99980MGI Bulletin Edisi Juli 2015

Embed Size (px)

Citation preview

  • 8/19/2019 99980MGI Bulletin Edisi Juli 2015

    1/30

    Edisi 4 I Juli 2015

    1.Dari Bencana

    Menjadi Kencana

    Oleh: Muhammad Gibran, Ing., S.T., M.Sc.

     Msc in Engineering in the Coastal Environment,

    University of Southampton, Inggris

    Co-founder and Reseacher Mata Garuda Institute

      Kota tua nan cantik Lymington yang ter-letak di pesisir Hampshire ini dilalui oleh Sungai

    Lymington yang mengalir dari daratan menuju

    British Channel. Daerah ini sangat terkenal akan

    industri pariwisata, industri garam tradisional,

    desa wisata, kuliner, peninggalan arsitektur masa

    Victoria dan Georgia, dan juga biota pesisirnya.

    Posisinya yang strategis telah menjadikan kota

     pesisir ini ramai dilalui  yacht , boat , dan kapal-

    kapal besar; tak heran bahwa bisnis marina dan

     perkapalan ( yachting centre) di muara Lymington

    sangat berkembang pesat hingga akhirnya kota ini

    menjadi spot favorit para wisatawan eropa yang

    hobi berlayar. Sebuah kawasan unik nan kaya

    khasanah membuat kota ini bak kencana (emas) di

    Inggris bagian selatan.

      Lokasi strategis Lymington:Namun pada masa lalunya, Lymington adalah kotayang sering dilanda bencana; pasalnya, posisi yangdilalui sungai besar ini membuat kota ini rawanakan bencana banjir.

    Dilihat secara topogra, sebagian besar tanahLymington berada pada elevasi sekitar 2m di atas

    mean sea level (MSL). Elevasi yang lebih rendah

    dari 2m (MSL) dikategorikan sebagai wilayah

    risiko banjir terutama di sekitar sungai dan bi-

     bir pantai; dimana pada kondisi ekstrim, keting-

    gian air dapat merendam penuh rumah penduduk.

    Apabila hujan terjadi pada saat air laut pasang,

    maka air muara akan meluap dan merendam se-

    luruh kota. Seperti halnya yang terjadi pada ta-

    hun 1909, 1954, 1989, dan 1999, banjir hebat

    telah menenggelamkan rumah-rumah penduduk,

    menghancurkan tanggul-tanggul penahan banjir;hal ini telah menghambat kegiatan perekonomian

     penduduk. Tak luput juga, ladang-ladang garam

    serta timbunan limbah (landll ) yang juga ikut

    terendam air banjir membuat kerugian semakin

    terasa. Adanya fenomena peningkatan permukaan

    air laut ( sea level rise) akan membuat frekuensi

    gelombang besar dan hujan lebat akan lebih sering

    terjadi.

    Merespon tantangan alam ini, pemerintah Kota

    Lymington telah bekerja sama dengan berbagaiinstansi seperti akademisi-akademisi yang ahli

    dibidangnya, para investor atau perbankan sebagai

    sumber pendanaan, environmental agency,  serta

    komunitas masyarakat setempat untuk mencari

    solusi terbaik. Adapun tahap pencarian solusi da-

     pat dilihat pada skema berikut.

    MATAGARUDA INSTITUTE

    melahirkan buah pikiran, menumbuhkan gagasan, membawa perubahanLiving with Disaster

    www.thinktank.matagaruda.co.id;[email protected]

    ISSN: 2443-0072

    Foto udara salah satu sudut kota Lymington.

    Banjir pantai yang disebabkan oleh hempasan gelom-

     bang saat badai (sumber: dailymail.co.uk)

    Contoh seawall  pantai untuk penahan gelombang

    (sumber: bournemouthecho.co.uk)

    1

    Pengantar Redaksi

    Assalamualaikum,Salam Sejahtera,

    Om Swastiastu

    Buletin Mata Garuda Institute edisi keempat

    ini mengangkat tema “Living with Disaster”.

    Sebuah statement untuk mengajak kita semua

    untuk lebih memiliki kesiap-siagaan dalam

    menghadapi tantangan bencana baik yang

    merupakan bagian dari proses alam maupun

    bencana yang diakibatkan oleh perubahan

    iklim dan kerusakan alam yang diakibatkan

    oleh kegiatan manusia secara sadar maupunbelum disadari. Pengkajian terhadap potensi

    bencana, tindakan preventif, kesiap-siagaan,

    dan beradaptasi terhadap bencana adalah

    strategi yang dapat dilakukan untuk mengu-

    rangi jumlah korban dan kerusahan akibat

    bencana. Dan lebih dari itu, Buletin edisi ke-4

    ini mencoba memaparkan beberapa bentuk

    kesiap-siagaan untuk mengantisipasi serta

    kesiap-siagaan terhadap penanggulangan

    kerusakan dan korban yang diakibatkan oleh

    bencana dari beberapa kejadian yang terda-

    hulu dan yang diperkirakan dimasa yang

    akan datang. Dengan adanya kesiap-siagaan

    terhadap bencana yang kini lebih sering ter-

    jadi dapat melahirkan sebuah budaya hidup

    “living with disaster”  sehingga kerusakandan korban dapat diminimalkan atau nol kor-

    ban dan kerusakan akibat bencana.

    Salam,

    Vidya Spay

    Produser Editorial

    Content:

    1. Dari Bencana Menjadi Kencana

    2. Teknologi “Device to Device Communica-

    tion” Untuk Indonesia Nol Korban Bencana

    3. Seaquakes, Dampaknya pada Ekosistem Pesi-

    sir dan Mamalia Laut

    4. Konsep “Building Back Better”

    dan penerapannya dalam konteks pengurangan

    risiko bencana pesisir di Indonesia 5. Penem-patan Aset dan Persiapan Infrastruktur sebagai

    Suatu Strategi Kesiapsiagaan

    6. Pemanfaatan Virtual Environment

    untuk Simulasi Evakuasi Bencana Alam 7.

    Manajemen Resiko Dan Mitigasi Bencana Ge-

    ologi Yang Efektif

    8. Upaya Mitigasi Guna Mengurangi Korban

    Bencana Gerakan Tanah

    9. Membangun Komunitas

    yang Resilien Terhadap Bencana

    10. Implementasi Pelaksanaan Undang-Undang

    Penanggulangan Bencana

    11. Peran Pemerintah dan Masyarakat dalam

    pengurangan Risiko Bencana serta Kesiap-sia-

    gaan Bencana

    12. Bagaimana menangani Dampak Psikologispada Penyintas Bencana?

    13. Penanganan Kebakaran Hutan Berbasis

    Masyarakat

    14. ASEAN dan Penanggulangan Bencana: Se-

    berapa Jauh Kita Telah Melangkah?

    15. Menyegarkan Kembali: Jurnalisme Empati

    Peliputan Bencana

    16. Smong , Tradisi Lisan yang Menyelamatkan

    17.  MEGATHRUST , Di Pantai Barat Sumatra:

    Ancaman dan Kesiap-siagaan

    18. Dari Transitional Shelter , ke Perbaikan Pa-

    pan dan Permukiman

  • 8/19/2019 99980MGI Bulletin Edisi Juli 2015

    2/30

    Kejadian – pengumpulan data – pemetaan banjir –

    kalkulasi volume banjir – klasifkasi penyebab banjir

    – solusi tepat sasaran

    Kejadian banjir pesisir ini merupakan fenomena alam yang

    disebabkan oleh hujan lebat, air pasang, hempasan gelombang, atau-

    pun kombinasi dari ketiganya. Pendokumentasian fakta sejarah-

    kejadian sangatlah penting karena merupakan kunci untuk penentuan

    langkah penanggulangan. Pengumpulan data melingkupi data hujan,

    topogra, foto udara, lokasi kejadian, data penggunaan lahan, data

    sosial-kependudukan, dan lain-lain.

    Sungai Lymington dan pemetaan genangan banjir pesisir

    menggunakan ArcGIS. (© penulis)

    Pemetaan banjir diperlukan untuk mengetahui luas dan kedalaman

    genangan banjir; serta, memprediksi lokasi lain yang berpotensi

    terjadi banjir pada kondisi ekstrim. Selain itu pemetaan banjir

    dapat berguna untuk klasikasi wilayah, seperti: kawasan hunian, area

    industri, daerah lindung biota, dan lain-lain. Pementaan banjir

    dapat dilakukan dengan berbagai teknologi terkini seperti penggunaan

    perangkat lunak ArcGIS, pengkajian foto udara (aerial image),

    interpretasi data satelit, dan lain sebagainya.Kalkulasi dan prediksi volume banjir dapat dilakukan dengan

    program komputer HEC-RAS dan MIKE oleh DHI. Klasikasi

    penyebab banjir dapat beraneka ragam, dari faktor topogra,

    ketinggian air tanah, curah hujan, ketinggian gelombang pasang,

    ataupun sistem drainasi yang tidak bekerja dengan baik. Dengan

    memahami semua hal tersebut, maka solusi yang diambil merupakan

    solusi yang sustainable, esien dan tepat sasaran.

    Contoh pencatatan data hujan, elevasi muka air sungai dan pasang-surut

    muka air laut. (© penulis)

    Pemodelan geometri Sungai Lymington lengkap dengn pintu air (tidal gate).

    Rekonstruksi banjir Lymington tahun 1999 serta kalkulasi volume banjir

    menggunakan perangkat lunak HEC-RAS.

    Contoh rumah pompa dan stasiun air di Sungai Jordan, USA. (Source: Salt

    Lake County Council, 2008)

    Pemerintah Kota Lymington telah mengusahakan beberapa rekayasa

    engineering   dan peraturan tata kota agar kondisi ekstrim elevasi air

    muara tidak menjadi bencana bagi penduduk. Diantaranya adalah:

    1.Penambahan tinggi elevasi tanggul-tanggul lama.

    Tinggi tanggul atau  seawall   disesuaikan dengan prediksi kondisiekstrim yang merespon fenomena sea level rise. Dengan prediksi yang

    tepat, tanggul ini dapat berfungsi dalam rentang waktu yang lama.

    Pembuatan tanggul-tanggul penahan banjir yang baru juga diperlu-

    kan untuk melindungi daerah yang bernilai tinggi, seperti: kawasan

    real-estate atau kawasan tourist attraction baru.

  • 8/19/2019 99980MGI Bulletin Edisi Juli 2015

    3/30

    2. Pembuatan bangunan penahan tebing.

    Penahan tebing dimaksudkan untuk mengurangi erosi tebing

    akibat hempasan gelombang pantai atau derasnya arus tepi sungai

    saat kondisi ekstrim. Apabila tidak ada bangunan penahan tebing,

    maka tanah kota ini terkikis hilang setiap terjadi banjir pesisir.

    Bangunan penahan tebing dapat beruparevetment wall, seawall, maupun

    bronjong .

    3. Pembuatan tanggul dan dike.

    Tanggul atau dike dibuat agar air laut dan sungai tidak meluap hingga

    ke daratan. Pada kasus dimana tinggi air laut atau air sungai melebihi

    tinggi elevasi tanah maka mutlak diperlukan tanggul agar air tersebuttidak meluap hingga ke darat. Tanggul biasa dibuat untuk melindungi

    kawasan yang relatif luas, seperti: kawasan pertanian, ladang-ladang

    garam, daerah konservasi biota pantai, kawasan pemukiman, kawasan

    penimbunan sampah (landll), dan lain sebagainya.

    4. Menjaga elevasi muka air tanah.

    Eksplorasi air tanah yang berlebihan, untuk keperluan rumah

    tangga maupun industri, akan membuat elevasi permukaan tanah

    turun; terkadang, hal ini menyebabkan permukaan air sungai atau

    air laut menjadi lebih tinggi dari permukaan tanah. Akibatnya, pada

    kondisi tertentu air sungai atau air laut dapat meluap menggenangi area

    tersebut. Di Inggris dan Belanda, kanal-kanal sengaja dibuat melintasi

    kota untuk menjaga ketinggian muka air tanah dan tinggi muka tanah

    di sekitar wilayah tersebut. Ketinggian muka airnya diatur sedemikian

    rupa dengan menggunakan pintu air dan pompa air kota.

    5. Perbaikan drainasi kota. Drainase yang baik adalah drainasi yang

    daat mengalirkan air hujan di daerah resapan/ tangkapan air atau

    catchment area (run-off)  dengan cepat. Apabila kapasitas drainasi

    tidak sebaik yang diharapkan maka yang terjadi adalah genangan atau

    banjir. Karena itu, menambah kapasitas saluran drainasi beserta pintu

    air dan pompa air kota adalah persyaratan mutlak agar genangan tidak

    terjadi.

