiter, dan bahasa yang akan dipakai dalam proses arbitrase.14

Untuk dapat menggunakan arbitrase sebagai pilihan hukum untuk mengatasi permasalahan maka para pihak harus mencantumkan klausul arbitrase dalam perjanjian tertulis yang dibuat sesuai kesepakatan para pihak sebelum sengketa (pactum de compromitted), atau suatu perjanjian mengenai pilihan arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah terjadi sengketa (akta kompromis).

Perjanjian arbitrase atau klausul arbitrase merupakan tambahan yang diletakkan kepada perjanjian pokok. Keberadaannya hanya sebagai tambahan kepada perjanjian pokok, dan sama sekali tidak mempengaruhi pelaksanaan pemenuhan perjanjian. Untuk dapat mengetahui lebih jelas letak klausul arbitrase dalam suatu perjanjian, dapat ditemukan pada perjanjian antara PT Berkah Karya Bersama denagn Siti Hardiyanti Rukmana alias Tutut. Keduanya menandatangani Investment Agreement tertanggal 23 Agustus 2002 yang mengakibatkan 75% saham TPI beralih kepada PT. Berkah Karya Bersama.Investment Agreement tersebut terkandung klausul arbitrase yaitu pada pasal 13 ayat (2), pasal 13 ayat (3) dan pasal 13 ayat (4).15

Pasal 13 ayat (2) “Segala sengketa yang timbul diantara Para pihak yang berasaldari atau terkait dengan Perjanjian ini, termasuk tetapi tidak terbatas pada, pertanyaan apapun terkait dengan penafsiran, keabsahan pelaksanaan, keefektifan dan pemutusan hak atau kewajiban dari pihak manapun akan

13 Frans Hendra Winarta, Hukum Penyelesaian Sengketa – Arbitrase Nasional Indonesia dan Internasional, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), 42.

14 Suyud Margono, ADR & Arbitrase Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2004), 33.

15 Putusan Mahkamah Agung Nomor 238 PK/Pdt/2014, 121.

5

diselesaikan secara musyawarah”;

Pasal 13 ayat (3) “Apabila sengketa tersebut tidak dapat diselesaikan dengan musyawarah oleh Para pihak, maka sengketa tersebut harus diselesaikan secara eksklusif dan bersifat final melalui arbitrase di Jakarta menurut Peraturan Badan Arbitrase NasionalIndonesia”;

Pasal 13 ayat (4) “Pasal 13 ini merupakan suatu Klausula Arbitrase yang tercakup dalam pengertian menurut Undang Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (12 Agustus 1999) dan tidak dapat dicabut serta mengikat Para Pihak untuk menyerahkan sengketa kepada arbitrase bersifat final dan mengikat sesuai dengan hukum dan ketentuan-ketentuan di dalam Perjanjian ini”;

Pada perjanjian diatas terdapat klausul arbitrase dalam bentuk Pacta de Compromittendo atau dengan kata lain klausul arbitrase dibuat pada saat sebelum terjadi sengketa. Adanya klausul arbitrase tersebut dipersiapkan untuk mengantisipasi perselisihan yang mungkin timbul antara para pihak. Dalam Investment Agreeement tersebut telah disebutkan adanya pemilihan arbitrase sebagai penyelesaian apabila terjadi sengketa dikemudian hari. Klausul arbitrase tersebut telah menjadi undang-undang yang mengikat para pihak yang terlibat dalam perjanjian. Pihak yang terlibat wajib untuk melaksanakan ketentuan yang telah disepakati sesuai yang telah dituangkan dalam perjanjian. Ketentuan mengenai perjanjian arbitrase tidak dapat dibatalkan secara sepihak. Klausul arbitrase hanya dapat dilepaskan secara tegas dengan suatu persetujuan yang ditandatangani oleh kedua belah pihak. Namun pada kenyataannya pihak Tutut melanggar isi perjanjian dengan membawa sengketa yang terjadi ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Klausul arbitrase yang bersifat mutlak dengan sendirinya memberikan kewenangan absolut badan arbitrase untuk menyelesaikan atau memutus sengketa yang timbul dari perjanjian. Kewenangan absolut arbitrase diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Klausul arbitrase adalah alas hak, dasar hukum di atas para arbiter duduk dan punya kewenangan, maka dengan adanya akta arbitrase para arbiter memiliki kewenangan untuk memeriksa dan mengadili sengketa yang sebenarnya menjadi kewenangan pengadilan, tapi karena adanya klausul arbitrase lalu menjadi kewenangan arbitrase.

Sengketa yang terjadi antara PT Berkah Karya Bersama dan Tutut merupakan sengketa yang seharusnya alurnya ke arbitrase sejak awal, namun karena adanya itikad tidak baik dari salah satu pihak yaitu pihak Tutut sengketa tersebut bergulir ke Pengadilan Negeri. Pasal 3 dan pasal 11 Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa16 telah secara jelas menyebutkan bahwa apabila perjanjian antara para pihak telah memilih arbitrase melalui klausul arbitrase sebagai penyelesaian sengketa maka Pengadilan Negeri tidak berwenang untuk memeriksa sengketa. Berdasarkan pada ketentuan Pasal 3 Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 dapat diketahui bahwa penyelesaian perselisihan atau sengketa melalui pranata arbitrase memiliki “kompetensi absolut” terhadap penyelesaian perselisihan atau sengketa melalui pengadilan. Ini berarti bahwa setiap perjanjian yang telah mencantumkan klausula

16 Republik Indonesia, Undang-Undang Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, UU. No. 30 Tahun 1999, Lembaran Negara No. 138 Tahun 1999, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3872, Pasal 3 dan Pasal 11.

