29
LAPORAN PENDAHULUAN TRAUMA KEPALA A. Definisi Trauma Captis atau Cidera Kepala adalah kerusakan neurologis yang terjadi akibat adanya trauma pada jaringan otak yang terjadi secara langsung maupun efek sekunder dari trauma yang terjadi (Price, 2005). Trauma atau cedera kepala (Brain Injury) adalah salah satu bentuk trauma yang dapat mengubah kemampuan otak dalam menghasilkan keseimbangan fisik, intelektual, emosional, sosial dan pekerjaan atau dapat dikatakan sebagai bagian dari gangguan traumatik yang dapat menimbulkan perubahan – perubahan fungsi otak (Black, 2005). Menurut konsensus PERDOSSI (2006), cedera kepala yang sinonimnya adalah trauma kapitis/head injury/trauma kranioserebral/traumatic brain injury merupakan trauma mekanik terhadap kepala baik secara langsung ataupun tidak langsung yang menyebabkan gangguan fungsi neurologis yaitu gangguan fisik, kognitif, fungsi psikososial baik bersifat temporer maupun permanen. B. Klasifikasi Klasifikasi trauma kepala berdasarkan Nilai Glasgow Come Scale (GCS): 1. Minor a. GCS 13 – 15 b. Dapat terjadi kehilangan kesadaran atau amnesia tetapi kurang dari 30 menit.

230547136 Laporan Pendahuluan Trauma Capitis

Embed Size (px)

DESCRIPTION

TCC

Citation preview

LAPORAN PENDAHULUAN

TRAUMA KEPALA

A. Definisi

Trauma Captis atau Cidera Kepala adalah kerusakan neurologis yang terjadi akibat adanya trauma pada jaringan otak yang terjadi secara langsung maupun efek sekunder dari trauma yang terjadi (Price, 2005).

Trauma atau cedera kepala (Brain Injury) adalah salah satu bentuk trauma yang dapat mengubah kemampuan otak dalam menghasilkan keseimbangan fisik, intelektual, emosional, sosial dan pekerjaan atau dapat dikatakan sebagai bagian dari gangguan traumatik yang dapat menimbulkan perubahan perubahan fungsi otak (Black, 2005).

Menurut konsensus PERDOSSI (2006), cedera kepala yang sinonimnya adalah trauma kapitis/head injury/trauma kranioserebral/traumatic brain injury merupakan trauma mekanik terhadap kepala baik secara langsung ataupun tidak langsung yang menyebabkan gangguan fungsi neurologis yaitu gangguan fisik, kognitif, fungsi psikososial baik bersifat temporer maupun permanen.

B. Klasifikasi

Klasifikasi trauma kepala berdasarkan Nilai Glasgow Come Scale (GCS):

1. Minor

a. GCS 13 15

b. Dapat terjadi kehilangan kesadaran atau amnesia tetapi kurang dari 30 menit.

c. Tidak ada kontusio tengkorak, tidak ada fraktur cerebral, hematoma.

2. Sedang

a. GCS 9 12

b. Kehilangan kesadaran dan atau amnesia lebih dari 30 menit tetapi kurang dari 24 jam.

c. Dapat mengalami fraktur tengkorak.

3. Berat

a. GCS 3 8

b. Kehilangan kesadaran dan atau terjadi amnesia lebih dari 24 jam.

c. Juga meliputi kontusio serebral, laserasi, atau hematoma intrakranial.

C. Etiologi

Dikelompokan berdasarkan mekanisme injury:

1. Trauma tumpul.

2. Trauma tajam (penetrasi).

D. Patofisiologi dan Pathway

Cedera memegang peranan yang sangat besar dalam menentukan berat ringannya konsekuensi patofisiologis dari suatu trauma kepala. Cedera percepatan (aselerasi) terjadi jika benda yang sedang bergerak membentur kepala yang diam, seperti trauma akibat pukulan benda tumpul, atau karena kena lemparan benda tumpul. Cedera perlambatan (deselerasi) adalah bila kepala membentur objek yang secara relatif tidak bergerak, seperti badan mobil atau tanah. Kedua kekuatan ini mungkin terjadi secara bersamaan bila terdapat gerakan kepala tiba-tiba tanpa kontak langsung, seperti yang terjadi bila posisi badan diubah secara kasar dan cepat. Kekuatan ini bisa dikombinasi dengan pengubahan posisi rotasi pada kepala, yang menyebabkan trauma regangan dan robekan pada substansi alba dan batang otak.