    6. Pembuatan Pintu Air untuk mengatur air ketika Pasang Surut(tidal-gate). Tidal-gate  adalah pintu air yang biasa dipasang pada

    kanal, sungai, atau saluran air menuju muara yang merespon secara

    otomatis pasang-surut air laut. Pada saat tinggi air laut melebihi

    tinggi air sungai, maka pintu air akan menutup dengan sendirinya; dan

    sebaliknya apabila tinggi air sungai melebihi tinggi air laut maka

    pintu air ini akan terbuka kembali. Penggunaan tidal-gate di Inggris

    cukup populer untuk mencegah banjir sungai; namun, instrument

    ini memiliki batasan kapasitas. Pada kondisi sangat ekstrim dimana

    kedua permukaan air laut maupun sungai sama tinggi, penggunaan

    tidal-gate perlu dibantu dengan pompa air untuk mengalirkan air dari

    sungai ke laut.

    7. Pembebasan lahan.

    Kondisi banjir mengakibatkan area-area tertentu menjadi

    sasaran bencana dan dikategorikan sebagai area berbahaya. Misalnya,

    karena adanya banjir maka kawasan tersebut tidak dapat

    dihuni karena hempasan air dapat merenggut korban jiwa, selain itu

    banjir juga dapat menyebarluaskan limbah kimia, bakteri e-coli, dan

    lain-lain yang bersifat toxic bagi manusia. Karena itu pembebasan lahan

    diperlukan perlu adanya untuk melindungi keselamatan penduduk.

    8. Pengklasikasian Area.

    Selain pembebasan lahan, pengklasikasian area sangat diperlu-

    kan untuk kenyamanan tinggal, kelancaran kegiatan perekonomian

    penduduk, serta upaya perlindungan ekosistem. Misalnya, dilihat

    dari jenis penggunaan lahan kota Lymington dikategorikan kedalam

    beberapa macam kawasan, seperti: kawasan berbahaya (terlarang)

    untuk pemukiman atau industri, kawasan lindung saltmarsh dan

    biota pantai lain, kawasan khusus pemukiman, kawasan ruang hi-

    jau, kawasan khusus bisnis, dan lain sebagainya. Disini dituntut

    peran pemerintah serta kerjasama masyarakat demi tercapainya

    kenyamanan bersama.

     The Road Bridge and the tidal gates of the Lymington River (Solomon,

    D.J., 2010).

     Tidal gates on the estuary of the Lymington River in an open position.

    (Solomon, D.J., 2010).

    Sea defence wall   (tanggul) di dekat Yacht Club, Lymington. Pada foto

    tersebut tinggi permukaan air telah mencapai ketinggian tanah permukaan.

    Apabila tidak dilindungi tanggul, maka air pelabuhan dapat menggenangi

     jalur pejalan kaki (source: Ian West, 2008).

    Banjir Lymington 1954

    menggenangi rumah-rumah

     penduduk.

    3

  • 8/19/2019 99980MGI Bulletin Edisi Juli 2015

    4/30

      Solusi-solusi teknis dan non-teknis tersebut secara spesik

    dipilih untuk mengubah Lymington dari kota yang penuh bencana

    menjadi kota kencana yang  sustainable  di Inggris bagian selatan.

    Regulasi dan kerja sama masyarakat memainkan peranan penting

    untuk bisa mempertahankan kota ini sebagai spot paling favorit untuk

    wisatawan domestik maupun mancanegara.

      Metode yang sama dapat diterapkan di Indonesia untuk

    mengubah kondisi kota-kota di pesisir. yang kurang tertata serta

    rawan bencana agar menjadi kota yang  sustainable dan esien, dan

    tetap mempertahankan ciri khas kedaerahan serta lingkungan hidup

    pesisir.

    2. Teknologi

    “Device to Device Communication”Untuk Indonesia Nol Korban Bencana

    Oleh: Satria Hardinata, S.ST.

    Beasiswa Pendidikan Indonesia Awardee, LPDP PK-34

     Master of Communication System Engineering 

    Pierre and Marie Curie University, Perancis

      Negara Indonesia terletak diantara benua Asia dan Aus-

    tralia dan di antara Lautan Hindia dan Pasik ini memiliki 17.508

     pulau. Wilayah Indonesia merupakan gugusan kepulauan terbesar di

      dunia. Meskipun tersimpan kekayaan alam dan keindahan pulau-

     pulau yang luar biasa, bangsa Indonesia perlu menyadari bahwa wilayah

    nusantara ini memiliki 129 gunung api aktif, sehingga menjadi

     bagian dari ring of re. Hal ini diperkuat dengan letak Indonesia pada

     pertemuan tiga lempeng tektonik aktif dunia yakni Lempeng

    Indo-Australia, Eurasia, dan Pasik.

      Indonesia kini mengemban status salah satu daerah rawan

     bencana di Dunia. Mulai dari banjir, tanah longsor, hingga gempa

    dan tsunami. Masing-masing bencana sudah dipastikan menelan

    korban jiwa. Berdasarkan data statistik Badan Nasional Penanggu-

    langan Bencana (BNPB) Indonesia tahun 2013, bencana yang paling

    sering terjadi di Indonesia adalah Banjir dengan angka 4000 kejadian,

    disusul dengan bencana puting beliung dan tanah longsor dengan

    masing-masing 2000 tragedi. Namun, justru bencana dengan angka

    kejadian rendahlah yang memakan korban jiwa paling tinggi, seperti

    gempa bumi dan tsunami dengan korban mencapai 170.000 jiwa.

      Bagaimanapun, komunikasi menjadi salah satu komponen

     penting dalam pra hingga mitigasi bencana. Banyak korban jiwa

     bejatuhan akibat ketidakmampuan mereka menjalin komunikasi

    untuk menyelamatkan diri sendiri maupun orang lain. Sebagai

    daerah rawan bencana, pemerintah Indonesia mempunyai kewajiban

    dan tanggung jawab dalam memberikan Layanan TelekomunikasiDarurat (LTD).

      Layanan komunikasi bencana alam pun tidak hanya ada

    di tingkat birokrasi atau pemerintah, namun juga masyarakat.

    Masyarakat duduk sebagai prioritas pertama yang harus diselamat-

    kan pada saat bencana. Data pada salah satu perusahaan operator

    telekomunikasi di Indonesia menunjukkan bahwa lalu lintas

    komunikasi selular yang dilakukan dengan handphone (HP)

    meningkat pesat.

    Interpretasi foto udara habitat pantai disepanjang pantai Lymington tahun

    2005. (© penulis)

    Pembagian area-area yang dilindungi (designated areas) berdasarkan

    fungsinya disekitar Lymington. (© penulis)

  • 8/19/2019 99980MGI Bulletin Edisi Juli 2015

    5/30

    Mulai dari layanan SMS, panggilan telepon, hingga akses internet,

    semuanya naik hingga mencapai 280% (salah satu contoh kasus ben-

    cana erupsi Gunung Kelud 2014).

      Lonjakan trak yang tidak didukung dengan kapasitas

    yang baik ini memicu lambatnya persebaran data komunikasi yang

    mengakibatkan terjadinya putusnya telepon, akses internet yang

    lambat, atau bahkan SMS yang pending. Dalam kondisi darurat,

    semua layanan yang seharusnya bisa menjadi akses pertolongan

    pertama korban justru tidak dapat diandalkan.

      Di Indonesia, telah muncul layanan seluler generasi ke-

    empat atau kita sebut dengan 4G-LTE (Long Term Evolution). 

    4G-LTE hadir menjawab kebutuhan manusia akan akses data

    dengan kecepatan tinggi. Menurut data Kementrian Komunikasi dan

    Informatika RI dalam peraturan distribusi frekuensi 2015, layanan ini

    pun hadir di Indonesia pada tahun 2015 ini dan akan beroperasi pada

    frekuensi 900/1800/2100 MHz. Agar memiliki kecocokan dengan

    frekuensi ini, maka provider HP akan berlomba-lomba mengeluarkan

    produk handphone baru yang support layanan 4G-LTE.Setelah 4G-LTE muncul, maka teknologi selanjutnya

    sudah mulai dikembangkan. Adalah teknologi 4G LTE Advanced , yang

    merupakan pengembangan lanjutan dari teknologi LTE yang

    memungkinkan jaringan memiliki pencapaian coverage area yang

    lebih besar, lebih stabil dan lebih cepat. Teknologi ini kerap kali disebut

    dengan 4G+. Layanan 4G+ ini menawarkan kecepatan akses 100-300

    Mbps.

    Peta Indonesia Terletak di Ring of Fire

    4G+ memiliki desain jaringan komunikasi yang baik dalam

    implementasi Layanan Telekomunikasi Darurat, mengingat kapasitas

    trak yang tinggi mampu mengatasi lonjakan trak pada saat bencana

    terjadi. Dimitris Tsolkas, dalam karya tulis nya yang berjudul LTE-

     A Access, Core and Protocol Architecture for D2D Communication

    (2014) menyebutkan bahwa teknologi 4G+ mematahkan fakta tentang

    ketergantungan yang kuat antara HP dengan BTS, dengan adanya

    teknologi Device-to-Device (D2D).

    D2D memungkinkan koneksi komunikasi antar HP untuk

     berkomunikasi secara langsung tanpa menggunakan pulsa. Ini bukan

     juga seperti instant messenger  seperti Line, WhatsApp yang memuat

    delay  dalam komunikasi suaranya. Berbeda juga dengan layanankomunikasi antar device yang telah ada seperti  Bluetooth atau WiFi, 

    yang tergantung pada jarak. Teknologi D2D benar-benar memungkin-

    kan pengguna untuk melakukan panggilan telepon dengan kualitas

    setara panggilan umum, namun juga tidak memakan biaya; seperti

     HandyTalky, tapi justru memungkinkan komunikasi pada jarak yang

    lebih jauh; seperti komunikasi instant messenger,  tapi tidak mem-

     berikan keterlambatan sedikitpun. Ini dapat meminimalisir terpu-

    tusnya koneksi. 4G+ memberikan coverage dan kapasitas akses yang

     jauh lebih besar dari 4G biasa, mampu menampung hingga ribuan

     pengguna. Semuanya dilakukan hanya dalam genggaman.

      Dalam  Release-12  nya, 3GPP juga telah memberikan

     pertimbangan untuk menggunakan sistem komunikasi D2D sebagai

    infrastruktur baru untuk Layanan Telekomunikasi Darurat. Hal ini

    sangat membantu pengguna, mengingat bahwa risiko kerusakan

    hubungan komunikasi antara semua komponen telekomunikasi tidak

     bisa dihindarkan pada saat bencana alam.

    Konsep teknologi ini baru di implementasikan di negara Korea

    Selatan dan juga Jepang. Bisakah anda bayangkan bila teknologi

    ini masuk ke Indonesia? Pemerintah perlu mengkaji, menyesuai-

    kan dan melengkapi dengan regulasi demi meningkatkan pelayanan

    keselamatan publik di sektor Telekomunikasi guna menuju Indonesia

     Nol Korban Bencana.

    Data PT. Telkomsel terkait Lonjakan Trak saat meletusnya Gunung Kelud

    2014

    3.SeaquakesDampaknya pada

    Ekosistem Pesisir dan Mamalia Laut

    Oleh: Muhammad Ichsan (LPDP, PK-21)1

     LPDP Awardee,

    Master Program Conservation Biology, University of Queensland

    Jaya Kelvin BSc in Marine Science, Universitas Padjadjaran

      Pada tahun 2004, tepatnya pada hari minggu tanggal 26

    Desember, Indonesia harus kembali menorehkan tinta hitam setelah

     pesisir barat Sumatera Utara diporak-porandakan oleh tsunami.

    Gempa bumi dengan kekuatan mencapai 9,3 Skala Richter (SR)

    membangkitkan tsunami dengan ketinggian maksimum 20 meter dan

    menghantam daratan sejauh 3 km. Jumlah korban yang meninggal dunia

     pun menjadi catatan yang sangat buruk bagi Indonesia dan dunia, yaitu

    mencapai 126.000 korban jiwa dan lebih dari 600.000 orang

    kehilangan tempat tinggal serta mata pencahariannya. Peristiwa yang

    mengenaskan ini tentu memerlukan perhatian yang lebih mengingat besarnya dampak yang ditimbulkan. Selain itu, posisi Indonesia yang

     berada di daerah pertemuan (zona konvergen) tiga lempeng yang dapat

    meningkatkan risiko terjadinya gempa bumi.