6

arbitrase atau suatu perjanjian arbitrase yang dibuat oleh para pihak menghapuskan kewenangan dari pengadilan (negeri) untuk menyelesaikan setiap perselisihan atau sengketa yang timbul dari penjanjian yang memuat klausula arbitrase tersebut atau yang telah timbul sebelum ditandatanganinya perjanjian arbitrase oleh para pihak.17

Selain itu didalam UU Arbitrase Internasional Amerika menyatakan bahwa arbitrase adalah cara penyelesaian sengketa dimana pihak yang bersengketa memberikan kuasa kepada arbiter untuk memutuskan secara final dan mengikat.18 (U.S. Law of International Commercial Arbitration defines arbitration as "a dispute-resolution method in which the disputing parties empower an arbitral tribunal to decide in a final and binding manner a dispute with respect to a defined subject matter.")

Kemudian juga dalam Pasal 11 Undang-Undang No. 30 Tahun 199919 diketahui bahwa dengan adanya suatu perjanjian arbitrase tertulis maka akan meniadakan hak para pihak untuk mengajukan penyelesaian sengketa atau beda pendapat yang termuat dalam perjanjiannya ke Pengadilan Negeri, dan Pengadilan Negeri wajib menolak dan tidak akan campur tangan di dalam suatu penyelesaian sengketa yang telah ditetapkan melalui arbitase, kecuali dalam hal-hal tertentu yang ditetapkan dalam Undang-undang ini.

Meskipun demikian antara PT Berkah Karya Bersama dan Tutut telah menyepakati secara jelas dan tegas untuk memilih arbitrase sebagai penyelesaian sengketa dalam Investment Agreement mereka, namun pihakTutut tetap menggulirkan sengketa yang terjadi ke Pengadilan Negeri.

Secara hukum positif yang berlaku di Indonesia tindakan pihak Tutut tidak dapat dibenarkan karena hal ini bertentangan dengan yang telah diatur dalam Undang - Undang Nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaiaan sengketa. Secara jelas undang-undang telah mengatur kewenangan absolut arbitrase dan meniadakan kewenangan Pengadilan Negeri untuk memeriksa sengketa yang mengandung klausul arbitrase. Yahya Harahap menyebut ini adalah aliran Pacta Sunt Servanda. Aliran ini berpendapat, sejak para pihak mengadakan perjanjian arbitrase, para pihak secara mutlak telah terikat.20

Di dalam Pasal 5 Undang-Undang Arbitrase21 menjelaskan sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanya sengketa di bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa (atas dasar kata sepakat), sedangkan sengketa yang tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase adalah sengketa yang menurut peraturan perundang-undangan tidak dapat diadakan perdamaian. Jika ketentuan ini dihubungkan dengan Penjelasan pasal 66 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, maka kita akan mengetahui ruang lingkup perdagangan tersebut adalah kegiatan kegiatan antara lain dibidang: perniagaan, perbankan, keuangan, penanaman modal, industri, dan hak kekayaan intelektual.

17 Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Hukum Arbitrase, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003), 45-46.

18 W Michael Raesman dan Heide Iravani, Arbitration and National Courts: Conflict and Cooperation: The Changing Relation of National Courts and International Commercial Arbitration). The American Review of International Arbitration in Journal Lexis-Nexis Vol. 21., Nos 1-4, page. 5, 2010.

19 Republik Indonesia, Undang-Undang Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Pasal 11.20 Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian

dan Putusan Pengadilan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), 89.21 Republik Indonesia, Undang-Undang Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Pasal 5.

7

Jadi berdasarkan pasal-pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa ternyata tidak semua sengketa yang terjadi dalam masyarakat dapat diselesaikan melalui arbitrase. Hanya sengketa yang terjadi dalam bidang perdagangan dan sengketa yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase sedangkan sengketa yang tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase adalah sengketa yang menurut peraturan perundang-undangan tidak dapat didamaikan, yang dalam hal ini berarti adalah sengketa yang di dalamnya terdapat unsur pidana.

Ditinjau dari pasal-pasal yang dijelaskan pada Undang-Undang Arbitrase, sengketa yang terjadi antara PT Berkah Karya Bersama dengan Tutut merupakan kewenangan badan arbitrase karena merupakan sengketa di bidang perdagangan khusunya mengenai modal saham. Meskipun pada akhirnya sengketa yang terjadi antara keduanya menjadi melebar, namun pada intinya yang dipersengketakan oleh kedua belah pihak adalah mengenai modal saham yang dalam undang-undang merupakan termasuk bidang perdagangan.

Seperti telah diketahui bersama, jika terjadi sengketa perebutan kepemilikan Televisi Pendidikan Indonesia atau yang lebih dikenal dengan sebutan TPI antara PT Berkah Karya Bersama dengan Siti Hardiyanti Rukmana alias Tutut. Sengketa diawali pada tahun 2002, pada saat itu Tutut sebagai pemilik TPI mengalami kesulitan keuangan dan menemui Hary Tanoe Soedibjo untuk membantunya membayar sebagian utang-utangnya. Hary Tanoe saat itu menjabat sebagai Direktur Utama PT Bimantara Citra Tbk (BMTR) yang sekarang berubah nama menjadi PT Global Mediacom Tbk . Bimantara Citra merupakan perusahaan kongsi antara Bambang Trihatmojo, adik Tutut dengan Hary Tanoe dan kawan-kawan. Untuk keperluan membantu TPI tersebut Hary Tanoe melalui PT Berkah Karya Bersama sebagai perusahaan yang dipakai untuk kepentingan maksud tertentu (Spesial Purpos Company/SPV).

Terjadilah perjanjian investasi (Investment Agreement) pada tanggal 23 Agustus 2002, dimana ada 3 (tiga) pihak yang terlibat yaitu PT. Berkah Karya Bersama sebagai investor, Siti Hardiyanti Rukmana selaku diri sendiri dan atas nama pemegang saham lain TPI, dan TPI sendiri. Berdasarkan InvestmentAgreement tersebut disepakati bahwa Hary Tanoe melalui PT BerkahKarya Bersama setuju untuk menyediakan dana untuk TPI sampai dengan USD 55.000.000 (lima puluh lima juta dolar Amerika). Dalam InvestmentAgreement dikatakan investor akan mendapatkan saham sebesar 75 %.

