535 Mengenal Ikterus Neonatorum

Embed Size (px)

Citation preview

  • 8/18/2019 535 Mengenal Ikterus Neonatorum

    1/6

    Main Menu

    Home

    Penyakit Jantung

    Makanan dan Gizi

    Kesehatan Kulit

    Seksualitas

    Anak-anak

    Artikel Kesehatan

    Diabetes

    Kanker

    Komputer

    Peluang Usaha

    Yang Unik & Berkhasiat

    Artikel Lainnya

    Pencarian

    Ketik & Enter

    Artikel Terbaru

    PenatalaksanaanKardiomiopati Peripartum

    Probiotik sebagai

    Profilaksis Vesicoureteral

    Reflux (VUR) pada Anak

    Minuman Alami Pereda

    Nyeri Pasca Latihan

    Terapi Nimodipine untuk

    Paralisis Pita Suara

    Suplemen untuk Alopesia

    Ekstrak Teh Hijau dapat

    Menurunkan Kadar Asam

    Urat

    Empat Tanda Sistem

    Kekebalan Tubuh Anak

    Bekerja Baik

    Sembilan Cara Bersihkan

    Tubuh dari Efek BurukMakanan Saat Lebaran

    Waspada Makan Berlebih

    Setelah Lebaran

    Sekilas Mengenal

    Penyakit Glaukoma

    Rokok Picu Munculnya

    Uban, Rambut Rontok

    dan Kebotakan

    Tepung Tempe sebagaiBahan Pan an

    Penyakit Menular

    Seksual dan HIV /

    AIDS

    Transfusi Darah pada

    Anak

    Cacingan Turunkan

    Kualitas Hidu ,

    Tiga Jenis Utama

    Gangguan Pada

    Jantung

    Penyakit Jantung Yang

    Sering Terdapat Pada

    Lansia

    Sembilan Obat Alami

    Most Read Articles

    Manfaat dan Bahaya Seks

    Ketika Hamil

    Gangguan yang sering

    terjadi pada Sistem

    Ekskresi

    Khasiat Buah Mahkota

    Dewa

    5 Macam Penyakit Akibat

    Pencemaran Partikel

    Debu di Udara

    Kelainan dan Penyakit

    pada Sistem Pernafasan

    Manusia

    Mengenal 6 Macam

    Gangguan Kulit Non

    Kanker

    Penilaian Hasil

    Pemeriksaan Urine

    Khasiat Pisang untuk

    Pengobatan

    Ciuman, Manfaat dan

    Kerugiannya

    Sepuluh Jenis Batuk pada

    Anak

    Random Artikel

     Anak-anak 

    Mengenal Ikterus Neonatorum

    Angka kematian bayi (AKB) di

    Indonesia, pada tahun 1997

    tercatat sebanyak 41,4 per

    1000 kelahiran hidup. Dalam

    upaya mewujudkan visi

    “Indonesia Sehat 2010”,

    maka salah satu tolok ukur

    adalah menurunnya angka

    mortalitas dan morbiditas

    neonatus, dengan proyeksi

    pada tahun 2025 AKB dapat

    turun menjadi 18 per 1000

    kelahiran hidup. Salah satu

    penyebab mortalitas pada

    bayi baru lahir adalahensefalopati bilirubin (lebih

    dikenal sebagai kernikterus). Ensefalopati bilirubin merupakan komplikasi

    ikterus neonatorum yang paling berat. Selain memiliki angka mortalitas yang

    tinggi, juga dapat menyebabkan gejala sisa berupa cerebral palsy, tuli nada

    tinggi, paralisis dan displasia dental yang sangat mempengaruhi kualitas hidup.

    Ikterus neonatorum merupakan fenomena biologis yang timbul akibat tingginya

    produksi dan rendahnya ekskresi bilirubin selama masa transisi pada neonatus.

    Pada neonatus produksi bilirubin 2 sampai 3 kali lebih tinggi dibanding orang

    dewasa normal. Hal ini dapat terjadi karena jumlah eritosit pada neonatus lebih

    banyak dan usianya lebih pendek.

