Upload
bagirdm10
View
232
Download
13
Embed Size (px)
Citation preview
1
Long Term Dual Antiplatelets Treatment After Stent Implantation :
Postoperative
Yudi Her Oktaviono
Departemen/SMF Kardiologi & Kedokteran Vaskuler
RSU Dr. Soetomo – FK Unair
Surabaya
Abstract Whereas the development of coronary stents has been a major breakthrough in the treatment of
coronary artery disease, stent thrombosis, associated with myocardial infarction and death, has
introduced a new challenge in the care of patients with coronary stents undergoing surgery. Oral
antiplatelet therapy with aspirin and clopidogrel is a major strategy to prevent thrombotic events in
patientswith acute coronary syndromes and patients undergoing percutaneous coronary
interventions.The timing antiplatelets withdrawal and timing of the preoperative and postoperative
components of bridge therapy are critical to balancing these risks. If the bleeding risk outweighs the
risk of ST, other potential strategies include treatment with aspirin alone, “bridging therapy” with
aspirin and a glycoprotein IIb/IIIa inhibitor and/or heparin, and “bridging therapy” without aspirin.
Novel antiplatelet therapies are promising and potentially valuable in the perioperative management
of patients with drug eluting stents.
Keywords: drug eluting stent, stent thrombosis, perioperative, antiplatelet
Pendahuluan
Sejak dikenalkannya tindakan intervensi koroner perkutan, ada dua faktor yang
membatasi tindakan ini yaitu restenosis dan menutupnya pembuluh darah diakibatkan
trombosis. Penggunaan stent koroner memiliki dampak yang besar dalam mengurangi
terjadinya restenosis. Tetapi trauma pembuluh darah akibat tindakan intervensi koroner
perkutan menginduksi terjadinya aktivasi trombosit dan semua stent koroner yang tersedia
terbuat dari metal yang trombogenik. Penggunaan drug-eluting stent (DES) dapat
menurunkan restenosis dan target vessel revascularization>70% bila dibandingkan dengan
bare metal stent (BMS). Lapisan polimer dan aspek yang lain dari DES dapat menyebabkan
trombogenitas yang meningkat bila dibandingkan dengan BMS.1
Agen antiplatelet sangat penting pada pencegahan primer maupun sekunder dari
penyakit jantung koroner (PJK) stabil dan tidak stabil terutama setelah tindakan intervensi
koroner perkutan. Saat ini sebanyak 2 juta kali tindakan intervensi koroner perkutan
dilakukan pertahunnya di daerah Amerika Utara dan Eropa Barat. Kebanyakan dari tindakan
intervensi koroner perkutan ini juga dilakukan pemasangan stent yaitu sebanyak kurang lebih
90%. Stent yang dipasang umumnya berupa DES dengan berbagai indikasi. Prevalensi PJK
dan Sindroma Koroner Akut diperkirakan akan semakin meningkat di masa mendatang
dikarenakan semakin banyak populasi dengan usia lanjut.2,3
2
Dengan meningkatnya jumlah pasien yang menjalani PCI dan pemasangan stent,
maka tidak dapat dihindarkan bahwa pasien-pasien ini akan menjalani pembedahan non
jantung. Dalam suatu studi didapatkan angka 5% pasien yang menjalani PCI akan
memerlukan pembedahan non jantung dalam 1 tahun. Berbagai laporan trombosis stent
perioperatif pada pasien dengan DES telah dilaporkan. Trombosis stent (stent thrombosis
[ST]) merupakan suatu komplikasi yang sangat membahayakan dan tata laksana pada pasien
perioperatif dengan hal ini menjadi suatu isu yang besar. Risiko ST dapat diturunkan dengan
penggunaan dual antiplatelet therapy. Penghentian dual antiplatelet therapy harus
diminimalkan karena akan menempatkan pasien pada risiko tinggi terjadinya perdarahan
perioperatif. Guideline Amerika Serikat dan negara Eropa telah merekomendasikan dual
antiplatelet therapy yaitu aspirin dan tienopiridin pada pasien yang menggunakan DES
setidaknya selama 1 tahun setelah intervensi perkutan untuk mencegah terjadinya ST.2,4,5
Stent Thrombosis (ST) pada Drug-Eluting Stent (DES)
Penggunaan DES pada tindakan intervensi koroner perkutan telah menjadi sukses
besar tetapi sejak diberitakannya kejadian very late stent thrombosis (VLST) maka banyak
yang mempertanyakan keamanan dari penggunaan DES ini. Sebagai respon dari adanya ST
maka Food and Drug Administration Circulatory System Advisory Panel Meeting yang
dilaksanakan pada Desember 2006 menyatakan bahwa DES berkaitan dengan risiko tingkat
rendah tetapi bermakna untuk terjadinya stent thrombosis dibandingkan dengan bare metal
stent (BMS). Namun risiko kematian atau infark miokardium ini hanya meningkat pada
penggunaan off-label yaitu sekitar 60% dari penggunaan DES. American Heart
Association/American College of Cardiology (AHA/ACC) untuk Cardiovascular
Angiography and Interventions/American College of Surgeons/American Dental Association
menerbitkan suatu pertimbangan tentang risiko penghentian dini (prematur) dari terapi
antiplatelet dan pentingnya antiplatelet dalam menurunkan risiko ST serta bahaya
menghentikan antiplatelet secara dini.6,7
Stent thrombosis adalah komplikasi PCI yang mendadak dan berbahaya. Biasanya
muncul dalam bentuk infark miokardium dengan elevasi segmen ST (ST-elevation
myocardial infarction [STEMI]), aritmia maligna atau kematian. Dari data didapatkan angka
kematian yang tinggi pada ST yaitu berkisar antara 9% hingga 45%.6
Stent thrombosis adalah suatu proses dimediasi oleh trombosit yang terjadi melalui
aktivasi dan agregasi trombosit yang progresif sehingga menyebabkan pembentukan trombus.