Kemudian timbullah sengketa antara PT Berkah Karya Bersamadengan Tutut mengenai keabsahan Rapat Umum Pemegang Saham LuarBiasa (RUPSLB) yang dilakukan masing-masing kubu. Kubu Tutut melakukan RUPSLB pada tanggal 17 Maret 2005 dengan menghasilkankeputusan bahwa 75% saham TPI menjadi milik Tutut. Namun RUPSLBtersebut diselenggarakan tanpa diketahui oleh jajaran direksi dan komisaris TPI lainnya (dari kubu Hary Tanoe). Selang sehari setelah itu, padatanggal 18 Maret 2005, Hary Tanoe menyelenggarakan RUPSLB yangkemudian menghasilkan keputusan bahwa saham sejumlan 75% tetapmenjadi milik PT Berkah Karya Bersama. Pada RUPSLB tanggal 18Maret 2005 telah direncanakan pada jauh hari yaitu pada tanggal 10 Maret2005 dan telah mengundang Tutut untuk menghadiri RUPSLB tersebut.

Masing-masing kubu saling mengklaim bahwa RUPSLB yang dilaksanakan kubunya adalah yang sah. Dengan adanya sengketa mengenai keabsahan RUPSLB

8

tersebut, pada tahun 2010 Tutut membawa sengketa tersebut ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan gugatan perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh PT Berkah KaryaBersama dengan Nomor Perkara 00010/PDT.G/2010/PN.JKT.PST.

PT. Berkah Karya Bersama yang dalam perkara tersebut sebagai pihak Tergugat mengajukan upaya hukum banding atas putusan PN tersebut karena PT Berkah Karya Bersama menganggap Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak memiliki kewenangan untuk memeriksa perkara tersebut. Karena dalam Investment Agreement telah diatur mengenai klausul arbitrase dan apabila terjadi sengketa maka yang berwenang untuk memeriksa adalah Badan Arbitrase Nasional Indonesia. Berdasarkan alasan dan fakta hukum yang dikemukakan PT Berkah Karya Bersama maka Pengadilan Tinggi Daerah Khusus Ibukota Jakarta membatalkan putusan PN Jakarta Pusat Nomor 10/PDT.G/2010/PN.JKT.PST dengan putusan nomor 629/PDT/2011/PT.DKI tanggal 20 April 2012.

Hakim Pengadilan Tinggi DKI mengabulkan permohonan dari PT Berkah Karya Bersama dan menganggap PN Jakarta Pusat tidak memiliki kewenangan untuk memeriksa perkara tersebut. Namun, dengan adanya putusan Pengadilan Tinggi DKI sengketa antara Tutut dan PT Berkah Karya Bersama tidak membuat sengketa antara keduanya berakhir. Pihak Tutut yang tidak terima dengan putusan Pengadilan Tinggi DKI mengajukan permohonan Kasasi kepada Mahkamah Agung. Mahkamah Agung melalui putusan Kasasi nomor 862 K/Pdt/2013 mengabulkan permohonan yang diajukan pihak Tutut. Putusan kasasi oleh Mahkamah Agung tersebut yang mengabulkan permohonan Tutut bukan putusan akhir dari sengketa antara pihak Tutut dan PT Berkah Karya Bersama. PT Berkah Karya Bersama kembali mengajukan Peninjauan Kembali kepada Mahkamah Agung dengan nomor perkara 238PK/Pdt/2014.

Panjangnya upaya hukum yang ditempuh oleh kedua pihak yang bersengketa hingga menghsilkan putusan Mahkamah Agung bukan merupakan akhir dari sengketa antara kedua belah pihak. Pada tanggal 19 November 2013 PT Berkah Karya Bersama telah mendaftarkan permohonan arbitrase di Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) yang tercatat dengan nomor register perkara No.547/XI/ARB-BANI/2013 dan kini telah menghasilkan putusan pada 12 Desember 2014. Dimana BANI memutuskan menghukum Tutut untuk mengembalikan kelebihan pembayaran pinjaman berikut cost of found kepada PT. Berkah Karya Bersama sebesar Rp. 510 Milyar.

Dengan adanya putusan BANI tersebut menyebabkan adanya dua putusan atas hal yang sama dan membuat sedikit rancu putusan BANI atau putusan Mahkamah Agung yang harus ditaati oleh para pihak. Asas pacta sunt servanda seharusnya mengikat para pihak untuk mentaati isi dari perjanjian yang telah disepakati oleh keduanya. Jika dalam Investment Agreement telah disepakati BANI sebagai penyelesaian sengketa, maka sudah seharusnya putusan BANI yang dapat dieksekusi. Telah diatur secara jelas dalam Undang-Undang Nomor 30 tahun 1999 bahwa jika para pihak telah memilih arbitrase sebagai forum penyelesaian sengketa, maka pengadilan tidak mempunyai kewenangan atau yurisdiksi mengadili suatu sengketa bisnis.

Sejak awal seharusnya sengketa yang terjadi anatara keduanya tidak sampai bergulir ke Pengadilan Negeri karena jelas adanya klausul arbitrase dalam perjanjian kedua belah pihak dan klausul arbitase mempunyai kekuatan mengikat bagi para pihak. Namun Tutut justru membawa sengketa yang terjadi ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Sudargo

9

Gautama berpendapat:22

“ Bahwa jika ada klausula arbitrase maka pengadilan tidak dapat memeriksa perkara bersangkutan. Dalam intensi pertama pengadilan harus menyatakan diri tidak berwenang untuk memeriksa perkara tersebut dan menyerahkan kepada arbitrase. Oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia sudah diakui hal ini. Dalam berbagai perkara yang akhir-akhir ini telah diputuskan, kita saksikan bahwa pengadilan di Indonesia umunya pada waktu sekarang ini dihormati klausula arbitrase. Jika terdapat klausula arbitrase ini maka Pengadilan Negeri akan menyatakan dirinya tidak berwenang untuk memeriksa perkara bersngkutan. Sikap demikian adalah sesuai dengan Konvensi New York 1958 yang berlaku di Indonesia sejak Keppres 1981 Nomor 334 (Pasal II ayat 3)”

Berdasarkan pendapat dan teori-teori yang telah dipaparkan putusan Mahkamah Agung tidak boleh bertentangan dengan Undang-UndangNomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Jika para pihak telah memilih arbitrase sebagai forum penyelesaian sengketa maka pengadilan harus menghormati kewenangan BANI untuk memeriksa dan mengadili sengketa.

