38
MENGENAL DAN MENGAPLIKASIKAN PERSPEKTIF INTERAKSIONISME SIMBOLIK Oleh: Achmad Zainal Arifin, MA* Applying sociological perspectives into an academic research is not as easy as we might think. Some researches, especially in religious field, that were claimed using sociological perspective, in fact, did not have any sense of sociological analysis at all, or at least, they usually limited their sociological analysis only on the function of religion in society by utilizing the perspective of functionalism. This article tries to intoduce an alternative perspective within sociology, namely symbolic interactionism and the way how this perspective can be applied broadly to explore religious phenomena. By utilizing this perspective, many religious phenomena, especially their symbolic aspects and the picture of everyday life situation would be better explained because the basic premises of this perspective in viewing the nature of society are more humane and dynamic. Besides, this perspective offers an interesting methodology to understand religious phenomena through the adoption and diffusion of fields methods, ethnography and qualitative sociology. Key words: symbol, meaning, interaction, and society Salah satu kesulitan yang seringkali dirasakan mahasiswa dalam menyelesaikan tugas akhir (skripsi) adalah minimnya kemampuan untuk mengaplikasikan teori-teori sosiologi yang akan digunakan sebagai pisau analisis dalam mendeskripsikan ataupun mengeksplorasi tema-tema penelitian 1

AGAMA DALAM PERSPEKTIF INTERAKSIONISME SIMBOLIK

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: AGAMA DALAM PERSPEKTIF INTERAKSIONISME SIMBOLIK

MENGENAL DAN MENGAPLIKASIKAN

PERSPEKTIF INTERAKSIONISME SIMBOLIK

Oleh: Achmad Zainal Arifin, MA*

Applying sociological perspectives into an academic research is not as easy as we might think. Some researches, especially in religious field, that were claimed using sociological perspective, in fact, did not have any sense of sociological analysis at all, or at least, they usually limited their sociological analysis only on the function of religion in society by utilizing the perspective of functionalism. This article tries to intoduce an alternative perspective within sociology, namely symbolic interactionism and the way how this perspective can be applied broadly to explore religious phenomena. By utilizing this perspective, many religious phenomena, especially their symbolic aspects and the picture of everyday life situation would be better explained because the basic premises of this perspective in viewing the nature of society are more humane and dynamic. Besides, this perspective offers an interesting methodology to understand religious phenomena through the adoption and diffusion of fields methods, ethnography and qualitative sociology.

Key words: symbol, meaning, interaction, and society

Salah satu kesulitan yang seringkali dirasakan mahasiswa dalam menyelesaikan

tugas akhir (skripsi) adalah minimnya kemampuan untuk mengaplikasikan teori-teori

sosiologi yang akan digunakan sebagai pisau analisis dalam mendeskripsikan ataupun

mengeksplorasi tema-tema penelitian yang telah dipilih. Kondisi ini tentu saja tidak

muncul dengan sendirinya, melainkan terjadi akibat adanya kesalahan yang cukup

mendasar pada proses pentransferan ilmu pengetahuan yang cenderung text-book dan

kurang inovatif dalam pengambilan contoh-contoh kasus dalam menjelaskan kerangka

teori sosial yang ada. Salah satu diantara sekian banyak teori-teori sosial yang kurang

digarap secara maksimal dalam memahami fenomena keagamaan adalah pendekatan

interaksionisme simbolik.

Menurut hemat penulis, setidaknya ada dua asumsi dasar yang kurang tepat di

kalangan akademisi berkenaan dengan keengganan menggunakan perspektif ini dalam

mengkaji fenomena-fenomena keagamaan yang ada. Pertama, anggapan bahwa

perspektif interaksionisme simbolik cenderung bersifat positivistik. Anggapan seperti ini

muncul bisa jadi disebabkan oleh keengganan kita untuk mengkaji lebih dalam perspektif

1

Page 2: AGAMA DALAM PERSPEKTIF INTERAKSIONISME SIMBOLIK

ini dan juga faktor kelahiran perspektif ini sendiri yang dibidani oleh ilmuwan-ilmuwan

sosial Amerika. Sebagaimana yang lazim dipahami, perkembangan ilmu-ilmu sosial di

Amerika memang memunculkan kecenderungan yang bersifat positivistik dan pragmatis.1

Hal ini sangatlah berbeda bila kemudian kita kontraskan dengan perkembangan teori-

teori sosiologi yang ada di daratan Eropa. Kedua, hasil yang bisa dicapai dari penggunaan

perspektif interaksionisme simbolik tidaklah bersifat seradikal dan serevolusioner bila

dibandingkan dengan penggunaan perspektif konflik,2 misalnya, dalam memahami

fenomena keagamaan yang ada, sehingga ada kesan “nilai jual” dari pendekatan

interaksionisme simbolik pun dipandang kurang “marketable” dan akhirnya cenderung

untuk ditinggalkan. Hal ini sebenarnya tidak bisa dilepaskan dari perseteruan klasik

dalam kancah sosiologi berkenaan dengan dikotomi sosiologi “makro-mikro” dan juga

permasalahan mengenai “agensi-struktur” yang masih mendapat tempat yang cukup kuat

dikalangan sosiolog sendiri. 3

Terlepas dari dua asumsi diatas, sebenarnya perspektif interaksionisme simbolik

memiliki beberapa keunggulan, dengan mendasarkan pada karakteristik-karakteristik

utamanya, apabila kita gunakan sebagai pisau analisis untuk mengungkap berbagai

1Kecenderungan untuk mengembangkan sosiologi yang bersifat praktis atau applied sociology memang terlihat dengan jelas dalam perkembangan ilmu sosiologi di Amerika. Ketidakpuasan kebanyakan sosiolog Amerika terhadap semboyan “ilmu untuk ilmu” yang dianut kuat oleh kalangan sosiolog Eropa, terlebih pasca Perang Dunia II yang banyak meruntuhkan sendi-sendi kehidupan sosial, menyebabkan kebutuhan untuk menciptakan kehidupan sosial yang lebih baik menjadi suatu keniscayaan. Disinilah kemudian para sosiolog Amerika bersikap lebih terbuka untuk mengaplikasikan ilmu sosiologi untuk menciptakan perubahan sosial di masyarakat, melalui pemanfaatan ilmu untuk memecahkan problem sosial, lihat: Paul Lazarsfeld dan Jeffrey Reitz, “History of Applied Sociology.” Sociological Practice, 7, 1989: 43-52.

2Contoh nyata begitu radikal dan revolusionernya hasil dari penggunaan perspektif konflik, khususnya pendekatan Marxisme dalam memahami fenomena sosial dan agama bisa dilihat dari kemunculan tokoh-tokoh perjuangan di Amerika Latin yang mampu memobilisasi massa dan menentang kesewenangan rezim militer di sana melalui konsep teologi pembebasan (liberal theology). Lihat: Gutierrez, Teologi Pembebasan (Yogyakarta: Jendela, 2001); Francis Wahono Nitiprawiro, Teologi Pembebasan: Sejarah, Metode, Praksis dan Isinya (Yogyakarta : LKiS, 2000).

3Masalah hubungan makro-mikro, terutama berkenaan dengan level analisis sosiolgi, yang dituntut untuk bisa berhadapan dengan sistem sosial maupun kehidupan individual sehari-hari, menjadi problem yang cukup pelik dikalangan sosiolog Amerika sejak era 80-an dan berlanjut hingga dekade 90-an. Berbagai upaya untuk menggabungkan kedua model teoretisi ini sudah mulai banyak dilakukan, sebagaimana yang ditunjukkan oleh George Ritzer, Robert Ellias, maupun Rendall Collins. Sementara itu, persoalan agensi-struktur muncul dikalangan sosiolog Eropa yang berkenaan dengan aktor utama dalam analisis sosiologis yang harus menjadi pusat perhatian, apakah agen (individu atau sekumpulan individu) ataukah struktur (sistem sosial) yang lebih menentukan dalam kehidupan sosial. Upaya untuk mengintegrasikan masalah ini juga sudah cukup banyak dilakukan, diantaranya oleh Giddens melalui Teori Stukturasinya dan Bourdieu melalui konsepnya tentang habitus and field, lihat: George Ritzer, Sociological Theory (New York: McGraw-Hill Companies, 2000), hlm.219-20.