Cedera primer, yang terjadi pada waktu benturan, mungkin karena memar pada permukaan otak, laserasi substansi alba, cedera robekan atau hemoragi. Sebagai akibat, cedera sekunder dapat terjadi sebagai kemampuan autoregulasi serebral dikurangi atau tak ada pada area cedera. Konsekuensinya meliputi hiperemi (peningkatan volume darah) pada area peningkatan permeabilitas kapiler, serta vasodilatasi arterial, semua menimbulkan peningkatan isi intrakranial, dan akhirnya peningkatan tekanan intrakranial (TIK). Beberapa kondisi yang dapat menyebabkan cedera otak sekunder meliputi hipoksia, hiperkarbia, dan hipotensi.

Genneralli dan kawan-kawan memperkenalkan cedera kepala fokal dan menyebar sebagai kategori cedera kepala berat pada upaya untuk menggambarkan hasil yang lebih khusus. Cedera fokal diakibatkan dari kerusakan fokal yang meliputi kontusio serebral dan hematom intraserebral, serta kerusakan otak sekunder yang disebabkan oleh perluasan massa lesi, pergeseran otak atau hernia. Cedera otak menyebar dikaitkan dengan kerusakan yang menyebar secara luas dan terjadi dalam empat bentuk yaitu: cedera akson menyebar, kerusakan otak hipoksia, pembengkakan otak menyebar, hemoragi kecil multipel pada seluruh otak. Jenis cedera ini menyebabkan koma bukan karena kompresi pada batang otak tetapi karena cedera menyebar pada hemisfer serebral, batang otak, atau dua-duanya.

Trauma kepala

Ekstra kranial Tulang kranial Intra kranial

E. Manifestasi Klinis

1. Hilangnya kesadaran kurang dari 30 menit atau lebih

2. Kebungungan

3. Iritabel

4. Pucat

5. Mual dan muntah

6. Pusing kepala

7. Terdapat hematoma

8. Kecemasan

9. Sukar untuk dibangunkan

10. Bila fraktur, mungkin adanya cairan serebrospinal yang keluar dari hidung (rhinorrohea) dan telinga (otorrhea) bila fraktur tulang temporal.

F. Penatalaksanaan Klinik

Secara umum penatalaksanaan therapeutic pasien dengan trauma kepala adalah sebagai berikut:

1. Observasi 24 jam

2. Jika pasien masih muntah sementara dipuasakan terlebih dahulu.

3. Berikan terapi intravena bila ada indikasi.

4. Pasien diistirahatkan atau tirah baring.

5. Profilaksis diberikan bila ada indikasi.

6. Pemberian obat-obat untuk vaskulasisasi.

7. Pemberian obat-obat analgetik.

8. Pembedahan bila ada indikasi.

G. Pengkajian

1. Riwayat kesehatan: waktu kejadian, penyebab trauma, posisi saat kejadian, status kesadaran saat kejadian, pertolongan yang diberikan segera setelah kejadian.

2. Pemeriksaan fisik

a. Sistem respirasi : suara nafas, pola nafas (kusmaull, cheyene stokes, biot, hiperventilasi, ataksik)

b. Kardiovaskuler : pengaruh perdarahan organ atau pengaruh PTIK

c. Sistem saraf :

Kesadaran ( GCS.

Fungsi saraf kranial ( trauma yang mengenai/meluas ke batang otak akan melibatkan penurunan fungsi saraf kranial.

Fungsi sensori-motor ( adakah kelumpuhan, rasa baal, nyeri, gangguan diskriminasi suhu, anestesi, hipestesia, hiperalgesia, riwayat kejang.

d. Sistem pencernaan

Bagaimana sensori adanya makanan di mulut, refleks menelan, kemampuan mengunyah, adanya refleks batuk, mudah tersedak. Jika pasien sadar ( tanyakan pola makan?

Waspadai fungsi ADH, aldosteron : retensi natrium dan cairan.