    Banyak bayi baru lahir, terutama bayi kecil (bayi dengan berat lahir < 2500 g

    atau usia gestasi 13 mg/dL.

    Pada bayi baru lahir, ikterus yang terjadi pada umumnya adalah fisiologis,

    kecuali:

    Timbul dalam 24 jam pertama kehidupan.

    Bilirubin total/indirek untuk bayi cukup bulan > 13 mg/dL atau bayi kurang

    bulan >10 mg/dL.

    Peningkatan bilirubin > 5 mg/dL/24 jam.

    Kadar bilirubin direk > 2 mg/dL.

    Ikterus menetap pada usia >2 minggu.

    Terdapat faktor risiko.

    Efek toksik bilirubin ialah neurotoksik dan kerusakan sel secara umum. Bilirubin

    dapat masuk ke jaringan otak. Ensefalopati bilirubin adalah terdapatnya

    tanda-tanda klinis akibat deposit bilirubin dalam sel otak. Kelainan ini dapat

    terjadi dalam bentuk akut atau kronik. Bentuk akut terdiri atas 3 tahap; tahap 1

    (1-2 hari pertama): refleks isap lemah, hipotonia, kejang; tahap 2 (pertengahan

    minggu pertama): tangis melengking, hipertonia, epistotonus; tahap 3 (setelah

    minggu pertama): hipertoni. Bentuk kronik: pada tahun pertama: hipotoni,motorik terlambat. Sedang setelah tahun pertama didapati gangguan gerakan,

    kehilangan pendengaran sensorial.

    B. Epidemiologi

    Di Amerika Serikat, dari 4 juta bayi yang lahir setiap tahunnya, sekitar 65%

    mengalami ikterus. Sensus yang dilakukan pemerintah Malaysia pada tahun

    1998 menemukan sekitar 75% bayi baru lahir mengalami ikterus pada minggu

    pertama.

    Di Indonesia, didapatkan data ikterus neonatorum dari beberapa rumah sakit

    pendidikan. Sebuah studi cross-sectional yang dilakukan di Rumah Sakit Umum

    Pusat Rujukan Nasional Cipto Mangunkusumo selama tahun 2003, menemukan

    prevalensi ikterus pada bayi baru lahir sebesar 58% untuk kadar bilirubin di

    atas 5 mg/dL dan 29,3% dengan kadar bilirubin di atas 12 mg/dL pada minggu

    pertama kehidupan. RS Dr. Sardjito melaporkan sebanyak 85% bayi cukup

    bulan sehat mempunyai kadar bilirubin di atas 5 mg/dL dan 23,8% memilikikadar bilirubin di atas 13 mg/dL. Pemeriksaan dilakukan pada hari 0, 3 dan 5.

    Dengan pemeriksaan kadar bilirubin setiap hari, didapatkan ikterus dan

    hiperbilirubinemia terjadi pada 82% dan 18,6% bayi cukup bulan. Sedangkan

    pada bayi kurang bulan, dilaporkan ikterus dan hiperbilirubinemia ditemukan

    pada 95% dan 56% bayi. Tahun 2003 terdapat sebanyak 128 kematian

  • 8/18/2019 535 Mengenal Ikterus Neonatorum

    2/6

    neonatal (8,5%) dari 1509 neonatus yang dirawat dengan 24% kematian

    terkait hiperbilirubinemia.

    Data yang agak berbeda didapatkan dari RS Dr. Kariadi Semarang, di mana

    insidens ikterus pada tahun 2003 hanya sebesar 13,7%, 78% di antaranya

    merupakan ikterus fisiologis dan sisanya ikterus patologis. Angka kematian

    terkait hiperbilirubinemia sebesar 13,1%. Didapatkan juga data insidens ikterus

    pada bayi cukup bulan sebesar 12,0% dan bayi kurang bulan 22,8%.