      Menurut BMKG Indonesia, gempabumi adalah peristiwa

     bergetarnya bumi akibat adanya pelepasan energi di dalam bumi

    secara tiba-tiba yang ditandai dengan patahnya lapisan batuan pada

    kerak bumi.

    5

  • 8/19/2019 99980MGI Bulletin Edisi Juli 2015

    6/30

    Akumulasi energi penyebab terjadinya gempabumi dihasilkan dari

    pergerakan lempeng-lempeng tektonik. Energi yang dihasilkan

    dipancarkan kesegala arah berupa gelombang gempabumi dan

    dapat terjadi di daratan maupun di dalam laut. Gempabumi dalam laut

    merupakan salah satu penyebab terkuat yang dapat membangkitkan

    tsunami. Namun, gempabumi yang dimaksud adalah yang memiliki

    titik pusat (episenter) di tengah laut yang biasa disebut dengan seaquake.

    Menurut catatan Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi oleh

    Putranto (2009), pada rentang waktu 1629-2006, di Indonesia

    telah terjadi tsunami sebanyak 110 kali dari 186 jumlah kejadian

    gempabumi (Magnitude >6 SR). Oleh karena itu, jelas bahwa

    seaquakes merupakan salah satu ancaman terbesar bagi pesisir Indo-nesia.

      Satu hal yang mungkin tidak terpikirkan oleh kita,

    bagaimana dampak tsunami pada ekosistem dan biota dalam laut itu

    sendiri? Dampak yang kita lihat di daratan hanyalah sebagian kecil.

    Hancurnya berbagai infrastruktur buatan manusia ternyata hanya

    sebagian kecil dampak yang terlihat. Sebagai contoh: bagaimana

    tsunami mempengaruhi biota laut; dan apa pengaruhnya pada

    keseluruhan ekosistem; serta, tahukah kita bahwa tingkah laku bio-

    ta laut tertentu, misalnya mamalia laut ternyata dapat memprediksi

    akan terjadinya gempa bawah laut, sehingga dapat digunakan untuk

    mitigasi dini?

      Dampak pada kestabilan wilayah pesisir:

    Kestabilan pada wilayah pesisir didukung oleh ekosistem yang sehat.

    Oleh karenanya, ekosistem pesisir memegang peranan penting baik

    dalam mitigasi awal maupun pada saat bencana. Sebelum terjadinya

    bencana, ekosistem pesisir yang sehat dapat memberikan kehidupan

    bagi masyarakat pesisir. Ekosistem pesisir terdiri dari vegetasi pantai,

    tumbuhan laut (lamun), terumbu karang, serta ikan-ikan yang saling

    berhubungan satu sama lain. Masing-masing memiliki fungsi yang

    besar seperti melindungi pesisir dari angin laut, meredam gelombang

    laut, dan yang terpenting adalah sebagai sumber mata pencaharian

    masyarakat pesisir. Namun, apa yang terjadi pasca terjadinya tsunami

    pada ekosistem pesisir?

      Tsunami dapat merusak seluruh ekosistem pesisir dan

    mengakibatkan kematian pada setiap biota yang berada di jalurpropagasinya. Populasi vegetasi pantai, lamun, karang laut, serta ikan

    dapat menurun secara drastis pasca tsunami; lebih dari itu, perubahan

    iklim mikro di wilayah pesisir, penurunan tingkat produktivitas, serta

    terganggunya rantai makanan juga pasti terjadi. Wilayah pesisir men-

    jadi labil sebagaimana daerah yang tidak memiliki ekosistem pesisir.

    Di sisi lain, tsunami dapat menjadi titik balik bagi daerah tertentu;

    diibaratkan seperti mesin komputer yang di-instal   ulang, kembali

    seperti kondisi awal. Vegetasi pantai dan biota laut yang tidak ber-

    tahan hidup biasanya yang berada pada kondisi lemah, yaitu sudah

    tua atau terlalu muda. Oleh karena itu, yang tersisa adalah individu-

    individu terbaik dari masing-masing ekosistem pesisir. Selain itu,

    tsunami ternyata dapat membawa kesuburan pada lingkungan pe-sisir sehingga membuat daerah tersebut menjadi lebih baik untuk

    ditumbuhi vegetasi pantai dan biota laut.

      Apakah mamalia laut ikut terancam oleh seaquake?

    Setelah melakukan tindakan preventif, lalu bagaimana dengan

    peringatan dini terhadap bencana? Meskipun gempa laut dan

    tsunami seringkali tidak terdeteksi, beberapa hewan menunjukkan

    pola-pola tertentu terkait kebencanaan, yang kedepannya diharapkan dapat

    menjadi peringatan dini secara alami; hal ini tentunya menuntut

    penjelasan ilmiah yang didukung bukti konkret. Salah satu pola

    pada biota laut terjadi adalah pada mamalia laut. Mamalia laut,

    khususnya paus, adalah predtor puncak di lautan dimana fungsinya

    sebagai pengendali rantai makanan dan penjaga kestabilan

    ekosistem. Dalam hal ini, mamalia laut bertindak sebagaiindikator bencana di laut –  seaquake  maupun tsunami. Hal ini

    didukung oleh kemampuan mamalia laut dalam merasakan dinamika

    lingkungan disekitarnya. Spesies mamalia laut yang paling sensitif

    adalah paus sperma ( Physeter macrocephalus);  seaquak e merupa-

    kan salah satu faktor alam yang tidak biasa terjadi namun memiliki

    kaitan yang erat dengan peristiwa terdampar paus sperma di Indonesia.

    Hal tersebut ditunjukkan dengan persentase sebesar hampir 90% dari

    peristiwa terdamparnya paus tersebut ternyata diawali oleh kejadian

    gempabumi bawah laut (magnitude 4-6 SR) dalam jarak waktu kurang

    dari 2 bulan.

    Seorang Kapten Laut bernama Capt. David W. Williams dari

     Deafwhale Society  menuliskan beberapa artikel mengenai kejadian

    terdamparnya mamalia laut terkait  seaquakes. Dalam

    websitenya (www.deafwhale.com), dikatakan bahwa beberapa kejadian

    terdamparnya mamalia laut disebabkan oleh hilangnya kemampuan

    navigasi yang rusak akibat adanya peningkatan tekanan secara tiba-tiba

     pada bagian tubuh hewan, khususnya bagian kepala. Hal tersebut dapat

    terjadi pada saat hewan tersebut melakukan deep-diving  untuk mencari

    mangsa hingga kedalaman ratusan meter.

      Apakah mamalia laut tidak dapat mendeteksi suara yangdihasilkan oleh  seaquakes? Jawaban dari pertanyaan itu adalah ya,

     bisa. Namun, hanya terbatas pada gempa dengan kekuatan yang

     besar serta kedalaman gempa (focal depth) yang dekat dengan

     permukaan dasar laut saja. Sebaliknya, gempa dengan kekuatan

    relatif kecil, yaitu 4-6 SR, dan getaran dari gesekan lempeng-lempeng

    lebih dalam dari 20 km di bawah dasar laut ternyata hampir tidak

    terdeteksi oleh mamalia; terlebih lagi pada saat mamalia berada di

    sekitar permukaan laut. Oleh karena itu, justru jarang ditemukan

    kejadian terdamparnya mamalia laut apabila terjadi gempa

    yang kuat atau gempa yang dapat membangkitkan tsunami.

    Terdapat 4 peristiwa dari total 21 kejadian terdamparnya

     paus sperma di Indonesia yang tidak diikuti oleh kejadian gempa

     bawah laut sebelumnya, yaitu di Bekasi, Maratua Berau (Kalimantan),Raja Ampat and Sorong (Papua Barat) (Ichsan dkk, 2014;

    Whale Stranding Indonesia  2013). Dengan adanya bukti-bukti

    tersebut, peranan mamalia laut ini tentunya layak dipelajari untuk

    antisipasi bencana gempabumi dalam laut dan tsunami.

    Mitigasi di Indonesia:

    Mitigasi adalah sebuah upaya meminimalisir dampak bencana.

    Mitigasi bukanlah sebuah strategi akhir, namun diperlukan agar

    risiko dan dampak yang terjadi dapat ditekan. Untuk itu diperlukan

     berbagai bentuk pendekatan dalam menetapkan strategi mitigasi.

    Khusus di Indonesia, terdapat satu program mitigasi tsunami yang dapat

    memberikan peringatan dini, yaitu  INA-TEWS (Indonesia Tsunami

     Early Warning System). Program tersebut dibuat pada tahun 2005 atas

    kerjasama dari beberapa instansi pemerintah maupun swasta, serta

    dukungan dari luar negeri (Jerman dan Amerika Serikat).

    Pada pelaksanaannya, INA-TEWS membutuhkan bagian

    terpenting dalam memberikan informasi, yaitu data. Oleh

    karena itu, terus dilakukan pengembangan dari segi kualitas maupun

    kuantitas dalam hal observasi. Pada konteks seaquakes dan tsunami, maka

    alat ukur yang berperan penting adalah seismograf (pengukur getaran

    gempabumi), tide gauge dan buoy  (pengukur tinggi muka laut),

    serta satelit untuk menerima dan menyebarkan informasi. Saat ini

    sudah tersebar sebanyak 160 seismograf dan 130 tide gauge (pengukur

     pasang-surut) di berbagai daerah di Indonesia, yang dipasang oleh

    Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geosika (BMKG) dan

    Bakosurtanal. Hal tersebut juga didukung dengan sebuah satelit berna-ma Garuda-1 yang dikembangkan oleh Asia Cellular Satellite (ACeS)

     bersama Telkom Indonesia.

      Selama pelaksanaannya, INA-TEWS semakin berkembang

    dalam hal kecepatan pemberian informasi peringatan dini. Dengan

    sistem yang ada saat ini, peringatan dini tsunami dapat kita ketahui

    dalam waktu kurang dari 5 menit pasca terjadinya  seaquake. Hal

    tersebut juga didukung oleh peningkatan kualitas hasil model agar

    informasi yang diberikan lebih akurat. Kemudian dibutuhkan waktu

    sekitar 5 menit lagi untuk proses penyebaran informasi ke daerah-

    daerah yang diperkirakan terpengaruhi oleh gempa tersebut. Maka,

    dengan kecepatan gelombang tsunami yang bervariasi antara 10-45

    menit dari episenter, INA-TEWS diharapkan dapat lebih siap dalam

    memberikan peringatan dini untuk meminimalisir dampak Tsunami.  Pada akhirnya, seaquakes merupakan ancaman nyata yang

    dapat mengakibatkan kematian, tidak hanya pada manusia namun

     juga makhluk hidup lainnya, seperti vegetasi pantai, terumbu karang,

    ikan-ikan, dan juga mamalia laut. Segala usaha yang dapat dilakukan

    untuk meminimalisir bencana tersebut akan dikembalikan lagi kepada

    seberapa besar niat kita, seberapa unggul kita dalam merancang sistem

    dan alat, namun pada akhirnya kita hanya dapat berharap yang terbaik

     pada Tuhan Yang Maha Esa.

  • 8/19/2019 99980MGI Bulletin Edisi Juli 2015

    7/30

  • 8/19/2019 99980MGI Bulletin Edisi Juli 2015

    8/30

      Pengelolaan Bencana untuk Pengurangan Risiko Bencana:

    Bencana selalu membawa dampak buruk, baik untuk makhluk

    hidup maupun lingkungan. Akan tetapi, untuk masyarakat Indonesia

    khususnya, “hidup dengan bencana” sudah menjadi hal yang umum.

    Hal tersebut tidak dapat dihindari karena mengingat letak geogras

    Indonesia. Oleh karena itu, perlu adanya pengelolaan bencana yang baik

    untuk mengurangi risiko bencana. Peran pemerintah Indonesia yangserius dalam pengelolaan bencana salah satunya dengan dikeluar-

    kannya UU Nomor 24 tahun 2007 tentang penanggulangan bencana.

    Penanggulangan bencana dilakukan melalui 3 tahap, yaitu pra bencana,

    tanggap darurat (bencana), dan pasca bencana. Jika diilustrasikan,

    tahapan penanggulangan bencana dapat digambarkan sebagai suatu

    siklus karena sifatnya yang terus berulang, sebagaimana terlihat pada

    Gambar 4.