2

Page 3: AGAMA DALAM PERSPEKTIF INTERAKSIONISME SIMBOLIK

fenomena keagamaan terutama yang bersifat mikro, yang kurang bisa diungkapkan

dengan menggunakan perspektif-perspektif sosiologis lain yang cenderung bergerak pada

dataran makro, sebagaimana perspektif fungsionalisme maupun konflik. Terlebih lagi,

perkembangan perspektif interaksionisme simbolik, yang telah cukup lama mengalami

kemunduran, mulai memunculkan beberapa upaya penggabungan antara persoalan makro

dan mikro, telah memberikan kesempatan yang lebih luas kepada perspektif ini untuk

memberikan kontribusi yang signifikan bagi perkembangan teori-teori sosiologi secara

umum serta memberikan jawaban yang lebih komprehensif terhadap permasalahan-

permasalahan yang ada di masyarakat.. Makalah ini akan mencoba untuk

mengungkapkan bagaimana sebenarnya perspektif interaksionisme simbolik bisa

diaplikasikan untuk mengungkapkan lebih jauh fenomena-fenomena keagamaan yang ada

di masyarakat dengan mengkaji kembali sejarah perkembangan, ide-ide dasar, serta

merekonstruksi bagaimana perspektif ini bisa diaplikasikan dalam memahami fenomena

keagamaan yang ada.

A. Selintas Perspektif-perspektif dalam Sosiologi

Sebelum membahas perspektif interaksionisme simbolik secara lebih mendetail,

perlu kiranya sedikit menyegarkan ingatan kita akan berbagai perspektif yang ada

dalam disiplin ilmu sosiologi, paling tidak perspektif-perspektif yang paling sering

digunakan para sosiolog dalam melihat dan mendefinisikan realitas sosial yang ada.

Agar lebih jernih dalam memahami karakteristik dari berbagai perspektif yang ada

dalam disiplin sosiologi, setidaknya kita perlu untuk mendefinisikan kembali

pertanyaan mendasar tentang apa yang seharusnya dilakukan seorang sosiolog dalam

membaca fenomena sosial yang membedakannya dari disiplin lain dalam ilmu-ilmu

sosial. Sebuah ilustrasi klasik tentang kisah orang buta menggambarkan gajah yang

telah diubah dibawah ini mungkin bisa sedikit membantu:

“Tersebutlah sebuah kisah tentang lima orang bijak yang kesemuanya buta sedang dibimbing kearah seekor gajah. Mereka diminta untuk menjelaskan apa yang mereka “lihat.” Pertama, seorang psikolog, meraba bagian atas kepala gajah dan mengatakan, “Hanya inilah bagian yang perlu diperhatikan. Segala bentuk perasaan dan pemikiran ada didalamnya. Untuk bisa memahami gajah dengan baik, hanya bagian inilah yang harus dipelajari.”

3

Page 4: AGAMA DALAM PERSPEKTIF INTERAKSIONISME SIMBOLIK

Kedua, seorang antropolog, dengan sabar membelai bagian belalai dan gading gajah. Dia berujar, “Bagian ini sangatlah primitif, saya merasa nyaman disini, konsentrasilah pada bagian ini.”

Ketiga, seorang ilmuan politik, ia merasakan telinga gajah yang besar dan berkata, “Inilah pusat kekuasaan, apapun yang masuk disini mengontrol seluruh bagian binatang ini. Pusatkan studi anda pada bagian ini.”

Keempat, seorang ekonom, meraba bagian mulut gajah dan berucap, “Inilah bagian terpenting, segala sesuatu yang masuk kedalam bagian ini didistribusikan keseluruh tubuh. Jadi, pelajarilah bagian ini.”

Terakhir, tentu saja seorang sosiolog, setelah meraba seluruh bagian tubuh, mengatakan, “kalian tidak akan bisa memahami binatang ini hanya dengan memperhatikan satu bagian saja. Itu hanyalah sebagian dari keseluruhan tubuh gajah. Kepala, belalai dan gading, telinga, dan mulut merupakan bagian yang penting, termasuk juga bagian tubuh yang belum kalian sebutkan. Kita harus menghilangkan kebutaan kita sehingga kita bisa melihat gambaran yang lebih komprehensif. Kita harus melihat bagaimana semua bagian bekerjasama membentuk sebuah binatang yang bernama gajah.” Setelah berhenti sejenak, sang sosiolog melanjutkan, “Kita juga perlu untuk memahami bagaimana gajah ini berinteraksi dengan sesamanya. Bagaimana kehidupan mereka dalam kelompok mempengaruhi perilaku mereka”?

Saya berharap bahwa saya dapat menyimpulkan kisah diatas dengan menyatakan bahwa sang psikolog, antropolog, ilmuwan politik, dan ekonom, setelah mendengarkan apa yang dikatakan sang sosiolog, akan segera menyingkirkan kebutaan mereka dan bekerjasama untuk mengamati gajah secara lebih komprehensif. Namun karena sikap keras kepala, masing-masing tetap bersikeras dengan bagian masing-masing. Bahkan sayup-sayup kita masih bisa mendengar gumaman mereka, “Bagian kepala adalah milik saya, menjauhlah darinya.” “Jangan sentuh gadingnya.” “Jauhkan tanganmu dari telinganya.” “Menjauhlah dari mulutnya, karena itu adalah wilayahku.”4

Secara sepintas, kisah diatas menunjukkan begitu luasnya obyek kajian yang

harus diamati oleh seorang sosiolog sehingga bisa dikatakan sosiologi memiliki

cakupan yang paling luas bila dibandingkan dengan cabang-cabang ilmu sosial

lainnya.5 Keluasan obyek kajian ini juga bisa kita lihat dalam berbagai literatur

4James M. Henslin, Sociology: A Down to Earth Approach (Boston: Allyn and Bacon, 1995), hlm.8.

5Jeanne H. Ballantine dan Leonard Cargan, Sociological Footprints (Belmont: Wadsworth, 2002), hlm.436

4

Page 5: AGAMA DALAM PERSPEKTIF INTERAKSIONISME SIMBOLIK

pengantar sosiologi, dimana sosiologi sendiri seringkali didefinisikan sebagai sebuah

studi ilmiah tentang struktur sosial, interaksi sosial, dan faktor-faktor yang

menyebabkan perubahan dalam struktur dan interaksi.6 Karenanya, seorang sosiolog

setidaknya harus memiliki perhatian yang kuat terhadap empat unsur yang

membentuk sebuah perspektif atau sudut pandang sosiologis. Unsur pertama dalam

pandangan sosiologis adalah ilmu. Karena sosiologi adalah sebuah ilmu, para

sosiolog mengikuti serangkaian ketentuan prosedur penelitian dalam menginvestigasi

fenomena sosial. Struktur sosial merupakan unsur kedua dari pandangan sosiologis.

Masyarakat adalah terstruktur, dan struktur sosial ini terdiri dari komponen-

komponen dari lingkungan sosial kita yang secara relatif bersifat permanen seperti

keluarga, agama, dan negara. Struktur merupakan tatanan dalam kehidupan sosial

yang kekal dan menentukan serta dapat diprediksi. Unsur yang ketiga adalah interaksi

sosial. Para individu secara umum memiliki keterlibatan dengan kebanyakan individu

lainnya yang dengannya mereka berinteraksi secara terus-menerus. Perubahan sosial

merupakan unsur terakhir dari pandangan sosiologis. Meskipun kehidupan sosial

terstruktur, ia senantiasa masih akan berubah-ubah dan para sosiolog mengakui

bahwa baik kontinuitas maupun perubahan merupakan ciri-ciri dari eksistensi sosial

manusia.

Perbedaan dalam memberikan perhatian terhadap eksistensi keempat unsur inilah

yang memunculkan berbagai corak perspektif dalam disiplin sosiologi. Perspektif

sosiologis yang lebih menekankan pada unsur struktur, misalnya, jelas akan memiliki

pandangan yang berbeda dengan perspektif yang mengedepankan unsur interaksi

sosial. Secara kasat mata mungkin kita bisa membayangkan bahwa perspektif yang

lebih mendasarkan asumsi atau premis dasarnya pada urgensi struktur akan memiliki

kecenderungan untuk berbicara pada level makro. Sebaliknya, ketika unsur interaksi

lebih mengemuka, maka perbincangan seputar masalah sosiologi mikro akan lebih

mendominasi. Sejalan dengan perbedaan level makro-mikro dalam perspektif

sosiologi, perdebatan masalah agensi-struktur juga memberikan warna tersendiri bagi

perkembangan perspektif-perspektif dalam sosiologi. Persoalan dominasi individu

ataukah sistem sosial yang paling berperan dalam melihat fenomena sosial ini, sedikit

6James M. Henslin, op. cit., hlm.4-5; William Kornblum, Sociology: The Central Questions (Orlando, Harcourt Brace, 1998), hlm.7.

5

Page 6: AGAMA DALAM PERSPEKTIF INTERAKSIONISME SIMBOLIK

banyak juga bersumber dari perbedaan penekanan dalam melihat keempat unsur

sosiologi diatas. Persoalan agensi-struktur ini juga telah menempatkan perspektif-

perspektif dalam sosiologi dalam karakteristiknya masing-masing.

