21
Pengaruh Struktur Kepemilikan terhadap Kebijakan Pembelian Kembali Saham pada Perusahaan yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia Awangga Perdana Siti Nurwahyuningsih Harahap Universitas Indonesia [email protected] [email protected] Abstract This study examines the influence of ownership structure on firms in Indonesia for their stock repurchase policy aimed to distribute excess funds to stockholders. Ownership structure studied consists of institutional ownership and managerial ownership. Sample of this study consists of 41 companies listed in the Indonesia Stock Exchange that repurchased their stocks during the period of 2004-2013. The results showed that institutional investors and managerial ownership negatively affect the stock repurchase. Institutional ownership is considered able to be a good monitoring tool to monitor the use of free cash flow in the company and mechanisms of control by the manager himself against the use of free cash flow is considered good. Moreover, they prefer to invest surplus funds to develop the company's business enterprises. Key words: Stock Repurchase, Ownership Structure, Institutional Investors, Managerial Ownership

023

Embed Size (px)

Citation preview

Pengaruh Struktur Kepemilikan terhadap Kebijakan Pembelian Kembali Saham pada Perusahaan yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia

Awangga Perdana Siti Nurwahyuningsih Harahap

Universitas Indonesia

[email protected] [email protected]

Abstract

This study examines the influence of ownership structure on firms in Indonesia for their stock repurchase policy aimed to distribute excess funds to stockholders. Ownership structure studied consists of institutional ownership and managerial ownership. Sample of this study consists of 41 companies listed in the Indonesia Stock Exchange that repurchased their stocks during the period of 2004-2013. The results showed that institutional investors and managerial ownership negatively affect the stock repurchase. Institutional ownership is considered able to be a good monitoring tool to monitor the use of free cash flow in the company and mechanisms of control by the manager himself against the use of free cash flow is considered good. Moreover, they prefer to invest surplus funds to develop the company's business enterprises.

Key words: Stock Repurchase, Ownership Structure, Institutional Investors, Managerial Ownership

1. Pendahuluan

Pembelian kembali saham adalah suatu aksi korporasi yang dilakukan

perusahaan untuk membeli kembali sahamnya yang telah beredar di pasar bursa.

Pembelian kembali saham beredar telah menjadi populer dalam beberapa tahun terakhir

di sejumlah besar negara, seperti di Amerika Serikat (USA) yang menyumbang 44,42

persen dari total pembayaran (payout) pada tahun 2000 dibandingkan dengan 11,82

persen dari total pembayaran pada tahun 1971 (Dittmar dan Dittmar, 2002). Peraturan

terkait pembelian kembali saham mulai diperkenalkan di Indonesia sejak tahun 1998

seiring meningkatnya pembelian kembali saham oleh perusahaan dan meningkatnya

kebutuhan terhadap Good Corporate Governance untuk melindungi pemegang saham

minoritas dengan dikeluarkannya Keputusan Ketua Bapepam Nomor: Kep-45/PM/1998

pada 14 Agustus 1998 tentang pembelian kembali saham yang telah dikeluarkan oleh

emiten atau perusahaan publik. Peraturan tersebut kemudian diubah menjadi Peraturan

Bapepam Nomor XI.B.2 untuk melindungi hak para pemegang saham, terutama

pemegang saham minoritas karena pembelian kembali saham ini erat kaitannya dengan

konflik keagenan.

Menurut signaling hypothesis, pembelian kembali saham oleh perusahaan

sebagai indikasi bahwa saham dinilai terlalu rendah atau undervalued (Vermaelen,

1981). Perusahaan membeli kembali sahamnya setelah terjadi penurunan pada harga

sahamnya dan harga menjadi lebih stabil setelah pembelian kembali saham (Ginglinger

dan Hamon, 2006). Jadi, pembelian kembali saham ini bisa sebagai strategi untuk

mempertahankan likuiditas saham perusahaan atau bahkan meningkatkannya.

Pengumuman pembelian kembali saham juga memberikan isyarat bahwa perusahaan

memiliki free cash flow yang berlebih atau tingkat profitabilitas perusahaan sedang

dalam kondisi yang bagus. Oleh karena itu, harga saham akan meningkat dan

diharapkan akan meningkatkan kemakmuran pemegang saham.

Disamping itu, pembelian kembali saham ini juga merupakan sarana bagi

pemegang saham untuk mengawasi kinerja manajer. Menurut El Houcine (2013) segala

bentuk pendistribusian cash flow (payout) kepada pemegang saham merupakan

mekanisme yang efisien untuk mengurangi konflik keagenan. Dividen dan pembelian

kembali saham beredar termasuk bentuk pendistribusian cash flow kepada pemegang

saham yang digunakan sebagai instrumen oleh perusahaan untuk memberikan informasi

kepada pemegang saham. Mereka berpendapat bahwa dividen dan pembelian kembali

saham akan dianggap oleh para pemegang saham sebagai suatu sinyal atas kondisi dan

prospek suatu perusahaan.

Menurut free cash flow theory, reaksi pasar pada saat pengumuman pembelian

kembali saham berhubungan dengan ketersediaan excess cash flow atau disebut juga

free cash flow sebagai sisa dari cash flow yang telah digunakan untuk membiayai semua

proyek perusahaan dengan nilai NPV positif1. Jensen (1986) berpendapat bahwa free

cash flow ini akan menimbulkan konflik kepentingan antara pihak manajemen dengan

pemegang saham. Para pemegang saham akan lebih memilih agar setiap free cash flow

perusahaan dibagikan baik dalam bentuk dividen atau dalam bentuk pembelian kembali

saham, tetapi biasanya perusahaan lebih tertarik menggunakan free cash flow tersebut

untuk meningkatkan pendapatan perusahaan. Namun, dalam menggunakan free cash

flow tersebut, manajemen mungkin menerima proyek meskipun NPV dari proyek

tersebut bernilai negatif. Hal tersebut tentunya tidak diharapkan oleh para pemegang

saham karena risiko yang besar. Jika kebijakan distribusi free cash flow dimaksudkan

untuk membatasi konflik keagenan, kebijakan tersebut tentunya dipengaruhi oleh

struktur pemegang saham (konsentrasi kepemilikan dan sifat dari pemegang saham)

yang merupakan elemen penentu konflik keagenan.

Penelitian sebelumnya mengenai pengaruh struktur kepemilikan terhadap

kebijakan pembelian kembali saham menunjukan bahwa investor institusional secara

positif mempengaruhi pembelian kembali saham karena investor institusional dapat

mengontrol manajer dengan memaksa mereka membeli kembali saham perusahaan yang

beredar untuk membayar (mendistribusikan) kelebihan cash flow yang dimiliki

perusahaan kepada investor institusional. Hal itu ditujukan agar kelebihan cash flow

tersebut tidak dihabiskan oleh manajer untuk berinvestasi di proyek dengan NPV

negatif (El Houcine, 2013).