Intervensi koroner perkutan (percutaneus coronary intervention [PCI]) menyebabkan
3
kerusakan endotel dan medial yang akan sembuh dengan pembentukan neointima, biasanya
terjadi dalam 2 hingga 6 minggu pada penggunaan BMS. Namun, pada penggunaan DES
reendotelisasi dan penyembuhan neointima ini tertunda, menyebabkan strut stent tetap
terpapar sehingga terjadi agregasi trombosit dan pembentukan trombus.6
Beberapa faktor risiko terjadinya ST yaitu yang terkait stent, yang terkait prosedur
dan variabel yang terkait kondisi pasien. Beberapa laporan mengatakan adanya
hipersensitivitas pada polimer stent (Tabel 1). Namun, prediktor yang paling penting untuk
terjadinya ST adalah penghentian dini dual antiplatelet therapy.8,9,10
Tabel 1. Faktor risiko terjadinya stent thrombosis pada pasien dengan DES6 Faktor pasien
Sindroma koroner akut Penurunan fraksi ejeksi ventrikel kiri MACE dalam 30 hari setelah PCI Diabetes mellitus Polimorfisme gen Insufisiensi ginjal Keadaan hiperkoagulasi (seperti keganasan, pembedahan, diabetes)
Faktor prosedur Diseksi residu Aposisi stent yang inkomplit Underexpansion stent “Crush” technique Oklusi sisi cabang
Anatomi koroner Ukuran pembuluh Lesi tipe C Stent pada left main coronary artery Panjang lesi yang meningkat Trombus Bifukarsio In-stent restenosis Karakteristik plak Penyakit pembuluh darah multipel Oklusi total Bypass graft
Faktor stent Permukaan stent Hipersensitif pada polimer stent Obat-obatan
Terapi antitrombotik dan antikoagulan Penghentian antiplatelet Resistensi antiplatelet Inhibisi pada agregasi trombosit
Operasi Non Jantung dan Stent thrombosis (ST)
Risiko ST pada perioperatif telah terbukti pada pasien yang menjalani pembedahan
non jantung segera setelah dilakukannya intervensi perkutan. Pada pasien menjalani
pembedahan non jantung akan mengalami peningkatan angka mortalitas bila dilakukan dalam
4
6 minggu setelah intervensi perkutan dibandingkan dengan CABG. Setelah pembedahan
mayor terdapat peningkatan risiko trombogenik sekunder akibat pelepasan katekolamin,
peningkatan kemampuan agregrasi trombosis dan penurunan fibrinolisis yang menyebabkan
kondisi hiperkoagulasi. Sebagai tambahan, penghentian mendadak dari antiplatelet dapat
memicu efek rebound dan meningkatkan risiko ST. Sehingga, pencegahan trombosis sangat
penting dikarenakan adanya risiko mortalitas yang sangat tinggi.6
Data mengenai pasien perioperatif dengan DES ini masih terbatas. Tetapi sesuai
dengan laporan sebelumnya, data yang ada menunjukkan bahwa angka kejadian
kardiovaskular mayor (MACE) pada pasien dengan DES lebih tinggi pada pembedahan yang
dilakukan lebih awal dibandingkan dengan oprasi yang ditunda dengan tidak adanya
perbedaan jenis DES yang digunakan (sirolimus-eluting stent dengan paclitaxel eluting
stent). Banyak kasus pada laporan ini berkaitan dengan penghentian terapi antiplatelet.2,3,6
Terapi antiplatelet untuk pasien dengan DES
Agen antiplatelet sangat penting dalam pencegahan ST. ST merupakan proses yang
dimediasi oleh trombosit yang bekerja pada berbagai langkah proses pembentukan trombus.
Tetapi ketika digunakan pada perioperatif, agen antiplatelet berkaitan dengan peningkatan
risiko perdarahan. Penambahan tienopiridin selain aspirin (dual antiplatelet terapy)
menghasilkan efek sinergistik dan menjadi terapi baku setelah pemasangan DES untuk
menghindari ST. Ticlopidine mirip dengan clopidogrel tetapi penggunaannya terbatas oleh
adanya efek samping seperti agranulositosis dan purpura trombositopenia trombotik.6,11
Pada guideline ACC/AHA tentang STEMI yang telah diperbarui tahun 2007,
penambahan tienopiridin pada aspirin direkomendasikan tanpa melihat jenis terapi reperfusi
setidaknya selama 14 hari hingga 1 tahun jika tidak ada risiko perdarahan. Dual antiplatelet
therapy telah terbukti mengurangi angka kejadian kardiovaskular pada PCI. Dual antiplatelet
therapy superior dibandingkan pada pemberian aspirin saja atau tienopiridin saja dalam
pencegahan ST dan juga superior terhadap kombinasi aspirin dan warfarin. Pada guideline
ACC/AHA/Society for Cardiovascular Angiography and Interventions on PCI yang
diperbarui tahun 2007 didapatkan bahwa dual antiplatelet therapy direkomendasikan pada
semua pasien PCI yang dipasang DES kecuali ada risiko tinggi untuk terjadinya perdarahan.