Secara historis, setidaknya ada tiga perspektif utama yang mendominasi

perkembangan perspektif sosiologi, yaitu: perspektif fungsionalisme, konflik, dan

interaksionisme simbolik.7 Sedangkan berbagai perspektif lain yang muncul

sesudahnya bisa dikatakan merupakan pengembangan, penggabungan, maupun

derivasi dari ketiga perspektif tersebut yang direpresentasikan oleh figur-figur klasik

sosiologi, seperti Durkheim, Marx dan Weber, serta Simmel.8 Penyempurnaan-

penyempurnaan yang dilakukan oleh para sosiolog terhadap ide-ide dasar keempat

figur diatas, entah itu beruwujud respon terhadap berbagai kritik yang muncul

maupun upaya-upaya mensintesiskan perspektif-perspektif yang ada dalam rangka

menjelasakan fenomena sosial yang lebih kompleks, dan bisa dikatakan juga tidak

lepas dari pergerakan wacana seputar masalah mikro-makro serta agensi-struktur

yang hingga saat ini masih bisa dikatakan masih belum menemukan titik akhirnya.

Perspektif fungsional atau yang dikenal juga dengan nama fungsionalisme

struktural serta analisis fungsional, misalnya, berawal dari ide-ide dasar Comte,

Spencer, maupun Durkheim, yang menganalogikan masyarakat sebagai organisme

sosial dengan menitikberatkan fokus analisisnya pada hubungan-hubungan antar

anggota atau bagian dari masyarakat, termasuk didalamnya menganalisis bagaimana

bagian-bagian tersebut memberikan kontribusi, baik positif (fungsional) maupun

negatif (disfungsional), bagi kelangsungan masyarakat,9 mendapatkan kritik yang luar

biasa terutama berkenaan dengan ketidakmampuan perspektif ini ketika harus

berhadapan dengan perubahan sosial sehingga cenderung diklaim sebagai perspektif

sosiologi yang pro-status quo. Para penganut perspektif ini pun kemudian melakukan

berbagai revisi yang cukup mendasar dalam meng-counter kritik-kritik yang ada.

7James M. Henslin, op.cit., hlm.18-27; Jonathan H. Turner, Leonard Beeghley, dan Charles H. Powers, The Emergence of Sociological Theory (Orlando: Wadsworth Publishing Company, 1995).

8Keempat tokoh inilah yang seringkali dipandang sebagai tokoh sosiologi klasik yang paling berpengaruh dalam khazanah perkembangan teori sosiologi, bahkan menurut Turner, sumbangsih keempat tokoh ini bisa ditemui dalam berbagai teori yang termasuk dalam teori sosiologi modern, lihat: Jonathan H. Turner, The Structure of Sociological Theory, 7th edition (Belmont: Wadsworth/Thompson Learning, 2003).

9Ibid.,hlm.23-29.

6

Page 7: AGAMA DALAM PERSPEKTIF INTERAKSIONISME SIMBOLIK

Setidaknya kita bisa mencatat nama Talcott Parsons10 dan Robert K. Merton11 sebagai

tokoh utama sekaligus dewa penyelamat dari perspektif ini sehingga tetap eksis dan

bahkan mendominasi perkembangan teori-teori sosiologi, setidaknya hingga dekade

60-an. Satu nama lagi yang layak dikemukakan disini berkaitan dengan perspektif

fungsional yaitu Jeffrey Alexander yang pada dekade 80-an mendeklarasikan

neofungsionalisme.12 Sejalan dengan Jeffrey Alexander, eksponen fungsionalis yang

juga melakukan kritik mendasar tentang skema fungsional yang digagas oleh Parsons

adalah Niklas Luhmann, yang lebih dikenal dengan fungsionalisme sistem-nya.13

Begitu juga dalam perkembangan perspektif konflik. Permasalahan makro-mikro

dan agensi-struktur juga memberikan pengaruh yang cukup kuat bagi kemunculan

berbagai varian teori yang ada dalam perspektif konflik. Bisa dikatakan bahwa

konsep-konsep dasar dalam perspektif ini bersumber dari karya-karya Marx dan

Weber.14 Meskipun perspektif ini, sebagaimana juga perspektif fungsional,bergerak

dalam level makro sosiologi, namun kedua perspektif ini bisa dikatakan memiliki

premis-premis dasar yang bertolak belakang. Hal ini bisa kita lihat pada konsep

tentang masyarakat sebagaimana yang diungkapkan oleh Dahrendorf sebelum dia

mengutarakan konsepnya bahwa masyarakat memiliki dua wajah, yaitu konflik dan

10Sumbangan Parsons, terutama melalui elaborasinya tentang teori tindakan dan sistem sosial yang dipandanganya mampu “membumikan” perspektif fungsional yang sebelumnya dipandang ahistoris sekaligus memberikan nuansa analisis dalam level mikro (individu), lihat: Ritzer, op.cit., 233-44; Irving M. Zietlin, Memahami Kembali Sosiologi (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1995), hlm.22-33.

11Robert K. Merton memberikan pengaruh yang cukup dominan dalam perspektif fungsional atau fungsionalisme struktural melalui ide-idenya tentang middle-range theories serta konsep fungsi yang ia bagi kedalam fungsi manifes dan laten. Hal ini cukup membantu perspektif fungsional dalam menjelaskan perubahan sosial yang ada, lihat: Robert K. Merton, Social Theory and Social Structure (New York: Free Press, 1968), hlm.73-138.

12Secara garis besar, aliran neofungsionalisme mencoba untuk tampil sebagai kritik internal terhadap perspektif fungsional yang dipandang terlalu kaku dan sempit karena cenderung mengabaikan aspek kultural dalam analisis-analisinya, lihat: Jeffrey C. Alexander (Ed.), Neofunctionalism (California: Sage Publications, 1985), hlm.14-15; Ritzer, op.cit., hlm.254.

13Fungsionalisme system lebih menekankan perhatiannya pada tindakan manusia yang telah terorganisir dan terstruktur dalam sistem. Eksistensi sistem sosial lebih dilihat sebagai hasil dari tindakan-tindakan manusia yang berkaitan satu dengan lainnya, yang oleh Dahrendorf digolongkan kedalam tiga tipe sosial sistem: sistem interaksi, sistem organisasi, dan sistem kemasyarakatan, lihat: Turner, op.cit., hlm.54-57.

14Secara umum, menurut Turner, Weber memiliki ide sejalan dengan Marx, hanya saja Weber tidak sependapat dengan Marx berkenaan dengan visi revolusi yang menurut Marx merupakan suatu keniscayaan, lihat: Turner, op.cit., hlm134. Disamping itu, ide Marx yang menempatkan ekonomi (materialisme) sebagai faktor yang dominan juga mendapat tentangan dari Weber yang lebih berpijak pada masalah makna dan nilai-nilai sosial yang tercermin dari metode verstehen yang dikembangkannya, lihat: Ritzer, op.cit., hlm.111-13.

7

Page 8: AGAMA DALAM PERSPEKTIF INTERAKSIONISME SIMBOLIK

konsensus.15 Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa terdapat beberapa perbedaan

mendasar antara kedua perspektif ini diantaranya, pertama, kalangan fungsionalis

memandang masyarakat sebagai sesuatu yang bersifat statis, atau setidaknya

pergerakan yang terjadi selalu menuju pada equilibrium atau menuju ke arah

harmonisasi, sementara perspektif konflik melihat bahwa setiap masyarakat selalu

berproses ke arah perubahan. Kedua, kalangan fungsionalis selalu menekankan pada

tatanan sosial, sementara penganut prespektif konflik justru melihat perselisihan dan

konflik sebagai hal terpenting dalam sistem sosial. Ketiga, kalangan fungsionalis

meyakini bahwa setiap elemen masyarakat memberikan kontribusinya pada stabilitas,

sementara para penganut perspektif konflik melihat bahwa kebanyakan elemen

masyarakat berperan aktif dalam disintegrasi dan perubahan. Keempat, fungsionalis

melihat masyarakat sebagai sesuatu yang secara informal dipersatukan oleh norma,

nilai, dan moral bersama, sementara kalangan perspektif konflik memandang bahwa

tatanan sosial merupakan buah dari paksaan yang dilakukan oleh para elit terhadap

anggota masyarakat lainnya. Terakhir, kalangan fungsionalis lebih menekankan pada

kohesi atau daya pemersatu yang diciptakan melalui nilai-nilai bersama, sementara

kalangan perspektif konflik lebih menekankan pada peran kekuasaan dalam menjaga

tatanan sosial.16

Dalam perkembangannya, perspektif konflik sendiri telah memunculkan berbagai

macam aliran yang ide-ide dasarnya bersumber dari kedua tokoh sentral perspektif

ini, yaitu Marx dan Weber, bahkan bisa jadi merupakan penggabungan dari ide-ide

keduanya. Bahkan bisa dikatakan, varian teori yang muncul dari perspektif ini jauh

lebih kompleks dibandingkan perspektif fungsional. Para pewaris ide-ide Karl Marx

yang terhimpun dalam neo-marxisme sendiri, menurut Ritzer, setidaknya telah

menghasilkan beberapa teori, seperti (1) Economic Determinism, yang memuncak

pada diri Karl Kautsky; (2) Hegelian Marxism, yang dipelopori dua tokoh utamanya

Lukacs dan Gramsci; (3) Critical Theory dari mazhab Frankfurt yang mencapai

kejayaannya di tangan Habermas; (4) Historical Marxism, yang tercermin dari karya

monumental Wallerstein tentang Sistem Dunia Modern; (5) Post-Marxis Theory, yang 15Penjelasan lebih detail tentang konsep ini, lihat: Ralf Dahrendorf, Class and Class Conflict in

Industrial Society (Stanford, CA: Stanford University Press, 1959). 16Ralf Dahrendorf, “Out of Utopia: Toward a Reorientation of Sociological Analysis,” American

Journal of Sociology 64 (1958), hlm.127-130.