    Insidens ikterus neonatorum di RS Dr. Soetomo Surabaya sebesar 30% pada

    tahun 2000 dan 13% pada tahun 2002. Perbedaan angka yang cukup besar ini

    mungkin disebabkan oleh cara pengukuran yang berbeda. Di RS Dr. CiptoMangunkusumo ikterus dinilai berdasarkan kadar bilirubin serum total > 5

    mg/dL; RS Dr. Sardjito menggunakan metode spektrofotometrik pada hari ke-0,

    3 dan 5 ;dan RS Dr. Kariadi menilai ikterus berdasarkan metode visual.

    C. Etiologi dan Faktor Risiko

    1. Etiologi

    Peningkatan kadar bilirubin umum terjadi pada setiap bayi baru lahir, karena:

    Hemolisis yang disebabkan oleh jumlah sel darah merah lebih banyak dan

    berumur lebih pendek.

    Fungsi hepar yang belum sempurna (jumlah dan fungsi enzim glukuronil

    transferase, UDPG/T dan ligand dalam protein belum adekuat) -> penurunan

    ambilan bilirubin oleh hepatosit dan konjugasi.

    Sirkulus enterohepatikus meningkat karena masih berfungsinya enzim ->

    glukuronidase di usus dan belum ada nutrien.

    Peningkatan kadar bilirubin yang berlebihan (ikterus nonfisiologis) dapat

    disebabkan oleh faktor/keadaan:

    Hemolisis akibat inkompatibilitas ABO atau isoimunisasi Rhesus, defisiensi

    G6PD, sferositosis herediter dan pengaruh obat.

    Infeksi, septikemia, sepsis, meningitis, infeksi saluran kemih, infeksi intra

    uterin.

    Polisitemia.

    Ekstravasasi sel darah merah, sefalhematom, kontusio, trauma lahir.

    Ibu diabetes.

    Asidosis.

    Hipoksia/asfiksia.

    Sumbatan traktus digestif yang mengakibatkan peningkatan sirkulasi

    enterohepatik.

    2. Faktor Risiko

    Faktor risiko untuk timbulnya ikterus neonatorum:

    a. Faktor Maternal

    Ras atau kelompok etnik tertentu (Asia, Native American,Yunani)

    Komplikasi kehamilan (DM, inkompatibilitas ABO dan Rh)

    Penggunaan infus oksitosin dalam larutan hipotonik.

    ASI

    b. Faktor Perinatal

    Trauma lahir (sefalhematom, ekimosis)

    Infeksi (bakteri, virus, protozoa)

    c. Faktor Neonatus

    Prematuritas

    Faktor genetik

    Polisitemia

    Obat (streptomisin, kloramfenikol, benzyl-alkohol, sulfisoxazol)

    Rendahnya asupan ASI

    Hipoglikemia

    Hipoalbuminemia

    D. Patofisiologi

    Bilirubin pada neonatus meningkat akibat terjadinya pemecahan eritrosit.

    Bilirubin mulai meningkat secara normal setelah 24 jam, dan puncaknya pada

    hari ke 3-5. Setelah itu perlahan-lahan akan menurun mendekati nilai normal

    dalam beberapa minggu.

    1. Ikterus fisiologis

    Secara umum, setiap neonatus mengalami peningkatan konsentrasi bilirubin

    serum, namun kurang 12 mg/dL pada hari ketiga hidupnya dipertimbangkan

    sebagai ikterus fisiologis. Pola ikterus fisiologis pada bayi baru lahir sebagai

    berikut: kadar bilirubin serum total biasanya mencapai puncak pada hari ke 3-5

    kehidupan dengan kadar 5-6 mg/dL, kemudian menurun kembali dalam minggu

    pertama setelah lahir. Kadang dapat muncul peningkatan kadar bilirubin sampai

    12 mg/dL dengan bilirubin terkonyugasi < 2 mg/dL.