      Dalam prinsip pengurangan risiko bencana, konsep BBB

    digunakan utamanya dalam tahap pasca bencana, yaitu pemulihan dan

    rekonstruksi. Pembangunan yang lebih baik infrastruktur, seperti tem-

     pat tinggal dan penampungan, untuk meningkatkan tingkat ketahanan

    dan mengurangi kerentanan masyarakat dalam masa pemulihan pasca

     bencana, diungkapkan oleh Lyonns dalam artikelnya yang dimuat di

     jurnal World Development tahun 2009. Sementara banyak ilmuwandan praktisi yang berpendapat bahwa penekanan BBB tidak hanya

    mengenai bagaimana infrastruktur sik dibangun dengan lebih baik

    dan lebih aman, akan tetapi juga pembangunan aspek non-sik, seperti

    kapasitas masyarakat dan lembaga untuk meningkatkan kesiapsiagaan

    menghadapi bencana selanjutnya yang mungkin muncul.

      Penerapan BBB dalam konteks pengurangan risiko bencana

     pesisir di Indonesia:

    Penerapan konsep BBB untuk pengurangan risiko bencana pesisir di

    Aceh sangat jelas terlihat melalui program pembangunan infrastruktur 

    yang mendongkrak kembali kegiatan sosial-ekonomi masyarakat.

    BBB didukung oleh berbagai aktor, baik pemerintah maupun swasta di

    level nasional dan internasional (Penjelasan lebih detil dapat ditemukandalam tulisan Manu, Gupta et al dalam publikasi “ Building back better

     for next time” yang dipublikasi oleh UNISDR tahun 2010).

    Sudah lebih dari 10 tahun sejak bencana tsunami Aceh, PBB

    melalui UNICEF memuji masyarakat Aceh atas kebangkitannya dari

    keterpurukan pasca bencana. Banyak pembelajaran yang diperoleh dari

    usaha pembangunan lebih baik (BBB), yang juga kemudian digunakan

    untuk tanggap bencana lainnya. Atas hal tersebut, Indonesia dianggap

    sebagai leader bagi negara lain dalam hal mempromosikan

     pengurangan risiko bencana.

      Di pesisir Demak dan Jakarta, konsep BBB belum dapat

    diterapkan secara konkrit. Hal ini karena determinan tipologi

     bencana pesisirnya, yaitu bencana menjalar/ creeping disaster  yang sulit

    untuk diukur parameter keberhasilannya dalam hal pengurangan risiko bencana. Hingga artikel ini dibuat, belum terdapat konsensus dari

     pihak-pihak terkait mengenai konsensus parameter pengurangan risiko

     bencana yang sifatnya menjalar/creeping disaster   di wilayah pesisir.

    Berdasarkan argumentasi di atas, merupakan pekerjaan rumah

     bagi Indonesia dalam pengurangan risiko bencana pesisir adalah dalam

    hal penerapan konsep BBB, khususnya untuk jenis bencana creeping

    disaster  yang sifatnya perlahan namun tetap berdampak pada kerugian

    dan gangguan terhadap kehidupan masyarakat. Pertanyaan yang perlu

    untuk kita jawab bersama ke depan adalah : “Bagaimanakah formulasi

    yang tepat dalam manajemen bencana yang menjunjung konsep pem-

     bangunan yang lebih baik di saat bencana yang terjadi di pesisir bersi-

    fat berkesinambungan?”

    Gambar 3. Dusun Tenggelam di Demak 

    ( Satriagasa , 2014)

    Gambar 4. Siklus Manajemen Bencana

      Sejalan dengan undang-undang pengelolaan bencana, konsep

    Build(ing) Back Better muncul seiring dengan giatnya PBB melalui

    UNISDR dan pengambil kebijakan terkait menggalakkan pentingnya

    pengelolaan bencana. Konsep Build(ing) Back Better  (BBB) atau jika

    diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia yaitu Pembangunan yang

    lebih baik diperkenalkan pertama kali oleh para ilmuwan dan praktisi

    dalam pengelolaan bencana pasca tsunami Samudera Hindia. Konsep

    tersebut muncul untuk menekankan pentingnya pemulihan pasca ben-

    cana dalam peningkatan kapasitas daerah rawan bencana agar dapat

    bangkit kembali ke kondisi normal dan aman. Saat itu, mantan

    Presiden Amerika Serikat, Bill Clinton, sebagai utusan khusus PBB

    untuk pemulihan tsunami tahun 2004, mengemukakan tekadnya

    bahwa proses pemulihan pasca tsunami harus lebih dari sekedar

    mengembalikan apa yang telah ada sebelumnya. Konsep BBB men-

    jadi salah satu wacana yang sangat potensial dalam kerangka Pengu-

    rangan Risiko Bencana pasca 2015 (Sendai Framework) karena BBB

    bukan hanya konsep risiko pasca bencana akan tetapi juga merupa-

    kan langkah/aksi pengurangan risiko bencana di masa mendatang.

  • 8/19/2019 99980MGI Bulletin Edisi Juli 2015

    9/30

    5.Penempatan Asetdan Persiapan InfrastruktursebagaiSuatu Strategi Kesiap-siagaan

    Oleh: Reza Achwadi

    Defense Systems Management

    Naval Postgraduate School, Canada

    Mayor Laut (TNI Angkatan Laut)

      Apte (2009) dalam artikelnya Humanitarian logistics: A new

    eld of research and action menyatakan bahwa peristiwa gempa dan

    tsunami Aceh 2004 telah menimbulkan selain korban jiwa yang cukup

    banyak juga pembiayaan yang sangat tinggi untuk melaksanakan proses

    bantuannya dengan kisaran 14 milyar dolar. Tomasini dan Wassenhove

    (2009) dalam bukunya yang berjudul  Humanitarian Logistics 

    mengatakan bahwa topik tentang logistik kemanusiaan setelah kejadian

    tsunami Aceh 2004, telah menjadi salah satu hal yang paling

    menarik bagi para akademisi dan praktisi untuk dipelajari lebih jauh danmendalam. Thomas (2003) dalam artikelnya Humanitarian logistics:

    Enabling disaster response  berargumen bahwa suatu respon

    bantuan kemanusiaan atau penanggulangan bencana akan menjadi

    efektif dan esien sangat tergantung kepada para pelaku distribusi

    logistik untuk mampu memperoleh, memindahkan, dan menerima

    peralatan atau bahan bantuan tersebut tepat dimana suatu kegiatan

    penanggulangan bencana sedang dilaksanakan. Analisa dari beberapa

    pakar yang menggeluti bidang penanggulangan bencana alam tersebut

    di atas menyimpulkan bahwa suatu operasi bantuan kemanusiaan yang

    berhubungan dengan bencana alam adalah selalu berkaitan dengan

    aliran logistik dalam bentuk manajemen rantai pasokan (Supply Chain

    Management).

    Kejadian bencana alam di Indonesia maupun di negara lain telah

    mendorong penggunaan model matematika sebagai suatu alat analisis

    untuk diterapkan dalam persiapan distribusi logistik kemanusiaan.

    Saat ini para perencana kegiatan kemanusiaan fokus pada

    tingkat taktis dan operasional dalam proses distribusi logistik.

    Kecepatan dan adaptasi adalah hal vital dalam proses distribusi terse-

     but dan tidak dapat berjalan dengan baik bila sumber daya dan kapa-

    sitas yang ada tidak mencukupi. Seperti keberadaan fasilitas gudang

    sebagai tempat penampungan bahan bantuan (humanitarian aid/relief

     supports) yang ada memiliki peran penting pada tahap pembentukan

    awal ini. Hal yang menjadi pertimbangan antara lain seperti aset apa

    yang harus ditempatkan di gudang tersebut, dimana gudang tersebutharusnya berlokasi, bagaimana mengelola inventaris dari sumber daya

    yang ada, dan bagaimana proses transportasi bahan bantuan mau-

     pun evakuasi kepada daerah terdampak, dan siapa saja orang yang

    memerlukannya. Dua model optimalisasi matematika yang umum

    digunakan adalah Set Covering Problem (SCP) dan  Facility

     Location Problem (FLP) (Balakrishnan et. al., 2007). Model pertama

    ditujukan pada suatu area dan merupakan sebuah problem binary yang

    menunjukan dapat dibangun atau tidaknya sebuah fasilitas di dae-

    rah tersebut. Model kedua diperuntukan bagi problem berdasarkan

     jaringan dimana bila suatu fasilitas harus ditentukan untuk dibuka

    atau ditutup dari beberapa kemungkinan fasilitas lainnya yang ada,

    kemudian pada tahap berikutnya untuk mengembangkan fasilitas

    terpilih itu.

    Persiapan infrastruktur dapat dihubungkan dengan

    suatu kegiatan transportasi. Operasi bantuan selalu melibatkan

    kegiatan transportasi dimana proses distribusi logistik dan evakuasi

    diberikan kepada para korban di daerah terdampak. Dua kegiatan

    tersebut sangat berhubugan erat dengan adanya infrastruktur dan

     peralatan yang memadai dan pada saat terjadinya bencana alam dapat

    dipastikan akan mengalami gangguan. Para perencana kegiatan ini

    mengubah suatu bentuk jaring transportasi yang ada secara nyata di

    lapangan ke bentuk jaring transportasi berdasarkan ruang dan waktu

    yang ada di atas kertas disesuaikan dengan proses pengambilan

    keputusan yang bersifat dinamis. Tiga bentuk jaring transportasi

    yang lazim digunakan yaitu: lalu lintas logistik dengan rute dari satutitik ke titik lainnya dengan menggunakan satu mode transportasi,

    lalulintas logistik dengan transit atau perpindahan dengan menggu-

    nakan lebih dari satu mode transportasi, dan lalu lintas permintaan

    (demand)  dan dukungan (supply) logistik dalam jangka waktu

    tertentu yang telah ditentukan. Logistik dalam hal ini bisa berupa bahan

    makanan, air minum, peralatan sanitasi atau higienis, obat-obatan, para

    korban, personil medis dan bentuk bantuan lainnya. Oleh karena itu,

    model matematika yang dikembangkan dalam hal ini harus menun-

     jang dalam proses pengambilan keputusan. Fungsi obyektif yang ada

    dalam model matematika untuk transportasi tersebut biasanya memi-

    nimalkan jumlah keseluruhan dari biaya  (cost)  penggunaan mode

    transportasi, biaya komoditas yang akan di distribusikan, dan biaya permintaan dan dukungan berbanding dengan waktu yang dibutuhkan

    dalam proses kegiatannya. Dua pendekatan dalam model matema-

    tika untuk transportasi ini biasanya menggunakan pertimbangan ja-

    rak tempuh dan jumlah komoditas atau logistik yang dapat dimuat

    atau diangkut. Contohnya adalah pada saat bencana terjadi seperti

    gempa bumi dan banjir, biasanya infrastruktur jalan raya tidak dapat

    dilalui atau mengalami kerusakan sehingga penggunaan transportasi

    udara seperti helikopter maupun pesawat terbang dalam misi bantuan

    adalah hal yang lazim meskipun memiliki keterbatasan dalam jumlah

    logistik yang dapat di angkut dan membutuhkan biaya yang cukup

     banyak. Memperbanyak jumlah alat angkut udara seperti helikopter

     juga sangat bermanfaat dalam menjangkau daerah-daerah terisolir.

    Kesiapsiagaan (preparedness)  adalah suatu upaya yangdilakukan sebelum timbulnya suatu bencana alam. Pada periodeini diharapkan kegiatan yang dilakukan adalah antisipasi terhadappenempatan aset dan persiapan inrastruktur. Penempatan aset yangdimaksud dapat berupa perluasan atau pengembangan pergudangan,asilitas medis, kemungkinan lokasi tempat penampungan sementara,dan penyediaan alat transportasi di daerah rawan bencana yangditempatkan pada jarak aman. Sedangkan persiapan inrastruktur

    dapat berupa penyediaan atau penambahan landasan pacu pesawat,ruang penyimpanan di lapangan terbang atau pangkalan udara danperencanaan mode transportasi. Kegiatan bantuan logistikkemanusiaan bersiat sangat kompleks terutama pada saat proses dis-tribusi dan kita dapat mengikuti pola rantai pasokan seperti gambar diatas dengan mempertimbangkan aktor-aktor dan karakteristik yangmempengaruhinya.

    Gambar 1. Rantai pasokan dalam kegiatan bantuan kemanusiaan

    (Apte, 2009)

    9

  • 8/19/2019 99980MGI Bulletin Edisi Juli 2015

    10/30

    Dengan melakukan persiapan yang matang

    diharapkan pada saat terjadinya benca-na alam kita dapat mengurangi risiko jatuhnya

    korban yang lebih banyak. Kesiapsiagaan dalam

    menghadapi bencana tersebut dapat berupa

    penempatan aset maupun persiapan infrastruktur.