8

Page 9: AGAMA DALAM PERSPEKTIF INTERAKSIONISME SIMBOLIK

mengerucut pada ide tentang Marxisme analitik dan teori posmo-marxisme.17

Sementara itu, dari ide-ide Max Weber, juga melahirkan beberapa teori lain yang

cukup berpengaruh pada perkembangan perspektif konflik secara umum. Teoretisi

Neo-Weberian yang cukup berpengaruh disini adalah Rendall Collins, yang mencoba

untuk memberikan keleluasaan ide-ide Weber untuk bergelut pada level mikro

dengan menambahkan sentuhan ide Durkheim tentang ritual, dramaturgi-nya

Goffman, serta pendekatan ethnometodology.18 Disamping itu, terdapat juga nama

Ralf Dahrendorf yang telah kita singgung sebelumnya, serta Lewis Coser, yang

mencoba “mendamaikan” perspektif konflik dari Weber dengan perspektif

fungsional.19

Disamping perspektif fungsional dan konflik diatas, ada beberapa perspektif lain

yang agaknya perlu untuk kita ketahui sebelum kita lebih detail berbicara tentang

perspektif interaksionisme simbolik, yaitu teori pertukaran sosial, fenomenologi

sosial, dan strukturalisme. Teori pertukaran sosial, dalam konteks perkembangan teori

sosiologi, seringkali dinisbahkan pada dua tokoh utamanya, yaitu George C. Homans

dan Peter M. Blau. Secara mendasar teori pertukaran sosial ini berangkat dari premis

bahwa setiap tindakan manusia didasarkan pada ganjaran yang akan didapatkannya.

Premis ini dijadikan dasar untuk melihat tindakan sosial yang ada di masyarakat.

Setidaknya, yang membedakan antara teori Homans dan Blau adalah masalah makro-

mikro. Homans lebih bergerak pada level mikro (individual), sementara Blau

memperluas gagasannya untuk memahami struktur tindakan sosial yang lebih bersifat

makro.20 Sementara itu, perspektif fenomenologi sosial dalam teori-teori sosiologi

modern mulai mendapat tempat melalui konsep “dunia intersubyektif” yang digagas

17Ritzer, op.cit.,hlm.xi. Sebenarnya, perbedaan mendasar dari beberapa aliran atau teori disini, sebagaimana diungkapkan sebelumnya, disamping masih berada di seputar permasalahan makro-mikro dan agensi-struktur, juga bisa dilihat dari seberapa besar disiplin ilmu lain, seperti filsafat, sejarah, dan ekonomi yang sangat kental dalam pemikiran Marx dipandang lebih penting oleh masing-masing penganut teori tersebut. Selain itu, terdapat berbagai pendapat lain dalam mengkategorisasikan aliran atau teori-teori yang tergabung dalam neo-marxisme, Turner, mislanya, lebih menempatkan critical theory sebagai teori karena lebih merupakan penggabungan ide Marx dan Weber, lihat: Turner, op.cit. hlm.197.,

18Ibid., hlm.151. 19Lihat: Ruth A. Wallace dan Alison Wolf, Contemporary Sociological Theory (New Jersey:

Prentice Hall, 1991). Hlm.149-58. 20Zietlin, op.cit., hlm.119-20.

9

Page 10: AGAMA DALAM PERSPEKTIF INTERAKSIONISME SIMBOLIK

oleh Alfred Schutz,21 yang kemudian dikembangkan lebih jauh oleh Garfinkel melalui

studi etnometodologinya.22

Sementara itu, perspektif strukturalisme, mula-mula diperkenalkan oleh seorang

ahli linguistik berkebangsaan Swiss, Ferdinand de Saussure, yang ide-idenya

kemudian diperluas oleh seorang antropolog Claude Levi-Strauss. Ide dasar yang

diusung oleh Strauss adalah penganalogian sistem sosial dengan sistem bahasa,

dimana istilah-istilah yang digunakan untuk mendeskripsikan sistem sosial maupun

bahasa diyakini tidak memiliki makna kecuali ketika istilah-istilah tersebut dipakai

secara integral untuk melihat sistem secara keseluruhan.23 Ide-ide kalangan

strukturalis ini kemudian memperoleh kritik yang tajam dari kalangan post-

strukturalis yang dipelopori oleh Jacques Derrida, melalui teori dekonstruksinya,

yang kemudian dikembangkan lebih jauh oleh Michel Foucault, yang tercermin dari

dua konsep utamanya tentang “archeology of knowledge” dan “genealogy of power”

dalam melihat realitas sosial.24 Selain itu, dalam khazanah teori-teori sosiologi

modern, satu lagi tokoh yang layak dikemukakan berkenaan dengan perspektif

strukturalis ini, Pierre Bourdieu, yang menggagas strukturalisme kultural, melalui ide

dasarnya tentang tipe-tipe modal (capital) yang menempatkan modal kultural sebagai

sesuatu yang paling dominan.25

Ketiga perspektif alternatif beserta berbagai variannya setidaknya telah

memberikan warna lain dari perspektif-perspektif yang ditawarkan sosiologi, bahkan

beberapa diantaranya, seperti ide-ide teori pertukaran sosial, post-strukturalis maupun

strukturalisme kultural sempat mendapat tempat yang cukup luas dikalangan sosiolog,

khususnya dalam merespon perubahan sosial yang begitu cepat dimasyarakat. Tentu

saja, sebagaimana yang telah diindikasikan sebelumnya, pemanfaatan perspektif-21Konsep dunia intersubyektif merupakan penggabungan ide-ide fenomenologi transendental dari

Husserl dan metode verstehen-nya Weber. Lebih jauh tentang konsep ini silahkan lihat: Alfred Schutz, The Phenomenology of Social World (Evanston, IL: Northwestern University Press, 1967).

22Garfinkle merupakan pendiri dari perspektif ethnometodologi. Perspektif ini oleh banyak kalangan disebut sebagai pendekatan fenomenologi yang utama dalam kajian sosiologis, lihat: Ruth A. Wallace dan Alison Wolf, op.cit., hlm.293. Menurut Garfinkle sendiri, ethnometodologi memfokuskan perhatiannya pada upaya bagaimana manusia memaknai kehidupan sehari-harinya yang biasanya justru dilaksanakan begitu saja (taken for granted). Ia mengembangkan premis-premis ethnometodologi dari ide-ide empat orang tokoh, yaitu: Talcott Parsons, Alfred Schutz, Aron Gurwitsch, dan Edmund Husserl, lihat: Harold Garfinkel, Studies in Ethnomethodology (New Jersey: Prentice Hill, 1967), hlm.31-37.

23Lihat: Ritzer, op.cit., hlm.590. 24Ibid., hlm.593. 25Turner, op.cit., hlm.492-495.

10

Page 11: AGAMA DALAM PERSPEKTIF INTERAKSIONISME SIMBOLIK

perspektif yang ada dalam sosiologi harus disesuaikan dengan topik atau

permasalahan yang sedang kita hadapi, karena bisa dikatakan tidak ada perspektif

atau sudut pandang yang mampu untuk memotret realitas sosial secara menyeluruh.

Oleh karena itu, tugas utama seorang sosiolog bukanlah menentukan mana perspektif

yang “benar” atau “salah”, akan tetapi lebih kepada persoalan manakah perspektif

yang paling bermanfaat untuk menjelaskan permasalahan yang ada.