    Pola ikterus fisiologis ini bervariasi sesuai prematuritas, ras, dan faktor-faktor

    lain. Sebagai contoh, bayi prematur akan memiliki puncak bilirubin maksimum

     yang lebih tinggi pada hari ke-6 kehidupan dan berlangsung lebih lama, kadang

    sampai beberapa minggu. Bayi ras Cina cenderung untuk memiliki kadar

    puncak bilirubin maksimum pada hari ke-4 dan 5 setelah lahir. Faktor yang

    berperan pada munculnya ikterus fisiologis pada bayi baru lahir meliputi

    peningkatan bilirubin karena polisitemia relatif, pemendekan masa hidup

    eritrosit (pada bayi 80 hari dibandingkan dewasa 120 hari), proses ambilan dan

    konyugasi di hepar yang belum matur dan peningkatan sirkulasi enterohepatik.

    Gambar berikut menunjukan metabolisme pemecahan hemoglobin dan

    pembentukan bilirubin.

  • 8/18/2019 535 Mengenal Ikterus Neonatorum

    3/6

    2. Ikterus pada bayi mendapat ASI (Breast milk jaundice)

    Pada sebagian bayi yang mendapat ASI eksklusif, dapat terjadi ikterus yang

     yang berkepanjangan. Hal ini dapat terjadi karena adanya faktor tertentu dalam

    ASI yang diduga meningkatkan absorbsi bilirubin di usus halus. Bila tidak

    ditemukan faktor risiko lain, ibu tidak perlu khawatir, ASI tidak perlu dihentikan

    dan frekuensi ditambah.

    Apabila keadaan umum bayi baik, aktif, minum kuat, tidak ada tata laksana

    khusus meskipun ada peningkatan kadar bilirubin.

    E. Penegakan Diagnosis

    1. Visual

    Metode visual memiliki angka kesalahan yang tinggi, namun masih dapat

    digunakan apabila tidak ada alat. Pemeriksaan ini sulit diterapkan pada

    neonatus kulit berwarna, karena besarnya bias penilaian. Secara evidence

    pemeriksaan metode visual tidak direkomendasikan, namun apabila terdapat

    keterbatasan alat masih boleh digunakan untuk tujuan skrining dan bayi dengan

    skrining positif segera dirujuk untuk diagnostik dan tata laksana lebih lanjut.

    WHO dalam panduannya menerangkan cara menentukan ikterus secara visual,

    sebagai berikut:

    Pemeriksaan dilakukan dengan pencahayaan yang cukup (di siang hari

    dengan cahaya matahari) karena ikterus bisa terlihat lebih parah bila dilihat

    dengan pencahayaan buatan dan bisa tidak terlihat pada pencahayaan yang

    kurang.

    Tekan kulit bayi dengan lembut dengan jari untuk mengetahui warna di

    bawah kulit dan jaringan subkutan.

    Tentukan keparahan ikterus berdasarkan umur bayi dan bagian tubuh yangtampak kuning. (tabel 1)

    2. Bilirubin Serum

    Pemeriksaan bilirubin serum merupakan baku emas penegakan diagnosis

    ikterus neonatorum serta untuk menentukan perlunya intervensi lebih lanjut.

    Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam pelaksanaan pemeriksaan

    serum bilirubin adalah tindakan ini merupakan tindakan invasif yang dianggap

    dapat meningkatkan morbiditas neonatus. Umumnya yang diperiksa adalah

    bilirubin total. Sampel serum harus dilindungi dari cahaya (dengan aluminium

    foil)

    Beberapa senter menyarankan pemeriksaan bilirubin direk, bila kadar bilirubin

    total > 20 mg/dL atau usia bayi > 2 minggu.

    3. Bilirubinometer Transkutan

    Bilirubinometer adalah instrumen spektrofotometrik yang bekerja dengan

    prinsip memanfaatkan bilirubin yang menyerap cahaya dengan panjang

    gelombang 450 nm. Cahaya yang dipantulkan merupakan representasi warna

    kulit neonatus yang sedang diperiksa.

    Pemeriksaan bilirubin transkutan (TcB) dahulu menggunakan alat yang amat

    dipengaruhi pigmen kulit. Saat ini, alat yang dipakai menggunakan

    multiwavelength spectral reflectance yang tidak terpengaruh pigmen.