    Penempatan aset dan persiapan infrastruktur

    yang dimaksud adalah dengan memperhi-

    tungkan secara analisis dengan menggunakan

    beberapa model matematika untuk mendukung

    proses pengambilan keputusan. Karakteristik

    lainnya yang harus dipertimbangkan dalam

    penempatan aset maupun persiapan infrastruktur

    ini adalah dari segi pengaruh lingkungan atau

    alam itu sendiri. Pembangunan fasilitas seperti

    pergudangan maupun landas pacu sementa-

    ra berada di wilayah yang aman dari rawan

    terhadap bahaya bencana alam susulan seperti tanah

    longsor.

    Beberapa catatan dan ilustrasi di

    bawah ini diambil dari negara Yunani. Beberapa

    referensi yang berhubungan dengan penempatan aset dan

    transportasi turut menjadi lampiran dari penulisan ini.

    Gambar 1. Contoh aset alat angkut udara dengan kemampuan daya angkut logistik cukup besar 

    Gambar 2. Gras dari solusi optimal dengan menggunakan continuous vari-

    ables

    Gambar 3. Kegiatan kesiapsiagaan transportasi di Pulau Kefalonia, Yunani

    dengan transportasi truk, pesawat terbang, helikopter, dan kapal feri Ro-Ro

    (Mitsotakis & Kassaras, 2010)

    0

  • 8/19/2019 99980MGI Bulletin Edisi Juli 2015

    11/30

    Dafar Pusaka:Apte, A. (2009). Humanitarian logistics: A new field o research andaction. Foundations and trends in technology, inormation, and opera-tions management. 3(1), 1-100. DOI: 10.1561/0200000014.Balakrishnan, N., Render, B., & Stair, R.J. (2007). Managerial decisionmodeling with spreadsheet. New Jersey: Pearson Prentice Hall.Mitsotakis, A., & Kassaras, G. (2010, June). Managing disaster in the Io-nian Sea: Planning and optimizing logistics or disaster relie operationsor the Island o Kealonia. Monterey, CA: (MBA Proessional Report)Naval Postgraduate School.A. Tomas, “Humanitarian logistics: Enabling disaster response,” Fritz

    Institute,pp. 15, 2003.omasini, R. M., & Wassenhove, L.V. (2009). Humanitarian logistics.Houndmills, Basingstoke; New York, NY: Palgrave Macmillan.

    6.Pemanfaatan Virtual Environmentuntuk

    Simulasi Evakuasi Bencana AlamOleh: Ridwan A. B. Prasetyo, S.Psi.

    Beasiswa Pendidikan Indonesia Awardee, LPDP PK-05

     Master of Human Factors and Ergonomics

    The University of Nottingham, Inggris

      Mempelajari perilaku manusia saat bencana alam merupa-

    kan salah satu langkah paling penting dalam penanganan bencana

    alam yang memang menjadi “rutinitas” bagi bangsa Indonesia. Den-

    gan mengetahui apa yang akan orang-orang lakukan ketika bencana

    alam terjadi, otoritas terkait dapat sangat terbantu dalam menyusun

    strategi maupun kebijakan penanganan bencana alam yang tepat sasa-

    ran.

      Salah satu metode yang nampaknya belum banyak diap-

    likasikan di Indonesia adalah dengan memanfaatkan metode virtual

    environment (VE) untuk memodelkan perilaku manusia saat terjadi

     bencana alam. Metode VE dalam konteks ini pada dasarnya ada-

    lah membuat sebuah model simulasi proses evakuasi saat terjadi

    suatu situasi bencana alam. Pemodelan simulasi tersebut dilakukan

    dengan bantuan perangkat komputer, beserta  software  atau aplikasi

    terkait yang mampu untuk menghasilkan gambaran mengenai proses

    evakuasi tersebut.

      Metode VE ini sebenarnya sudah banyak dikaji dan diterap-

    kan untuk konteks mikro, misalnya evakuasi orang-orang dari dalam

    gedung ketika terjadi gempa bumi atau kebakaran. Namun demikian, pengkajian dan penerapan dalam konteks yang lebih besar, misalnya

    evakuasi penduduk satu wilayah di sekitar Gunung Merapi ke wilayah

    lain yang lebih aman, masih sangat perlu untuk dilakukan.

      Metode VE memiliki beberapa keuntungan yang cukup

    signikan jika dibandingkan dengan metode lain. Salah satunya

    adalah masalah biaya. Metode konvensional yang cukup populer

    untuk mempelajari perilaku manusia dalam bencana alam adalah

    dengan melakukan evacuation drill   (latihan evakuasi). Sayangnya,

    metode ini akan sangat mahal karena melibatkan banyak sumber

    daya, seperti manusia dan harta benda  (properties), mulai dari

     persiapan hingga saat pelaksanaan latihan (Kanno, Shimizu, & Fu-

    ruta, 2006). Sementara itu, penggunaan VE tidak akan melibatkan

    terlalu banyak sumber daya sebagaimana latihan evakuasi (Lawson

    & Burnett, in press).

      Bisa dibayangkan ketika suatu otoritas melakukan latihan

    evakuasi bagi para penduduk di suatu wilayah di Jakarta yang sering

    terkena banjir tahunan (mungkin setingkat kelurahan atau kecama-

    tan), tentu saja biaya sumber daya yang diperlukan akan sangat tinggi.

    Bandingkan jika menggunakan metode VE seperti yang diterapkan

    oleh Uno dan Kashiyama (2008) ketika memodelkan proses evakuasi

    warga di sekitar Takadanobaba (wilayah Shinjuku, Tokyo) saat terjadi

    Gambar 5. Rangkuman artikel jurnal mengenai transportasi (Apte, 2009)

    Gambar 4. Rangkuman artikel jurnal mengenai penempatan aset (Apte,

    2009)

    11

  • 8/19/2019 99980MGI Bulletin Edisi Juli 2015

    12/30

    banjir, atau Dawson, Peppe, dan Wang (2011) untuk wilayah Towyn

    di Wales bagian utara, biaya sumber dayanya akan tidak terlalu tinggi

    dan parameter-parameter yang dipelajari (waktu evakuasi, potensi

    jumlah korban, dsb) akan lebih terukur dengan baik.

    Keuntungan lainnya dari metode VE adalah terkait masalah

    etika. Pelatihan evakuasi, sebagaimana disinggung sebelumnya,

    biasanya akan bersifat: dilakukan di lingkungan nyata (real envi-

    ronment), melibatkan orang-orang yang nyata  (real people), dan

    melibatkan tugas-tugas evakuasi yang nyata pula  (real tasks).

    Misalnya, orang-orang (people)  akan diskenariokan sedang berada

    dalam kondisi emergency  di dalam gedung (environment) dan di-

    minta untuk keluar dari gedung tersebut secepat mungkin (tasks).Menurut Muir, Bottomley, dan Marrison (1996), metode demikian akan

    sangat berpotensi untuk menimbulkan cedera dan ketidaknyamanan

    bagi partisipan. Sementara itu, metode VE ini akan terbebas dari

    masalah etika tersebut karena memang tidak melibatkan manusia

    secara langsung.

      Metode VE juga akan mampu meminimalisasi bias perilaku

    yang akan menurunkan validitas dari studi yang sedang dilakukan.

    Latihan evakuasi akan sangat berpotensi menimbulkan bias perilaku

    karena sejak awal partisipan sudah diinformasikan bahwa yang akan

    mereka lakukan (simulasi) tidaklah nyata, sehingga mereka tidak

    akan bereaksi sebagaimana ketika menghadapi situasi bencana alam

    yang sebenarnya (Moroney & Lilienthal, 2009). Namun demikian,

    merupakan suatu hal yang mustahil juga, jika untuk mendapatkan

    gambaran yang valid  mengenai perilaku manusia saat bencana sua-

    tu otoritas melakukan latihan evakuasi tanpa memberi tahu partisi-

    pan/warga masyarakat terlebih dahulu, misalkan dengan tiba-tiba

    memberikan pengumuman darurat dan meminta masyarakat untuk

    mengungsi padahal tidak terjadi apa-apa. Praktik seperti itu sangat

    tidak dianjurkan karena terkait dengan etika (Kanno, et al., 2006).

      Dalam penerapan metode VE untuk studi evakuasi saat

    bencana alam, hal pertama yang harus dilakukan adalah mem-

    buat model perilaku manusia yang akan disimulasikan, khususnya

    perilaku manusia dalam konteks darurat (emergency). Oleh karena

    itu, memperoleh data mengenai perilaku manusia ketika berada dalam

    situasi bencana alam akan sangat menentukan validitas dari metodeVE ini. Lawson (2014) menyarankan beberapa metode pengumpulan

    data perilaku manusia saat bencana yang cukup andal. Pertama, stu-

    di literatur, dengan mempelajari artikel atau laporan akademis yang

    melaporkan mengenai perilaku manusia saat bencana. Kedua,

    mempelajari laporan dari otoritas terkait, seperti kepolisian atau dinas

    pemadam kebakaran. Ketiga, menanyakan respon masyarakat menge-

    nai bagaimana mereka akan merespon sebuah skenario darurat.

    Terkait dengan metode ketiga, studi yang dilakukan oleh

    Lawson, Sharples, Clarke, dan Cobb (2013) mengkonrmasi bahwa

    memberikan gambaran mengenai sebuah situasi darurat (hypotetical

    emergency scenario) kepada masyarakat untuk kemudian menanyai

    mereka tentang bagaimana mereka akan merespon situasi darurattersebut merupakan suatu metode baru yang cukup bisa diandalkan

    untuk mendapatkan data yang valid mengenai perilaku manusia saat

    bencana.

      Setelah data-data perilaku yang diperlukan berhasil dida-

    patkan, proses selanjutnya adalah memodelkan perilaku manusia ke

    dalam simulasi komputer. Pemodelan perilaku manusia saat bencana

    alam banyak didasari pada teori-teori pengambilan keputusan pada

    manusia. Terdapat banyak teori-teori pengambilan keputusan yang

    bisa digunakan sebagai dasar, namun demikian dalam konteks ini,

    yang terpenting adalah sejauh mana teori yang digunakan sebagai

    dasar dapat diterjemahkan ke dalam bahasa pemrograman (Jou, Yenn,

    Lin, Yang, & Chiang, 2009). Proses ini selain dapat dilakukan dengan

    mengembangkan VE sendiri, bisa juga dengan menggunakan soft-

    ware-software evakuasi yang sudah dikembangkan dengan baik dan

    beredar secara komersil di pasaran.

      Langkah terakhir yang tidak boleh dilupakan adalah mel-

    akukan validasi terhadap model simulasi yang sedang dikembang-

    kan. Validasi ini dapat dilakukan dengan metode expert judgement ,

    yaitu dengan membandingkan konsep model simulasi yang sedang

    dikembangkan dan luaran yang dihasilkan di dunia nyata. Selain itu,

    membandingkan model simulasi yang sedang dikembangkan dengan

    model simulasi lain dapat menjadi alternatif lain (Aboueljinane, Sa

    hin, & Jemai, 2013). Validasi dari sebuah model simulasi ini penting

    untuk membangun kepercayaan diri bahwa model simulasi yang se-

    dang dikembangkan akan mampu memberikan gambaran yang cukup

    mendekati keadaan sebenarnya mengenai proses evakuasi bencana

    alam.

      Berdasarkan uraian di atas, pengembangan metode VE akan

    sangat potensial untuk konteks kebencanaan di Indonesia. Pengem-

     bangan metode VE di Indonesia terutama sekali harus menyasar

     penerapan pada konteks makro, yaitu untuk evakuasi masyarakat

    secara masif dari wilayah bencana ke wilayah aman. Hal tersebut

    selanjutnya akan sangat bermanfaat untuk membantu otoritas terkaitdalam merencanakan proses evakuasi masyarakat ketika terjadi

     bencana-bencana alam “rutin” di Indonesia seperti gempa bumi,

    erupsi gunung merapi, tanah longsor, banjir, atau tsunami. Tujuan

     pokoknya jelas, yaitu untuk meminimalisasi munculnya korban jiwa

    sebagai akibat dari terjadinya suatu bencana alam.