Hasil penelitian tersebut juga menunjukan fakta bahwa pembelian kembali

saham merupakan sarana entrenchment oleh manajer. Manajer yang ingin meningkatkan

proporsi kepemilikannya di perusahaan, mereka harus melakukan pembelian kembali

saham. Dengan pembelian kembali saham, kepemilikan oleh pihak eksternal (outsiders)

akan berkurang dan manajer dapat membeli saham perusahaan dengan harga yang

relatif murah karena biasanya pembelian kembali saham dilakukan saat nilai saham

1 NPV (Net Present Value) adalah aliran manfaat dan biaya masa depan yang dikonversi menjadi nilai setara hari ini. NPV yang positif dan terbesar adalah acuan pertama dalam memilih investasi pada suatu proyek, karena NPV merepresentasikan nilai uang/keuntungan yang akan terjadi di masa depan dari suatu investasi, pada masa sekarang (Ross, S.A., R.W. Westerfield, & B.D. Jordan, 2013).

perusahaan undervalued. Dengan begitu, proporsi kepemilikan perusahaan oleh manajer

akan meningkat dan kekuatan entrenchment manajer semakin besar. Jadi, kepemilikan

oleh manajemen memiliki pengaruh terhadap pembelian kembali saham.

Penelitian terkait pengaruh struktur kepemilikan terhadap pembelian kembali

saham belum banyak ditemukan di Indonesia. Belum ditemukan penelitian yang

menjawab apakah suatu kepemilikan oleh kelompok tertentu dapat mempengaruhi

perusahaan dalam mengambil kebijakan pembelian kembali saham sebagai upaya

mendistribusikan kelebihan dananya agar tidak disalahgunakan oleh pihak manajer

(agent). Hal yang menarik adalah apakah mampu pembelian kembali saham difungsikan

sebagai alat untuk mengontrol manajer dalam upaya mengurangi konflik keagenan

dalam kasus perusahaan-perusahaan di Indonesia. Penelitian ini dilakukan untuk

mengetahui hal itu, khususnya pengaruh dari kepemilikan oleh investor institusional dan

investor manajerial.

Penelitian ini merupakan replikasi dari penelitian El Houcine (2013) yang

dilakukan untuk mengetahui pengaruh struktur kepemilikan oleh institusional dan

manajerial terhadap kebijakan pembelian kembali saham pada perusahaan di Perancis.

El Houcine (2013) mengambil sampel dari CAC 40 index yang hanya berisi 40

perusahaan di Perancis dalam rentang waktu lima tahun. Sedangkan pada penelitian ini,

sampel diambil dari Bursa Efek Indonesia (BEI) dengan rentang waktu yang diperluas

menjadi sepuluh tahun untuk mengetahui pengaruh struktur kepemilikan terhadap

kebijakan pembelian kembali saham di pasar Indonesia.

2. Tinjauan Literatur

Struktur kepemilikan merupakan komposisi sekelompok orang yang memiliki

dan mengontrol perusahaan yang terdiri atas kepemilikan oleh orang dalam (insider)

dan kepemilikan oleh investor (Jahera dan Lloyd, 1996). Kepemilikan suatu perusahaan

menunjukan terdapatnya hak dalam memilih atau mengemukakan pendapat untuk

keputusan ekonomis atau juga hak untuk mengontrol (control rights) jalannya

operasional perusahaan. Umumnya, struktur pemegang saham yang dapat

mempengaruhi keputusan manajemen adalah kepemilikan oleh investor institusional

dan kepemilikan manajerial. Struktur kepemilikan baik itu kepemilikan oleh manajerial

maupun institusional memiliki motivasi yang berbeda dalam memonitor perusahaan

serta manajamen.

Corporate theory menyatakan beberapa alasan mengapa struktur kepemilikan

dan kebijakan pembayaran (payout) dapat saling berhubungan. Pertama, agency

theories menyatakan bahwa dengan biaya monitoring yang lebih rendah, manajer

memiliki kesempatan untuk membagikan lebih banyak profit kepada investor. Jensen

(1986) berpendapat bahwa dengan memperluas monitoring, perusahaan lebih

memungkinkan untuk membayar free cash flow mereka kepada investor. Dengan

adanya kepemilikan oleh investor institusional yang lebih besar akan mengakibatkan

pembayaran (payout) yang lebih besar (dengan asumsi kepemilikan yang lain tetap).

Seperti sudah dijelaskan sebelumnya, bahwa investor institusional dapat lebih

mengontrol manajer daripada pemegang saham tersebar lainnya karena mereka

memiliki posisi istimewa untuk mengakses informasi perusahaan dan kompetitornya

sehingga biaya monitoring oleh investor institusional lebih rendah.

Kedua, masalah adverse selection mungkin mengakibatkan investor yang tidak

memiliki informasi, untuk lebih menyukai dividen daripada pembelian kembali saham

(Barclay dan Smith, 1988). Sedangkan, pemegang saham mayoritas yang memiliki

banyak informasi tidak menghadapi permasalahan ini. Mereka lebih menyukai

pembelian kembali saham karena bisa meningkatkan harga saham perusahaan. Oleh

karena itu, ketika investor institusional dimungkinkan untuk memperoleh lebih banyak

informasi, mereka lebih menyukai perusahaan yang melakukan pembayaran dalam

bentuk pembelian kembali saham daripada dalam bentuk dividen.

Sekarang ini, pembelian kembali saham telah menjadi sarana untuk

mendistribusikan dana ke pemegang saham sebagai alternatif dari dividen tunai. Fama

dan French (2001) menemukan penurunan signifikan persentase perusahaan yang

mendistribusikan dividen, serta Grullon dan Michaely (2002) menemukan bahwa

jumlah program pembelian kembali saham lebih tinggi dari pada dividen berdasarkan

pengamatannya sejak tahun 1998. Hal itu dikarenakan adanya perbedaan kondisi fiskal

antara dua jenis distribusi tersebut.

Perlakuan dan tarif pajak atas dividen berbeda dengan capital gain yang bisa

didapat dalam transaksi pembelian kembali saham oleh perusahaan. Dalam hal

manajemen pajak, investor lebih suka mendapatkan capital gain karena bisa menunda

pembayaran pajak sampai benar-benar keuntungan tersebut bisa diterima oleh investor.

Sedangkan pajak dari pembayaran dividen, harus selalu dibayarkan oleh investor setiap

menerima dividen. Selain itu, pajak yang dikenakan terhadap capital gain lebih kecil

dari pada pajak dividen (Jagannathan, Stephens, dan Weisbach, 2000). Begitu juga di

Indonesia, tarif pajak atas capital gain lebih kecil dari pada pajak dividen. Tarif pajak

atas capital gain sebesar 0,1% (UU PPh pasal 4 ayat (2c)), sedangkan pajak dividen

sebesar 15% untuk subjek pajak badan (UU PPh pasal 23 ayat (1a)) dan 10% untuk

orang pribadi (UU PPh pasal 17 ayat (2c)).

Selain itu, pembelian kembali saham sering dipandang sebagai isyarat positif

bagi investor karena pada umumnya pembelian kembali saham dilakukan jika

perusahaan merasa bahwa saham undervalued yang berarti bahwa saham perusahaan

memiliki nilai intrinsik yang lebih besar daripada harga pasarnya. Pembelian kembali

saham juga akan mengurangi jumlah saham yang beredar di pasar. Setelah perusahaan

membeli kembali sahamnya, ada kemungkinan harga saham naik. Investor institusional

sebagai outsiders mengharapkan kenaikan harga saham ini.