B. Perspektif Interaksionisme Simbolik

Setelah kita secara selintas memahami berbagai perspektif-perspektif yang ada dalam

sosiologi, paling tidak kita sudah bisa melihat bagaimana posisi dari masing-masing

perspektif. Perspektif interaksionisme simbolik, yang akan kita bicarakan secara lebih

detail disini, setidaknya juga kita yakini memiliki karakteristik tersendiri dalam

melihat fenomena sosial yang ada. Beberapa pemikir utama yang seringkali

diasosiasikan dengan perspektif ini, yaitu: George Herbert Mead, Charles Horton

Cooley, William Isaac Thomas, Robert Park, Herbert Blumer, dan Erving Goffman.

Untuk memahami karakteristik tersebut, bahasan tentang perspektif ini setidaknya

akan mengupas tentang akar sejarah dan ide-ide dasar dari perspektif interaksionisme

simbolik.

1. Akar Sejarah Perspektif Interaksionisme Simbolik

Meskipun istilah “interaksionisme simbolik” dicetuskan oleh Herbert Blumer

pada tahun 1937, namun ide-ide dasar perspektif ini nampaknya mengerucut pada

ide-ide Herbert Mead, yang tidak lain adalah guru dari Herbert Blumer ketika ia

belajar di University of Chicago. Karenanya, tidaklah mengherankan apabila

sebagian kalangan sosiolog kemudian mencoba untuk melacak akar dari

perspektif ini melalui pemikiran-pemikiran yang telah mempengaruhi karya-karya

Mead. Menurut Joel M. Charon, setidaknya ada tiga model pemikiran yang sangat

mempengaruhi Mead, yaitu: filsafat pragmatisme, darwinisme, dan

behaviorisme.26 Dari filsafat pragmatisme, setidaknya ada empat ide dasar yang

nantinya juga menjadi pondasi dasar perspektif interaksionisme simbolik, yaitu:

(1) segala sesuatu yang bersifat riil bagi kita selalu tergantung pada intervensi

aktif kita sendiri, maksudnya, manusialah yang menginterpretasikan segala

26Joel M. Charon, Symbolic Interactionism (New Jersey: Prentice Hall, 1995), hlm.23-24.

11

Page 12: AGAMA DALAM PERSPEKTIF INTERAKSIONISME SIMBOLIK

sesuatu; (2) pengetahuan bagi manusia selalu dikaitkan dengan situasi dan dinilai

berdasarkan kegunaannya; (3) obyek yang kita alami dalam situasi tertentu selalu

didefinisikan menurut kegunaannya bagi kita; dan (4) memahami manusia harus

disimpulkan dari apa yang ia lakukan.27 Dari keempat ide tersebut setidaknya kita

bisa menilai seberapa penting filsafat pragmatisme bagi perspektif

interaksionisme simbolik yang memang menempatkan interpretasi sebagai poin

penting dalam memahami perilaku manusia.

Sementara itu, dari seorang Charles Darwin yang merupakan penganut

naturalisme, Mead mewarisi keyakinan bahwa manusia harus dipahami dari sisi

naturalistiknya, bukan dari sisi supernatural.28 Selain itu, teori evolusi Darwin

juga berpengaruh terhadap pandangan Mead tentang manusia. Manusia, dalam

pandangan Mead, merupakan makhluk yang memiliki keunikan yang didasarkan

pada kemampuannya berpikir dan berkomunikasi secara simbolik dengan diri

sendiri maupun orang lain.29 Oleh karena itu, segala sesuatu berkenaan dengan

manusia diyakini sebagai suatu proses, bukan merupakan sesuatu yang stabil dan

tetap. Pengaruh Darwinisme terhadap pola pemikiran Mead memang terasa

kental, bahkan bisa dikatakan konsep-konsep dasar dari Mead, yang nantinya juga

berperan sentral dalam pengembnagan perspektif interaksionisme simbolik,

seperti konsep tentang kebenaran, diri, maupun simbol, tidak bisa lepas dari

pengaruh Darwinisme yang cenderung naturalis dan evolusioner.

Behaviorisme sendiri, terutama ide-ide dari John B. Watson,30 memiliki

pengaruh yang cukup kuat dalam pemikiran Mead, terutama ide dasar dari

kalangan behavioris yang menyatakan bahwa cara yang paling sah secara ilmiah

untuk memahami semua binatang, termasuk manusia, adalah melalui tingkah laku

mereka. Namun dalam menginterpretasikan ide dasar ini Mead tidak serta merta

menerimanya, sebagaimana kalangan behaviorisme psikologis, akan tetapi ia

menambahkan kondisi-kondisi sosial yang harus diperhatikan ketika mengamati

27Ide-ide dasar tersebut dapat kita temui dari karya-karya para filosof pragmatisme, terutama dalam diri John Dewey, William James, dan Charles Peirce, lihat: Ibid., hlm.27-28; lihat juga: Jonathan H. Turner, Leonard Beeghley, dan Charles H. Powers, op.cit., hlm.414 dan 422.

28Joel M. Charon, op.cit., hlm.26-27. 29Jonathan H. Turner, Leonard Beeghley, dan Charles H. Powers, op.cit., hlm.406. 30David L. Westby, The Growth of Sociological Theory (New Jersey: Prentice Hall, 1991),

hlm.451.

12

Page 13: AGAMA DALAM PERSPEKTIF INTERAKSIONISME SIMBOLIK

suatu perilaku manusia. Mead, sebagaimana dikutip Charon, bepandangan bahwa

ketika kita mengamati suatu tindakan yang nyata, kita harus selalu

memperhatikan apa yang sedang terjadi terkait masalah definisi, interpretasi, dan

makna.31

Sebenarnya, disamping pengaruh dari ketiga model pemikiran yang terwujud

dalam ide-ide Mead diatas, akar sejarah dari perspektif interaksionisme simbolik

ini tidak bisa kita lepaskan dari dua figur utama teori sosiologi klasik, yaitu Max

Weber, dan Georg Simmel.32 Max Weber bisa dikatakan memiliki pengaruh yang

cukup kuat terhadap perspektif ini melalui metode verstehen-nya yang merupakan

awal terbentuknya sosiologi interpretif.33 Selain itu, teori Weber tentang tindakan,

yang menekankan interpretasi individu tentang situasi dan pentingnya makna

subyektif, sangat berpengaruh terhadap awal mula perkembangan perspektif

interaksionisme simbolik. Sementara itu, kontribusi Georg Simmel bagi perspektif

ini nampak dari ide dasarnya tentang masyarakat yang ia pandang sebagai suatu

sistem interaksi, yang menempatkan individu sebagai bagian terpenting dari

sistem sosial, dimana pada level individu inilah proses interaksi terjadi dan

kemudian menggema hingga membentuk masyarakat. Istilah yang digunakan

Simmel untuk melukiskan proses ini adalah “geometry of social space.”34 Setelah

kita memahami akar sejarah perspektif interaksionisme simbolik, tentu saja kita

sudah bisa sedikit meraba karakteristik dari perspektif ini dibandingkan dengan

perspektif-perspektif lain dalam sosiologi. Dalam pembahasan selanjutnya, kita

akan lebih fokus lagi dalam melihat ide-ide dasar yang dikembangkan oleh

perspektif ini untuk melihat realitas sosial yang ada di masyarakat.

2. Ide-Ide Dasar Perspektif Interaksionisme Simbolik

Kalau kita coba untuk merunut ide-ide awal dari para tokoh utama perspektif

ini, seperti Mead, Cooley, Thomas, dan Park, yang kemudian disintesiskan oleh

Blumer sebagai pencetus istilah interaksionisme simbolik hingga munculnya

31Joel M. Charon, op.cit., hlm.28. 32Ruth A. Wallace dan Alison Wolf, op.cit., hlm.237. 33Ibid., hlm.238; Charless A. Pressler dan Fabio B. Dasilva, Sociology and Interpretation: from

Weber to Habermas (New York: State University of New York Press, 1996), hlm.x. 34Ruth A. Wallace dan Alison Wolf, op.cit., hlm.239.

13

Page 14: AGAMA DALAM PERSPEKTIF INTERAKSIONISME SIMBOLIK

generasi penerus seperti Manford Kuhn melalui mazhab Iowa-nya35 serta Erving

Goffman lewat dramaturginya, setidaknya ada beberapa istilah kunci yang perlu

untuk kita pahami terlebih dahulu sebelum kita bisa menggambarkan lebih jauh

bagaimana perspektif ini bekerja. Beberapa istilah kunci tersebut berkenaan

dengan definisi tentang makna simbol, diri (self), interaksi sosial, dan masyarakat.

Dari nama perspektif ini saja kita bisa memahami sejauh mana urgensi simbol

mempengaruhi seluruh konsep dasar dan cara kerja perspektif ini. Oleh karena itu,

definisi tentang simbol perlu untuk kita kaji lebih jauh. Definisi tentang simbol

yang dianut oleh perspektif ini tercermin dari ide-ide Mead yang kemudian

dielaborasi lebih jauh oleh tokoh-tokoh sesudahnya, termasuk Blumer sendiri.