Guideline ini juga menambahkan pada pasien dengan risiko untuk terjadinya ST (seperti
insufisiensi ginjal, diabetes atau karakteristik prosedur seperti stent multipel atau pemasangan
pada lesi bifurkasio) memerlukan dual antiplatelet therapy lebih dari satu tahun.6,11,12
5
Efikasi dual antiplatelet therapy dalam menurunkan MACE setelah PCI selama 1
tahun dibuktikan oleh studi PCI-CURE (Clopidogrel in Unstable angina to prevent Recurrent
ischemia Events) dan studi CREDO (Clopidogrel for the reduction of Events During
Observation) pada pasien PCI yang menggunakan BMS. Pada studi CHARISMA
(Clopidogrel fot High Atherothrombotic Risk and Ischemic Stabilization, Management and
Avoidance) didapatkan penurunan MACE yang sama yang dicapai pada pencegahan
sekunder pasien tanpa sindroma koroner akut dan tidak menjalani PCI. Terapi clopidogrel
lebih dari satu tahun tidak memiliki keuntungan bermakna bahkan didapatkan adanya risiko
perdarahan yang lebih tinggi.6,12,13
Perdarahan perioperatif dengan terapi antiplatelet
Prediktor tunggal yang paling penting dari terjadinya ST adalah penghentian terapi
antiplatelet. Menyeimbangkan antara risiko ST dan risiko perdarahan berkaitan dengan agen
antiplatelet merupakan hal yang sangat penting. Efek dual antiplatelet therapy pada
perdarahan pembedahan paling banyak diteliti pada pasien dengan pembedahan jantung.
Banyak data yang mengatakan bahwa aspirin dosis rendah hanya menimbulkan risiko
perdarahan berlebihan yang rendah. Tetapi, penambahan tienopiridin pada aspirin akan
menyebabkan meningkatnya perdarahan, dilakukannya transfusi produk darah, pemasangan
ventilator, memanjangnya waktu perawatan dan eksplorasi bedah ulang pada pasien yang
tetap menggunakan tienopiridin. Pada uji klinis CURE disimpulkan bahwa ada peningkatan
1% dari perdarahan yang berlebihan pada pasien dengan penghentian clopidogrel < 5 hari
sebelum dilakukannya operasi coronary artery bypass graft. Dengan alasan ini, Guideline
ACC/AHA merekomendasikan bahwa pasien dengan clopidogrel yang direncanakan operasi
coronary artery bypass graft untuk menghentikan pemberian clopidogrel setidaknya 5 hari
sebelum operasi kecuali bila pada revaskularisasi urgen.6,14
Data mengenai operasi non jantung dan risiko perdarahan pembedahan pada pasien
dengan dual antiplatelet therapy masih terbatas dan hasilnya bertentangan. Pada meta analisis
yang dilakukan oleh Burger dkk pada studi yang melibatkan 49.590 pasien yang menjalani
pembedahan non jantung disimpulkan bahwa pasien dengan aspirin akan menyebabkan
peningkatan perdarahan sebanyak 1,5 kali. Tetapi peningkatan ini tidak menyebabkan
komplikasi perdarahan dengan derajat keparahan yang lebih tinggi atau perdarahan fatal
kecuali pada operasi intrakranial dan mungkin juga pada operasi prostatektomi transuretral.
Penghentian aspirin berkaitan dengan insiden vaskular jantung, otak, dan kejadian vaskular
perifer. Penghentian aspirin juga akan meningkatkan insiden kejadian jantung, otak dan
6
vaskuler perifer. Pada studi yang dilakukan oleh Payne dkk didapatkan peningkatan
perdarahan sebanyak 3,4 kali pada orang sehat yang diberikan kombinasi aspirin 150 mg dan
clopidogrel 75 mg. Sehingga pemberian dual antiplatelet therapy akan meningkatkan
perdarahan pembedahan.2,3,6
Beberapa laporan kasus menggambarkan perdarahan pasca operasi yang bermakna
dan bahkan fatal dengan penggunaan dual antiplatelet therapy setelah dilakukannya prosedur
vaskuler, ortopedi dan bahkan endoskopi. Tetapi beberapa studi melaporkan bahwa
peningkatan perdarahan pembedahan dan diperlukannya transfusi tidak akan mengubah
keluaran mortalitas dan pembedahan. Sehingga peningkatan risiko perdarahan perioperatif
dengan agen antiplatelet tidak harus berkaitan dengan peningkatan morbiditas, mortalitas
atau hasil keluaran dari pembedahan. Penghentian antiplatelet pada penggunaan DES akan
meningkatkan risiko ST dan MACE pada perioperatif. Sehingga risiko penghentian terapi
antiplatelet pada pasien dengan DES akan melampui risiko yang didapatkan jika terapi tetap
diberikan. Penghentian rutin antiplatelet perioperatif sebaiknya tidak dilakukan dan tiap
pasien harus diperlakukan secara individual kasus per kasus.3,6
Strategi tata laksana perioperatif pada pasien dengan DES
Studi prospektif dan guideline yang hanya sedikit meyebabkan luas pendekatan yang
dilakukan dalam tata laksana pasien dengan DES dan terapi antiplatelet. Tata laksana
perioperatif pasien dengan DES harus dilakukan kasus per kasus. Pendekatan dilakukan
dengan melibatkan multidisiplin oleh kardiologis, ahli bedah, hematologis, dan ahli anestesia.