Berdasarkan penelitiannya, Grinstein dan Michaely (2005) memberikan

sejumlah bukti terkait hubungan antara kepemilikan institusional dan kebijakan

pembayaran (payout policy) karena berjalannya fungsi pengawasan, serta implikasinya

terhadap beberapa payout theories yang sudah dijelaskan di atas. Pertama, ketika

membandingkan perusahaan yang membayarkan dividen dan perusahaan yang tidak

membayarkan dividen, diketahui bahwa investor institusional lebih menyukai

perusahaan yang membayarkan dividen.

Kedua, investor institusional tidak menunjukkan ketertarikan apapun terhadap

perusahaan yang membayarkan dividen tinggi (high dividend), tetapi investor

institusional lebih menyukai low-dividend stock daripada high-dividend stock. Dengan

begitu, tidak terdapat bukti untuk mendukung gagasan bahwa dividen yang lebih tinggi

mengakibatkan kepemilikan investor institusional yang lebih besar seperti yang

disebutkan teori di atas. Menariknya, hasil ini konsisten dengan persepsi manajemen

mengenai dampak kebijakan pembayaran terhadap investor, bahwa manajer meyakini

individu lebih tertarik terhadap peningkatan dividen dari pada investor institusional

(Brav et al., 2005).

Ketiga, Grinstein dan Michaely (2005) juga menemukan bahwa investor

institusional lebih menyukai perusahaan yang membeli kembali sahamnya. Perusahaan

yang melakukan pembelian kembali saham memiliki kepemilikan institusional yang

relatif lebih tinggi dari pada perusahaan yang tidak melakukan pembelian kembali

saham. Jadi, bisa dikatakan kepemilikan institusional berpengaruh positif terhadap

kebijakan pembelian kembali saham perusahaan. Keempat, kepemilikan institusional

dan konsentrasi kepemilikan tidak membuat perusahaan untuk meningkatkan

pembayaran (payout).

Dengan demikian, pengaruh positif antara kepemilikan institusional terhadap

pembelian kembali saham konsisten dengan agency theories yang dikemukakan oleh

Jensen (1986) dan adverse selection theory yang dikemukakan oleh Barclay dan Smith

(1988).

Selain itu, pengaruh positif kepemilikan institusional terhadap pembelian

kembali saham juga didukung dengan perbedaan kondisi fiskal antara jenis-jenis

pemegang saham yang menyebabkan investor berbeda pandangan terkait distribusi free

cash flow. Dalam sistem perpajakan di Inggris, pembagian dividen kepada investor

institusional dikenakan pajak sedangkan bagi investor individual tidak. Perbedaan

pengenaan pajak tersebut berpengaruh pada pandangan setiap investor terhadap

kebijakan distribusi free cash flow perusahaan (Rau dan Vermaelen, 2002). Kondisi

tersebut mungkin juga berlaku di Indonesia mengingat pembayaran dividen kepada

investor institusional dikenakan tarif sebesar 15 persen dari jumlah bruto seperti yang

tertera dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan pasal 23 ayat (1a), sedangkan

pembayaran dividen kepada investor individual dikenakan tarif lebih rendah yaitu

paling tinggi sebesar 10 persen seperti yang tertera dalam Undang-Undang Pajak

Penghasilan pasal 17 ayat (2c). Dengan demikian, investor institusional yang

menerapkan manajemen pajak akan lebih tertarik jika perusahaan mendistribusikan free

cash flow kepadanya dalam bentuk pembelian kembali saham.

Sedangkan menurut financial theory, adanya kepemilikan investor institusional

berpengaruh negatif terhadap kebijakan pembelian kembali karena mereka lebih tertarik

untuk menginvestasikan kembali dananya dalam proyek. Tingkat pembayaran menurun

ketika pemegang saham mayoritas adalah sebuah perusahaan atau sebuah institusi

keuangan yang berafiliasi dengan grup perusahaan (Maury dan Pajuste, 2002). Dengan

begitu, memungkinkan perusahaan tersebut untuk lebih menyukai memegang dananya

dan memanfaatkannya dalam proyek grup. Dari penjelasan tersebut, dapat ditarik

hipotesis berikut:

H1: Terdapat pengaruh dari kepemilikan investor institusional (outsiders) terhadap

kebijakan pembelian kembali saham beredar perusahaan.

Perusahaan akan dirugikan jika manajer bertindak untuk kepentingannya sendiri

dan bukan untuk kepentingan pemegang saham. Keadaan inilah yang memunculkan

konflik keagenan antara manajer dengan pemilik perusahaan (Godfrey et al., 2010).

Masing-masing pihak memiliki tujuan dan memiliki risiko yang berbeda berkaitan

dengan perilakunya. Manajer apabila gagal menjalankan fungsinya akan berisiko tidak

ditunjuk lagi sebagai manajer perusahaan, sementara pemegang saham akan berisiko

kehilangan modalnya kalau salah memilih manajer. Hal ini merupakan konsekuensi dari

pemisahan antara fungsi kepemilikan dengan pengelolaan. Konflik keagenan akan dapat

diminimalkan jika manajer juga sebagai pemilik perusahaan atau sebaliknya pemilik

sebagai manajer. Manajer sekaligus sebagai pemilik perusahaan akan menyelaraskan

kepentingannya dengan kepentingan pemegang saham.

Menurut alignment of interest theory, semakin banyak saham yang dimiliki oleh

para manajer, tujuan manajer dan pemegang saham akan semakin selaras (Charlier dan

Du Boys, 2010). Manajer akan lebih termotivasi untuk mencari proyek yang

menguntungkan dan kepentingan mereka akan lebih selaras dengan kepentingan para

pemegang saham yang lain seiring meningkatnya saham yang dipegang oleh para

manajer. Hal ini menyiratkan berkurangnya biaya yang dibebankan untuk mangontrol

manajer. Dengan begitu, mekanisme pengawasan menggunakan pembayaran dividen

atau pembelian kembali saham tidak begitu dibutuhkan. Charlier dan Du Boys (2010)

memperlihatkan bahwa distribusi free cash flow menurun dengan adanya kepentingan

pemegang saham manajerial, karena selarasnya kepentingan antara agent dan principal.

Namun, berdasarkan theory of entrenching the managers, Harvey, Collins dan

Wansley (2003) menyatakan bahwa pada tingkat kepemilikan tertentu, manajer

mengambil keuntungan dari control power yang memperkuat posisi mereka dan tidak

untuk memaksimalkan nilai perusahaan. Hal itu tentu tidak sejalan dengan kepentingan

para pemegang saham yang ingin memaksimalkan nilai perusahaan. Perbedaan

kepentingan ini yang pada akhirnya menimbulkan masalah keagenan, sehingga perlu

adanya mekanisme pengawasan untuk mengurangi dampak merugikan dari masalah

keagenan ini. Pengawasan yang bisa dilakukan oleh pemegang saham yaitu dengan

kebijakan pembayaran. Salah satunya melalui program pembelian kembali saham oleh

perusahaan, agar free cash flow yang dimiliki perusahaan tidak dihabiskan oleh manajer

untuk berinvestasi di proyek dengan NPV negatif. Oleh karena itu, dapat ditarik

hipotesis berikut:

H2: Terdapat pengaruh dari kepemilikan manajerial (insiders) terhadap kebijakan

pembelian kembali saham beredar perusahaan

3. Metode Penelitian

Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis pengaruh kepemilikan yang

meliputi kepemilikan institusional dan manajerial terhadap keputusan perusahaan untuk

membeli kembali sahamnya yang beredar. Populasi dari penelitian ini adalah seluruh

perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI). Data untuk penelitian ini

didasarkan pada perusahaan yang melakukan pembelian kembali saham beredar,

sehingga sampel yang diambil adalah perusahaan-perusahaan yang terdaftar di BEI

yang melakukan aksi pembelian kembali saham selama sepuluh tahun terakhir yaitu dari

tahun 2004 sampai dengan tahun 2013 (data diperoleh dari Laporan Tahunan Bapepam-

LK). Periode ini dipilih dengan mempertimbangkan ketersediaan data.