Retensi urine, konstipasi, inkontinensia.

e. Kemampuan bergerak : kerusakan area motorik ( hemiparesis/plegia, gangguan gerak volunter, ROM, kekuatan otot.

f. Kemampuan komunikasi : kerusakan pada hemisfer dominan ( disfagia atau afasia akibat kerusakan saraf hipoglosus dan saraf fasialis.

g. Psikososial ( data ini penting untuk mengetahui dukungan yang didapat pasien dari keluarga.

H. Pemeriksaan Penunjang

1. Spinal X ray

Membantu menentukan lokasi terjadinya trauma dan efek yang terjadi (perdarahan atau ruptur atau fraktur).

2. CT Scan

Memeperlihatkan secara spesifik letak oedema, posisi hematoma, adanya jaringan otak yang infark atau iskemia serta posisinya secara pasti.

3. Myelogram

Dilakukan untuk menunjukan vertebrae dan adanya bendungan dari spinal aracknoid jika dicurigai.

4. MRI (magnetic imaging resonance)

Dengan menggunakan gelombang magnetik untuk menentukan posisi serta besar/ luas terjadinya perdarahan otak.

5. Thorax X ray

Untuk mengidentifikasi keadaan pulmo.

6. Pemeriksaan fungsi pernafasan

Mengukur volume maksimal dari inspirasi dan ekspirasi yang penting diketahui bagi penderita dengan cidera kepala dan pusat pernafasan (medulla oblongata).

7. Analisa Gas Darah

Menunjukan efektifitas dari pertukaran gas dan usaha pernafasan.

I. Farmakologi

Penderita trauma saraf spinal akut yang diterapi dengan metilprednisolon (bolus 30 mg/kg berat badan dilanjutkan dengan infus 5,4 mg/kg berat badan per jam selama 23 jam), akan menunjukkan perbaikan keadaan neurologis bila preparat itu diberikan dalam waktu paling lama 8 jam setelah kejadian (golden hour). Pemberian nalokson (bolus 5,4 mg/kg berat badan dilanjutkan dengan 4,0 mg/kg berat badan per jam selama 23 jam) tidak memberikan perbaikan keadaan neurologis pada penderita trauma saraf spinal akut.