    Pemeriksaan bilirubin transkutan dilakukan untuk tujuan skrining, bukan untuk

    diagnosis.

    Briscoe dkk. (2002) melakukan sebuah studi observasional prospektif untuk

    mengetahui akurasi pemeriksaan bilirubin transkutan (JM 102) dibandingkan

    dengan pemeriksaan bilirubin serum (metode standar diazo). Penelitian ini

    dilakukan di Inggris, melibatkan 303 bayi baru lahir dengan usia gestasi >34

    minggu. Pada penelitian ini hiperbilirubinemia dibatasi pada konsentrasibilirubin serum >14.4 mg/dL (249 umol/l). Dari penelitian ini didapatkan

    bahwa pemeriksaan TcB dan Total Serum Bilirubin (TSB) memiliki korelasi yang

    bermakna (n=303, r=0.76, p

  • 8/18/2019 535 Mengenal Ikterus Neonatorum

    4/6

    menjadi substansi tidak berwarna. Dengan pendekatan bilirubin bebas, tata

    laksana ikterus neonatorum akan lebih terarah.

    Seperti telah diketahui bahwa pada pemecahan heme dihasilkan bilirubin dan

    gas CO dalam jumlah yang ekuivalen. Berdasarkan hal ini, maka pengukuran

    konsentrasi CO yang dikeluarkan melalui pernapasan dapat digunakan sebagai

    indeks produksi bilirubin.

    Tabel 1. Perkiraan Klinis Tingkat Keparahan Ikterus

    Usia Kuning terlihat pada Tingkat keparahan ikterus

    Hari 1

    Hari 2

    Hari 3

    Bagian tubuh manapun

    Tengan dan tungkai *

    Tangan dan kaki

    Berat

    * Bila kuning terlihat pada bagian tubuh manapun pada hari pertama dan

    terlihat pada lengan, tungkai, tangan dan kaki pada hari kedua, maka

    digolongkan sebagai ikterus sangat berat dan memerlukan terapi sinar

    secepatnya. Tidak perlu menunggu hasil pemeriksaan kadar bilirubin serum

    untuk memulai terapi sinar.

    F. Tata laksana

    1. Ikterus Fisiologis

    Bayi sehat, tanpa faktor risiko, tidak diterapi. Perlu diingat bahwa pada bayi

    sehat, aktif, minum kuat, cukup bulan, pada kadar bilirubin tinggi, kemungkinan

    terjadinya kernikterus sangat kecil. Untuk mengatasi ikterus pada bayi yangsehat, dapat dilakukan beberapa cara berikut:

    Minum ASI dini dan sering

    Terapi sinar, sesuai dengan panduan WHO

    Pada bayi yang pulang sebelum 48 jam, diperlukan pemeriksaan ulang dan

    kontrol lebih cepat (terutama bila tampak kuning).

    Bilirubin serum total 24 jam pertama > 4,5 mg/dL dapat digunakan sebagai

    faktor prediksi hiperbilirubinemia pada bayi cukup bulan sehat pada minggu

    pertama kehidupannya. Hal ini kurang dapat diterapkan di Indonesia karena

    tidak praktis dan membutuhkan biaya yang cukup besar.

    Tata laksana Awal Ikterus Neonatorum (WHO)

    Mulai terapi sinar bila ikterus diklasifikasikan sebagai ikterus berat.

    Tentukan apakah bayi memiliki faktor risiko berikut: berat lahir < 2,5 kg, lahir

    sebelum usia kehamilan 37 minggu, hemolisis atau sepsisAmbil contoh darah dan periksa kadar bilirubin serum dan hemoglobin,

    tentukan golongan darah bayi dan lakukan tes Coombs:

    Bila kadar bilirubin serum di bawah nilai 

    dibutuhkannya terapi sinar, hentikan terapi sinar.