Kemudian jika di lihat berdasarkan Pasal 3 Undang-undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Altematif Penyelesaian Sengketa bahwa penyelesaian sengketa melalui pranata arbitrase memiliki kompentensi absolut terhadap penyelesaian sengketa di luar pengadilan (non litigasi). Setiap perjanjian yang telah mencantumkan klausula arbitrase menghapuskan kewenangan dari Pengadilan Negeri untuk menyelesaikan sengketa yang timbul dari perjanjian yang memuat klausula arbitrase tersebut. Telah dibatalkannya Putusan BANI terhadap kasus sengketa kepemilikan saham PT. Cipta Televisi Pendidikan Indonesia (TPI) oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat semakin menonjolkan lemahnya penegakan hukum di Indonesia. Ini berarti bahwa majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak memperhatikan sifat dari pada putusan arbitrase yakni bersifat final and binding (terakhir dan mengikat) sebagaimana yang diatur dalam Pasal 60 Undang-Undang No. 30 Tahun 1999.

Jika klausul arbitrase dengan mudah dikesampingkan oleh para pihak, maka pengaturan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa akan dianggap mudah dikesampingkan. Selain itu, apabila putusan Mahkamah Agung yang akan dieksekusi maka akan berdampak pada iklim investasi di Indonesia. Investor asing akan berpikir ulang untuk menanamkan modalnya di Indonesia karena pada umumnya pihak asing akan lebih memilih penyelesaian sengketa di luar pengadilan.23

Dengan adanya “pengesampingan” Putusan BANI oleh Lembaga Peradilan di Indonesia tentunya akan mempengaruhi pihak asing untuk menanamkan investasinya di Indonesia. Indonesia sendiri telah dianggap sebagai unfriendly state against commercial arbitration atau negara yang tidak ramah terhadap arbitrase perdagangan.Ini karena terus terjadi pengabaian yurisdiksi arbitrase atas sengketa-sengketa bisnis yang mempunyai klausul arbitrase dalam sebuah perjanjian kerja sama antara pihak yang bersengketa (arbitration clause) dan alasan yang mengada-ada. Pengabaian yurisdiksi arbitrase ini mengakibatkan ketidakpastian hukum di Indonesia yang mana hal tersebut akhirnya dapat menyulitkan iklim investasi di Indonesia. Apalagi pada era di mana banyak

22 Putusan Mahkamah Agung No 238/Pk/Pdt/2014., 42.23 Ibid.

10

pelaku bisnis yang memasukkan klausul arbitrase dalam perjanjian kerja sama dalam menjalankan bisnisnya. Investasi bagi suatu negara merupakan merupakan suatu keharusan atau keniscayaan, investasi merupakan sala satu motor penggerak roda ekonomi agar negara dapat mendorong perkembangan ekonominya selaras dengan tuntutan perkembangan masyarakatnya.

Padahal untuk dapat menarik atau meningkatkan modal asing masuk ke Indonesia diperlukan adanya kepastian hukum yang mencerminkan nilai kebenaran dan keadilan serta tidak bersifat diskriminatif. Bagi investor asing, hukum dan undang-undang menjadi salah satu tolok ukur untuk menentukkan kondusif atau tidaknya iklim investasi di suatu negara. Dalam tiga dekade belakangan, pelaku usaha yang menanamkan modalnya di negara berkembang sangat mempertimbangkan kondisi hukum di negara tersebut. Infrastruktur hukum bagi investor menjadi instrumen penting dalam menjamin investasi mereka. Hukum bagi mereka memberikan keamanan, certainty dan predictability atas investasi mereka. Semakin baik kondisi, hukum dan undang-undang yang melindungi investasi mereka semakin dianggap kondusif iklim investasi dari negara tersebut.24

Masuknya modal dari para investor dalam perekonomian Indonesia merupakan tuntutan keadaan baik ekonomi maupun politik. Penghimpunan dana pembangunan perekonomian Indonesia melalui investasi modal secara langsung sangat baik dibandingkan dengan penarikan dana internasional lainnya seperti pinjaman luar negeri.25 Modal yang dibawa oleh para investor merupakan hal yang penting sebagai alat untuk mengintegrasikan perekonomian suatu negara. Selain itu, kegiatan ekonomi akan memberikan dampak positif bagi suatu negara penerima modal seperti mendorong pertumbuhan bisnis, adanya suplai teknologi dari investor baik dari bentuk proses produksi maupun permesinan dan penciptaan lapangan kerja. Washington Post dalam artikelnya menyebutkan kurangnya sistem hukum yang pasti di Indonesia merupakan faktor utama mengapa investor pergi.26

Kepastian hukum itu sendiri bagi investor adalah tolak ukur untuk menghitung resiko. Bagaimana resiko dapat dikendalikan dan bagaimana penegakan hukum terhadap resiko. Jika penegakan hukum tidak mendapat kepercayaan dari investor maka hamper dapat dipastikan investor tidak akan berspekulasi ditengah ketidakpastian. Berbagai peraturan perundang-undangan tidak akan berarti tanpa ada jaminan legal certainty atau kepastian hukum atas keputusan yang ditetapkan. Dalam dunia usaha, pelaku usaha memerlukan syarat esensial ketika berbisnis; dan prasyarat bagi setiap transaksi bisnis, yaitu adanya kepastian hukum (legal certainty).27

Secara umum kepastian hukum sebagai konsep menekankan pada perkataan kepastian dan mengenai kepastian (certainty) itu sendiri berarti absence of doubt;

24 Hikmahanto Juwana, tt, Arah Kebijakan Pembangunan Hukum di Bidang Perekonomian dan Investasi, Makalah, (Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional, 2006), 10-11.