    Gambar 1. Model simulasi evakuasi saat terjadi banjir di wilayah Towyn,

    Wales bagian utara (Dawson, Peppe, dan Wang, 2011). Sumber gam-

     bar: Tangkapan video di laman Youtube (https://www.youtube.com/

    watch?v=o0EOlc5n9O8)

    2

    Daftar Pusaka:

    Aboueljinane, L., Sahin, E., & Jemai, Z. (2013). A review on simula-

    tion models applied to emergency medical service operations. Com-

     puter & Industrial Engineering, 66(4), 734-750.

    Dawson, R. J., Peppe, R., & Wang, M. (2011). An agent-based mod-

    el for risk-based ood incident. Natural Hazards, 59(1), 167-189.

    Jou, Y.-T., Yenn, T.-C., Lin, C. J., Yang, C.-W., & Chiang, C.-C.

    (2009). Evaluation of operators’ mental workload of human-system

    interface automation in the advanced nuclear power plants. Nuclear

    Engineering and Design, 239, 2537-2542.

    Kanno, T., Shimizu, T., & Furuta, K. (2006). Modelling and simula-

    tion of resident’s response in nuclear disaster. Cognition, Technol-

    ogy, & Work, 8(2), 124-136.

    Lawson, G. (2014). Emergency Evacuation Simulation (Including

    DiFac Case Study) [Powerpoint handout]. Nottingham: The Univer-sity of Nottingham.

    Lawson, G., & Burnett, G. (in press). Simulation and digital human

    modelling. In J. R. Wilson, & S. Sharples, Evaluation of Human

    Work, 4th edition. London: Taylor & Francis.

    Lawson, G., Sharples, S., Clarke, D., & Cobb, S. (2013). Validating

    a low cost approach for predicting human responses to emergency

    situations. Applied Ergonomics, 44(1), 27-34.

    Moroney, W. F., & Lilienthal, M. G. (2009). Human Factors in

    Simulation and Training: An Overview. In D. A. Vincenzi, J. A.

    Wise, M. Mustapha, & P. A. Hancock, Human Factors in Simulation

    and Training (pp. 3-38). Boca Raton: CRC Press.

    Muir, H. C., Bottomley, D. M., & Marrison, C. (1996). Effects ofmotivation and cabin conguration on emergency aircraft evacua-

    tion behavior and rates of egress. International Journal of Aviation

    Psychology, 6(1), 57-77.

    Uno, K., & Kashiyama, K. (2008). Development of simulation

    system for the disaster evacuation based on multi-agent model using

    GIS. Tsinghua Science and Technology, 13(S1), 348-353.

  • 8/19/2019 99980MGI Bulletin Edisi Juli 2015

    13/30

    Komponen 1, kegiatannya difokuskan pada pemahaman, pengorgan-

    isasian, penyampaian informasi terkait manajemen risiko bencana,

    termasuk di dalamnya pelatihan untuk pengetahuan dasar, praktek

    dan implementasinya yang diinformasikan ke pihak lain.

    Komponen 2, memastikan adanya pemahaman akan bencana,

     pengembangan kapasitas atau insfrastruktur, penguatan institusi un-

    tuk mendukung implementasi Rencana Awal Manajemen Risiko Ben-

    cana.

    Komponen 3, menggabungkan kajian risiko bencana dan pilihan yang

    efektif untuk mengkomunikasikan tentang risiko bencana kepada

     pengambil keputusan, perencana, pendidik, tokoh masyarakat, dan

     pejabat terkait.Komponen 4, difokuskan pada penyediaan dukungan teknis dan

    logistik untuk pengembangan dan implementasi kesepakatan

    manajemen Resiko Bencana dalam suatu kota.

      Menurut A. M. Nur dalam tulisannya di Jurnal Geogra

    (2010) yang berjudul “Gempa Bumi, Tsunami Dan Mitigasinya”,

    proses penunjaman ini menyebabkan Kepulauan Indonesia terdiri dari

    deretan gunung api terutama di Sumatera, Jawa hingga Nusa Teng-

    gara. A.M. Nur juga menyebutkan bahwa jalur penunjaman lempeng

    di wilayah Kepulauan Indonesia merupakan jalur penyebab gempa

    tektonik yang bersifat regional dan umumnya kerusakan yang ditim-

    bulkan sangat parah.

    Sejumlah peristiwa bencana gempa bumi dengan magnitude

    besar akhir–akhir ini sering terjadi di beberapa wilayah Indonesia,

    seperti gempabumi dan tsunami di Aceh pada tanggal 26 Desember

    2004, di Pulau Nias pada tanggal 28 Maret 2005 , di Yogyakarta padatanggal 27 Mei 2006, di Pangandaran 17 Juli 2006, di Tasikmalaya 2

    September 2009 dan gempabumi Padang 30 September 2009.

      Pengalaman Indonesia menghadapi sejumlah gempa

    besar dan mematikan seharusnya menjadi bahan pelajaran.

    Namun sayangnya upaya untuk mengurangi dampak bencana yaitu

    dengan melakukan kegiatan mitigasi bencana masih belum optimal.

    Seperti halnya yang disampaikan oleh Kepala Badan Geologi yang

    kala itu dijabat oleh Surono, dalam seminar nasional Jaya Giri Jaya

    Bahari yang digelar di Bentara Budaya Jakarta, Senin (22/9/2014),

    diungkapkan bahwa mitigasi bencana masih belum menjadi fokus dan

    belum dianggap sebagai modal. Sebagai contoh nyata yaitu pemban-

    gunan yang memperhatikan risiko bencana belum diperhatikan, selain

    itu masyarakat juga masih enggan membangun rumah tahan gempa.  Manajemen Risiko Bencana:

    Kerangka kerja manajemen risiko bencana berdasarkan hasil

    penelitian yang dilakukan Haifani tahun 2008, seperti yang dije-

    laskan dalam gambar 2, bagan kerja dibedakan menjadi 4 (empat)

    komponen kerangka kerja dengan aktivitas dan outputnya akan

    mengimplementasikan rencana awal manajemen risiko bencana di

    setiap kota.

    7.MANAJEMEN RISIKO DAN MITIGASI

    BENCANA GEOLOGI YANG EFEKTIF 

    Oleh: Septriono Hari Nugroho, ST

    Beasiswa Pendidikan Indonesia Awardee, LPDP PK-05

    Program Magister Teknik Geologi, Fakultas Teknologi dan Ilmu Ke-

    bumian, Institut Teknologi BandungStaf Peneliti Geologi Dan Lingkungan, Pusat Penelitian Laut Dalam

    - LIPI

      Secara geogras, Indonesia terletak diantara 2 benua (Asia

    dan Australia) serta 2 samudra (Hindia dan Pasik). Gambar berikut

    ini menunjukkan lokasi Indonesia berada pada jalur penunjaman lem-

    peng bumi, seperti penunjaman Lempeng Samudra Indo-Australia

    dengan Lempeng Benua Eurasia yang memanjang dari pantai barat

    Sumatera hingga pantai selatan Jawa terus ke timur sampai Nusa

    Tenggara.

    Gambar 1. Elemen tektonik Indonesia dan pergerakan lempeng-lempeng

    tektonik (Hamilton, 1979)

    Gambar 3. Siklus manajemen bencana(Rais & Arsy, 2010 dengan modikasi)

    Gambar 2. Program Manajemen Risiko Bencana

    (Haifani, 2008)

    13

      Manajemen bencana difokuskan pada pengurangan bencana

    (relief), penanggulangan bencana, rehabilitasi dan perbaikan. Pada

    saat ini telah ada pergeseran cara pandang akan manajemen bencana

    yang menekankan pada pencegahan, mitigasi dan kesiapsiagaan,

     bukan pada penguatan sistem kedaruratan terhadap bencana

    (penanggulangan bencana, relief, rehabilitasi dan perbaikan).

    Secara umum kegiatan manajemen bencana yang efektif

    dapat dibagi dalam ke dalam tiga kegiatan utama, yaitu:

    1. Kegiatan pra bencana yang mencakup kegiatan pencegahan,

    mitigasi, kesiapsiagaan, serta peringatan dini;

    2. Kegiatan saat terjadi bencana yang mencakup kegiatan tanggap

    darurat untuk meringankan penderitaan sementara, seperti kegiatan

    search and rescue (SAR), bantuan darurat dan pengungsian;

    3. Kegiatan pasca bencana yang mencakup kegiatan pemulihan,

    rehabilitasi, dan rekonstruksi.

    Dalam Siklus Manajemen Bencana (Gambar 3),kelemahan terjadi pada tahapan sebelum/pra bencana,sehingga hal inilah yang perlu diperbaiki dan ditingkatkanuntuk menghindari atau meminimalisasi dampakbencana yang terjadi.

  • 8/19/2019 99980MGI Bulletin Edisi Juli 2015

    14/30

      Mitigasi Bencana yang Efektif:

    Mitigasi bencana yang efektif harus memiliki tiga unsur utama (Gam-

    bar 4), yaitu:

    1. Penilaian bahaya  (hazard assesment); Penilaian ini memerlukan

    pengetahuan tentang karakteristik sumber bencana, probabilitas ke-

    jadian bencana, serta data kejadian bencana di masa lalu. Tahapan ini

    menghasilkan Peta Potensi Bencana.

    2.Peringatan (warning); memberi peringatan kepada masyarakat ten-

    tang bencana yang akan mengancam (seperti bahaya tsunami yang

    diakibatkan oleh gempa bumi, aliran lahar akibat letusan gunung be-

    rapi, dan lain sebagainya). Sistem peringatan didasarkan pada data

    bencana yang terjadi serta menggunakan berbagai saluran komuni-kasi untuk memberikan pesan kepada pihak yang berwenang mau-

    pun masyarakat. Peringatan terhadap bencana yang akan mengancam

    harus dapat dilakukan secara cepat, tepat dan dipercaya.

      Fenomena gerakan tanah sudah sejak lama dikenal, yangmenarik untuk diperhatikan adalah bahwa fenomena ini bertambah

    sering frekuensinya dan dimensinya pun bertambah besar. Pertamba-

    han baik kualitas maupun kuantitas dari proses gerakantanah ini justru

     bersamaan dengan meningkatnya pembangunan di Indonesia. Untuk

    itu perlu kita tahu denisi secara harah tentang bencana gerakan

    tanah.

    3.Persiapan (preparedness). Kegiatan kategori ini tergantung kepada

    unsur mitigasi sebelumnya (penilaian bahaya dan peringatan). Dibu-

    tuhkan pengetahuan tentang daerah yang kemungkinan terkena ben-

    cana dan pengetahuan tentang sistem peringatan untuk mengetahui

    kapan harus melakukan evakuasi dan kapan saatnya kembali ketika

    situasi telah aman. Selain itu, perencanaan tata ruang untuk menen-

    tukan lokasi fasilitas umum dan fasilitas sosial di luar zona bahaya

     bencana (mitigasi non struktur), serta usaha-usaha keteknikan untuk

    membangun struktur yang aman terhadap bencana dan melindungi

    struktur akan bencana (mitigasi struktur).

    Manajemen risiko dan mitigasi bencana geologi yang efektif diperlu-kan untuk mengurangi risiko-risiko dampak dari suatu bencana yang

    dilakukan sebelum bencana itu terjadi, termasuk kesiapan dan tinda-

    kan pengurangan resiko bencana jangka panjang.

    Gambar 4. Siklus mitigasi bencana yang efektif 

    8.UPAYA MITIGASIGUNA MENGURANGI KORBANBENCANA GERAKAN TANAH 

    Oleh:

    Septriono Hari Nugroho, ST

    Beasiswa Pendidikan Indonesia Awardee, LPDP PK-05

    Program Magister Teknik Geologi,Fakultas Teknologi dan Ilmu Kebumian

    Institut Teknologi Bandung

    Staf Peneliti Geologi Dan Lingkungan, Pusat Penelitian Laut Dalam

    - LIPI

    Ageng Nurmalasari, ST

    Mahasiswa Program Magister Teknik Geologi,

    Fakultas Teknologi dan Ilmu Kebumian

    Institut Teknologi Bandung

      Bencana longsor atau gerakan tanah (landslide) merupakan

    fenomena alam yang lazim terjadi di Indonesia. Longsor yang baru-

    baru ini terjadi adalah pada tanggal 17 Juni 2015 di Pantai Gunung

    Kidul, Yogyakarta, kejadian ini mengakibatkan beberapa orang luka

    dan tewas karena tertimpa tebing. Peristiwa bencana alam tersebut

    terjadi sangat tiba – tiba dan merupakan daerah yang tidak diwaspadai

    adanya bahaya gerakan tanah.