Untuk mengetahui pengaruh dari pemegang saham institusi dan manajerial

terhadap aksi pembelian kembali saham, peneliti tidak menyertakan sampel perusahaan

yang termasuk dalam industri keuangan karena mereka memiliki sistem tata kelola,

ketentuan pendanaan, dan ketentuan pembelian kembali saham yang berbeda

dibandingkan dengan perusahaan dalam industri lain, serta Badan Usaha Milik Negara

(BUMN) karena pada perusahaan BUMN, kepemilikan pemerintah lebih dominan dari

pada kepemilikan investor institusi dan kepemilikan manajerial.

Selain itu, untuk memperoleh pembelian kembali saham yang dihasilkan dari

keputusan distribusi (payout), peneliti menyingkirkan semua pembelian kembali saham

yang ditujukan untuk konversi bond ke saham, employee stock option plans (ESOP),

mengontrol harga saham untuk memperoleh keuntungan perusahaan, go private

(delisting setelah melakukan pembelian kembali saham), atau investasi (seperti

penggabungan usaha). Berdasarkan penetapan kriteria tersebut, maka diperoleh

sebanyak 59 sampel dari berbagai sektor industri yang terdaftar di BEI yang akan

digunakan dalam penelitian ini.

Pemilihan model regresi merujuk pada penelitian El Houcine (2013) dengan

beberapa modifikasi. Berikut model regresi yang digunakan dalam penelitian ini:

𝑁𝑁𝑁𝑁𝑁𝑁 𝑅𝑅𝑁𝑁𝑅𝑅𝑅𝑅𝑅𝑅𝑅𝑅ℎ𝑎𝑎𝑎𝑎𝑁𝑁 = 𝛽𝛽0 + 𝛽𝛽1𝐼𝐼𝑁𝑁𝐼𝐼 + 𝛽𝛽2𝑀𝑀𝑁𝑁𝑀𝑀 + 𝛽𝛽3𝐼𝐼𝐼𝐼𝑆𝑆𝑆𝑆 + 𝛽𝛽4𝐷𝐷𝑆𝑆𝐷𝐷𝐷𝐷 + 𝛽𝛽5𝐹𝐹𝐹𝐹𝐹𝐹 +

𝛽𝛽6𝑅𝑅𝑅𝑅𝑅𝑅 + 𝛽𝛽7𝐷𝐷𝐼𝐼𝐷𝐷 (3.1)

Keterangan: 𝑁𝑁𝑁𝑁𝑁𝑁 𝑅𝑅𝑁𝑁𝑅𝑅𝑅𝑅𝑅𝑅𝑅𝑅ℎ𝑎𝑎𝑎𝑎𝑁𝑁 : pembelian kembali saham oleh perusahaan 𝐼𝐼𝑁𝑁𝐼𝐼 : kepemilikan investor institusional 𝑀𝑀𝑁𝑁𝑀𝑀 : kepemilikan manajerial 𝐼𝐼𝐼𝐼𝑆𝑆𝑆𝑆 : ukuran perusahaan 𝐷𝐷𝑆𝑆𝐷𝐷𝐷𝐷 : rasio hutang terhadap aset perusahaan 𝐹𝐹𝐹𝐹𝐹𝐹 : free cash flow 𝑅𝑅𝑅𝑅𝑅𝑅 : return on assets 𝐷𝐷𝐼𝐼𝐷𝐷 : dividend distribution rate

Variabel terikat dalam penelitian ini adalah pembelian kembali saham bersih

(Net Repurchase) dan variabel bebasnya terdiri dari kepemilikan oleh investor

institusional (INS), kepemilikan manajerial (MNG), ukuran perusahaan (SIZE), rasio

hutang terhadap aset perusahaan (DEBT), free cash flow (FCF), return atas aset (ROA),

dan tingkat pembayaran dividen (DIV). Definisi dan deskripsi dari setiap variabel

sebagai berikut:

a) Pembelian kembali saham bersih (Net Repurchase)

Net Repurchase adalah variabel terikat yang dalam penelitian ini dipengaruhi oleh

sifat kepemilikan dari investor institusional dan orang dalam perusahaan, serta

beberapa variabel bebas lain yaitu: ukuran perusahaan, rasio hutang terhadap total

aset, free cash flow, return on assets, dan tingkat pembayaran dividen. Data

mungkin menunjukkan banyak bentuk pembelian kembali oleh perusahaan seperti

stock repurchase, transfers (konversi bond ke saham), dan cancellation yang

tergantung pada tujuan perusahaan melakukan pembelian tersebut. Untuk

memisahkan pembelian kembali saham yang dihasilkan dari keputusan distribusi

(payout), peneliti menyingkirkan semua accomplished repurchases yang ditujukan

untuk employee stock option plans (ESOP), controlling the price (mengontrol harga

saham untuk memperoleh keuntungan perusahaan, biasanya saham treasuri hasil

pembelian kembali saham dijual kembali dalam jangka waktu yang tidak lama sejak

pembelian kembali saham), atau investasi (seperti penggabungan usaha). Dengan

demikian, akan didapat Net Repurchase. Net Repurchase merupakan pembelian

kembali saham yang diukur menggunakan jumlah saham yang dibeli kembali oleh

perusahaan selama satu tahun, kemudian dikurang dengan saham yang terjual dan

ditransfer.

b) Kepemilikan investor institusional

Variabel kepemilikan investor institusional (INS) merupakan persentase dari saham

perusahaan yang dipegang oleh investor institusional, yang diukur dengan jumlah

saham yang dipegang oleh investor institusional dibagi dengan total jumlah saham

perusahaan yang beredar pada 31 Desember. Jumlah saham yang dipegang oleh

investor institusional diidentifikasi dari laporan keuangan dan laporan tahunan

perusahaan yang bersangkutan.