25 Yulianto Syahyu, Pertumbuhan Investasi Asing di Kepulauan Batam; Antara Dualisme Kepemimpinan dan Ketidakpastian Hukum, Jurnal Hukum Bisnis, Vol. 22- No. 5, (Jakarta: Yayasan Pengembangan Hukum Bisnis, 2003), 46

26 Delissa A., Ridgway, & Mariya A., Talib, Spring 2003, Globalisation and Development; Free Trade, Foreign Aid, Investment and The Rule of Law, California Western International Law Journal, Vol. 33, 335

27 Ningrum Natasya Sirait, Mencermati Undang-Undang Nomor 5 tahun 1999 Dalam Memberikan Kepastian Hukum Bagi Pelaku Usaha, Jurnal Hukum Bisnis, Volume 22, (Jakarta: Yayasan Pengembangan Hukum Bisnis, 2003), 60.

11

accuracy; precision; definite.28 Kepastian hukum mengarah pada deskripsi tentang hukum yang meyakinkan, teliti, tepat dan pasti. Menurut Gustav Radbruch, kepastian hukum merupakan salah satu elemen yang disebut cita hukum atau the idea of law disamping elemen keadilan (justice) dan kepatutan (expediency). Kepastian hukum mempersyaratkan hukum menjadi hukum positif (to be positive).29 Kepastian hukum sangat dibutuhkan oleh investor sebab dalam melakukan investasi selain tunduk kepada ketentuan hukum investasi juga ketentuan lain yang terkait dan tidak bisa dilepaskan begitu saja.30

Kepastian hukum ini harus meliputi aspek substansi hukum, mulai dari undang-undang sampai dengan peraturan-perturan daerah dan putusan-putusan pengadilan. Untuk menjamin adanya konsistensi dalam pelaksanaan peraturan diperlukan adanya dukungan aparatur hukum yang professional dan bermoral serta didukung dengan adanya budaya hukum masyarakat.31 Sebagaimana dikemukakan oleh Mochtar Kusumaatmadja:

“yang menjadi masalah utama di Indonesia dan banyak dikeluhkan adalah kepastian hukum, baik mengenai ketentuan peraturan perundang-undangan yang dalam banyak hal tidak jelas bahkan bertentangan dan juga mengenai pelaksanaan keputusan pengadilan.”32

Para investor akan datang ke suatu negara, bila dirasakan negara tersebut berada dalam situasi yang kondusif. Untuk mewujudkan sistem hukum yang mampu mendukung iklim investasi diperlukan aturan yang jelas mulai dari izin untuk usaha sampai dengan biaya-biaya yang harus dikeluarkan untuk mengoperasikan perusahaan. Kata kunci untuk mencapai kondisi ini adalah penegakan supremasi hukum (rule of law). 33

Adanya mekanisme penyelesaian sengketa yang efektif juga merupakan salah satu faktor yang diperhitungkan sebelum memutuskan untuk melakukan kegiatan investasi. Mekanisme penyelesaian sengketa yang efektif tersebut mencakup:34

- Forum penyelesaian sengketa, baik melalui pengadilan nasional, badan peradilan atau arbitrase internasional, atau forum penyelesaian sengketa alternatif lainnya;

- Efektivitas keberlakuan dari hukum yang diterapkan dalam sengketa tersebut;- Proses pengambilan keputusan yang cepat dengan biaya yang wajar;- Netralisasi dan profesionalisme hakim atau arbiter dalam proses pengambilan

keputusan;- Efektifitas pelaksanaan/implementasi keputusan pengadilan, arbitrase dan badan-

badan penyelesaian sengketa lainnya;- Kepatuhan para pihak terhadap keputusan yang dihasilkan.

28 Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary, (St. Paul, Minn: West Publishing Co., 1983), 205.

29 Gustav Radbruch, Legal Philosophy, dalam The Legal Philosophies of Lask, Radbruch, and Dabin, Translated by: Kurt Wilk, (Cambridge, Massachussetts: Harvard University Press, 1950), 108.

30 Sentosa Sembiring, Hukum Investasi – Pembahasan Dilengkapi Dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal, (Bandung: Nuansa Aulia, 2007), 32-33

31 Hendrik Budi Untung, Hukum Investasi, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), 55.32 Mochtar Kusumaatmadja, Investasi Di Indonesia Dalam Kaitannya dengan Pelaksanaan

Perjanjian Hasil Putaran Uruguay, Makalah Dalam Seminar Nasional Tentang Pendekatan Ekonomi Dalam Pengembangan Sistem Hukum Nasional Dalam Rangka Globalisasi, (Bandung: Penyelenggara FH UNPAD, 1998), 13.

33 Erman Rajagukguk, Hukum Investasi dan Pasar Modal, (Jakarta: Universitas Indonesia Fakultas Hukum Pascasarjana, 2013), 43.

34 Suratman, dan Ana Rokhmatussa’dyah., Hukum Investasi dan Pasar Modal, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), 12.

12

Sebaliknya, mekanisme penyelesaian sengketa yang tidak efektif dan tidak adil akan mengurungkan niat para investor untuk menanamkan modalnya di Indonesia.Seperti yang terjadi pada kasus di atas dimana netralisasi dan profesionalisme hakim dalam pengambilan keputusan dapat dipertanyakan karena didalam Investment Agreement para pihak telah disebutkan bahwa forum penyelesaian sengketa akan dilakukan melalui jalur arbitrase bukan melalui Pengadilan Negeri. Namun, ternyata hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak menolak permohonan gugatan yang diajukan kepadanya.

