4. Teori Interaksionisme Simbolik

Embed Size (px)

Citation preview

Teori Interaksionisme SimbolikTeori Interaksionisme Simbolik adalah salah satu teori yang termasuk di dalam paradigma definisi social (Social definition (Social paradigm). paradigm). Tokoh dari paradigma ini adalah Max Weber.

Karya-karya Max Weber, terutama The Structure of Social Action menjadi eksemplar atau model bagi paradigma ini.

Karya-karya Max Weber sangat berperan dalam pengembangan ketiga teori yang termasuk di dalam paradigma definisi social (yaitu SImbolik Interaksionism, teori tindakan dan sosiologi fenomenologi).

George Ritzer mengungkapkan bahwa pada intinya subject matter (obyek studi) dari paradigma ini adalah: the way people define social facts, the way define their situation The crucial object of study: Intra Subjectivity and inter Subjectivity and the action that results. The underlying assumption is that man is an active creator of his own social reality (Ritzer, 1988: 193-195).

Max Weber dengan paradigma definisi sosialnya ini lebih memfokuskan perhatiannya pada proses pendefinisian realitas social, dan bagaimana orang mendefinisikan situasi, baik secara intrasubyektif maupun intersubyektif sehingga melahirkan tindakan-tindakan tertentu sebagai akibatnya.

Perlu diingat bahwa weber juga menegaskan, bahwa manusia itu adalah makhluk yang kreatif dalam membentuk realitas social (dunianya sendiri).

Perhatikanlah anak-anak kecil disekitar kita, adik adik anda, juga anak tetangga. Ketika dia bermain-main, boleh jadi dia menganggap bahwa sebuah tongkat milik kakeknya dia bayangkan sebagai sebilah samurai, dan dia membayangkan dirinya sebagai seorang pahlawan pembela kebenaran, lawannyapun belum tentu orang, mungkin sebuah patung yang terbuat dari porselin antic yang belum lama dibeli oleh babaknya.

Patung itu ( yang dianggap sebagai penjahat disabetnya dengan samurai penegak kebenaran, dan hancurlah berkeping-keping patung tersebut). Anak itu senang karena sebagai pahlawan yang dapat menghancurkan penjahat, tetapi bapaknya pusing tujuh keliling lantaran porselin guci asli dari Cina dengan pernik-pernik batu giok itu hancur berantakan.

Contoh lain adalah ketika anaknya perempuan masih berumur empat tahunan bermain-main dengan bonekanya di kamar. Boneka itu ditidurkan seolah-olah berada dirumah sakit. Boneka tadi ditusuk dengan jarum infuse, dan pantatnya ada jarum injksi yang dia peroleh dari tantenya.

Dia sendiri, anak perembuan itu, membayangkan (membentuk dunia sosialnya) bahwa dirinya sebagai seorang dokter yang bertanggungjawab terhadap si pasien yang sebenarnya hanyalah sebuah boneka. Ketika bapaknya pulang dari kantor, mau masuk rumah, anak tadi menyongsong kedatangan bapaknya, dia hentikan bapaknya sembari jari tangannya di letakan dimulutnya sebagai tanda tidak boleh berisik.

Bapaknya lalu bertanya,memang ada apa dik? Spontan dia menjawabada pasien sakit keras Tapi bapaknya tahu, oleh karena itu bapaknya purapura juga serius. Pasiennya sakit apa dokter? Sakit jantung., jawabnya sambil menunjukan jarum injeksi serta jrum infuse yang masih tertancap, dipantat si boneka yang disebutnya sebagai pasien tersebut.

Nah, jelas bukan?. Manusia, bahkan masih kanak-kanakpun telah mampu membentuk dunianya sendiri. Dunia social ini memang buatan manusia.

Kita sekalian yang sudah dewasa dan tua-tua ini juga membentuk dunia social kita. Peran-peran kita di dalam keluarga, di dalam dunia kerja, di dalam berbagai aktivitas social dan lain-lain, siapa lagi yang mencipta jika bukan manusia itu sendiri?

Ada Polisi, ada Dosen, ada mahasiswa, ada kiai, ada pastur, ada pedagang, ada petani. Siapakah yang meletakan peran-peran tersebut?

Kita juga percaya dan mengikuti keputusan bahwa ada propinsi Jawa Barat, DKI Jakarta, ada Daerah Istimewa yogyakarta, ada Palembang, ada Pontianak, dan masih banyak lagi yang lain, siapa pula yang menciptakan semuanya itu?