Banyak faktor yang harus dipertimbangkan terutama risiko perdarahan akibat pembedahan
(Tabel 2) dan risiko trombotik dari DES (Tabel 1). Kemudian juga harus dilakukan perkiraan
risiko ST dibandingkan dengan risiko perdarahan (Gambar 1).6
Aspirin dan tienopiridin tetap diteruskan selama pembedahan. Sebagai
pendekatan umum, semua prosedur pembedahan harus ditunda minimal 6 bulan dan idealnya
12 bulan setelah pemasangan DES. Bila pembedahan tidak dapat ditunda dikarenakan adanya
urgensi, maka mempertahankan dual antiplatelet therapy dengan aspirin dan tienopiridin
merupakan sangat penting dikarenakan adanya risiko terjadinya ST yang sangat meningkat.
Hal ini juga berlaku pada hampir semua prosedur pembedahan kecuali pada prosedur bedah
yang perdarahan pada tempat tertutup akan menyebabkan bahaya seperti bedah intrakranial,
medula spinalis, dan ruang mata posterior. Risiko perdarahan juga meningkat pada reseksi
prostat transuretral tetapi hal ini dapat dihindari dengan menggunakan laser potassium-
titanyl-phosphate.6
7
Tabel 2. Risiko Perdarahan pada Pembedahan Non Jantung6
Risiko Perdarahan Bedah Perlu tidaknya transfusi Jenis Pembedahan
Rendah Biasanya tidak perlu Bedah pada perifer, plastik, dan umum; biopsi; bedah ortopedi minor, bedah otolaringologi dan umum; endoskopi; ruang mata anterior; ekstraksi dan bedah dental
Intermediat Sering diperlukan Bedah viseral; bedah kardiovaskuler; ortopedi mayor; otolaringologi, bedah rekonstruksi urologi
Tinggi Kemungkinan terjadi perdarahan dalam ruang tertutup
Bedah saraf intrakranial; bedah kanal spinal; bedah ruang posterior mata
Pasien yang menjalani prosedur bedah 12 bulan setelah PCI berada pada risiko rendah
untuk terjadinya ST dan MACE dibandingkan bila pembedahan dilakukan lebih cepat.
Namun, adanya laporan very late stent thrombosis (VLST) dan terjadinya endotelielisasi yang
tertunda pada pasien dengan DES maka risiko ST ini tetap bermakna. Sehingga,
mempertahankan dual antiplatelet therapy tetap menjadi prioritas jika risiko perdarahan
pembedahan dapat diterima. Berlawanan dengan hal ini jika faktor risiko bersamaan tidak ada
dan risiko perdarahan bermakna maka menghentikan tienopiridin dan meneruskan hanya
aspirin dapat diterima.6,7
Scottish Intercollegiate Guidelines Network (SIGN) menyatakan bahwa jika
pembedahan bukan jantung emergensi atau urgen diperlukan maka dual antiplatelet tetap
diteruskan jika memungkinkan kecuali jika risiko perdarahan tidak dapat diterima. Pada
kasus ini, terapi antiplatelet harus segera diberikan pasca operasi.6
Penghentian tienopiridin dan mempertahankan aspirin. Bila risiko perdarahan
perioperatif tinggi baik dikarenakan faktor pasien ataupun faktor pembedahan, maka
tienopiridin dapat dihentikan 5 hari sebelum operasi dan aspirin harus tetap diberikan. Namun
dikarenakan ST biasanya timbul segera setelah pasca operasi, maka clopidogrel harus dimulai
begitu risiko perdarahan telah tidak ada (idealnya dalam 24 jam) dengan dosis loading 300
mg hingga 600 mg.5,6
8
Gambar 1. Algoritme Tatalaksana Pasien dengan DES6
Mempertahankan terapi antiplatelet tunggal dengan aspirin juga berlaku pada pasien
tanpa risiko ST yang konkomitan dan menjalani pembedahan lebih dari 12 bulan setelah PCI.
Pada studi terbaru didapatkan bahwa penghentian jangka pendek terapi antiplatelet dianggap
aman jika aspirin tetap terus diberikan, walau risiko terjadinya ST masih ada. Sehingga, pada
kasus pembedahan yang awal atau adanya faktor risiko ST maka dianjurkan diberikan terapi
jembatan (“bridging”).6,15
“Bridging therapy” dengan aspirin dan heparin. Heparin biasanya digunakan
sebagai pengganti dari aspirin atau tienopiridin dikarenakan efikasinya dalam terapi angina
tidak stabil dan infark miokard non-ST elevasi. Namun, heparin merupakan agen anti trombin
bukan suatu antiplatelet. Penggunaan antitrombotik seperti unfractioned heparin (UFH) dan
low molecular weight heparin (LMWH) telah diajukan pada tata laksana DES perioperatif.