J. Diagnosa yang Mungkin Muncul

1. Gangguan perfusi jaringan otak sehubungan dengan udem otak

2. Tidak efektifnya pola napas sehubungan dengan depresi pada pusat napas di otak

3. Tidak efektifnya kebersihan jalan napas sehubungan dengan penumpukan sputum

4. Gangguan pemenuhan ADL sehubungan dgn penurunan kesadaran (soporos-coma)

5. Kecemasan keluarga sehubungan keadaan yang kritis pada pasien

6. Potensial gangguan integritas kulit sehubungan dengan immobilisasi, tidak adekuatnya sirkulasi perifer.

K. Analisa Data

No

Etiologi

Masalah Keperawatan

1

Trauma kepala

Kerusakan jaringan otak, pembuluh darah rusak/pecah

Pendarahan otak

SDH

Suplai oksigen ke otak berkurang

Kompensasi metabolik anaerob

Penurunan pH

Asidosis metabolik

Toksik

Kerusakan membran sel

Perpindahan cairan dari ekstrasel ke intrasel

Edema sel

Edema serebri

Volume otak meningkat/kompresi

TTIK

Gangguan perfusi jaringan otak

2

Trauma kepala

Kerusakan jaringan otak, pembuluh darah rusak/pecah

Pendarahan otak

SDH

Suplai oksigen ke otak berkurang

Kompensasi metabolik anaerob

Penurunan pH

Asidosis metabolik

Toksik

Kerusakan membran sel

Perpindahan cairan dari ekstrasel ke intrasel

Edema sel

Edema serebri

Volume otak meningkat/kompresi

TTIK

Pusat aras tertekan

Kesadaran menurun

Perubahan pola napas

Tidak efektifnya pola napas

3

Trauma kepala

Kerusakan jaringan otak, pembuluh darah rusak/pecah

Pendarahan otak

SDH

Suplai oksigen ke otak berkurang

Kompensasi metabolik anaerob

Penurunan pH

Asidosis metabolik

Toksik

Kerusakan membran sel

Perpindahan cairan dari ekstrasel ke intrasel

Edema sel

Edema serebri

Volume otak meningkat/kompresi

TTIK

Pusat aras tertekan

Kesadaran menurun

Reflek batuk menurun

Penumpukan sekret

Bersihan jalan napas tidak efektif

Tidak efektifnya kebersihan jalan napas

4

Trauma kepala

Kerusakan jaringan otak, pembuluh darah rusak/pecah

Pendarahan otak

SDH

Suplai oksigen ke otak berkurang

Kompensasi metabolik anaerob

Penurunan pH

Asidosis metabolik

Toksik

Kerusakan membran sel

Perpindahan cairan dari ekstrasel ke intrasel

Edema sel

Edema serebri

Volume otak meningkat/kompresi

TTIK

Pusat aras tertekan

Kesadaran menurun

Gangguan pemenuhan ADL

Gangguan pemenuhan ADL

5

Trauma kepala

Kerusakan jaringan otak, pembuluh darah rusak/pecah

Pendarahan otak

SDH

Suplai oksigen ke otak berkurang

Kompensasi metabolik anaerob

Penurunan pH

Asidosis metabolik

Toksik

Kerusakan membran sel

Perpindahan cairan dari ekstrasel ke intrasel

Edema sel

Edema serebri

Volume otak meningkat/kompresi

TTIK

Pusat aras tertekan

Kesadaran menurun

Cemas

Kecemasan

6

Trauma kepala

Kerusakan jaringan otak, pembuluh darah rusak/pecah

Pendarahan otak

SDH

Suplai oksigen ke otak berkurang

Kompensasi metabolik anaerob

Penurunan pH

Asidosis metabolik

Toksik

Kerusakan membran sel

Perpindahan cairan dari ekstrasel ke intrasel

Edema sel

Edema serebri

Volume otak meningkat/kompresi

TTIK

Pusat aras tertekan

Kesadaran menurun

Imobilisasi

Risiko gangguan integritas kulit

Potensial gangguan integritas kulit

L. Rencana Asuhan Keperawatan

Dx. Keperawatan

Tujuan

Intervensi

Rasional

Gangguan perfusi jaringan otak sehubungan dengan udem otak

Mempertahan-kan dan memperbaiki tingkat kesadaran fungsi motorik.

Kriteria hasil :

Tanda-tanda vital stabil, tidak ada peningkatan intrakranial

Independent:

1. Monitor dan catat status neurologis dengan meng-gunakan metode GCS.

2. Monitor tanda-tanda vital tiap 30 menit.

3. Pertahankan posisi kepala yang sejajar dan tidak menekan.

4. Hindari batuk yang berlebihan, muntah, mengedan, pertahankan pengukuaran urin dan hindari konstipasi yang berkepanjangan

5. Observasi kejang dan lindungi pasien dari cedera akibat kejang.

Kolaborasi:

6. Berikan oksigen sesuai dengan kondisi pasien.

7. Berikan obat-obatan yang diindikasikan dengan tepat dan benar .

1. Refleks membuka mata menentukan pemulihan tingkat kesadaran. Respon motorik menentukan kemampuan berespon terhadap stimulus eksternal dan indikasi keadaan kesadaran yang baik. Reaksi pupil digerakan oleh saraf kranial oculus motorius dan untuk menentukan refleks batang otak. Pergerakan mata membantu menentukan area cedera dan tanda awal peningkatan tekanan intracranial adalah terganggunya abduksi mata.

2. Peningkatan sistolik dan penurunan diastolik serta penurunan tingkat kesadaran dan tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial. Adanya pernapasan yang irreguler indikasi terhadap adanya peningkatan metabolisme sebagai reaksi terhadap infeksi. Untuk mengetahui tanda-tanda keadaan syok akibat perdarahan.

3. Perubahan kepala pada satu sisi dapat menimbulkan penekanan pada vena jugularis dan menghambat aliran darah otak, untuk itu dapat meningkatkan tekanan intrakranial.

4. Dapat mencetuskan respon otomatik peningkatan intrakranial.

5. Kejang terjadi akibat iritasi otak, hipoksia, dan kejang dpt meningkatkan tekanan intrakrania.

6. Dapat menurunkan hipoksia otak.

7. Membantu menurunkan tekanan intrakranial secara biologi/kimia seperti osmotik diuritik untuk menarik air dari sel-sel otak sehingga dapat menurunkan udem otak, steroid (dexame-tason) utk menurunkan inflamasi, menurunkan edema jaringan. Obat anti kejang utk menu-runkan kejang, analgetik untuk menurunkan rasa nyeri efek negatif dari peningkatan tekanan intrakranial. Antipiretik untuk menurunkan panas yang dapat mening-katkan pemakaian oksigen otak.