    Gambar 1. Tebing yang longsor di Pantai Gunung Kidul

    (www.beritasatu.com)

    4

  • 8/19/2019 99980MGI Bulletin Edisi Juli 2015

    15/30

      Menurut SNI 13-6982.1-2004, disebutkan bahwa bencana

    gerakan tanah adalah rangkaian peristiwa yang diakibatkan oleh

    proses geologis atau ulah manusia, mengakibatkan kerugian harta

    benda, kerusakan lingkungan hidup, sarana dan prasarana, fasilitas

    umum serta mengganggu tata kehidupan dan penghidupan

    masyarakat. Pada umumnya longsor terjadi di daerah pemuki-

    man padat penduduk dan tempat – tempat wisata. Bencana ini

    sangat erat hubungannya dengan keberadaan manusia, sehingga tidak

    heran jika hal yang paling merugikan adalah jatuhnya korban jiwa

    dalam jumlah besar. Hal ini menjadi dorongan sebagai seorang ahli

    geologi perlu mengadakan kegiatan mitigasi. Adapun tahapan mitigasi

    bencana gerakan tanah yaitu pemetaan, penyelidikan,pemeriksaan, pemantauan, sosialissi. Tahapan tersebut dapat dirangkum

    menjadi upaya mitigasi yang dilakukan pada sebelum terjadi bencana,

    tindakan mitigasi pada saat longsor terjadi dan upaya mitigasi setelah

    bencana longsor terjadi.

    Upaya Mitigasi Bencana Gerakan tanah:

    1. Sebelum terjadi bencana

    Upaya mitigasi bencana longsor dilakukan sebelum longsor terjadi,

    hal ini dimaksudkan agar adanya peringatan dini pada daerah –

    daerah yang sudah teridentikasi adanya bahaya longsor,

    sehingga dapat dilakukan upaya pencegahan seperti pemasangan

    Extensometer , alat ini memiliki prinsip adanya sensor yang

    digunakan sebagai peringatan ketika adanya pergerakan tanah pada

    tebing atau kelerengan tertentu, kemudian sensor ini kan membunyi-

    kan tanda sebagai peringatan kepada para masyarakat. Sebagaimana

    yang telah dilakukan oleh Edi Prasetyo Utomo, peneliti pada Pusat

    Penelitian Geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia,

    yang menyebarluaskan penggunaan Extensometer untuk peringatan

    dini jika terjadi gerakan tanah. Beliau juga menjelaskan terkait skema

    dan cara kerja alat tersebut seperti pada gambar berikut (Gambar 2)

      Upaya lain yang dapat dilakukan adalah survei GPS.

    Survei tersebut merupakan pemetaan gerakantanah dan pengukuran

     posisi patok geser. Pemetaan tersebut menggunakan instrumen bernama

    inklinometer yang merupakan alat untuk pengukuran pergerakan

    tanah. Instrumen tersebut dapat mengidentikasi kedalaman serta

    kecepatan pergerakan tanah (Gambar 3).

    Gambar 3. Alat Inklinometer yang digunakan dalam metode survey GPS

    Gambar 2. Skema Pemasangan dan Cara Kerja Alat Ekstensometer 

    15

  • 8/19/2019 99980MGI Bulletin Edisi Juli 2015

    16/30

    Metode lain yang digunakan dalam upaya mitigasi sebelum bencana

    adalah dengan pengenalan jenis gerakan tanah, gejala dan penyebab

    bencana tersebut. Adapun jenis gerakan tanah dapat dilihat pada

    gambar berikut (Gambar 4)

    2. Saat terjadi bencana

    Upaya mitigasi pada saat terjadinya longsor terjadi dilakukan dengan

    melakukan survei kejadian longsor sehingga mendapatkan gambaran

    longsoran dan dapat diidentikasi penyebab serta dapat dijadikan

    acuan untuk longsor yang dapat terjadi di daerah lain dengan

    karakteristik yang sama atau dapat dijadikan acuan longsoran susulan

     pada daerah tersebut.

    3. Setelah terjadi bencana

    Upaya mitigasi setelah longsor terjadi dilakukan dengan penataan

    tataguna lahan daerah kembali agar tidak terjadi gerakan tanah

    lagi, merelokasi pemukiman pada radius aman jika longsor terjadi,

    menanamkan kearifan lokal kepada masyarakat agar dapat bersahabat

    dengan alam.

    Gambar 4. Jenis Gerakantanah

    Gejala gerakan tanah dapat dipelajari dengan memperhatikan kondisi

    sekitar, seperti munculnya retakan di lereng yang sejajar dengan

    arah tebing, adanya jatuhan kerikil dan munculnya mata air baru

    secara tiba-tiba. Pemahaman penyebab gerakan tanah seperti adanya

    curah hujan yang tinggi sehingga menyebabkan kondisi tanah jenuh

    air, lereng terjal, tanah yang kurang padat dan tebal, adanya batuan

    yang kurang kuat seperti campuran material hasil letusan gunung api

    berupa kerikil, pasir dan lempung yang memiliki sifat kurang

    kuat dan jika mengalami pelapukan bersifat rentan terhadap air

    hujan. Faktor penyebab lain yaitu adanya jenis tata guna lahan yang

    kurang sesuai pada daerah terjal dan adanya pemicu dari terjadinyagempabumi, selain itu ada juga penyebab longsor yang terjadi

    akibat susutnya muka air yang cepat pada suatu bendungan sehingga

    gaya penahan lereng hilang, kemudian di dukung dengan kemiringan

    bendungan sebesar 220 akan sangat mudah mengalami longsoran

    dan penurunan tanah akibat adanya retakan.

    Pembuataan peta zona kerentanan gerakan tanah merupakan salah

    satu upaya mitigasi yang bertujuan mengurangi korban bencana.

    Baskara Aji, dalam tulisannya yang dimuat dalam website FGMI

    (fgmi.iagi.or.id) menjelaskan bahwa pembuatan Peta Zona Keren-

    tanan Tanah setidaknya menginformasikan 4 kondisi kerentanan tan-

    ah di setiap wilayah. Penentuan zona kerentanan dibuat berdasarkan

    pemetaan dengan alur seperti yang dijelaskan oleh Yunarto dalamtulisannya yang dimuat dalam Buletin Geologi Tata Lingkungan Vol.

    22 No. 2 Tahun 2012 (Gambar 5). Dari peta tersebut Pemerintah Dae-

    rah dapat merekomendasikan berbagai hal diantaranya mana daerah

    yang bisa dikembangkan untuk wilayah pemukiman, perkebunan

    dan budi daya lainnya serta mana daerah yang harus direlokasi.

    Gambar 5. Alur penentuan zonasi kerentanan gerakan tanah

     (Yunarto, 2012)

    9. Membangun Komunitasyang Resilien Terhadap Bencana

    Oleh: Harizza Pertiwi, S.Kep., Ners.

    Beasiswa Pendidikan Indonesia, LPDP PK-09

    Master of Disaster and Emergency Nursing Management

    Monash University, Australia

      Bencana terjadi secara tiba-tiba, cenderung sulit diprediksi,

    dan dapat disebabkan oleh alam atau ulah manusia. Bila bencana

    terjadi di suatu wilayah, kerugian materi dan non-materi yang diaki- batkannya dapat membuat kehidupan suatu masyarakat berhenti ber-

    fungsi. Kehilangan anggota keluarga, tempat berlindung, pekerjaan

    atau sumber penghasilan, dan rasa aman adalah dampak negatif yang

    mungkin akan dialami oleh korban bencana. Fase pemulihan secara

    sik setelah hantaman terjadi bisa saja terhitung singkat, namun tidak

    sedikit korban yang perlu waktu bertahun-tahun untuk memulihkan

    diri dari trauma psikis yang dialami. Untuk menekan kerugian yang

    dapat diakibatkan oleh bencana, suatu solusi aternatif yang dapat

    mengurangi risiko terjadinya bencana perlu diupayakan.

      Sebelum berbicara tentang solusi, kita perlu memahami

    denisi bencana terlebih dahulu.  International Federation of Red

    Cross and Red Crescent Societies (IFRC) mendenisikan bencanasebagai kejadian gawat-darurat yang datang dengan tiba-tiba yang

    dapat mengganggu fungsi sebuah komunitas dan menyebabkan keru-

    gian materi dan non-materi. Dampak negatif ini melebihi kemampuan

    komunitas untuk mengatasinya dengan sumber daya yang mereka

    miliki sendiri. Senada dengan IFRC, Verhick dalam bukunya Facing

    catastrophe: Environmental action for a post-Katrina world  (2010)

    6

  • 8/19/2019 99980MGI Bulletin Edisi Juli 2015

    17/30

    menyatakan bahwa bencana adalah gangguan yang serius terha-

    dap fungsi komunitas yang mengancam kehidupan, kesehatan, dan

    kesejahteraan manusia. sor atau gerakan tanah (landslide) merupa-

    kan fenomena alam yang lazim terjadi di Indonesia. Longsor yang

    baru-baru ini terjadi adalah pada tanggal 17 Juni 2015 di Pantai Gu-

    nung Kidul, Yogyakarta, kejadian ini mengakibatkan beberapa orang

    luka dan tewas karena tertimpa tebing. Peristiwa bencana alam terse-

    but terjadi sangat tiba – tiba dan merupakan daerah yang tidak diwas-

    padai adanya bahaya gerakan tanah.

      Kedua denisi yang dikemukakan tersebut mempunyai

    penekanan yang sama, bahwa dampak yang paling merusak bila

    bencana terjadi adalah terganggunya fungsi kehidupan di dalammasyarakat. Gangguan dalam fungsi kehidupan ini dapat berupa

    lumpuhnya perekonomian, rusaknya sarana dan prasarana kesehatan,

    hilangnya tempat berlindung, hingga terbatasnya akses terhadap ma-

    kanan dan air bersih. Seperti yang pernah dikemukakan oleh mantan

    sekretaris jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa, Ko Annan, bahwa

    suatu kejadian gawat-darurat dapat disebut bencana jika hidup dan

    kehidupan suatu masyarakat musnah (2003).

      Besarnya dampak bencana terhadap fungsi komunitas dapat

    berbeda antara komunitas yang satu dengan yang lainnya. Sebagai

    contoh, kita dapat merujuk pada bencana gempa bumi yang terjadi

    pada tahun 2010 di Haiti dan New Zealand. Kekuatan gempa yang

    hampir sama menyebabkan dampak yang jauh berbeda di dua lokasi

    tersebut. Terdapat sekitar 250.000 korban jiwa di Haiti, sedangkan di

    New Zealand tidak ada satupun. Padahal kedua pusat gempa tersebut

    sama-sama terletak di wilayah padat penduduk. Faktor utama yang

    menyebabkan perbedaan ini adalah kesiapan masyarakatnya dalam

    menghadapi bencana. Komunitas di New Zealand lebih disaster-

    resilient  daripada komunitas di Haiti.

    Mengacu pada denisi yang dikemukakan oleh The United

    Nations Ofce for Disaster Risk Reduction  (UNISDR), disaster-

    resilient community atau komunitas yang resilien terhadap bencana

    adalah suatu kelompok masyarakat yang mampu mencegah, meng-

    hadapi, dan pulih dari ancaman bencana dalam waktu yang esien.

    Komunitas yang mampu bounce back better ketika dihadapkan pada

    bencana. Ibarat bola karet, ia akan melompat lebih tinggi ketika di-hantamkan pada benda keras. Inilah yang diharapkan terjadi pada

    komunitas yang resilient terhadap bencana. Mampu mengenali dan

    mengurangi risiko bencana sekaligus bangkit kembali ke kondisi

    semula atau bahkan ke kondisi lebih baik ketika dihadapkan pada

    bencana.

    Membangun resilient community adalah upaya preventif yang dapat

    menjadi solusi untuk mengurangi risiko dan menekan angka kerugian

    akibat bencana. Beberapa hal berikut adalah karakteristik yang dapat

    menjadi indikator resilient community:

    1. Kemandirian. Sebuah resilient community  mempunyai

    ikatan sosial yang kuat. Solidaritas antar anggota masyarakat dalam

    satu lingkungan mendorong adanya kerja sama untuk mengurangi

    kerentanan terhadap bencana dengan sumber daya yang dimilikinya

    sendiri. Dengan demikian, komunitas itu sendiri yang berinisiatif

    untuk mengambil peran dalam mengurangi risiko bencana yang ada

    di lingkungannya.