Namun, terapi ini tidak terbukti efektif. Bahkan penggunaan heparin perioperatif berkaitan
dengan angka mortalitas yang tinggi. Heparin dan warfarin tidak efektif dalam mencegah ST
akut dan subakut pada awal penggunaan BMS. Hiperkoagulasi setelah penghentian UFH
yang mendadak harus dipertimbangkan juga. ST merupakan proses yang dimediasi platelet
maka sebagai antitrombotik (UFH dan LMWH) bukan agen yang ideal untuk
“bridging”.6,16,17
“Bridging therapy” menggunakan aspirin dan suatu glycoprotein (GP) IIb/IIIa
inhibitor. GB IIb/IIIa adalah suatu integrin trombosit. Aktivasi trombosit akan mengubah
integrin ke dalam kondisi memiliki afinitas tinggi terhadap fibrinogen yang perlengketan
9
tahap akhir dari jalar umum dari agregarsi trombosit dan pembentukan bekuan darah (clot).
GP IIb/IIIa inhibitor bekerja dengan cara menghambat perlu yang dimediasi oleh fibrinogen
antara trombosit sehingga menghambat agregasi trombosit. Abxicimab menyebabkan
pemanjangan antagonisme GP IIb/IIIa yang ireversibel yang menyebabkan inhibisi agregasi
trombosit yang berlangsung setidaknya 48 jam hingga 7 hari. Dikarenakan waktu inhibisi
yang memanjang maka abxicimab tidak digunakan untuk perioperatif. Agen sintetis
eptifibatide dan tirofiban merupakan pengikat reseptor GP IIb/IIIa yang reversibel kompetitif
dan berdisosiasi secara cepat dibandingkan abxicimab. Waktu paruh agen ini cukup singkat
dan fungsi trombosit akan kembali sempurna dalam 2 hingga 4 jam setelah penghentian
pemberian secara infus. Sehingga agen ini cukup baik untuk digunakan pada
perioperatif.6,18,19
Walau GP IIb/IIIa inhibitor belum diteliti dalam keadaan perioperatif, tetapi
penggunaannya sebagai terapi jembatan ketika tienopiridin dihentikan sebelum operasi dapat
dipertimbangkan. Idealnya “jembatan” dimulai 2 hingga 4 hari setelah penghentian
antiplatelet oral. Ini berarti pasien harus menjalani rawat inap beberapa hari sebelum
dilakukan operasi. Walau strategi ini tidak begitu praktis tetapi cukup penting dilakukan pada
pasien yang menjalani operasi yang memiliki risiko tinggi terjadinya trombosis DES. Juga
bila pasien terlanjur dimasukkan untuk menjalani operasi urgen, maka terapi ini dapat
dipertimbangkan. Sehingga, pada pasien dengan DES yang memiliki risiko perdarahan
perioperatif yang meningkat dan risiko ST yang bermakna maka terapi jembatan
menggunakan aspirin dan GP IIb/IIIa inhibitor dengan dan tanpa heparin dapat menjadi
pertimbangan. Strategi meliputi dengan penghentian tienopiridin 5 hari sebelum operasi dan
pasien dimasukkan ke dalam rumah sakit beberapa hari sebelum operasi untuk memulai
pemberian tirofiban atau epifibatide dan infus UFH. Keduanya dihentikan 6 jam sebelum
operasi. Dan penting juga untuk mempertimbangkan risiko perdarahan. Strategi ini masih
dalam teori saja. Studi yang melaporkan strategi hanya ada satu yang melibatkan 7 pasien
denga risiko tinggi ST dan perdarahan pembedahan. Pada pasien ini dilakukan terapi
jembatan dengan eptifbatide dengan hasil keluaran pasca operasi yang baik tanpa
peningkatan perdarahan pasca operasi.6,18,19
Penghentian aspirin dan tienopiridin dan pertimbangan terapi lain. Jika risiko
perdarahan operasi akan jadi fatal atau berbahaya, seperti operasi intrakranial, medulla, dan
ruang posterior mata maka penghentian aspirin mungkin diperlukan. Pada kasus ini, aspirin
dan tienopiridin dapat dihentikan 5 hari sebelum operasi. Dikarenakan risiko ST akan
meningkat setelah penghentian agen antiplatelet maka pengawasan perioperatif intensif dan
10
intervensi dini adalah hal mutlak. Terapi dual antiplatelet harus dimulai begitu risiko
perdarahan sudah tidak ada.6
Pada pasien dengan faktor risiko ST konkomitan, maka terapi "jembatan" dengan GP
IIb/IIIa inhibitor dengan/tanpa heparin dapat dipertimbangkan. Berdasarkan rekomendasi
French Society of Anesthesiology and Intensive Care jika penghentian agen antiplatelet
diperlukan maka substitusi dari agen nonsteroidal anti-inflammatory drug (NSAID) seperti
flurbiprofen (50 mg x 2 yang dihentikan 24 jam sebelum operasi) atau LMWH (85 – 100 IU
aXa/kgBB per 12 jam) dapat diberikan.6
Penggunaan nonselective cyclooxygenase-1 inhibitor non-steroidal anti-inflammatory
drug seperti flurbiprofen, sulfinpyrozone, indobufen atau triflusal telah diteliti. Keuntungan
utama dari obat-obatan ini adalah efek antiplatelet yang reversibel dan fungsi trombosit
kembali normal dalam 24 jam setelah penghentian. Tetapi, uji klinis acak menunjukkan hasil
yang berlawanan. Walau efeknya pada perioperatif belum diketahui dengan baik, penggunaan
agen ini pada operasi risiko tinggi masih bisa dipertimbangkan.6,17
Pasien yang menjalani prosedur operasi12 bulan setelah PCI memiliki risiko ST
perioperatif yang rendah untuk terjadinya ST dan MACE bila dibandingkan pada operasi