Simbol dalam perspektif ini didefinisikan sebagai objek sosial yang digunakan

untuk merepresentasikan apapun yang disepakati untuk direpresentasikan.36 Bisa

dikatakan, sebagian besar tindakan manusia merupakan simbol, karena ditujukan

untuk merepresentasikan sesuatu melebihi kesan pertama yang kita terima, seperti

orang akan tersenyum ketika menyukai lawan bicaranya, atau seseorang

menyalakan lampu sinyal mobil untuk menunjukkan bahwa ia akan berbelok.

Begitu juga dengan obyek lainnya. Bunga, misalnya, ia bisa menjadi simbol tetapi

bisa juga bukan merupakan simbol. Ketika bunga digunakan sebagai obat-obatan

atau untuk campuran makanan, maka ia bukanlah simbol. Tetepi apabila bunga

digunakan untuk menyatakan rasa cinta pada orang lain maka ia menjadi simbol.

Definisi tentang simbol seperti ini membawa kita pada tiga premis dasar dalam

perspektif interaksionisme simbolik,sebagaimana yang diungkapkan oleh Blumer,

yaitu: (1) manusia bertindak terhadap sesuatu berdasarkan makna yang dimiliki

oleh sesuatu tersebut bagi mereka; (2) makna dari sesuatu tersebut muncul dari

interaksi sosial seseorang dengan yang lainnya; dan (3) makna tersebut

disempurnakan melalui sebuah proses interpretasi pada saat seseorang

35Perspektif interaksionisme simbolik yang digagas oleh Manford Kuhn ini disebut mazhab Iowa sesuai dengan tempat dimana Kuhn mengajar, Iowa State University, seringkali dibedakan dengan tokoh-tokoh lainnya seperti Mead, Blumer, maupun Park yang lebih terkenal sebagai mazhab Chicago. Perbedaan utama dari kedua mazhab ini lebih terletak pada metodologinya, dimana mazhab Iowa lebih bersifat empirik dan ilmiah dengan penggunaan kuesioner, sementara mazhab Chicago lebih menekankan pada metodologi kualitatif melalui observasi partisipatoris, wawancara mendalam, studi biografi, dan metode kualitatif lainnya, lihat: Ritzer, op.cit., hlm.202-203 dan Turner, op.cit., hlm.352.

36Joel. M. Charon, op.cit., hlm.40.

14

Page 15: AGAMA DALAM PERSPEKTIF INTERAKSIONISME SIMBOLIK

berhubungan dengan sesuatu tersebut.37 Dari ketiga premis yang dilontarkan oleh

Blumer ini, bisa kita simpulkan bahwa kedudukan makna simbol sangatlah urgen,

sebab ia menjadi dasar bagi manusia untuk melakukan suatu tindakan. Disamping

itu, hal ini juga mengindikasikan begitu pentingnya ketiga istilah kunci lainnya

dalam memahami perspektif interaksionisme simbolik.

Istilah kunci kedua yaitu definisi tentang diri (self). Dalam perspektif

interaksionisme simbolik, secara sederhana “self”didefinisikan sebagai suatu

objek sosial dimana aktor bertindak terhadapnya. Maksudnya, kadangkala aktor

atau individu bertindak terhadap lingkungan yang berada di luar dirinya, namun

terkadang ia juga melakukan tindakan yang ditujukan untuk dirinya sendiri.

Dengan menjadikan “diri” sebagai obyek sosial, seseorang mulai melihat dirinya

sendiri sebagai obyek yang terpisah dari obyek sosial lain yang ada di

sekelilingnya karena dalam berinteraksi dengan yang lain, ia ditunjuk dan

didefinisikan secara berbeda oleh orang lain, semisal: “kamu adalah mahasiswa”,

atau “kamu adalah mahasiswa yang pintar.” Hal ini tentu saja mengindikasikan

bahwa “diri” akan selalu didefinisikan dan didefinisikan kembali dalam interaksi

sosial sesuai dengan situasi yang dihadapi.38 Dengan demikian, persoalan tentang

penilaian dan identitas diri juga sangat terkait dengan situasi bagaimana seseorang

harus mendefinisikan dan mengkategorikan dirinya. Salah satu contoh kongkret

perubahan yang radikal tentang bagaimana seseorang menilai dirinya sendiri

terlihat jelas melalui studi Goffman tentang institusi penjara, tempat dimana para

tahanan “dipaksa” untuk memanipulasi dunia personalnya melalui serangkaian

isolasi, degredasi, maupun penghinaan diri sehingga ia harus mendefinisikan

kembali konsep tentang dirinya.39

Istilah ketiga yang perlu kita perhatikan disini adalah konsep tentang interaksi

sosial. Dalam perspektif interaksionisme simbolik, interaksi sosial didefinisikan

berkenaan dengan tiga hal: tindakan sosial bersama, bersifat simbolik, dan

37Herbert Blumer, Symbolic Interactionism: Perspective and Method (New Jersey: Prentice Hall, 1969), hlm.80-91dan Ruth A. Wallace dan Alison Wolf, op.cit., hlm.254-258.

38Lihat: Peter L. Berger, Invitation to Sociology (New York: Anchor Books, 1963), hlm.106. 39Erving Goffman, Asylums: Essays on the Social Situation of Mental Patients and other Inmates

(New York: Anchor Books, 1961), hlm.14-60.

15

Page 16: AGAMA DALAM PERSPEKTIF INTERAKSIONISME SIMBOLIK

melibatkan pengambilan peran.40 Contoh yang sederhana untuk menggambarkan

interaksi sosial adalah permainan catur. Ketika seseorang menggerakkan sebuah

biji catur, seringkali ia sudah memiliki rencana untuk menggerakkan biji catur

berikutnya. Namun, ketika pihak lawan merespon dengan menggerakkan biji

tertentu, maka ia akan berupaya untuk menginterpretasikan langkah lawannya,

mencoba untuk memahami makna dan maksud dari langkah pihak lawan dan

kemudian berupaya untuk bisa menentukan langkah terbaik yang harus diambil,

meski langkah tersebut berbeda dengan rencana sebelumnya. Dari contoh

sederhana ini nampak jelas bahwa dalam interaksi sosial kita belajar tentang

orang lain dan berharap sesuatu dari orang tersebut melalui pengambilan peran

atau memahami situasi melalui perspektif orang lain untuk selanjutanya

memahami diri, apa yang kita lakukan, dan harapkan. Oleh karena itu, interpretasi

menjadi faktor dominan dalam menentukan tindakan manusia. Tidak seperti

kebanyakan teoritisi psikologis yang melihat tindakan manusia berdasarkan

pendekatan rangsangan dan respon, akan tetapi, setelah manusia menerima respon

maka ia akan melakukan proses interpretasi terlebih dahulu sebelum menentukan

tindakan apa yang harus diambil.41

Istilah keempat yang cukup mendasar dalam perspektif interaksionisme

simbolik adalah konsep tentang masyarakat. Sejalan dengan konsep-konsep dasar

sebelumnya, yang lebih menekankan pada pentingnya individu dan interaksi,

perspektif ini lebih melihat masyarakat sebagai sebuah proses, dimana individu-

individu saling berinteraksi secara terus-menerus. Blumer sendiri menegaskan

bahwa masyarakat terbentuk dari aktor-aktor sosial yang saling berinteraksi dan

dari tindakan mereka dalam hubungannya dengan yang lain.42 Jadi jelas, bahwa

masyarakat merupakan individu-individu yang saling berinteraksi, saling

menyesuaikan tindakan satu dengan lainnya selama berinteraksi, serta secara

simbolik saling mengkomunikasikan dan menginterpretasikan tindakan masing-

masing. Oleh karenanya, bisa dikatakan bahwa masyarakat merupakan produk

40Joel M. Charon, op.cit.,hlm.146-150. 41Herbert Blumer, op.cit., hlm.8; Ruth A. Wallace dan Alison Wolf, op.cit. hlm.252-254.42Herbert Blumer, op.cit., hlm.540.

16

Page 17: AGAMA DALAM PERSPEKTIF INTERAKSIONISME SIMBOLIK

dari individu yang dipandang sebagai aktor yang bersifat aktif dan selalu

berproses.

