Upload
others
View
10
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
disusun oleh :Deputi Bidang Koordinasi Ekonomi Digital,
Ketenagakerjaan, dan UMKM
Strategi Kemitraan Usaha Pengembangan Kawasan Industri Halal
Untuk Mendukung Pemberdayaan Usaha Masyarakatyang Berdaya Saing
Berbasis
2020
Tim Penyusun
i
Dr. Ir Rudy Salahuddin, MEM
Chairul Saleh, S.H, L.L.M
RiduwanEdi Sugito
Pringgadi Kridiarto SwastomoArief FirmansyahSSwesti HandayaniFirman TurohmiPetra Kelly Putri H
Risnandha Diksi Alfaris Andri FathurahmanBisma Arya SAlifan Darul Ilma
Dini OktDini Oktaviani HapsariNur Asri KomariyahYulia Pratiwi
Penanggung Jawab
Ketua Tim
Anggota
STRATEGI KEMITRAAN USAHA BERBASIS PENGEMBANGAN KAWASAN INDUSTRI HALAL UNTUK MENDUKUNG PEMBERDAYAAN USAHA MASYARAKAT YANG BERDAYA SAING
Dipublikasikan oleh :Deputi Bidang Koordinasi Ekonomi Digital Ketenagakerjaan dan UMKM
KEMENTERIAN KOORDINATOR BIBIDANG PEREKONOMIAN
DESEMBER 2020
Salah satu agenda kebijakan dalam RPJMN 2020-2024 adalah Kemitraan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) dengan Usaha Besar, yang pengembangannya diarahkan sesuai potensi daerah sea salah satunya untuk mendukung pengembangan Kawasan Industri (KI). Dalam konteks pengembangan ekonomi syariah, RPJMN dan Masterplan Ekonomi Syariah 2020-2024 telah menetapkan program pengembangan Kawasan Industri Halal (KIH). KKajian ini disusun sebagai referensi dalam merumuskan strategi kemitraan usaha berbasis pengembangan KIH melalui sinergi dan kolaborasi lintas stakeholder. Rekomendasi kebijakan yang diusulkan antara lain sebagai berikut: perlu merumuskan suatu program kemitraan usaha dengan skala nasional yang berbasis pengembangan Kawasan Industri Halal (KIH); pentingnya sinergi pentahelix (akademisi, badan usaha, komunitas, pemerintah, dan media) dalam membangun ekosistem industri halal; perlu harmonisasi program strategis yang termuat dalam Masterplan Ekonomi Syariah Indonesia 2019-2024 dengan implementasi prprogram kerja dari Kementerian/Lembaga yang secara spesik berkontribusi terhadap pengembangan industri halal; perlu koordinasi dan sinkronisasi program dengan Kementerian/Lembaga dan Pemerintah Daerah terkait untuk memetakan karakteristik pelaku UMK sehingga pelaksanaan program dapat efektif dan esien; mendorong lebih banyak program kemitraan dengan pelaku usaha besar melalui pendekatan public private people panership dan inklusi bisnis untuk penguatan UMKM; mengoptimalkan peran Pemerintah Daerah, BUMN/D, BUMDesa, dan Sektor Swasta dalam memberikan dukungan pprogram dalam implementasi kemitraan usaha; pelaku UMK dalam kemitraan usaha tidak hanya organisasi masyarakat umum, UMK, dan kelompok usaha masyarakat perlu diperluas pada pesantren/koperasi pesantren; perlu pendekatan tematik pengembangan program kemitraan usaha dikaitkan dengan pengembangan infrastruktur KIH yang ada dengan fokus pada penguatan rantai nilai industri halal dari hulu sampai hilir yang disesuaikan dengan keunggulan komparatif daerah tersebut; memperkuat infrastruktur untuk meningkatkan efektivitas dan standarisasi proses seikasi halal di Indonesia; perlu program insentif untuk pepelaku usaha lokal dan global untuk berinvestasi dalam mendukung perkembangan halal value chain secara komprehensif; sea perlu peningkatan sosialisasi/edukasi publik terkait keberadaan KIH kepada Pemerintah Daerah Provinsi, Kabupaten/Kota, pelaku usaha besar dan menengah, pelaku usaha mikro dan kecil, dan perguruan tinggi.