yang dilakukan lebih awal. Tetapi, adanya laporan VLST dan tertundanya endotelialisasi
pada DES maka risiko ini masih bermakna. Sehingga mempertahankan dual antiplatelet
therapy masih lebih penting jika risiko perdarahan perioperatif dapat diterima. Bila faktor
risiko konkomitan tidak ada dan risiko perdarahan bermakna, maka penghentian tienopiridin
dengan tetap mempertahankan aspirin bisa dilakukan. Namun pada pasien dengan faktor
risiko ST menjalani prosedur dengan risiko perdarahan yang bermakna maka terapi
“jembatan” dapat dipertimbangkan.5,6
Tatalaksana Perdarahan Perioperatif
Pasien yang menjalani operasi harus memiliki jumlah trombosit sedikitnya 50.000/ml
untuk meminimalkan risiko perdarahan. Ambang batas jumlah trombosit untuk mengurangi
risiko perdarahan ini menjadi 100.000/ml pada pasien yang menjalani bedah saraf atau bedah
ruang mata posterior. Hemostasis memerlukan setidaknya 50% trombosit yang berfungsi.
Adanya efek antiplatelet ireversibel maka trombosit segar hanya satu-satunya cara untuk
mengembalikan ke kondisi koagulasi normal. Namun, trombosit baru juga dapat terpengaruh
oleh efek dari sisa obat yang bersirkulasi. Clopidogrel memiliki waktu paruh 8 jam.
Sehingga, pada kasus perdarahan mayor hemostasis dapat dikembalikan dengan transfusi
trombosit segar setelah 16 hingga 24 jam dari minum obat terakhir tanpa penghambatan yang
11
bermakna. Waktu paruh tirofiban dan eptifibatide sekitar 2 jam dan 60% hingga 90% fungsi
platelet akan kembali menjadi normal setelah 6 jam penghentian agen tersebut. Transfusi
trombosit segar sangat jarang diperlukan pada kasus itu.6
Transfusi 1 konsentrat trombosit biasanya meningkatkan jumlah trombosit hingga
5000/ml – 10.000/ml setelah 1 jam transfusi pada dewasa dengan berat badan 70 kg. Namun,
beberapa faktor risiko berperan dalam respon terhadap transfusi trombosit. Tindakan suportif
lainnya adalah penggantian darah yang hilang dengan transfusi sel darah merah atau produk
darah lainnya seperti cryoprecipitate, fresh frozen plasma, recombinant factor VII dan
desmopressin.6
Tatalaksana ST pasca operasi
ST sering terjadi dalam bentuk STEMI maka tindakan yang paling tepat adalah terapi
reperfusi segera. Terapi trombolitik pada pasca operasi tidak mungkin dilakukan, dikarenakan
akan ada risiko perdarahan masif. Terapi trombolitik juga kurang efektif bila dibanding
dengan intervensi perkutan primer dan bisa jadi lebih tidak efektif pada kasus ST yang
merupakan suatu kondisi dimediasi trombosit. Sehingga intervensi perkutan primer
merupakan terapi terpilih untuk ST perioperatif. Pasien dengan risiko tinggi terjadinya ST
baik karena penghentian dual antiplatelet therapy atau adanya faktor risiko konkomitan harus
diawasi secara ketat pasca operasi hingga dual antiplatelet therapy dapat dimulai kembali.6
Antiplatelet baru
Berbagai antiplatelet baru diharapkan akan tersedia dalam waktu dekat ini. Data yang
ada saat ini menunjukkan bahwa obat baru ini dapat memfasilitasi tatalaksana perioperatif
pada pasien dengan DES dan kemungkinan mengubah pendekatan tatalaksana yang ada saat
ini.
Prasugrel merupakan tienopiridin oral baru dalam bentuk prodrug yang
dimetabolisme melalui cytochrome P450 dalam hati. Prasugrel telah disetujui oleh FDA
untuk penggunaannya pada PCI. Prasugrel mirip dengan clopidogrel yang berikatan secara
selektif dan ireversibel dengan reseptor trombosit P2Y12. Namun, prasugrel memiliki
kemampuan inhibisi trombosit yang lebih cepat, poten dan konsisten dengan dosis loading 60
mg. Uji klinis TRITON-TIMI 38 (TRial to Assess Improvement in Therapeutic Outcomes by
Optimizing Platelet InhibitioN with Prasugrel-Thrombolysis In Myocardial Infarction 38)
membandingkan penggunaan clopidogrel dengan dosis loading 300 mg dilanjutkan 75
mg/hari dengan prasugrel dosis loading 60 mg dilanjutkan 10 mg/hari pada sindroma koroner
12
akut. Pada uji klinisi ini didapatkan penurunan kejadian iskemia yang bermakna. Insidensi ST
menurun dari 2,4% pada clopidogrel menjadi 1,1% pada prasugrel. Namun, terdapat
peningkatan risiko perdarahan termasuk perdarahan yang fatal. Pada uji klinis PRINCIPLE-
TIMI 44 (Prasugrel In Comparison to Clopidogrel for Inhibition of Platelet Activation and
Aggregation-Thrombolysis In Myocardial Infarction 44) penggunaan prasugrel dengan dosis
loading 60 mg dan dosis harian 10 mg didapatkan inhibisi fungsi trombosit yang lebih tinggi
dibandingkan dengan dosis loading clopidogrel yang lebih tinggi yaitu 600 mg dan dosis
harian 150 mg pada pasien yang menjalani PCI. Namun, frekuensi perdarahan cenderung
lebih banyak pada prasugrel. Walau sepertinya prasugrel lebih efektif pada pasien dengan
sindroma koroner akut yang menjalani PCI tetapi penggunaan pada perioperatif terbatas
dikarenakan adanya peningkatan risiko perdarahan dan inhibisi trombosit yang ireversibel.