    2. Konektivitas. Semua orang dalam komunitas terkoneksi satusama lain. Strategi yang digunakan untuk mengurangi risiko bencana

    dapat menjangkau semua kelompok masyarakat, termasuk anak-anak,

    lansia, dan penyandang disabilitas.

    3. Kemitraan. Selain terkoneksinya antar anggota komunitas,

    sebuah resilient community dapat membangun kemitraan yang kuat

    dengan institusi dan organisasi yang mempunyai peran penting bila

     bencana terjadi, seperti rumah sakit, kepolisian, dan rumah ibadah.

    4. Pendidikan. Sebuah resilient community  mau dan mampu

    mengembangkan pengetahuan dan pemahaman akan siklus bencana

    melalui pendidikan kebencanaan yang berkelanjutan.

    Dari karakteristik yang telah dipaparkan, dapat dipahami

     bahwa ciri utama sebuah resilient community  adalah konektivitas

    yang kuat antar anggotanya. Dengan demikian, dalam membangun

    sebuah komunitas yang resilien, diperlukan adanya upaya yang dapat

    mengurangi sikap individualis dan mendorong tumbuhnya rasa keber-

    samaan. Upaya ini dapat dilakukan dengan kegiatan yang sederhana

    namun bermanfaat.

    Connectedness

    Sumber: 9010group.com

    Tsunami Aceh

    Sumber: ickr.com

    Bencana banjir 

    Sumber: lensaindonesia.com

      Gerakan Pembangun Semangat Kebersamaan dan

    Kegotong Royongan:

    Sebagai contoh, sebuah non-government organization  (NGO)

    di Bali giat meningkatkan sumber daya dan konektivitas

    dalam komunitas dengan melakukan pelatihan  permaculture 

    atau berkebun bagi masyarakat yang tinggal di wilayah rawan bencana. Di Bandung, program walikota yang berupa Gerakan

    Pungut Sampah dapat menumbuhkan rasa kebersamaan dan

    gotong royong di antara warganya.

    Bersamaan dengan berjalannya program peningkatan

    koneksi antar anggota komunitas, program lainnya yang

     bertujuan meningkatkan resilience dapat dijalankan. Misalnya,

    menjalin kerja sama dengan NGO sebagai narasumber dalam

     pendidikan pengurangan risiko bencana, dengan puskesmas

    atau rumah sakit sebagai penyedia pelatihan pertolongan

     pertama bagi anak-anak dan dewasa, dan dengan pemerintah

    dan perusahaan setempat sebagai penyedia sumber daya

    tambahan untuk program yang akan dijalankan.

    17

  • 8/19/2019 99980MGI Bulletin Edisi Juli 2015

    18/30

      Solidaritas dan kegotong-royongan yang kuat dalam komu-

    nitas juga dapat mendorong terwujudnya program yang mengutama-

    kan kepentingan bersama. Misalnya, pembangunan shelter tahan

    gempa sebagai tempat berlindung korban bencana, atau penyediaan

    sumber energi dan air bersih alternatif bila jaringan listrik dan air

    terputus. Banyak hal lain yang juga dapat dilakukan oleh sebuah ko-

    munitas untuk meningkatkan resilience terhadap bencana.

      Perlu diketahui bahwa resilience  antara komunitas yang

    satu dengan yang lainnya tidak dapat disamaratakan karena masing-

    masing komunitas tersebut mempunyai karakter dan risiko bencana

    yang berbeda. Untuk itu, konsep resilient community yang diterap-

    kan boleh saja serupa, namun strategi program kemasyarakatannyadapat dimodikasi dan diadaptasikan berdasarkan kebutuhan mas-

    ing-masing komunitas.

      Sebagai penutup, resilient community tidak hanya akan siap

    dalam menghadapi ancaman bencana, namun ia juga akan menjadi

    komunitas yang solid, mandiri, dan tangguh dalam menjalani ke-

    hidupan bermasyarakat. Inilah saatnya bagi masyarakat Indonesia

    untuk bergerak dan bertindak secara mandiri tanpa perlu menunggu

    uluran tangan dari pihak luar.

    10.IMPLEMENTASI PELAKSANAANUNDANG-UNDANGPENANGGULANGAN BENCANA

    Oleh: Septriono Hari Nugroho, ST

    Beasiswa Pendidikan Indonesia Awardee, LPDP PK-05

    Program Magister Teknik Geologi, Fakultas Teknologi dan Ilmu

    Kebumian, Institut Teknologi Bandung

    Staf Peneliti Geologi Dan Lingkungan, Pusat Penelitian Laut-

    Dalam LIPI

    Posisi Indonesia secara geogras sangat rawan akan bencana. Dalam

    gambar di bawah, Indonesia berada dalam zona “ring of re”, terle-

    tak di antara dua patahan yang masih aktif yang saling bertumbukan

    yang menyebabkan rawan bencana gempa bumi, dimana gempa

     bumi ini memungkinkan terjadinya bencana tsunami.

    Permaculture

    Sumber: idepfoundation.org

    Gerakan Pungut Sampah

    Sumber: merdeka.com

    Gambar 1. Indonesia berada dalam cincin api pasik (ring of re)

      Tsunami  Aceh telah menjadi bukti yang tak terbantahkan,

     begitu juga dengan bencana gunung meletus, longsor dan sebagainya.

    Seiring dengan kemajuan dan kebutuhan manusia akan barang-barang

    mentah, berderet pula daftar bencana yang diakibatkan oleh faktor

    non-alam seperti kebakaran hutan, banjir, kebocoran limbah, kesala-

    han penerapan teknologi dan lainnya. Akan tetapi, perhatian terhadap

     posisi Indonesia yang rawan akan bencana itu belum begitu menjadi

     perhatian pembuat kebijakan negara. Ini bisa terlihat bahwa perhatian

    terhadap bencana baru akhir-akhir ini saja diperhatikan. Salah satunya

    dengan dengan diundangkannya Undang - Undang Nomer 24 Tahun

    2007 tentang Penanggulangan Bencana, yang baru disahkan kurang

    lebih 3 (tiga) tahun setelah bencana tsunami Aceh terjadi.

    Gambar 2.

    Materi pokok

    Undang-Undang

    Penanggulangan

    Bencana

    8

  • 8/19/2019 99980MGI Bulletin Edisi Juli 2015

    19/30

    IMPLEMENTASI PELAKSANAAN UNDANG – UNDANG PEN-

    ANGGULANGAN BENCANA:

    Undang – Undang Penanggulangan Bencana terdiri dari 13 Bab dan

    85 Pasal, dengan materi pokok yang dicantumkan seperti pada gam-

    bar diatas:

    Undang – undang tersebut secara komprehensif mengidentikasi

    bencana sebagai peristiwa atau serangkaian peristiwa yang mengan-

    cam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang

    disebabkan oleh 3 faktor:

    [1] Alam, seperti gempa bumi, gunung meletus, tsunami,dan lainnya;

    [2] Non alam, seperti gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemi

    dan wabah;[3] Manusia, yang kemudian disebut sebagai bencana sosial, yang

    meliputi konik sosial atau kerusuhan sosial.

      Dalam materi pokok yang dijelaskan dalam Undang – Un-

    dang Penanggulangan Bencana, yang memegang tanggung jawab

    dan wewenang dalam penanggulangan bencana adalah pemerintah

    pusat dan pemerintah daerah, yang keduanya sekaligus menye-

    diakan dana dalam bentuk APBN dan APBD. Secara kelembagaan

    pemerintah pusat membentuk Badan Nasional Penanggulangan

    Bencana (BNPB) yang ditetapkan dengan Peraturan Presiden, se-

    dangkan pemerintah daerah (provinsi/kabupaten/kota) membentuk

    Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) yang didirikan

    dengan peraturan daerah. Pemerintah desa tidak disebut secara ek-

    splisit dalam peraturan ini, tetapi diwadahi dalam kerangka peranan

    masyarakat dalam penanggulangan bencana. Dalam hal ini, pemerin-

    tah pusat dan daerah juga mengatur tentang keterlibatan pihak asing

    dan swasta dalam penanggulangan bencana nasional.

    Kriteria tentang status bencana dan tingkatannya ditetapkan

    oleh pemerintah pusat yang didasarkan pada jumlah korban, keru-

    gian harta benda, kerusakan sarana dan prasarana, cakupan luas

    yang terkena bencana dan dampak sosial-ekonomi yang timbul. Kri-

    teria inilah yang akan menentukan apakah sebuah peristiwa disebut

    bencana atau bukan. Konsekuensinya adalah siapa yang harus ber-

    tanggung jawab dan membayar ganti rugi atas bencana yang terjadi.

    Selain itu, Undang – Undang Penanggulangan Bencana mengatur

    tentang pemaduan penanggulangan bencana dalam perencanaanpembangunan yakni dengan cara mencantumkan unsur-unsur renca-

    na penanggulangan bencana ke dalam rencana pembangunan pusat

    dan daerah. Dengan demikian, dalam setiap rencana pembangunan

    dan atau kegiatan usaha, baik dilakukan oleh pemerintah atau swasta,

    diharuskan memasukkan unsur-unsur rencana penanggulangan ben-

    cana. Persyaratan itu harus dimasukkan untuk melengkapi bahkan

    menyempurnakan persyaratan lain yang lebih dulu ada di masing-

    masing dinas sektoral. Hal tersebut yang menyebabkan adanya

    pengaturan tentang Analisis Risiko Bencana (ARB) dalam Undang

    – Undang Penanggulangan Bencana. Analisis Risiko Bencana adalah

    kegiatan penelitian dan studi tentang kegiatan yang memungkinkan

    terjadinya bencana. Analisis Risiko Bencana ini dilengkapkan kedalam setiap kegiatan pembangunan yang mempunyai risiko tinggi

    menimbulkan bencana. Yang dimaksud kegiatan pembangunan yang

    mempunyai risiko tinggi menimbulkan bencana adalah kegiatan

    pembangunan yang memungkinkan terjadinya bencana, antara lain

    pengeboran minyak, pembuatan senjata nuklir, pembuangan limbah,

    eksplorasi tambang dan pembabatan hutan.

      Kriteria tentang rencana usaha/kegiatan yang menimbulkan

    dampak besar dan penting adalah besarnya jumlah manusia yang

    akan terkena dampak rencana usaha dan/atau kegiatan, luas wilayah

    penyebaran dampak, intensitas dan lamanya dampak berlangsung,

    banyaknya komponen lingkungan hidup lain yang akan terkena

    dampak, sifat kumulatif dampak, dan berbalik (reversible) atau tidak

    berbaliknya (irreversible) dampak.

      Persyaratan ARB disusun dan ditetapkan oleh BNPB, na-

    mun tidak dijelaskan apakah sifat ARB tersebut bersifat wajib atau

    komplementer dari dokumen perijinan atau statusnya hanya adminis-

    tratif. Selain itu persetujuan ARB bukan pada BNPB melainkan oleh

    dinas sektoral.

    Begitu pula dalam hal penegakan hukumnya, UUPB tidak secara je-

    las memberikan kewenangan kepada BNPB. BNPB hanya berwenang

    memberikan laporan kepada dinas sektoral terkait jika terdapat pe-

    nyelewengan atas syarat-syarat dalam ARB.

      Efektivitas pelaksanaan undang-undang ini dalam penanga-

    nan bencana dapat terwujud apabila dilaksanakan secara sistematis,

    terpadu dan terkoordinasi. Hal ini disebabkan karena diperlukan

    adanya koordinasi dan komunikasi antara pemerintah daerah dengan

     pusat, apabila komunikasi tidak terbentuk, maka harapan dari Un-

    dang-undang ini akan sirna. Undang-undang ini dibuat sebagai salah

    satu cara untuk mengatasi kelemahan koordinasi antar sektor serta

    menyediakan landasan hukum yang kuat dalam penanganan masalah bencana.

    11.PERAN PEMERINTAH DAN MASYARAKAT DALAMPENGURANGAN RISIKO BENCANA

    SERTA KESIAP-SIAGAAN BENCANAOleh: Santri Pertiwi, SKM

    Magister Public Health ( MPH ) bidang Kesehatan Lingkungan

    Universitas Gadjah Mada

      Kesadaran akan pentingnya upaya pengurangan risiko ben-

    cana telah mulai muncul pada dekade 1990-1999 yang dicanangkan

    sebagai Dekade Pengurangan Risiko Bencana Internasional. Upaya

    untuk mengurangi risiko bencana secara sistematik membutuhkan

     pemahaman dan komitmen bersama dari semua pihak terkait teru-

    tama para pembuat keputusan (decision makers). Dewan Ekonomi

    da