Akhirnya, bisa disimpulkan disini bahwa interaksionisme simbolik sebagai

suatu perspektif melalui empat ide dasar. Pertama, sismbolik interaksionisme

lebih memfokuskan diri pada interaksi sosial, dimana aktivitas-aktivitas sosial

secara dinamik terjadi antar individu. Dengan memfokuskan diri pada interaksi

sebagai sebuah unit studi, perspektif ini telah menciptakan gambaran yang lebih

aktif tentang manusia dan menolak gambaran manusia yang pasif sebagai

organisme yang terdeterminasi.43 Kedua, tindakan manusia tidak hanya

disebabkan oleh interaksi sosial akan tetapi juga dipengaruhi oleh interaksi yang

terjadi dalam diri individu. Ketiga, fokus dari perspektif ini adalah segala bentuk

tindakan yang dilakukan pada waktu sekarang, bukan pada masa yang telah

lampau. Keempat, manusia dipandang lebih sulit untuk diprediksi dan bersikap

lebih aktif, maksudnya, manusia cenderung untuk mengarahkan dirinya sendiri

sesuai dengan pilihan yang mereka buat.44

C. Aplikasi Perspektif Interaksionisme Simbolik: Upaya Memahami Fenomena

Keagamaan

Sebagaimana telah diindikasikan sebelumnya bahwa mengaplikasikan suatu

perspektif dalam sosiologi untuk menjelaskan fenomena keagamaan bukanlah sesuatu

yang mudah, mengingat setiap perspektif memiliki karakteristik masing-masing.

Tidak sedikit suatu penelitian yang diklaim bersifat sosiologis terjebak hanya

mengupas masalah peran dan fungsi sosial agama sehingga terkesan abstrak dan

dangkal. Padahal kalau kita mau lebih jauh melihat perspektif-perspektif yang ada

dalam sosiologi maka akan terpampang berbagai alternatif untuk mengupas suatu

fenomena keagamaan secara lebih mendalam.

Sebenarnya, hal pertama yang harus dilakukan ketika kita memutuskan untuk

menggunakan perspektif sosiologis dalam mengungkap fenomena keagamaan yang

ada adalah dengan mengkaji terlebih dahulu fenomena tersebut. Apakah fenomena itu

43Hal ini mengisyaratkan bahwa perspektif interaksionisme simbolik menempatkan dirinya pada posisi pendukung utama dominasi agensi dalam problem agensi-struktur yang telah dibahas sebelumnya. Selain itu, penekanan unit analisis pada level interaksi individual mengindikasikan posisi perspektif ini yang mengedepankan sisi sosiologi mikro.

44Joel M. Charon, op.cit., hlm.23-24.

17

Page 18: AGAMA DALAM PERSPEKTIF INTERAKSIONISME SIMBOLIK

mencakup sistem keagamaan secara menyeluruh ataukah hanya mengupas salah satu

aspek dari sistem keagamaan saja, misalnya mengupas masalah ritualnya saja, atau

masalah penggunaan identitas keagamaan. Keluasan sekup permasalahan yang ingin

diungkap tentu saja akan berpengaruh terhadap pemilihan perspektif yang tepat.

Selain itu, untuk menghindari kesulitan dalam standar keluasan obyek yang masuk

dalam kategori makro atau mikro,45 kita dapat memanfaatkan istilah-istilah kunci

dalam masing-masing perspektif yang biasanya menunjukkan bidang kajian yang

dominan dari masing-masing perspektif. Perspektif konflik, misalnya, menekankan

pada konsep-konsep dasar tentang ketidakadilan, kekuasaan, konflik, kompetisi, dan

eksploitasi. Ketika kita ingin mengungkap masalah keterkaitan antara agama dengan

konsep-konsep tersebut, misalnya tentang gerakan keagamaan yang terjun langsung

ke dunia politik praktis, mungkin akan lebih menarik kita menggunakan perspektif

konflik ini sebagai pisau analisisnya. Karena tidak ada satu pun perspektif yang

mampu untuk mengungkap seluruh realitas sosial,46 maka ketepatan dalam memilih

perspektif tentu saja akan sangat berpengaruh pada hasil akhir dari suatu penelitian.

Terlebih lagi, hal ini juga terkait dengan metode penelitian yang akan digunakan

sebab biasanya masing-masing perspektif juga merekomendasikan metode penelitian

yang berbeda seperti yang disarankan oleh para pengusung dari masing-masing

perspektif.

Dalam bagian akhir dari tulisan ini, kita akan mencoba melihat bagaimana

perspektif interaksionisme simbolik bisa diaplikasikan dalam memahami fenomena

keagamaan. Untuk bisa mendapatkan hasil analisis yang maksimal, setidaknya

langkah awal yang perlu untuk dipahami terlebih dahulu adalah mencoba

menganalisis kira-kira fenomena keagamaan seperti apa yang pas untuk dibidik

melalui perspektif ini. Sebagaimana yang telah kita pahami bahwa perspektif

interaksionisme simbolik memberikan penekanan pada beberapa konsep, seperti:

simbol, makna, interaksi, dan definisi. Dengan kata lain, perspektif ini memfokuskan

perhatiannya pada peran makna dalam kehidupan manusia, terutama cara-cara mereka

45Dikalangan sosiolog sendiri memang muncul perbedaan mengenai keluasan obyek kajian yang bisa disebut makro atau mikro, disini Rendall Collins menawarkan alternatif dengan memperhatikan tiga hal: waktu, ruang, dan jumlah sekaligus. Lihat: Stephen K. Sanderson, Sosiologi Makro (Jakarta: Rajawali Press, 1995), hlm.22-25.

46Joel M. Charon, op.cit., hlm.3.

18

Page 19: AGAMA DALAM PERSPEKTIF INTERAKSIONISME SIMBOLIK

dalam menggunakan simbol-simbol dalam berinteraksi dengan sesamanya. Oleh

karena itu, aspek simbol-simbol keagamaan, ritual, kepercayaan, pengalaman

keagamaan serta komunitas keagamaan merupakan unit-unit yang sesuai intuk

diungkapkan lebih jauh melalui perspektif interaksionisme simbolik.

Sebagai contoh, katakanlah kita ingin melakukan suatu penelitian tentang otoritas

kyai dalam kehidupan keseharian di pesantren. Dengan menggunakan perspektif

interaksionisme simbolik maka penggalian data yang akan dilakukan bisa merangkum

keempat aspek keagamaan sebagaimana telah disebutkan diatas atau bahkan cukup

salah satu aspek saja untuk merekonstruksi bagaimana sebenarnya otoritas tersebut

berjalan dan pengaruhnya bagi komunitas pesantren lainnya, khususnya mungkin

dikalangan santri sebagai salah satu komponen utama dalam sebuah pesantren

disamping kyai. Dari aspek simbol keagamaan saja, mungkin kita bisa menjabarkan

lebih jauh berbagai macam simbol yang sering dijadikan media untuk menunjukkan

otoritas kyai. Tentu saja, pengertian simbol dalam perspektif ini tidak terbatas pada

obyek benda saja, akan tetapi juga meliputi segala macam tindakan manusia.47

Dengan mengungkapkan berbagai simbol, misalnya dari obyek benda, sorban

mungkin bisa menjadi salah satu wujud simbol yang membedakan antara kyai dengan

santri. Selain berfungsi sebagai identitas, sorban mungkin juga bisa memiliki makna

yang lebih jauh, misalnya menunjukkan tingginya ilmu yang dimiliki oleh kyai atau

merupakan gambaran keshalehan sang pemakai atau bahkan menunjukkan sosok

yang perlu untuk dihormati dan disegani. Interpretasi-interpretasi terhadap simbol

semacam ini bisa jadi hanya akan muncul dikalangan santri saja, mungkin bagi

masyarakat umum, sorban akan memiliki makna yang berbeda.

Selain itu, kita juga perlu untuk mengungkapkan simbol-simbol yang berwujud

perilaku yang secara langsung bisa kita indikasikan sebagai salah satu komponen

yang bisa menggambarkan otoritas kyai, misalnya perilaku santri yang biasanya

berebut untuk berjabat tangan dan mencium tangan kyai. Perilaku ini bisa jadi

merupakan suatu bentuk penghormatan akan otoritas yang dimiliki oleh sang kyai.

Bahkan mungkin kita bisa menemukan bentuk tindakan lain yang menyimbolkan

begitu besarnya otoritas sang kyai dimata santrinya. Kebiasaan untuk berebut sisa

47Ruth A. Wallace dan Alison Wolf, op.cit., hlm.249 dan Peter L. Berger dan Thomas Luckmann, The Social Construction of Reality (New York: Anchor Books, 1966), hlm.76.

19

Page 20: AGAMA DALAM PERSPEKTIF INTERAKSIONISME SIMBOLIK

minuman kyai mungkin merupakan contoh yang bisa diungkapkan lebih jauh

maknanya.