    Bila kadar bilirubin serum berada pada atau di atas

    nilai dibutuhkannya terapi sinar, lakukan terapi sinar 

    Bila faktor Rhesus dan golongan darah ABO bukan

    merupakan penyebab hemolisis atau bila ada

    riwayat defisiensi G6PD di keluarga, lakukan uji 

    saring G6PD bila memungkinkan.

    Tentukan diagnosis banding

    2. Tata laksana Hiperbilirubinemia

    Hemolitik

    Paling sering disebabkan oleh inkompatibilitas faktor Rhesus atau golongan

    darah ABO antara bayi dan ibu atau adanya defisiensi G6PD pada bayi. Tata

    laksana untuk keadaan ini berlaku untuk semua ikterus hemolitik, apapun

    penyebabnya.

    Bila nilai bil irubin serum memenuhi kriteria untuk dilakukannya terapi sinar,

    lakukan terapi sinar.

    Bila rujukan untuk dilakukan transfusi tukar memungkinkan:

    Bila bilirubin serum mendekati nilai dibutuhkannya

    transfusi tukar, kadar hemoglobin < 13 g/dL

    (hematokrit < 40%) dan tes Coombs positif, segera

    rujuk bayi.

    Bila bilirubin serum tidak bisa diperiksa dan tidak 

    memungkinkan untuk dilakukan tes Coombs, segera

    rujuk bayi bila ikterus telah terlihat sejak hari 1 dan

    hemoglobin < 13 g/dL (hematokrit < 40%).

    Bila bayi dirujuk untuk transfusi tukar:

  • 8/18/2019 535 Mengenal Ikterus Neonatorum

    5/6

    Persiapkan transfer.

    Segera kirim bayi ke rumah sakit tersier atau

    senter dengan fasilitas transfusi tukar.

    Kirim contoh darah ibu dan bayi.

     Jelaskan kepada ibu tentang penyebab bayi 

    menjadi kuning, mengapa perlu dirujuk dan terapi 

    apa yang akan diterima bayi.

    Nasihati ibu:

    Bila penyebab ikterus adalah inkompatibilitas

    Rhesus, pastikan ibu mendapatkan informasi yang

    cukup mengenai hal ini karena berhubungan dengan

    kehamilan berikutnya.

    Bila bayi memiliki defisiensi G6PD, informasikan

    kepada ibu untuk menghindari zat-zat tertentu untuk 

    mencegah terjadinya hemolisis pada bayi (contoh:

    obat antimalaria, obat-obatan golongan sulfa,

    aspirin, kamfer/mothballs, favabeans).

    Bila hemoglobin < 10 g/dL (hematokrit < 30%),berikan transfusi darah.

    Bila ikterus menetap selama 2 minggu atau lebih

     pada bayi cukup bulan atau 3 minggu lebih lama

     pada bayi kecil (berat lahir < 2,5 kg atau lahir 

    sebelum kehamilan 37 minggu), terapi sebagai 

    ikterus berkepanjangan (prolonged jaundice).

    Follow up setelah kepulangan, periksa kadar 

    hemoglobin setiap minggu selama 4 minggu. Bila

    hemoglobin < 8 g/dL (hematokrit < 24%), berikan

    transfusi darah.

    Ikterus Berkepanjangan (Prolonged Jaundice)

    Diagnosis ditegakkan apabila ikterus menetap hingga 2 minggu pada

    neonatus cukup bulan, dan 3 minggu pada neonatus kurang bulan.

    Terapi sinar dihentikan, dan lakukan pemeriksaan penunjang untuk mencari

    penyebab.

    Bila buang air besar bayi pucat atau urin berwarna gelap, persiapkan

    kepindahan bayi dan rujuk ke rumah sakit tersier atau senter khusus untuk

    evaluasi lebih lanjut, bila memungkinkan.

    Bila tes sifilis pada ibu positif, terapi sebagai sifilis kongenital.

    Mengenai penatalaksanaan dengan terapi sinar dan transfusi tukar 

    selengkapnya dimuat terpisah.