Frans Hendra Winarta dalam Koran Sindo tanggal 29 April 2015 menyatakan bahwa di Indonesia, terdapat banyak pembatalan putusan arbitrase yang telah menimbulkan ketidakpastian hukum sehingga memunculkan keraguan bagi para pelaku bisnis, khususnya investor asing untuk menjalankan bisnisnya di Indonesia. Para pelaku bisnis cenderung ragu untuk menanamkan modalnya di suatu negara apabila risiko investasinya tinggi. Yang pertama kali diperhatikan investor adalah pangsa pasar, daya beli, bahan baku, dan tenaga kerja. Tetapi rule of law, penegakan hukum, dan kepastian hukum akan menentukan apakah minat mereka berinvestasi akan diwujudkan. Rendahnya persentase perwujudan investasi di Indonesia menandakan lemahnya penegakan hukum.Untuk itulah, harus ada jaminan penegakan hukum di Indonesia sehingga para pelaku bisnis tidak berpaling ke negara-negara tujuan investasi lain yang lebih menawarkan kepastian hukum.35

Di dalam Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal36 juga telah ditentukan 10 asas dalam penanaman modal atau investasi dimana salah satunya ialah Asas Kepastian Hukum, yaitu asas dalam negara hukum yang meletakkan hukum dan ketentuan peraturan perundang-undangan sebagai dasar dalam setiap kebijakan dan tindakan dalam bidang penanaman modal.

Kepastian hukum (legal assurance) adalah adanya konsistensi peraturan dan penegakan hukum (the consistency of rules and enforcement). Konsistensi peraturan (Consistency rules) ditunjukkan dengan adanya peraturan yang tidak saling bertentangan antara satu peraturan dengan peraturan yang lain, dan dapat dijadikan pedoman untuk jangka waktu yang cukup sehingga tidak terkesan setiap pergantian pejabat selalu diikuti pergantian peraturan yang bisa saling bertentangan.37

Investor membutuhkan adanya kepastian hukum agar aktifitas investasinya dapat berjalan dengan lancar. Sebagaimana dikemukakan oleh Salim HS dan Budi Sutrisno, hubungan antara investor dengan penerima modal sangat erat karena investor sebagai pemilik modal akan bersedia menanamkan investasinya di negara penerima modal, sepanjang negara penerima modal dapat memberikan kepastian hukum, perlindungan hukum, dan rasa aman bagi investor dalam berusaha. Tanpa adanya rasa aman, perlindungan hukum dan kepastian hukum mustahil penanam modal mau menanamkan modalnya.38

Berdasarkan keseluruhan uraian diatas dapat diketahui bahwa dalam upaya meyakinkan calon investor untuk menanmkan modal atau berinvestasi di Indonesia,

35 Frans Hendra Winarta. (2015). “Pembatalan Putusan Arbitrase Sering Mengada-Ada”. Di akses pada 28 September, 2015 pukul 13.30 dari http://nasional.sindonews.com/read/995127/18/pembatalan-putusan-arbitrase-sering-mengada-ada-1430272336/2

36 Republik Indonesia, Undang-Undang Penanaman Modal, UU No. 25 Tahun 2007, Lembaran Negara No. 67 Tahun 2007, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4724, Pasal 3 ayat (1).

37 Lusiana, Investment in Indonesia, (Jakarta: Penerbit Raja Grafindo, 2012), 9238 Salim HS dan Budi Sutrisno, Hukum Investasi di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 2014), 12.

13

kepastian hukum, perlindungan hukum (legal protection) dan keadilan hukum harus diutamakan karena investor yang menanamkan modalnya selain mengharapkan hasil atau keuntungan dalam bisnisnya, modal yang ditanamnya tetap dalam posisi aman.

KESIMPULAN

1. Klausul arbitrase yang mempunyai kekuatan mengikat secara otomatis melahirkan suatu kewenangan bagi lembaga arbitrase untuk memeriksa dan menyelesaikan sengketa yang terjadi antara para pihak. Dengan dicantumkannya klausul arbitrase dalam perjanjian, maka sesuai Pasal 3 dan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa maka meniadakan hak para pihak untuk membawa sengketa ke Pengadilan Negeri karena lembaga arbitrase yang berwenang untuk menyelesaiakan sengketa yang terjadi. Para pihak harus tunduk dengan adanya klausul arbitrase yang telah disepakati dalam perjanjian.

Sengketa yang terjadi antara PT Berkah Karya Bersama dan Siti Hardiyanti Rukmana merupakan salah satu contoh sengketa yang dalam Investment Agreement-nya terdapat klausul arbitrase. Namun adanya klausul arbitrase tersebut tidak membuat Tutut menyelesaiakan sengketanya ke BANI sebagai lembaga arbitrase, justru Siti Hardiyanti Rukmana mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Hal ini bertentangan dengan yang telah diatur dalam Pasal 3 dan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Jadi, tindakan pihak yang terikat klausul arbitrase membawa sengketa yang terjadi ke Pengadilan Negeri bertentangan dengan pasal 3 dan pasal 11 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelsaian Sengketa.

2. Intervensi yang dilakukan oleh lembaga peradilan dalam kasus TPI menguatkan citra Indonesia sebagai negara yang tidak ramah terhadap arbitrase. Hal ini dapat membahayakan iklim investasi di Indonesia, karena para investor akan beranggapan bahwa kepastian hukum di Indonesia sangat minim. Padahal di negara-negara lain putusan arbitrase ini sangat dihormati dan dijunjung tinggi. Oleh karena itulah, Indonesia dapat dikategorikan sebagai unfriendly state against commercial arbitration, karena tentunya hal tersebut akan merugikan perekonomian di Indonesia ke depan, khususnya iklim investasi akan terganggu. Minat investasi yang besar dari investor asing tidak diimbangi dengan pelaksanaannya.