Langkah selanjutnya, setelah kita mengungkapkan berbagai makna simbolik

tersebut kita bisa lebih jauh mengamati bagaimana interaksi sosial yang terjadi

diantara mereka. Sebagaimana yang telah dibahas sebelumnya bahwa proses

pendefinisian dan pendefinisin kembali terhadap diri akan senantiasa terjadi selama

proses interaksi sosial berlangsung, maka perhatian terhadap jalannya interaksi sosial

diantara santri dan kyai menjadi kunci penting untuk merekonstruksi bagaimana

sebenarnya otoritas kyai berpengaruh terhadap perilaku santri. Ketika seorang santri,

misalnya, sudah mendefinisikan kyai sebagai sosok yang wajib dipatuhi dan disegani,

maka kita bisa melihat bahwa berbagai bentuk perilaku yang dianggap “aneh” akan

bisa dijelaskan lebih jauh. Dari sini, mungkin kita bisa lebih jauh mengungkapkan

premis dari perspektif ini bahwa masyarakat merupakan hasil dari individu yang

saling berinteraksi dengan menunjukkan kesamaan interpretasi makna diantara santri

terhadap simbol-simbol tertentu yang menyatukan mereka ke dalam sebuah

masyarakat moral, yaitu komunitas pesantren. Disini para santri memiliki rasa

keterikatan yang sama terhadap suatu simbol, yang mungkin juga diperkuat oleh

aspek keagamaan lain seperti kepercayaan dan ritual, dimana pada saat yang

bersamaan mereka juga memisahkan diri dengan masyarakat di luar pesantren yang

tidak memeliki kesamaan dan berbagi dalam dunia simbol tersebut. Konsep kesamaan

simbol yang kemudian secara otomatis menjadi identitas bersama secara tidak

langsung menunjukkan keunikan sistem interaksi yang mereka miliki melalui

berbagai macam aturan perilaku yang berbeda dengan masyarakat lainnya, khususnya

ketika mereka mendudukkan kyai sebagai satu-satunya figur yang patut untuk

dihormati dan dicontoh dalam segala aspek kehidupan.

Dengan memanfaatkan perspektif interaksionisme simbolik dalam memahami

fenomena otoritas kyai, gambaran yang muncul akan lebih berkenaan dengan

kehidupan sehari-hari di dunia pesantren melalui penafsiran berbagai macam simbol

dan model-model interaksi sosial yang muncul dalam komunitas tersebut. Mungkin

apabila kita menggunakan perspektif lain, misalnya perspektif konflik, maka fokus

otoritas akan lebih dikaitkan dengan masalah distribusi kekuasaan di pesantren,

20

Page 21: AGAMA DALAM PERSPEKTIF INTERAKSIONISME SIMBOLIK

termasuk didalamnya media-media yang digunakan untuk melegitimasi otoritas

tersebut. Terlebih lagi, perspektif ini juga menawarkan metodologi yang cukup

menarik untuk mengungkapkan kehidupan keagamaan sehari-hari, yaitu melalui

penggabungan metode etnografi dan sosiologi kualitatif.48 Hal ini tercermin dari

pendekatan induktif yang diterapkan oleh pencetus perspektif ini, Blumer, yang

berbeda dengan perspektif fungsionalism yang selalu berangkat dari serangkaian

hipotesis. Hal ini tentu saja akan memberikan keleluasaan kepada peneliti untuk

memunculkan fenomena keagamaan sehari-hari secara lebih natural. Terlebih lagi,

perangkat untuk pengumpulan data juga melalui prosedur yang fleksibel, yaitu

eksplorasi dan inspeksi. 49 Setelah itu, barulah analisis kualitatif digunakan untuk

menginterpretasikan data-data yang diperoleh di lapangan.

Akhirnya, mungkin kita perlu memperbanyak tulisan-tulisan tentang perspektif-

perspektif sosiologis yang bersifat aplikatif melalui berbagai macam contoh kasus

untuk lebih bisa memasyarakatkan perspektif-perspektif alternatif dalam sosiologi

sebab pemilihan perspektif hanyalah terkait dengan masalah seberapa jauh perspektif

tersebut bisa digunakan untuk menjawab permasalahan yang ingin diungkapkan

melalui sebuah penelitian. Selain itu, seorang sosiolog memang tidak memiliki

kewenangan untuk menilai kebenaran sebuah perspektif akan tetapi, sekali lagi,

wewenangnya hanyalah sebatas menentukan perspektif mana yang paling bermanfaat

untuk mengungkap fenomena sosial tertentu.

* Achmad Zainal Arifin, MA, alumni program master Sosiologi di University of Northern

Iowa (2006) melalui program beasiswa Fulbright dan alumni program master Ilmu

Perbandingan Agama CRCS-UGM (2003).

48Ruth A. Wallace dan Alison Wolf, op.cit., hlm.263. 49Metode eksplorasi memiliki dua tujuan penting, yaitu: menyediakan pengetahuan yang

komprehensif dengan lingkungan kehidupan sosial yang kurang familiar bagi peneliti dan untuk mengembangkan, memfokuskan, serta mempertajam investigasi sehingga problem penelitian bisa dipecahkan berdasarkan data-data murni dari lapangan. Sementara itu, metode inspeksi merupakan kelanjutan dari eksplorasi, dimana hasil dari eksplorasi ditelaah lebih jauh. Dengan kata lain, metode inspeksi merupakan peralihan dari proses deskriptif (explorasi) menuju proses analisis (inspeksi), lihat: Herbert Blumer, op.cit., hlm.40-43.

21

Page 22: AGAMA DALAM PERSPEKTIF INTERAKSIONISME SIMBOLIK

Daftar Pustaka

Alexander, Jeffrey C. (Ed.), Neofunctionalism (California: Sage Publications, 1985).

Ballantine, Jeanne H. dan Leonard Cargan, Sociological Footprints (Belmont: Wadsworth, 2002).

Berger, Peter L. dan Thomas Luckmann, The Social Construction of Reality (New York: Anchor Books, 1966).

Berger, Peter L., Invitation to Sociology (New York: Anchor Books, 1963).

Blumer, Herbert, Symbolic Interactionism: Perspective and Method (New Jersey: Prentice Hall, 1969).

Charon, Joel M., Symbolic Interactionism (New Jersey: Prentice Hall, 1995).

Coser, Lewis, The Functions of Social Conflict (Glencoe: The Free Press, 1956).

Creswell, John W., Research Design: Qualitative, Quantitative, and Mixed Methods Approaches (California: Sage Publication, 2003).

Crow, Graham, Comaparative Sociology and Social Theory (New York: St. Martin’s Press, 1997).

Dahrendorf, Ralf, “Out of Utopia: Toward a Reorientation of Sociological Analysis,” American Journal of Sociology 64 (1958), hlm.127-130.

Dahrendorf, Ralf, Class and Class Conflict in Industrial Society (Stanford, CA: Stanford University Press, 1959).

Gerth dan Mills, From Max Weber: Essays in Sociology (New York: Oxford University Press, 1958).

Goffman, Erving, Asylums: Essays on the Social Situation of Mental Patients and other Inmates (New York: Anchor Books, 1961).

Gutierrez, Gustavo, Teologi Pembebasan (Yogyakarta: Jendela, 2001).

Henslin, James M., Sociology: A Down to Earth Approach (Boston: Allyn and Bacon, 1995).

Kivisto, Peter, Key Ideas in Sociology (California: Pine Forge Press, 1998).

Kornblum, William, Sociology: The Central Questions (Orlando, Harcourt Brace, 1998).

22

Page 23: AGAMA DALAM PERSPEKTIF INTERAKSIONISME SIMBOLIK

Lazarsfeld, Paul dan Jeffrey Reitz, “History of Applied Sociology.” Sociological Practice, 7, 1989: 43-52.

Merton, Robert K., Social Theory and Social Structure (New York: Free Press, 1968).

Neuman, Social Research Methods: Qualitative and Quantitative Approaches (Boston: Allyn and Bacon, 2000).

Nitiprawiro, Francis Wahono, Teologi Pembebasan: Sejarah, Metode, Praksis dan Isinya (Yogyakarta : LKiS, 2000).

Pressler, Charless A. dan Fabio B. Dasilva, Sociology and Interpretation: from Weber to Habermas (New York: State University of New York Press, 1996).

Ritzer, George, Sociological Theory (New York: McGraw-Hill Companies, 2000).

Sanderson, Stephen K., Sosiologi Makro (Jakarta: Rajawali Press, 1995).

Schutz, Alfred, The Phenomenology of Social World (Evanston, IL: Northwestern University Press, 1967).

Turner, Jonathan H., Leonard Beeghley, dan Charles H. Powers, The Emergence of Sociological Theory (Orlando: Wadsworth Publishing Company, 1995).

Turner, Jonathan H., The Structure of Sociological Theory, 7th edition (Belmont: Wadsworth/Thompson Learning, 2003).

Wallace, Ruth A. dan Alison Wolf, Contemporary Sociological Theory (New Jersey: Prentice Hall, 1991).

Westby, David L., The Growth of Sociological Theory (New Jersey: Prentice Hall, 1991).

Zietlin, Irving M., Memahami Kembali Sosiologi (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1995).

23