    G. Efek Hiperbilirubinemia

    Perhatian utama pada hiperbilirubinemia adalah potensinya dalam

    menimbulkan kerusakan sel-sel saraf, meskipun kerusakan sel-sel tubuh lainnya

     juga dapat terjadi. Bilirubin dapat menghambat enzim-enzim mitokondria serta

    mengganggu sintesis DNA. Bilirubin juga dapat menghambat sinyal

    neuroeksitatori dan konduksi saraf (terutama pada nervus auditorius) sehingga

    menimbulkan gejala sisa berupa tuli saraf.

    Kerusakan jaringan otak yang terjadi seringkali tidak sebanding dengan

    konsentrasi bilirubin serum. Hal ini disebabkan kerusakan jaringan otak yang

    terjadi ditentukan oleh konsentrasi dan lama paparan bilirubin terhadap

     jaringan.

    Ensefalopati bilirubin

    Ikterus neonatorum yang berat dan tidak ditata laksana dengan benar dapat

    menimbulkan komplikasi ensefalopati bilirubin. Hal ini terjadi akibat terikatnya

    asam bilirubin bebas dengan lipid dinding sel neuron di ganglia basal, batangotak dan serebelum yang menyebabkan kematian sel. Pada bayi dengan sepsis,

    hipoksia dan asfiksia bisa menyebabkan kerusakan pada sawar darah otak.

    Dengan adanya ikterus, bilirubin yang terikat ke albumin plasma bisa masuk ke

    dalam cairan ekstraselular. Sejauh ini hubungan antara peningkatan kadar

    bilirubin serum dengan ensefalopati bilirubin telah diketahui. Tetapi belum ada

    studi yang mendapatkan nilai spesifik bilirubin total serum pada bayi cukup

    bulan dengan hiperbilirubinemia non hemolitik yang dapat mengakibatkan

    terjadinya gangguan pada kecerdasan atau kerusakan neurologik yang

    disebabkannya.

    Faktor yang mempengaruhi toksisitas bilirubin pada sel otak bayi baru lahir

    sangat kompleks dan belum sepenuhnya dimengerti. Faktor tersebut antara

    lain: konsentrasi albumin serum, ikatan albumin dengan bilirubin, penetrasi

    albumin ke dalam otak, dan kerawanan sel otak menghadapi efek toksik

    bilirubin. Bagaimanapun juga, keadaan ini adalah peristiwa yang tidak biasa

    ditemukan sekalipun pada bayi prematur dan kadar albumin serum yang

    sebelumnya diperkirakan dapat menempatkan bayi prematur berisiko untukterkena ensefalopati bilirubin.

    Bayi yang selamat setelah mengalami ensefalopati bilirubin akan mengalami

    kerusakan otak permanen dengan manifestasi berupa serebral palsy, epilepsi

    dan keterbelakangan mental atau hanya cacat minor seperti gangguan belajar

  • 8/18/2019 535 Mengenal Ikterus Neonatorum

    6/6

    Download Joomla Templates

    dan perceptual motor disorder.

    H. Pencegahan

    Perlu dilakukan terutama bila terdapat faktor risiko seperti riwayat

    inkompatibilitas ABO sebelumnya. AAP dalam rekomendasinya mengemukakan

    beberapa langkah pencegahan hiperbilirubinemia sebagai berikut:

    1. Primer

    AAP merekomendasikan pemberian ASI pada semua bayi cukup bulan dan

    hampir cukup bulan yang sehat. Dokter dan paramedis harus memotivasi ibu

    untuk menyusukan bayinya sedikitnya 8-12 kali sehari selama beberapa hari

    pertama.

    Rendahnya asupan kalori dan atau keadaan dehidrasi berhubungan dengan

    proses menyusui dan dapat menimbulkan ikterus neonatorum. Meningkatkan

    frekuensi menyusui dapat menurunkan kecenderungan keadaan

    hiperbilirubinemia yang berat pada neonatus. Lingkungan yang kondusif bagi

    ibu akan menjamin terjadinya proses menyusui yang baik.