𝐼𝐼𝑁𝑁𝐼𝐼 = 𝐽𝐽𝑅𝑅𝐽𝐽𝐽𝐽𝑎𝑎 ℎ 𝑎𝑎𝑎𝑎ℎ𝑎𝑎𝐽𝐽 𝑦𝑦𝑎𝑎𝑦𝑦𝑦𝑦 𝑑𝑑𝑑𝑑𝑅𝑅𝑁𝑁𝑦𝑦𝑎𝑎𝑦𝑦𝑦𝑦 𝑜𝑜𝐽𝐽𝑁𝑁ℎ 𝑑𝑑𝑦𝑦𝑎𝑎𝑁𝑁𝑑𝑑𝑁𝑁𝑅𝑅𝑎𝑎𝑑𝑑𝐷𝐷𝑜𝑜𝑁𝑁𝑎𝑎𝐽𝐽 𝑗𝑗𝑅𝑅𝐽𝐽𝐽𝐽𝑎𝑎 ℎ 𝑎𝑎𝑎𝑎ℎ𝑎𝑎𝐽𝐽 𝑏𝑏𝑁𝑁𝑅𝑅𝑁𝑁𝑑𝑑𝑎𝑎𝑅𝑅

(3.2)

Allen et al. (2000) menunjukkan bahwa pemegang saham institusional lebih mampu

untuk mengontrol manajer daripada pemegang saham lainnya. Mereka memiliki

posisi istimewa terhadap akses ke data perusahaan sehingga mereka akan lebih

berpengaruh mengenai keputusan keuangan perusahaan, khususnya kebijakan

distribusi dalam bentuk pembelian kembali saham.

c) Kepemilikan manajerial

Variabel kepemilikan manajerial (MNG) merupakan persentase dari saham

perusahaan yang dipegang oleh manajer, karyawan, direktur dan/atau komisaris

pada perusahaan yang sama (insiders). Jumlah saham yang dipegang oleh mereka

diidentifikasi dari laporan keuangan perusahaan yang bersangkutan.

𝑀𝑀𝑁𝑁𝑀𝑀 = 𝐽𝐽𝑅𝑅𝐽𝐽𝐽𝐽𝑎𝑎 ℎ 𝑎𝑎𝑎𝑎ℎ𝑎𝑎𝐽𝐽 𝑜𝑜𝐽𝐽𝑁𝑁ℎ 𝑘𝑘𝑎𝑎𝑅𝑅𝑦𝑦𝑎𝑎𝑘𝑘𝑎𝑎𝑦𝑦 ,𝑑𝑑𝑑𝑑𝑅𝑅𝑁𝑁𝑘𝑘𝑎𝑎𝑑𝑑 𝑑𝑑𝑎𝑎𝑦𝑦 𝑘𝑘𝑜𝑜𝐽𝐽𝑑𝑑𝑎𝑎𝑎𝑎𝑅𝑅𝑑𝑑𝑎𝑎𝐷𝐷𝑜𝑜𝑁𝑁𝑎𝑎𝐽𝐽 𝑗𝑗𝑅𝑅𝐽𝐽𝐽𝐽𝑎𝑎 ℎ 𝑎𝑎𝑎𝑎ℎ𝑎𝑎𝐽𝐽

(3.3)

Menurut theory of interest convergence (Jensen dan Meckling, 1976), kepemilikan

bagian modal perusahaan oleh manajer merupakan pendorong yang baik untuk

menjalankan perusahaan selaras dengan kepentingan pemegang saham. Dengan

semakin banyaknya bagian modal perusahaan yang dimiliki oleh manajer, tingkat

divergensi (persebaran) kepentingan antara pemegang saham dan manajer akan

semakin rendah. Oleh karena itu, fungsi dari kebijakan pembelian kembali saham

sebagai mekanisme kontrol menjadi tidak berguna.

d) Ukuran perusahaan

Dalam penelitian ini, besarnya ukuran perusahaan dihitung berdasarkan total aset

yang tertera pada laporan keuangannya. Pengukuran terhadap ukuran perusahaan

diproksikan dengan nilai logaritma dari total aset perusahaan. Penggunaan logaritma

ini bertujuan untuk menghaluskan besarnya angka dan menyamakan ukuran saat

regresi. Ukuran perusahaan dilambangkan dengan SIZE.

𝑈𝑈𝑘𝑘𝑅𝑅𝑅𝑅𝑎𝑎𝑦𝑦 𝑃𝑃𝑁𝑁𝑅𝑅𝑅𝑅𝑎𝑎𝑎𝑎ℎ𝑎𝑎𝑎𝑎𝑦𝑦 = 𝐿𝐿𝑜𝑜𝑦𝑦(𝐷𝐷𝑜𝑜𝑁𝑁𝑎𝑎𝐽𝐽 𝑅𝑅𝑎𝑎𝑁𝑁𝑁𝑁) (3.4)

e) Rasio hutang terhadap aset perusahaan

Variabel ini mencerminkan perbandingan antara total hutang (hutang lancar dan

hutang jangka panjang) dan jumlah seluruh aset yang tertera di laporan keuangan

perusahaan. Rasio ini menunjukkan berapa bagian dari keseluruhan aset yang

dibelanjai oleh hutang. Variabel ini dilambangkan dengan DEBT.

𝐷𝐷𝑆𝑆𝐷𝐷𝐷𝐷 = 𝐷𝐷𝑜𝑜𝑁𝑁𝑎𝑎𝐽𝐽 𝐷𝐷𝑁𝑁𝑏𝑏𝑁𝑁𝑎𝑎𝐷𝐷𝑜𝑜𝑁𝑁𝑎𝑎𝐽𝐽 𝑅𝑅𝑎𝑎𝑎𝑎𝑁𝑁𝑁𝑁𝑎𝑎

(3.5)

f) Free cash flow

Variabel ini mencerminkan kas yang tersedia atau dipegang oleh manajer untuk

memenuhi kebutuhan perusahaan setelah dikurangi untuk pengeluaran pendanaan

dan pengeluaran pemeliharaan modal (discretionary funds) yang diukur berdasarkan

laba bersih dikurang dividen dan ditambah dengan depresiasi kemudian dibagi

dengan total aset perusahaan. Free cash flow dilambangkan dengan FCF.

𝐹𝐹𝐹𝐹𝐹𝐹 = 𝑁𝑁𝑁𝑁𝑁𝑁 𝑃𝑃𝑅𝑅𝑜𝑜𝑃𝑃𝑑𝑑𝑁𝑁 −𝐷𝐷𝑑𝑑𝐷𝐷𝑑𝑑𝑑𝑑𝑁𝑁𝑦𝑦𝑑𝑑𝑎𝑎 +𝐷𝐷𝑁𝑁𝑅𝑅𝑅𝑅𝑁𝑁𝑅𝑅𝑑𝑑𝑎𝑎𝑁𝑁 𝑑𝑑𝑜𝑜𝑦𝑦𝑎𝑎𝐷𝐷𝑜𝑜𝑁𝑁𝑎𝑎𝐽𝐽 𝑅𝑅𝑎𝑎𝑎𝑎𝑁𝑁𝑁𝑁𝑎𝑎

(3.6)

g) Return on Assets

ROA merupakan proksi dari profitabilitas yang mencerminkan kemampuan

perusahaan untuk menghasilkan laba. ROA dihitung berdasarkan laba bersih dibagi

total aset perusahaan.

𝑅𝑅𝑅𝑅𝑅𝑅 = 𝑁𝑁𝑁𝑁𝑁𝑁 𝑃𝑃𝑅𝑅𝑜𝑜𝑃𝑃𝑑𝑑𝑁𝑁𝐷𝐷𝑜𝑜𝑁𝑁𝑎𝑎𝐽𝐽 𝑅𝑅𝑎𝑎𝑎𝑎𝑁𝑁𝑁𝑁𝑎𝑎

(3.7)

h) Tingkat Pembayaran Dividen (DIV)

Variabel ini mencerminkan tingkat pendistribusian dividen kepada pemegang saham

yang diproksikan dengan nilai logaritma natural dari rasio dividen terhadap laba

bersih. Dividend distribution rate ini dilambangkan dengan DIV.