Tidak efektifnya pola napas sehubungan dengan depresi pada pusat napas di otak.

Mempertahan-kan pola napas yang efektif melalui ventilator.

Kriteria evaluasi

Penggunaan otot bantu napas tidak ada, sianosis tidak ada atau tanda-tanda hipoksia tdk ada dan gas darah dalam batas-batas normal.

Independent:

1. Hitung pernapasan pasien dalam satu menit

2. Cek pemasangan tube

3. Observasi ratio inspirasi dan ekspirasi pada fase ekspirasi biasanya 2 x lebih panjang dari inspirasi

4. Perhatikan kelembaban dan suhu pasien

5. Cek selang ventilator setiap waktu (15 menit)

6. Siapkan ambu bag tetap berada di dekat pasien

1. Pernapasan yang cepat dari pasien dapat menimbulkan alkalosis respiratori dan pernapasan lambat meningkatkan tekanan Pa Co2 dan menyebabkan asidosis respiratorik.

2. Untuk memberikan ventilasi yang adekuat dalam pemberian tidal volume.

3. Sebagai kompensasi ter-perangkapnya udara ter-hadap gangguan pertukaran gas.

4. Keadaan dehidrasi dapat mengeringkan sekresi/cairan paru sehingga menjadi kental dan meningkatkan resiko infeksi.

5. Adanya obstruksi dapat menimbulkan tidak ade kuatnya pengaliran volume dan menimbulkan penyebaran udara yang tidak adekuat.

6. Membantu memberikan ventilasi yang adekuat bila ada gangguan pada ventilator.

Tidakefektifnya kebersihan jalan napas sehubungan dengan penumpukan sputum

Mempertahan-kan jalan napas dan mencegah aspirasi

Kriteria Evaluasi

Suara napas bersih, tidak terdapat suara sekret pada selang dan bunyi alarm karena pe-ninggian suara mesin, sianosis tidak ada.

Independent:

1. Kaji dengan ketat (tiap 15 menit) kelancaran jalan napas.

2. Evaluasi pergerakan dada dan auskultasi dada (tiap 1 jam ).

3. Lakukan pengisapan lendir dengan waktu kurang dari 15 detik bila sputum banyak.

4. Lakukan fisioterapi dada setiap 2 jam.

1. Obstruksi dapat disebabkan pengumpulan sputum, perdarahan, bronchospasme atau masalah terhadap tube.

2. Pergerakan yang simetris dan suara napas yang bersih indikasi pemasangan tube yang tepat dan tidak adanya penumpukan sputum.

3. Pengisapan lendir tidak selalu rutin dan waktu harus dibatasi untuk mencegah hipoksia.

4. Meningkatkan ventilasi untuk semua bagian paru dan memberikan kelancaran aliran serta pelepasan sputum.

Gangguan pemenuhan ADL sehubungan dgn penurunan kesadaran (soporos-coma)

Kebutuhan dasar pasien dapat ter-penuhi secara adekuat.

Kriteria hasil :

Kebersihan terjaga, kebersihan lingkungan ter- jaga, nutrisi terpenuhi sesuai dengan kebutuhan, oksigen adekuat.

Independent :

1. Berikan penjelasan tiap kali melakukan tindakan pada pasien.

2. Beri bantuan untuk memenuhi kebersihan diri.

3. Berikan bantuan untuk memenuhi kebutuhan nutrisi dan cairan.

4. Jelaskan pada keluarga tindakan yang dapat dilakukan untuk menjaga lingkungan yang aman dan bersih.

5. Berikan bantuan untuk memenuhi kebersihan dan keamanan ling-kungan.

1. Penjelasan dapat mengu-rangi kecemasan dan meningkatkan kerja sama yang dilakukan pada pasien dengan kesadaran penuh atau menurun.

2. Kebersihan perorangan, eliminasi, berpakaian, mandi, membersihkan mata dan kuku, mulut, telinga, merupakan kebutuhan dasar akan kenyamanan yang harus dijaga oleh perawat untuk meningkatkan rasa nyaman, mencegah infeksi dan keindahan.