    AAP juga melarang pemberian cairan tambahan (air, susu botol maupun

    dekstrosa) pada neonatus nondehidrasi. Pemberian cairan tambahan tidak

    dapat mencegah terjadinya ikterus neonatorum maupun menurunkan kadar

    bilirubin serum.

    2. Sekunder

    Dokter harus melakukan pemeriksaan sistematik pada neonatus yang memiliki

    risiko tinggi ikterus neonatorum.

    Pemeriksaan Golongan Darah

    Semua wanita hamil harus menjalani pemeriksaan golongan darah ABO dan

    Rhesus serta menjalani skrining antibodi isoimun. Bila ibu belum pernah

    menjalani pemeriksaan golongan darah selama kehamilannya, sangat

    dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan golongan darah dan Rhesus. Apabila

    golongan darah ibu adalah O dengan Rh-positif, perlu dilakukan pemeriksaan

    darah tali pusat. Jika darah bayi bukan O, dapat dilakukan tes Coombs.

    Penilaian Klinis

    Dokter harus memastikan bahwa semua neonatus dimonitor secara berkala

    untuk mengawasi terjadinya ikterus. Ruang perawatan sebaiknya memiliki

    prosedur standar tata laksana ikterus. Ikterus harus dinilai sekurang-kurangnya

    setiap 8 jam bersamaan dengan pemeriksaan tanda-tanda vital lain.

    Pada bayi baru lahir, ikterus dapat dinilai dengan menekan kulit bayi sehingga

    memperlihatkan warna kulit dan subkutan. Penilaian ini harus dilakukan dalam

    ruangan yang cukup terang, paling baik menggunakan sinar matahari. Penilaian

    ini sangat kasar, umumnya hanya berlaku pada bayi kulit putih dan memiliki

    angka kesalahan yang tinggi. Ikterus pada awalnya muncul di bagian wajah,

    kemudian akan menjalar ke kaudal dan ekstrimitas.

    Referensi:

    1. Health Technology Assessment Unit Medical Development Division Ministry 

    of Health Malaysia, 2002. Management of neonatal hyperbilirubinemia.

    2. Masukan berdasarkan hasil rapat tim ahli HTA Indonesia.

    3. Dennery PA, Seidman DS, Stevenson DK. Neonatal hyperbilirubinemia. N Engl 

     J Med 2001;344:581-90.

    4. Suradi R, Situmeang EH, Tambunan T. The association of neonatal jaundice

    and breast-feeding. Paedatr Indones 2001;41:69-75.5. Laporan RS Dr. Sardjito Yogyakarta.

    6. Laporan RS Dr. Kariadi Semarang.

    7. Managing newborn problems:a guide for doctors, nurses, and midwives.

    Departement of Reproductive Health and Research, World Health Organization,

    Geneva 2003.

    8. Briscoe L, Clark S. Yoxall CW. Can transcutaneous bilirubinometry reduce the

    need for blood tests in jaundiced full term babies? Arch Dis Child Fetal Neonatal 

    2002;86:F190-2.

    9. Suresh GK, Clark RE. Cost-effectiveness of strategies that are intended to

     prevent kernicterus in newborn infants. Pediatrics 2004;114:917-24.

    10. Surjono A. Hiperbilirubinemia pada neonatus:pendekatan kadar bilirubin

    bebas. Berkala Ilmu Kedokteran 1995;27:43-6.

    11. Martin CR, Cloherty JP. Neonatal Hyperbilirubinemia. In: Cloherty JP,

    Eichenwald EC, Stark AR, editors. Manual of Neonatal Care, 5th edition.

    Philadelphia, Lippincott Williams and Wilkins;2004,185-222.

    12. Masukan Dr. Ali Usman, SpA(K)

    13. American Academy of Pediatrics. Clinical Practice Guideline. Management 

    of hyperbilirubinemia in the newborn infant 35 or more weeks of gestation.

    Pediatrics 2004;114:297-316.

    2012. smallCrab, just another blogs