SARAN

Para pihak harus lebih memahami esensi dari klausul arbitrase dalam membuat suatu perjanjian sehingga tidak dengan mudah mengesampingkan adanya klausul arbitrase yang telah disepakati dalam perjanjian. Jika dalam perjanjian telah terdapat klausul arbitrase maka BANI sebagai lembaga arbitrase yang berwenang untuk memeriksa dan menyelesaiakan sengketa.

Pengadilan Negeri seharusnya lebih cermat dalam memeriksa sengketa yang mengandung klausul arbitrase dan tidak dengan mudah mengesampingkan adanya klasul

14

arbitrase dalam perjanjian. Sengketa tersebut bukan merupakan kewenangan pengadilan negeri karena klausul arbitrase memberikan kewenangan absolut pada lembaga arbitrase.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Harahap, Yahya., Arbitrase, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004).

Harahap, Yahya., Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005).

Harahap, Yahya., Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012).

HS, Salim dan Budi Sutrisno., Hukum Investasi di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 2014).

Ibrahim. Johny, Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Malang: Bayumedia Publishing, 2007).

Lusiana, Investment in Indonesia, (Jakarta: Penerbit Raja Grafindo, 2012).

Margono, Suyud., ADR & Arbitrase Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2004).

Marzuki, Peter Mahmud., Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011).

Radbruch, Gustav., Legal Philosophy, dalam The Legal Philosophies of Lask, Radbruch, and Dabin, Translated by: Kurt Wilk, (Cambridge, Massachussetts: Harvard University Press, 1950).

Rajagukguk, Erman., Hukum Investasi dan Pasar Modal, (Jakarta: Universitas Indonesia Fakultas Hukum Pascasarjana, 2013).

Sembiring, Sentosa., Hukum Investasi – Pembahasan Dilengkapi Dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal, (Bandung: Nuansa Aulia, 2007).

Sjahdeini, Sutan Remy., Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang Bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, (Jakarta: Institut Bankir Indonesia, 1993).

Suratman, dan Ana Rokhmatussa’dyah., Hukum Investasi dan Pasar Modal, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011).

Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji., Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, cet. 11, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2009).

15

Subekti, Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Bina cipta, 1997).

Untung, Hendrik Budi., Hukum Investasi, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013).

Widjaja, Gunawan dan Yani Ahmad., Hukum Arbitrase, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003).

Winarta, Frans Hendra., Hukum Penyelesaian Sengketa – Arbitrase Nasional Indonesia dan Internasional, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013).

Jurnal

Raesman, W. Michael dan Heide Iravani, Arbitration and National Courts: Conflict and Cooperation: The Changing Relation of National Courts and International Commercial Arbitration)., The American Review of International Arbitration in Journal Lexis-Nexis, Vol. 21., Nos 1-4, 2010.

Ridgway, Delissa A., & Mariya A., Talib, Globalisation and Development; Free Trade, Foreign Aid, Investment and The Rule of Law, California Western International Law Journal, Vol. 33, Spring 2003.

Sirait, Ningrum Natasya., Mencermati Undang-Undang Nomor 5 tahun 1999 Dalam Memberikan Kepastian Hukum Bagi Pelaku Usaha, Jurnal Hukum Bisnis, Volume 22, (Jakarta: Yayasan Pengembangan Hukum Bisnis, 2003).

Syahyu, Yulianto., Pertumbuhan Investasi Asing di Kepulauan Batam; Antara Dualisme Kepemimpinan dan Ketidakpastian Hukum, Jurnal Hukum Bisnis, Vol. 22- No. 5, (Jakarta: Yayasan Pengembangan Hukum Bisnis, 2003).

Peraturan Perundang-Undangan

Republik Indonesia, Undang-Undang Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, UU. No. 30 Tahun 1999, Lembaran Negara No. 138 Tahun 1999, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3872.

Republik Indonesia, Undang-Undang Penanaman Modal, UU No. 25 Tahun 2007, Lembaran Negara No. 67 Tahun 2007, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4724.

Putusan Mahkamah Agung No 238/Pk/Pdt/2014.

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek). Diterjemahkan oleh R. Soebekti dan R. Tjitrosudibio, Cet. 35, Jakarta: Pradnya Paramita, 2004.

Kamus

16

Black, Henry Campbell., Black’s Law Dictionary, (St. Paul, Minn: West Publishing Co., 1983).

Kamus Besar Bahasa Indonesia Online. http://kbbi.web.id/kompetensi.

Makalah

Juwana, Hikmahanto., Arah Kebijakan Pembangunan Hukum di Bidang Perekonomian dan Investasi, Makalah, (Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional, 2006).

Kusumaatmadja, Mochtar., Investasi Di Indonesia Dalam Kaitannya dengan Pelaksanaan Perjanjian Hasil Putaran Uruguay, Makalah Dalam Seminar Nasional Tentang Pendekatan Ekonomi Dalam Pengembangan Sistem Hukum Nasional Dalam Rangka Globalisasi, (Bandung: Penyelenggara FH UNPAD, 1998).

Artikel dalam Internet

SINDO NEWS., Frans Hendra Winarta. (2015). “Pembatalan Putusan Arbitrase Sering Mengada-Ada”. Di akses pada 28 September, 2015 pukul 13.30 dari http://nasional.sindonews.com/read/995127/18/pembatalan-putusan-arbitrase-sering-mengada-ada-1430272336/2

www.hukumacaraperdata.com/2012/03/06/perihal-kekuasaan-mutlak-dan-kekuasaan-relatif-yang-harus-diketahui-seseorang-sebelum-mengajukan-gugatan/ ,

DETIK.COM. (2010)., Kronologi Kasus Sengketa TPI,http://finance.detik.com/read/2010/07/02/131753/1391619/6/1/kronologi-sengketa-saham-tpi , diakses pada Senin, 28 September 2015 pukul 09.00.