Prasugrel berpotensial untuk digunakan pasca operasi dikarenakan inhibisi trombositnya
ceoat terjadi dan poten.6,15,20
Ticagrelor (AZD6140) juga merupakan antagonis reseptor P2Y12 adenosine
diphosphate yang diberikan secara oral. Tidak seperti clopidogrel, ticlopidine dan prasugrel,
ticagrelor adalah analog adenosine triphosphate nontienopiridin yang berikatan secara
langsung dengan reseptor P2Y12 dan reversibel tanpa aktivasi metabolik. Pada studi
didapatkan bahwa ticagrelor memiliki inhibisi agregasi trombosit yang lebih tinggi
dibandingkan dengan clopidogrel. Inhibisi puncak diamati pada 2 hingga 4 jam setelah
pemberian satu dosis ticagrelor. Hal ini ditunjukkan pada uji fase 2 DISPERSE-2 (Dose
Confirmation Study assessing anti-Platelet Effects of AZD6140 vs clopidogRel in non-ST-
segment Elevation myocardial infarction) yaitu adanya rerata inhibisi agregasi trombosit yang
lebih tinggi dibanding dengan clopidogrel. Pada uji klinis fase 3PLATO (PLATelt inhibition
and patient Outcomes) didapatkan reduksi bermakna pada kejadian MACE dengan ticagrelor
dibandingkan dengan clopidogrel. Kejadian ST pada pemberian ticagrelor menurun 2,9%
dibandingkan dengan clopidogrel sebesar 3,8%. Dan tidak ada perbedaan bermakna pada
angka kejadian perdarahan mayor pada kedua obat. Keuntungan utama penggunaan ticagrelor
pada perioperatif adalah reversibilatasnya, waktu paruhnya yang singkat (6 hingga 13 jam)
dan waktu onset yang cepat. Pasien dengan DES dapat menghentikan ticagrelor 1 hari
sebelum operasi dan dapat dimulai segera setelah pembedahan selesai sehingga dapat
menghilangkan risiko ST maupun perdarahan.6,19,20
Cangrelor juga merupakan obat baru antagonis reseptor P2Y12 yang reversibel yang
diberikan secara intravena. Sama dengan ticagrelor, cangrelor tidak memerlukan aktivasi
metabolik. Studi fase 2 menunjukkan onset yang cepat dan inhibisi trombosit yang lebih
13
tinggi dibandingkan dengan clopidogrel. Dibandingkan dengan abxicimad, insidensi
terjadinya kejadian jantung sama pada keduanya dan agregasi trombosit kembali ke normal
lebih cepat setelah penghentian infus cangrelor. Uji klinis CHAMPION (Cangrelor Versus
Standard Therapy to Achieve Optimal Management of Platelet Inhibition) fase 3 dihentikan
akibat gagal untuk mencapai titik akhir dari efikasi. Namun, uji BRIDGE (Maintenance of
Platelet inhiBition With CangRelor After dIscontinuation of ThienopyriDines in Patients
Undergoing surGEry) masih dalam tahap pengerjaan untuk menilai keamanan pada
“jembatan” pada pasien perioperatif. Cangrelor memiliki onset yang cepat, reversibel dan
waktu paruh 3 menit sehingga berpotensi untuk menjadi terapi “jembatan” pada pasien
perioperatif. Namun, sama dengan GP IIb/IIIa inhibitor sebagai “jembatan” maka pasien
memerlukan perawatan di rumah sakit terlebih dahulu sebelum operasi untuk memulai
pemberian obat secara infus. Pada kasus ini, cangrelor dapat dihentikan beberapa menit
sebelum prosedur dan dapat dimulai kembali lebih cepat dibandingkan dengan agen
antiplatelet lain. Bahkan mempertahankan infus cangrelor selama operasi dapat
dimungkinkan bila ada indikasi.6,20
PRT060128 merupakan agen yang masih dalam tahap penelitian, bekerja langsung,
antagonis reseptor P2Y12 yang reversibel yang dapat diberikan secara oral maupun intravena.