Yah, manusia memang makhluk kreatif yang dapat menciptakan dunia sosialnya sendiri. Dunia social ini memang ciptaan manusia!.

Marilah kita mengenal lebih dekat bagaimana Teori Interaksionisme Simbolik itu menjelaskan tindakan manusia dalam menjalin interaksinya dengan sesama anggota masyarakat.

Penjelasan-penjelasan teoritik itu senantiasa mendasarkan diri pada asumsi-asumsi yang telah ditetapkan oleh teori yang bersangkutan.

The Three Basic Premises Di dalam bukunya yang amat terkenal, yaitu Simbolic Interasionism; Perspective and Methode, Herbert Blumer menegaskan, bahwa ada tiga asumsi yang mendasari tindakan manusia.

Tiga asumsi tersebut adalah sebagai berikut: Human being act toward things on the basic of the meanings that the things have for them. The meaning of things arises out of the social interaction one has with ones fellows The meanings of things are handled in and modified through an interpretative process used by the person in dealing with the things he encounters (Wallace, 1986:204-206).

Premis-premis yang dikemukakan oleh Hebert Blumer tersebut dapat dijelaskan. Antara premis yang satu dengan premis-premis berikutnya itu memang berbeda-beda, akan tetapi ketiganya itu saling berhubungan dan berfungsi menjelaskan secara utuh.

Jadi, penjelasan terhadap suatu premis akan berkaitan dengan premis-premis berikutnya Premis pertama menyatakan, bahwa manusia itu bertindak terhadap sesuatu (apakah itu benda, kejadian, atau fenomena) atas dasar makna yang dimiliki oleh benda, kejadian atau fenomena itu bagi mereka.

Barangkali contoh berikut ini dapat mempermudah pengertian tersebut. Ada seorang pengemis muda di jalanan yang menyodorkan tangannya kepada salah seorang pengendara mobil dengan maksud untuk meminta sedekah atau rasa belas kasihannya.

Orang tersebut (pengendara mobil itu) tidak memberi apa-apa, bahkan menutup kaca pintu mobilnya. Orang tersebut bertindak demikian karena dia memberi penafsiran atau memberi makna, bahwa anak semuda itu (pengmis tadi) tidak layak untuk meminta belas kasihan kepada orang lain.

Rejeki harusnya dicari melalui kerja keras, dan bukan jalan memintameminta. Pengemis muda itu lalu berpindah menyodorkannya tangannya kepada anda yang juga sedang mengendarai mobil yang tak seberapa bagus, tetapi anda memberi uang seribu rupiah kepadanya.

Mengapa anda memberikan uang kepadanya? Di benak anda terbesit rasa belas kasihan. Boleh jadi karena anda memberi makna terhadap pengemis tadi sebagai orang yang belum memperoleh kesempatan untuk berpartisipasi dan menikmati hasil-hasil pembangunan bangsanya.

Juga mungkin anda ingat terhadap ajaran agama anda yang menegaskan bahwa rejeki yang kita miliki ini sesungguhnya tidak sepenuhnya milik kita. Anda merelakan sebagian kecil rejeki anda. Anda memberinya dengan penuh keiklasan.

Contoh-contoh tersebut mudahmudahan dapat memperjelas pengertian, bahwa makna suatu benda, suatu fenomena, atau suatu kejadian, tidaklah terletak pada benda, fenomena atau kejadiannya itu sendiri, melainkan tergantung pada bagaimana seorang ataupun masyarakat memberikan makna terhadap benda, fenomena, atau kejadian tersebut.

Mengapa? Karena makna-makna itu merupakan hasil dari interaksi social antara seseorang dengan orang lainnya dalam masyarakat. Makna itu tidak inhernt pada bendanya itu sendiri. Dengan kata lain, makna suatu benda, fenomena atau kejadian merupakan produk dari interaksi social para anggota masyarakat.

Jika kita pahami benar, maka contoh dan penjelasan tadi sebenarnya sekaligus merupakan penjelasan dari premis kedua. Lalu bagaimana dengan premis ketiga?.

Premis ketiga pada intinya menunjukan, bahwa makna-makna itu dikelola serta dimodifikasikan melalui suatu proses, penafsiran yang digunakan oleh setiap individu dalam keterlibatannya dengan tanda-tanda yang dihadapi/dijumpainya sewaktu interaksi social berlangsung.

Apa maksudnya? Maksudnya tidak lain adalah, bahwa makna itu merupakan penafsiran dari anggota masyarakat dalam menanggapi kejadian-kejadian atau fenomena-fenomena di dalam masyarakat, antara lain seperti yang anda lakukan terhadap pengemis muda tadi.