TEMPO INTERAKTIF.COM. (2015)., Hary Tanoesoedibjo: Kami Akan Bertahan, 2015, Tempo Interaktif, http://tempointeraktif.com/khusus/selusur/tpi/page08.php diakses pada Senin, 28 September 2015 pukul 09.30.

17

DAFTAR PERTANYAAN UNTUK KELOMPOK 2

Pertanyaan dari Kelompok 3

1. Pertanyaan dari Elisabeth Carissa Hutapea (1506697076)

Apakah yang dimaksud dengan Pacta de Compromittendo dalam suatu Perjanjian

Arbitrase?

Jawab:

Pacta de Compromittendo berarti “kesepakatan setuju dengan putusan arbiter”, yakni

kebolehan untuk membuat persetujuan di antara para pihak yang membuat persetujuan

untuk menyerahkan penyelesaian perselisihan yang mungkin timbul di kemudian hari

kepada arbitrase atau melalui alternatif penyelesaian sengketa. Persetujuan yang dimaksud

adalah “klausul arbitrase”. Berdasarkan hal tersebut, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa

klausul arbitrase dipersiapkan untuk mengantisipasi perselisihan yang mungkin timbul di

masa yang akan datang.

2. Pertanyaan dari Rizky Amalia (1506697492)

Bagaimanakah antisipasi yang dapat dilakukan bagi pihak lain yang memuat klausul

arbitrase dalam perjanjian mereka sehigga tidak akan terjadi kasus seperti yang dialami

dalam Kasus Sengketa Saham Kepemilikan PT. Cipta Televisi Pendidikan Indonesia (TPI)

antara PT. Berkah Karya Bersama Versus Ny. Siti Hardiyanti Rukmana dkk?

Jawab:

Antisipasi yang dapat dilakukan oleh para pihak adalah membuat perjanjian dimana

klausul dalam perjanjian tersebut telah diatur secara lengkap dan rinci sehingga tidak akan

terjadi frustration agreement. Selain itu, para pihak harus memiliki itikad baik untuk

melaksanakan isi perjanjian yang telah disepakati bersama. Itikad baik ini dapat dilakukan

pada waktu mulai berlakunya suatu hubungan hukum antara para pihak dan pada waktu

pelaksanaan hak-hak dan kewajiban yang termaktub dalam hubungan hukum itu. Tolak

ukur itikad baik disini terletak pada tindakan yang akan dilakukan oleh kedua belah pihak,

yaitu tindakan sebagai pelaksanaan dari isi perjanjian yang telah disepakati.

Pertanyaan Lainnya:

3. Pertanyaan dari Letycia Minerva

Seperti kita ketahui bersama, terdapat pilihan hukum lembaga arbitrase yaitu apakah akan

menggunakan arbitrase internasional atau akan memilih BANI, Bagaimana atau seberapa

18

besar dampak dari adanya pengabaian putusan BANI dikaitkan dengan asas kepastian

hukum , tersebut bagi investor dalam menanamkan modalnya di Indonesia ?

Jawab:

Dalam kasus Kasus Sengketa Saham Kepemilikan PT. Cipta Televisi Pendidikan

Indonesia (TPI) antara PT. Berkah Karya Bersama Versus Ny. Siti Hardiyanti Rukmana

dkk, ini para pihak sepakat untuk memilih BANI sebagai lembaga arbiter jika terjadi

perselisihan di kemudian hari. Hal ini telah diatur dalam Investment Agreement diantara

para pihak sebagaimana tertuang dalam Investment Agreement tersebut terkandung

klausul arbitrase yaitu pada pasal 13 ayat (2), pasal 13 ayat (3) dan pasal 13 ayat (4)

Pasal 13 ayat (2) “Segala sengketa yang timbul diantara Para pihak yang berasaldari atau terkait dengan Perjanjian ini, termasuk tetapi tidak terbatas pada, pertanyaan apapun terkait dengan penafsiran, keabsahan pelaksanaan, keefektifan dan pemutusan hak atau kewajiban dari pihak manapun akan diselesaikan secara musyawarah”;

Pasal 13 ayat (3) “Apabila sengketa tersebut tidak dapat diselesaikan dengan musyawarah oleh Para pihak, maka sengketa tersebut harus diselesaikan secara eksklusif dan bersifat final melalui arbitrase di Jakarta menurut Peraturan Badan Arbitrase NasionalIndonesia”;

Pasal 13 ayat (4) “Pasal 13 ini merupakan suatu Klausula Arbitrase yang tercakup dalam pengertian menurut Undang Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (12 Agustus 1999) dan tidak dapat dicabut serta mengikat Para Pihak untuk menyerahkan sengketa kepada arbitrase bersifat final dan mengikat sesuai dengan hukum dan ketentuan-ketentuan di dalam Perjanjian ini”;

Pada perjanjian diatas terdapat klausul arbitrase dalam bentuk Pacta de Compromittendo

atau dengan kata lain klausul arbitrase dibuat pada saat sebelum terjadi sengketa. Adanya

klausul arbitrase tersebut dipersiapkan untuk mengantisipasi perselisihan yang mungkin

timbul antara para pihak.

Intervensi yang dilakukan oleh lembaga peradilan dalam kasus TPI menguatkan citra

Indonesia sebagai negara yang tidak ramah terhadap arbitrase. Hal ini dapat

membahayakan iklim investasi di Indonesia, karena para investor akan beranggapan bahwa

kepastian hukum di Indonesia sangat minim. Padahal di negara-negara lain putusan

arbitrase ini sangat dihormati dan dijunjung tinggi. Oleh karena itulah, Indonesia dapat

dikategorikan sebagai unfriendly state against commercial arbitration, karena tentunya hal

tersebut akan merugikan perekonomian di Indonesia ke depan, khususnya iklim investasi

19

akan terganggu. Minat investasi yang besar dari investor asing tidak diimbangi dengan

pelaksanaannya.

20