3. Makanan dan minuman merupakan kebutuhan sehari-hari yang harus dipenuhi untuk menjaga kelangsungan perolehan energi. Diberikan sesuai dengan kebutuhan pasien baik jumlah, kalori, dan waktu.

4. Keikutsertaan keluarga diperlukan untuk men-jaga hubungan klien - keluarga. Penjelasan perlu agar keluarga dapat memahami peraturan yang ada di ruangan.

5. Lingkungan yang bersih dapat mencegah infeksi dan kecelakaan.

Kecemasan keluarga sehubungan keadaan yang kritis pada pa-sien.

Kecemasan keluarga dpt berkurang

Kriteri evaluasi :

Ekspresi wajah tidak menunjang adanya kece-masan. Keluarga mengerti cara berhubungan dgn pasien. Pengetahuan keluarga me-ngenai keadaan, pengobatan dan tindakan meningkat.

Independent:

1. Bina hubungan saling percaya.

2. Beri penjelasan tentang semua prosedur dan tindakan yang akan dilakukan pada pasien.

3. Berikan dorongan spiri-tual untuk keluarga.

1. Untuk membina hubungan terapeutik perawat-keluarga. Dengarkan dengan aktif dan empati, keluarga akan merasa diperhatikan.

2. Penjelasan akan mengu-rangi kecemasan akibat ketidaktahuan. Berikan kesempatan pada keluarga untuk bertemu dengan klien. Mempertahankan hubungan pasien dan keluarga.

3. Semangat keagamaan dapat mengurangi rasa cemas dan meningkatkan keimanan dan ketabahan dalam menghadapi krisis.

Potensial gangguan integritas kulit sehubungan dengan immobilisasi, tidak adekuatnya sirkulasi perifer.

Gangguan integritas kulit tidak terjadi

Independent:

1. Kaji fungsi motorik dan sensorik pasien dan sirkuasi perifer

2. Kaji kulit pasien setiap 8 jam : palpasi pada daerah yang tertekan.

3. Ganti posisi pasien setiap 2 jam. Berikan posisi dalam sikap anatomi dan gunakan tempat kaki untuk daerah yang menonjol.

4. Pertahankan kebersihan dan kekeringan pasien : massage dengan lembut di atas daerah yang menonjol setiap 2 jam sekali.

5. Pertahankan alat-alat tenun tetap bersih dan tegang.

6. Kaji daerah kulit yang lecet untuk adanya eritema, keluar cairan setiap 8 jam.

7. Berikan perawatan kulit pada daerah yang rusak / lecet setiap 4 - 8 jam dengan menggunakan H2O2.

1. Untuk menetapkan kemungkinan terjadinya lecet pada kulit.

2. Keadaan lembab akan memudahkan terjadinya kerusakan kulit.

3. Dalam waktu 2 jam diperkirakan akan terjadi penurunan perfusi ke jaringan sekitar. Maka dengan mengganti posisi setiap 2 jam dapat memperlancar sirkulasi tersebut. Dengan posisi anatomi maka anggota tubuh tidak mengalai gangguan, khususnya masalah sirkulasi /perfusi jaringan. Mengalas bagian yang menonjol guna mengurangi penekanan yang mengakibatkan lesi kulit.

4. Meningkatkan sirkulasi dan elastisitas kulit dan mengurangi kerasakan kulit.

5. Dapat mengurangi proses penekanan pada kulit dan menjaga kebersihan kulit.

6. Sebagai bagian untuk memperkirakan tindakan selanjutnya.

7. Untuk mencegah bertambah luas kerusakan kulit.

DAFTAR PUSTAKA

Doenges, M. E. (2000). Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman Untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Edisi 3 . Jakarta : EGC.

Hudak & Gallo. (1996). Keperawatan Kritis, Pendekatan Holistik, Volume II. Jakarta : EGC.

Price and Wilson. (2005). Patofisiologi. Konsep Klinik Proses-Proses Penyakit. Edisi 6. Volume 2. Jakarta : EGC.