Berbagai agen antiplatelet baru lainnya seperti protease-activated receptor-1 antagonist
E5555, thrombin receptor antagonist seperti SCH-530348 dan thromboxane inhibitor baru
seperti NCX-4016 yang kesemuanya masih dalam tahap penelitian. Oleh karena itu,
tatalaksana pasien dengan DES kemungkinan besar akan berubah dengan adanya agen
antiplatelet baru ini.6,8,21
Kesimpulan
Tatalaksana pasien DES pada perioperatif merupakan isu besar. Mempertahankan dual
antiplatelet therapy tetap menjadi usaha dalam mencegah ST. Pada kasus dengan risiko
perdarahan yang tinggi maka mempertahankan terapi antiplatelet tunggal jangka pendek
dengan aspirin berkaitan dengan risiko rendah terjadinya ST. Jika aspirin harus dihentikan
maka ada beberapa strategi tatalaksana dapat dipertimbangkan walau hanya ada sedikit data
yang mendukung strategi ini. Pengawasan intensif pasca operatif dan intervensi segera harus
dilakukan bila terjadi stent thrombosis. Dengan studi-studi terbaru akan memberikan
informasi tambahan sehingga dapat membantu terbentuknya guideline. Dikeluarkannya agen
antiplatelet baru yang reversibel dapat mengubah strategi yang ada saat ini membuat
tatalaksana perioperatif pada pasien dengan DES menjadi tugas yang lebih sederhana.
14
Daftar Pustaka
1. Chatriwalla AK, Bhatt DL. Dual Antiplatelet Therapy After Drug-Eluting Stents Should Be
Continued for More Than One Year and Preferably Indefinitely. CircCardiovascIntervent
2008;1:217-225
2. Mollmann H, Nef HM, Hamm CW. Antiplatelet therapy during surgery. Heart 2010;96:986-
991
3. Van de Werf F. Dual antiplatelet therapy in high-risk patients. European Heart Journal
Supplements 2007;9:D3-D9
4. Chen T, Matyal R. The Management of Antiplatelet Therapy in Patients With Coronay Stents
Undergoing Noncardiac Surgery. Seminars in Cardiothoracic and Vascular Anesthesia
2010;14(4) 256-273
5. Albaladejo P, Marret E, Samama C, Collet J, Abhay K, Loutrel O. Non-cardiac Surgery in
Patients With Coronary Stents: The RECO study. Heart 2011;97 (19)1566-72
6. Abualsaud AO, Eisenberg MJ. Perioperative Management of Patients With Drug-Eluting
Stents. J Am CollCardiolIntv 2010;3:131-42
7. Bhatt SH, Hauser TH. Very Late Stent Thrombosis After Dual Antiplatelet Therapy
Discontinuation in a Patient with History of Acute Stent Thrombosis. Ann Pharmacother
2008;42:708-12
8. Wallentin L. Dual antiplatelet therapy in the drug-eluting stent era. European Heart Journal
Supplements 2008;10:D38-D44
9. Kandzari DE, Angiolillo DJ, Price MJ, Teirstein PS. Identifying the “Optimal” Duration of
Dual Antiplatelet Therapy After Drug-Eluting Stent Revascularization. J Am CollCardiolIntv
2009;2:1279-85
10. Desai NR, Bhat DL. The State of Periprocedural Antiplatelet Therapy After Recent Trials. J
Am CollCardiolIntv 2010;3:571-83
11. Raymond C, Menon V. Dual antiplatelet therapy in coronary artery disease: A case-based
approach. Cleveland Clinic Journal of Medicine 2009;76(11):663-670
12. Bakhru MR, Bhatt DL. What is the role of dual antiplatelet therapy with clopidorel and
aspirin? Cleveland Clinic Journal of Medicine 2008;75(4):289-295
13. Wang TH, Bhatt DL, Fox KAA, Steinhubl SR, Brennan DM, Hacke W, et al. An analysis of
mortality rates with dual-antiplatelet therapy in the primary prevention population of the
CHARISMA trial. European Heart Journal 2007;28:2200-2207
14. Bertrand ME. When and how to discontinue antiplatelet therapy. European Heart Journal
Supplement 2008;10:A35-A41
15. Mahla E, Metzler H, Tantry US, Gurbel PA. Controversies in Oral Antiplatelet Therapy in
Patients Undergoing Aortocoronary Bypass Surgery. Ann ThoracSurg 2010;90:1040-51
16. Jaffer AK. Perioperative management of warfarin and antiplatelet therapy. Cleveland Clinic
Journal of Medicine 2009;76(11):S37-S44
17. Collet JP, Montalescot G. Premature withdrawal and alternative therapies to dual oral
antiplatelet therapy. European Heart Journal Supplements 2006;8:G46-G52
18. Rasoul S et al. A Comparison of Dual vs triple antiplatelet therapy in patients with non-ST
segments elevation acute coronary syndrome: results of the ELISA-2 trial. European Heart
Journal 2006;27:1401-1407
19. O’Riordan JM, Margey RJ, Blake G, O’Connell PR. Antiplatelet Agents in the Perioperative
Period. Arch Surg 2009;144(1):69-76
20. Behan MW, Chew DP, Aylward PE. The role of antiplatelet therapy in the secondary
prevention of coronary artery disease. CurrOpinCardiol 2010;25:321-328
21. Wong YW, Prakash R, Chew DP. Antiplatelet therapy in percutaneous coronary intervention:
Recent advances in oral antiplatelet agents. CurrOpinCardiol 2010;25:305-311