𝐷𝐷𝐼𝐼𝐷𝐷 = 𝐿𝐿𝑦𝑦( 𝐷𝐷𝑑𝑑𝐷𝐷𝑑𝑑𝑑𝑑𝑁𝑁𝑦𝑦𝑑𝑑𝑁𝑁𝑁𝑁𝑁𝑁 𝑃𝑃𝑅𝑅𝑜𝑜𝑃𝑃𝑑𝑑𝑁𝑁

) (3.8)

Pengolahan data dirancang untuk meneliti hubungan kausalitas antara variabel

bebas dan variabel terikat secara matematis menggunakan pooled data. Data yang

terkumpul tersebut merupakan sampel yang diambil dari populasi, sehingga memiliki

penyimpangan atau error dari populasi yang nilainya tidak diketahui. Ketepatan dari

nilai observasi sampel sangat ditentukan oleh error. Oleh karena itu, digunakan metode

kuadrat terkecil yang biasa disingkat dengan OLS (Ordinary Least Square). OLS

merupakan metode yang digunakan untuk mencapai penyimpangan atau error yang

minimum dengan cara mencari penduga (koefisien regresi) yang mempunyai error

terkecil. Untuk mendapatkan persamaan regresi yang mendekati populasi, koefisien

regresi harus memiliki sifat BLUE (Best Linier Unbiased Estimate) yaitu mempunyai

sifat yang linier, tidak bias, dan memiliki varian yang minimum.

4. Pembahasan

4.1 Statistik Deskriptif

Tabel 4.1 menunjukkan deskripsi secara statistik untuk semua variabel yang

digunakan dalam model penelitian. Variabel Net Repurchase memiliki rata-rata (mean)

sebesar 98.173.667 lembar saham. Jumlah tersebut lebih besar dari pada jumlah rata-

rata pada penelitian serupa yang dilakukan oleh El Houcine (2013) pada perusahaan-

perusahaan di Perancis sebesar 1.494.767 lembar saham. Dengan hasil tersebut, dapat

dikatakan bahwa perusahaan-perusahaan di Indonesia cenderung melakukan pembelian

kembali saham dalam jumlah lebih banyak. Variabel ini memiliki nilai standar deviasi

sebesar 110.000.000. Nilai tersebut menunjukkan adanya penyimpangan data sebesar

110.000.000 dari rata-rata hitung.

Variabel INS memiliki rata-rata (mean) sebesar 61,51% dengan nilai minimum

dan maksimum masing-masing sebesar 0% dan 99,77%. Dengan nilai rata-rata tersebut,

dapat diketahui bahwa persentase kepemilikan yang dipegang oleh investor institusi

adalah yang tertinggi (61,51%). Hasil ini menunjukkan bahwa perusahaan-perusahaan

di Indonesia cenderung memiliki lebih banyak saham yang dipegang oleh investor

institusional daripada oleh manajerial. Nilai standar deviasi sebesar 0,2238.

Menunjukkan adanya penyimpangan data sebesar 0,2238 dari rata-rata hitung.

Variabel MNG memiliki rata-rata (mean) sebesar 3,95% dengan nilai minimum

dan maksimum masing-masing sebesar 0% dan 79,16%. Nilai rata-rata yang lebih

rendah dibanding kepemilikan institusional dan nilai tengah (median) sebesar nol

menunjukkan bahwa kepemilikan oleh manajer cenderung sedikit pada perusahaan-

perusahaan di Indonesia. Nilai standar deviasi sebesar 0,1476 menunjukkan adanya

penyimpangan data sebesar 0,1476 dari rata-rata hitung.

Variabel SIZE memiliki rata-rata (mean) sebesar 9,3626 dengan nilai minimum

dan maksimum masing-masing sebesar 7,9514 dan 10,4191. Nilai tersebut

menunjukkan bahwa sebagian besar perusahaan yang diambil sebagai sampel memiliki

ukuran yang besar, terlihat dari nilai rata-rata 9,3626 mendekati nilai maksimum dan

lebih jauh dari nilai minimum.

Terlihat pada tabel 4.1 nilai rata-rata, nilai maksimum, dan nilai median variabel

DEBT (rasio hutang) cukup kecil. Hal ini menggambarkan bahwa perusahaan yang

menjadi sampel penelitian lebih tertarik untuk mendanai investasinya menggunakan

penerbitan saham dan cenderung menghindari risiko dari penggunaan tingkat hutang

yang tinggi.

Variabel FCF memiliki rata-rata (mean) sebesar 0,0781 dengan standar deviasi

sebesar 0,0574. Menunjukkan adanya penyimpangan data sebesar 0,0574 dari rata-rata

hitung. Nilai rata-rata tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar perusahaan yang

diambil sebagai sampel memiliki free cash flow yang relatif sama yaitu berkisar

disekeliling 7,81% dari total aset. Hal itu juga ditunjukkan dari nilai standar deviasi

yang tidak terlalu besar.

Pada tabel 4.1, nilai rata-rata (mean) variabel ROA sebesar 0,0684 dengan nilai

minimum dan maksimum masing-masing sebesar -0,0913 dan 0,4527. Dilihat dari nilai

rata-rata, minimum, maksimum, dan standar deviasi, serta kesamaan perusahaan yang

bernilai minimum dan perusahaan yang bernilai maksimum, terlihat kemiripan pola

dengan variabel FCF. Hal ini menggambarkan bahwa perusahaan-perusahaan dalam

sampel penelitian ini memiliki free cash flow yang meningkat seiring dengan performa

perusahaan yang semakin baik. Selanjutnya, nilai rata-rata (mean) variabel DIV sebesar

-1,0414 dengan nilai minimum dan maksimum masing-masing sebesar -6,0128 dan

0,9221. Nilai standar deviasi sebesar 1,1723. Menunjukkan adanya penyimpangan data

sebesar 1,1723 dari rata-rata hitung.

4.2 Uji Regresi

Setelah dilakukan beberapa pengujian untuk memperoleh model penelitian yang

kuat (robust), didapat hasil estimasi koefisiensi yang memiliki sifat BLUE. Tabel 4.2

menyajikan hasil akhir estimasi yang digunakan untuk analisis dalam pengujian

statistik:

Pada tabel 4.2, terlihat nilai adjusted R2 sebesar 0,2812 yang menunjukkan

bahwa variabel-variabel bebas memberikan informasi yang dibutuhkan untuk

memprediksi variasi variabel terikat sebesar 28,12% dari keseluruhan informasi.

Dengan kata lain, masih ada informasi lain sebesar 71,88% dari faktor-faktor lain di luar

model yang mampu menjelaskan variasi variabel terikat net repurchase.