Suzanne CS & Brenda GB. (1999). Buku Ajar Medikal Bedah. Edisi 8. Volume 3. Jakarta : EGC.

a. X-ray Tengkorak

Peralatan diagnostik yang digunakan untuk mendeteksi fraktur dari dasar tengkorak

atau rongga tengkorak. CT scan lebih dipilih bila dicurigai terjadi fraktur karena CT

scan bisa mengidentifikasi fraktur dan adanya kontusio atau perdarahan. X-Ray

tengkorak dapat digunakan bila CT scan tidak ada ( State of Colorado Department of

Labor and Employment, 2006).

b. CT-Scan

Penemuan awal computed tomography scanner ( CT Scan ) penting dalam memperkirakan prognosa cedera kepala berat (Alberico dkk, 1987 dalam

Sastrodiningrat,, 2007). Suatu CT scan yang normal pada waktu masuk dirawat pada

penderita-penderita cedera kepala berat berhubungan dengan mortalitas yang lebih

rendah dan penyembuhan fungsional yang lebih baik bila dibandingkan dengan

penderita-penderita yang mempunyai CT scan abno rmal.

Hal di atas tidaklah berarti bahwa semua penderita dengan CT scan yang relatif

normal akan menjadi lebih baik, selanjutnya mungkin terjadi peningkata TIK dan

Universitas Sumatera Utara

dapat berkembang lesi baru pada 40% dari penderita (Roberson dkk, 1997 dalam

Sastrodiningrat, 2007). Di samping itu pemeriksaan CT scan tidak sensitif untuk lesi

di batang otak karena kecilnya struktur area yang cedera dan dekatnya struktur

tersebut dengan tulang di sekitarnya. Lesi seperti ini sering berhubungan dengan

outcome yang buruk (Sastrodiningrat, 2007 ).

c. Magnetic Resonance Imaging (MRI)

Magnetic Resonance Imaging (MRI) juga sangat berguna di dalam menilai prognosa.

MRI mampu menunjukkan lesi di substantia alba dan batang otak yang sering luput

pada pemeriksaan CT Scan. Ditemukan bahwa penderita dengan lesi yang luas pada

hemisfer, atau terdapat lesi batang otak pada pemeriksaan MRI, mempunyai

prognosa yang buruk untuk pemulihan kesadaran, walaupun hasil pemeriksaan CT

Scan awal normal dan tekanan intrakranial terkontrol baik (Wilberger dkk., 1983

dalam Sastrodiningrat, 2007).

Pemeriksaan Proton Magnetic Resonance Spectroscopy (MRS) menambah dimensi

baru pada MRI dan telah terbukti merupakan metode yang sensitif untuk mendeteksi

Cedera Akson Difus (CAD). Mayoritas penderita dengan cedera kepala ringan

sebagaimana halnya dengan penderita cedera kepala yang lebih berat, pada

pemeriksaan MRS ditemukan adanya CAD di korpus kalosum dan substantia alba.

Kepentingan yang nyata dari MRS di dalam menjajaki prognosa cedera kepala berat

masih harus ditentukan, tetapi hasilnya sampai saat ini dapat menolong menjelaskan

berlangsungnya defisit neurologik dan gangguan kognitif pada penderita cedera

kepala ringan ( Cecil dkk, 1998 dalam Sastrodiningrat, 2007 ).

Terputusnya kontinuitas jaringan kulit, otot dan vaskuler

Jaringan otak rusak (kontusio, laserasi)

Terputusnya kontinuitas jaringan tulang

Gangguan suplai darah

Nyeri

Resiko infeksi

-Perubahan outoregulasi

-Odem cerebral

Iskemia

-Perdarahan

-Hematoma

Kejang

Perubahan perfusi jaringan

Hipoksia

Bersihan jln. nafas

Obstruksi jln. nafas

Dispnea

Henti nafas

Perub. Pola nafas

Perubahan sirkulasi CSS

Gangg. fungsi otak

Gangg. Neurologis fokal

Mual muntah

Papilodema

Pandangan kabur

Penurunan fungsi pendengaran

Nyeri kepala

Peningkatan TIK

Defisit Neurologis

Girus medialis lobus temporalis tergeser

Resiko tidak efektifnya jln. nafas

Gangg. persepsi sensori

Resiko kurangnya volume cairan

Herniasi unkus

Kompresi medula oblongata

Tonsil cerebelum tergeser

Resiko gangg. integritas kulit

Resiko injuri

Mesesenfalon tertekan

Immobilisasi

Kurangnya perawatan diri

Gangg. kesadaran

Cemas