Contoh lain yang sedang popular adalah soal miras yang dioplos dengan koplo dan sejenisnya. Bagi sementara orang, minuman oplosan itu mngandung makna positif karena dapat membantu pikirannya melayang-layang ke dunia lain yang menurut mereka sangatlah indah,dan setidak-tidaknya untuk sementara waktu dapat melupakan derita atau tekanan-tenakan batin maupun kekosongan jiwanya dalam kehidupan nyata di dunia ini.

Tetapi, bagi kita sekalian pastilah tidak demikian. Minuman oplosan itu jelas merupakan racun yang amat membahayakan,baik bagi kesehatan lahir dan batin, maupun bagi masa depan kita sekalian. Jadi,halnya sama, tetapi makna berbeda-beda, tergantung pada makna yang diberikan kepadanya.

Tindakan manusia dalam konsep interaksionisme simbolik. KJ Veeger menguraikan, sebelum orang menentukan sikapnya, dan perbuatannya terhadap mereka (terhadap seseorang atau sesuatu hal), seseorang terlebih dahulu harus menimbang-menimbang, menilai dan akhirnya memilih diantara pelbagai kemungkinan bertindak.

Dalam proses aktif ini pikiran manusia tidak hanya berperan menjadi instrument atau sarana untuk dapat bertindak melainkan menjadi bagian dari sikap kelakuan manusia. Teori pengenalan ini menghasilkan suatu citra yang dinamis, anti deterministis dan penuh optimisme.

Manusia tidak secara pasif menerima saja pengetahuannya dari luar tetapi secara aktif dan dinamis membentuk sendiri pengetahuan dan kelakuannya. Lingkungan hidup dan situasinya tidak mendetiminir dia, tetapi merupakan kondisi-kondisi terhadap mana dia itu menentukan sikapnya. Gambaran manusia ini mengandaikan kepercayaan akan kemampuan manusia, yang mendasari optimisme (Veeger; 1985:222).

Menurut Ritzer,kesimpulan utama yang perlu diambil dari substansi teori interaksionism simbolik adalah: Kehidupan bermasyarakat itu terbentuk melalui proses interaksi dan komunikasi antar individu dan antar kelompok dengan mengggunakan symbol-simbol yng dipahami maknanya melalui proses belajar.

Tindakan seseorang dalam sitim proses interaksi itu bukan sematamata merupakan suatu tanggapan yang bersifat langsung terhadap stimulus yang datang dari lingkungannya atau dari luar dirinya, melainkan merupakan hasil dari proses interpretasi terhadap stimulus.

Jadi jelas, bahwa hal ini merupakan hasil proses belajar, dalam arti memahami simbolsimbol, dan saling menyesuaikan makna dari symbol-simbol tersebut. Meskipun normanorma, nilai-nilai social dan makna dari simbul-simbul itu memberikan pembatasan terhadap tindakannya, namun dengan kemampuan berpikir yang dimilikinya, manusia mempunyai kebebasan untuk menentukan tindakan dan tujuan-tujuan yang hendak dicapainya.

Singkatnya, bahwa symbolic interactionist (para pengikut teori interaksionisme simbolik) memberi dasar penalaran bahwa, there is a minding process that intervenes between stimulus and response. It is this mental process, and not simply the stimulus, that determines how a man will react (Ritzer: 1980, 194).

Kalangan interaksionis (orang-orang yang mengikuti cara pikir interaksionisme simbolik) menegaskan, bahwa tindakan manusia itu sama sekali bukanlah merupakan respon langsung terhadap stimulus yang mereka hadapi, Jadi, stimulus itu bukan merupakan determinan factor terjadinya tindakan manusia.

Menurut mereka, antara stimulus dan respon itu terdapat variable yang menjembatani, yang mereka sebut sebagai proses mental yang tidak lain adalah proses berpikir.

Jadi, manusia itu bertindak dengan melalui proses berpikir lebih dahulu. Contohnya sederhanya saja, jika dorongan sek pada binatang itu muncul, maka dia pasti akan segera memenuhinya. Berbeda dengan manusia, dia akan berpikir terlebih dahulu, terlebih-lebih misalnya di bulan puasa, atau sedang di daerah lain dan sebagainya. Manusia memilih menunda tindakannya untuk memenuhi dorongan seksnya, karena sebelum bertindak mereka berpikir terlebih dahulu.