Hasil pengujian menunjukkan bahwa kepemilikan institusional berpengaruh

negatif terhadap kebijakan pembelian kembali saham yang tercermin dari nilai koefisien

regresi dengan arah negatif. Pengaruh negatif kepemilikan institusional terhadap

pembelian kembali saham dapat dijelaskan dengan fakta yang menunjukkan bahwa

investor institusional dapat lebih mengontrol manajer daripada pemegang saham

tersebar lainnya karena mereka memiliki posisi istimewa untuk mengakses informasi

perusahaan dan kompetitornya sehingga biaya monitoring oleh investor institusional

lebih rendah (Shleifer dan Vishny, 1986 serta Allen et al., 2000). Sebagai tambahan,

kepemilikan institusional di Indonesia cukup mampu menjadi alat pengawasan yang

baik. Hal ini dikarenakan pemegang saham institusional telah memiliki kemampuan dan

sarana yang memadai untuk mengawasi perusahaan tempat mereka berinvestasi

(Swandari, 2003). Dengan demikian, dapat ditarik kesimpulan bahwa kebijakan

pembelian kembali saham sebagai alat pengawasan menjadi tidak berfungsi karena

konflik keagenan sudah teratasi oleh kemampuan investor institusional, sehingga

mereka kurang tertarik untuk meningkatkan jumlah saham yang diperoleh kembali.

Selain itu, pembelian kembali saham juga memungkinkan akan mengurangi porsi

kepemilikan mereka yang membuat hak kontrol mereka juga akan berkurang.

Kepemilikan manajerial ditemukan berpengaruh negatif terhadap kebijakan

pembelian kembali saham. Pengaruh kepemilikan manajerial terhadap pembelian

kembali saham dapat dijelaskan dengan teori alignment of interest yang menyatakan

bahwa semakin banyak saham yang dimiliki oleh manajer, tujuan manajer dan

pemegang saham akan semakin selaras. Manajer akan lebih termotivasi untuk mencari

proyek yang menguntungkan dibandingkan menggunakan kelebihan dananya untuk

pembelian kembali saham perusahaan dan akan lebih berhati-hati dalam mengambil

suatu keputusan karena manajer dapat merasakan langsung manfaat dari keputusan yang

diambilnya, demikian juga kerugian dari keputusan tersebut. Selain itu, karena konflik

keagenan kecil, mekanisme pengawasan menggunakan pendistribusian free cash flow

tidak begitu dibutuhkan (Charlier dan Du Boys, 2010). Dengan demikian, dapat ditarik

kesimpulan bahwa kebijakan pembelian kembali saham sebagai alat pengawasan

menjadi tidak berfungsi karena konflik keagenan sudah teratasi oleh semakin selarasnya

tujuan manajer dan pemegang saham outsiders, sehingga cenderung mengurangi jumlah

saham yang diperoleh kembali. Selain itu, manajer akan lebih tertarik untuk

menginvestasikan dananya pada proyek untuk meningkatkan profit.

Selanjutnya, variabel SIZE (ukuran perusahaan) yang diukur dengan total aset

memperlihatkan pengaruh positif terhadap pembelian kembali saham. Hasil tersebut

menunjukkan bahwa perusahaan-perusahaan kecil yang sedang berkembang lebih

termotivasi untuk menginvestasikan 100% cash flow mereka untuk mempercepat

pertumbuhan perusahaan, sementara itu, perusahaan-perusahaan besar lebih

memungkinkan untuk menghasilkan dana lebih dari yang mereka butuhkan untuk

membiayai semua peluang investasi yang menarik dibanding perusahaan kecil (Berk

dan DeMarzo, 2013). Ketika sebuah perusahaan memiliki kelebihan dana, mereka dapat

mendistribusikannya (payout) kepada pemegang saham. Oleh karena itu, perusahaan

dengan ukuran besar lebih mampu untuk melakukan pembelian kembali saham

dibanding dengan perusahaan yang berukuran lebih kecil. Hal ini menggambarkan

bahwa ukuran perusahaan berkontribusi terhadap kebijakan pembelian kembali saham

pada perusahaan-perusahaan di BEI.

Pada tabel 4.2 tampak bahwa variabel DEBT tidak signifikan terhadap variabel

Net Repurchase. Dengan demikian, pengaruh yang kuat antara financial leverage

dengan pembelian kembali saham tidak ditemukan pada perusahaan-perusahaan yang

terdaftar di BEI. Hal ini menggambarkan bahwa leverage ratio kurang memotivasi

perusahaan untuk melakukan kebijakan pembelian kembali saham, sehingga dapat

disimpulkan bahwa hampir tidak ada perusahaan-perusahaan yang terdaftar di BEI

melakukan pembelian kembali saham dengan tujuan untuk mencapai struktur modal

tertentu.

Dalam penelitian ini, free cash flow pengaruh positif terhadap pembelian

kembali saham. Pada perusahaan-perusahaan di BEI, keberadaan free cash flow

memotivasi perusahaan untuk melakukan pembelian kembali saham dengan tujuan

untuk mengurangi konflik keagenan. Tentunya free cash flow tersebut berasal dari

kenaikan profit yang tidak stabil. Jika free cash flow berasal dari profit yang stabil

dalam jangka panjang, maka perusahaan lebih termotivasi untuk meningkatkan

pembayaran dividen (Jagannathan, Stephens, dan Weisbach, 2000).

Dalam penelitian ini, variabel ROA (profitabilitas) memperlihatkan pengaruh

negatif terhadap pembelian kembali saham. Dengan hasil tersebut, maka pengaruh

variabel ROA terhadap Net Repurchase dapat dijelaskan dengan penelitian sebelumnya

yang menunjukkan bahwa perusahaan lebih termotivasi meningkatkan pembayaran

dividennya karena dipandang perusahaan mampu menghasilkan profit yang lebih stabil

dalam jangka panjang. Tingginya rasio profitabilitas menunjukkan bahwa perusahaan

mampu menghasilkan profit yang lebih stabil dalam jangka panjang karena profit

diperoleh dari pengelolaan aset perusahaan (Jagannathan, Stephens dan Weisbach,

2000). Hal itu menggambarkan bahwa performa perusahaan merupakan faktor yang

dipertimbangkan oleh perusahaan-perusahaan di BEI dalam menentukan keputusan

pembelian kembali saham.

Tabel 4.2 menunjukkan pengaruh yang kuat antara tingkat pembayaran dividen

terhadap pembelian kembali saham tidak ditemukan pada perusahaan-perusahaan yang

terdaftar di BEI. Hal ini menggambarkan bahwa tingkat pembayaran dividen bukan

merupakan faktor yang kuat untuk melakukan pembelian kembali saham, sehingga

dapat disimpulkan bahwa perusahaan-perusahaan di BEI tidak begitu

mempertimbangkan tingkat pembayaran dividen ketika memutuskan untuk melakukan

pembelian kembali saham.

5. Kesimpulan

Berdasarkan analisis atas hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa kepemilikan

institusional berpengaruh negatif terhadap kebijakan pembelian kembali saham

perusahaan yang terdaftar di BEI. Hasil ini konsisten dengan penelitian sebelumnya

yang dilakukan oleh Maury dan Pajuste (2002) yang menemukan hasil yang sama.

Selain itu, ditemukan pengaruh negatif kepemilikan manajerial terhadap kebijakan

pembelian kembali saham perusahaan yang terdaftar di BEI. Hasil ini dapat dijelaskan

dengan teori alignment of interest (Charlier dan Du Boys, 2010).

Selanjutnya, hasil dari penelitian ini memberikan gambaran bahwa perusahaan-

perusahaan di Indonesia khususnya yang terdaftar di BEI cenderung memiliki

kepemilikan manajerial yang relatif kecil dibanding dengan kepemilikan institusional.

Namun, hasil penelitian yang dikaitkan dengan teori alignment of interest menyiratkan

bahwa mekanisme pengawasan yang dilakukan oleh manajer sendiri terhadap

penggunaan free cash flow cukup baik. Selain itu, kepemilikan institusional dinilai

cukup mampu menjadi alat pengawas yang baik untuk mengawasi penggunaan free cash

flow yang ada dalam perusahaan sehingga pembelian kembali saham sebagai

mekanisme pengawasan tidak berfungsi di Indonesia. Sementara itu, para manajer

menggunakan free cash flow yang ada dalam perusahaan untuk diinvestasikan kembali

dengan lebih berhati-hati demi meningkatkan performa perusahaan.

Pembelian kembali saham oleh perusahaan-perusahaan di Indonesia cenderung

ditujukan untuk meningkatkan nilai pemegang saham, memulihkan kepercayaan

investor karena krisis ekonomi di tahun 2008, menjaga stabilitas laba per saham karena

kondisi makro ekonomi negara yang bergejolak, dan sebagian ditujukan untuk ESOP

(Employee Stock Option Plan).

Terdapat beberapa keterbatasan dalam penelitian ini. Penelitian belum

mempertimbangkan kondisi ekonomi makro yang mungkin mempengaruhi kebijakan

pembelian kembali saham seperti krisis ekonomi dan fluktuasi signifikan Indeks Harga

Saham Gabungan (IHSG), dan jumlah sampel sangat terbatas mengingat perusahaan

yang melakukan pembelian kembali saham cukup sedikit. Penelitian selanjutnya dapat

menambah jumlah sampel dan periode penelitian agar memperoleh hasil yang lebih

mendalam.

Daftar Pustaka

Allen, F., A. Bernardo, & I. Welch. 2000. A Theory of Dividends Based on Tax Clientele. Journal of Finance, 6, 2499-2536.

Barclay, Michael J., & Clifford W. Smith. 1988. Corporate Payout Policy: Cash Dividends Versus Open-market Repurchases. Journal of Financial Economics, 22, 61-82.

Berk, Jonathan, & P. DeMarzo. 2013. Corporate Finance (3rd Ed). Boston: Pearson Education.

Brav, Alon, et al. 2005. Payout Policy in the 21st Century. Journal of Financial Economics, 77, 483-527.

Dittmar, Amy K. & Robert F. Dittmar. 2002. Stock repurchase waves: An explanation of the trends in aggregate corporate payout policy. Working Papers Series, University of Michigan.

El Houcine, Rim. 2013. Ownership Structure and Stock Repurchase Policy: Evidence from France. Journal of Accounting and Taxation, 5, 45-54.

Fama, Eugene F., & Kenneth R. French. 2001. Disappearing Dividends: Changing Firm Characteristics or Lower Propensity to Pay? Journal of Financial Economics, 60, 3-43.

Ginglinger, Edith, & Jacques Hamon. 2007. Actual Share Repurchases, Timing and Liquidity. Journal of Banking and Finance, 31, 915-938.

Godfrey, Jayne, et al., 2010. Accounting Theory (7th Ed). McDougall, Milton: John Wiley & Sons Australia.

Grinstein, Yaniv, Roni Michaely. 2005. Institutional Holdings and Payout Policy. The Journal of Finance, 60, 1389-1426.

Grullon, Gustavo, & Roni Michaely. 2002. Dividends, Share Repurchases, and the Substitution Hypothesis. The Journal of Finance, 57, 1649-1684.

Harvey, Keith D., M. Cary Collins, & James W. Wansley. 2003. The Impact of Trust-Preferred Issuance on Bank Default Risk and Cash Flow: Evidence from the Debt and Equity Securities Markets. The Financial Review, 38, 235-256.

Undang-Undang tentang Pajak Penghasilan. UU No. 36 Tahun 2008. Jagannathan, M., Clifford P. Stephens, & Michael S. Weisbach. 2000. Financial

Flexibility and the Choice between Dividends and Stock Repurchases. Journal of Financial Economics, 57, 355-384.

Jahera, John S., William P. Lloyd. 1996. An Empirical Assessment of Factors Affecting Corporate Debt Levels. Managerial Finance, 22, 29-38.

Jensen, Michael C. 1986. Agency Cost of Free Cash Flow, Corporate Finance, and Takeovers. American Economic Review, 76, 323-329.

Jensen, Michael C., William H. Meckling. 1976. Theory of the Firm: Managerial Behavior, Agency Costs and Ownership Structure. Journal of Financial Economics, 3, 305-360.

Maury, C. Benjamin, & Anete Pajuste. 2002. Controlling Shareholders, Agency Problems and Dividend Policy in Finland. Finnish Journal of Business Economics, 51, 15-45.

Rau, P. Raghavendra, & Theo Vermaelen. 2002. Regulation, Taxes, and Share Repurchases in the United Kingdom. Journal of Business, 75, 245-282.

Ross, S.A., R.W. Westerfield, & B.D. Jordan. 2013. Fundamentals of Corporate Finance (10th Ed). New York: McGraw-Hill.

Shleifer, Andrei, & Robert W. Vishny. 1986. Large Shareholders and Corporate Control. The Journal of Political Economy, 94, 461-488.

Swandari, Fifi. 2003. Pengaruh Perilaku Risiko dan Struktur Kepemilikan terhadap Kebangkrutan Bank di Indonesia: Kasus Krisis Ekonomi Tahun 1997. Simposium Nasional Akuntansi VI, 227-248.

Vermaelen, Theo. 1981. Common Stock Repurchases and Market Signalling. Journal of Financial Economics, 9, 139-183.

APENDIKS

Tabel 4.1 Statistik Deskriptif

Mean Standard-deviation Minimum Maximum Median

Net Repurchase 98.173.667 110.000.000 359.500 335.699.000 51.062.000

INS 0,6151 0,2238 0 0,9977 0,6429

MNG 0,0395 0,1476 0 0,7916 0

SIZE 9,3626 0,6286 7,9514 10,4191 9,3281

DEBT 0,1882 0,1632 0 0,5782 0,1632

FCF 0,0781 0,0574 -0,0899 0,2831 0,0681

ROA 0,0684 0,0765 -0,0913 0,4527 0,0456

DIV -1,0414 1,1723 -6,0128 0,9221 -0,9142

Tabel 4.2 Hasil Estimasi Persamaan Regresi

Estimasi Persamaan Regresi

Variabel Koefisien Prob (t-Statistik)

INS -208.000.000*** 0,0028

MNG -204.000.000* 0,0683

SIZE 59.413.619** 0,0189

DEBT -10.482.630 0,9106

FCF 919.000.000* 0,0680

ROA -764.000.000** 0,0409

DIV 3.733.464 0,7683

Prob (F-Statistik) 0,000936

Adjusted R-squared 0,28118

Jumlah Observasi 59 *** = signifikan pada α = 1%.

** = signifikan pada α = 5%. * = signifikan pada α =10%.