Ringkasan Eksekutif
Deputi Bidang Koordinasi Ekonomi Digital, Ketenagakerjaan, dan UMKM
vi
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Salah satu agenda kebijakan dan program prioritas dalam RPJMN 2020-2024 adalah
Penguatan Kewirausahaan, UMKM, dan Koperasi, untuk mendukung upaya peningkatan
nilai tambah, lapangan kerja, investasi, ekspor dan daya saing perekonomian. Diantara
agenda kebijakan tersebut yang didorong adalah Kemitraan Usaha Mikro Kecil dan
Menengah (UMKM) dengan Usaha Besar, yang pengembangannya diarahkan sesuai
potensi daerah serta salah satunya untuk mendukung pengembangan Kawasan Industri
(KI).
Penguatan kewirausahaan, UMKM, dan koperasi juga diamanatkan dalam Masterplan
Ekonomi Keuangan Syariah Indonesia (MEKSI) 2019-2024. Untuk mewujudkan Indonesia
sebagai pusat ekonomi syariah terkemuka dunia, dilaksanakan melalui beberapa strategi
diantaranya melalui penguatan halal value chain (terdiri atas industri makanan dan
minuman, pariwisata, fesyen muslim, media, rekreasi, industri farmasi dan kosmetika, dan
industri energi terbarukan) dan penguatan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM).
Penguatan halal value chain berkaitan erat dengan upaya pengembangan ekosistem
industri, termasuk kemitraan antara UMKM dengan industri/usaha skala besar.
Salah satu peran yang diamanatkan kepada Kementerian Koordinator Bidang
Perekonomian dalam Rencana Implementasi Pengembangan Ekonomi Syariah 2020-2024
adalah sebagai Initiative leader untuk Inisiatif Strategis (IS) Pengembangan Kawasan
Industri Halal (KIH). Pengembangan KIH bertujuan untuk menarik minat para investor,
mempercepat pertumbuhan industri halal nasional, memberikan kemudahan bagi pelaku
industri dalam melakukan proses produksi secara terintegrasi dalam satu kawasan yang
memenuhi persyaratan industri halal, serta menjadi showcase bagi produk halal di kawasan
industri potensial.
Upaya pemberdayaan dan kemitraan usaha masyarakat khususnya UMKM, yang berada di
sekitar KIH atau yang menjadi pendukung/pemasok bagi operasionalisasi industri berskala
besar di dalam KIH, merupakan isu kebijakan yang penting untuk dikaji agar pengembangan
2
UMKM dengan pola kemitraan di dalam KIH mampu mengoptimalkan potensi daerah dan
meningkatkan daya saing usaha melalui pelibatan UMKM dalam rantai nilai industri.
Upaya pemberdayaan dan kemitraan UMKM perlu dilaksanakan secara sinergis lintas sektor
serta didukung oleh peran Pemerintah Daerah. Untuk itu perlu dirumuskan strategi
kolaborasi dan sinergi lintas stakeholders untuk mengembangkan kemitraan dan
pemberdayaan ekonomi masyarakat khususnya UMKM berbasis pengembangan KIH serta
bagaimana peran koordinasi kebijakan yang dapat dilaksanakan oleh Kementerian
Koordinator Bidang Perekonomian.
1.2. Maksud dan Tujuan
Berdasarkan perumusan masalah, kajian ini memiliki tujuan sebagai berikut :
1. Memberikan gambaran dan formulasi strategi kemitraan usaha berbasis
pengembangan kawasan industri halal untuk mendukung pemberdayaan usaha
masyarakat yang berdaya saing.
2. Menganalisis potensi industri halal di Indonesia.
3. Pengembangan KIH serta rencana kemitraan usaha untuk pemberdayaan UMKM yang
berdaya saing.
4. Identifikasi pola kemitraan usaha yang sesuai agar dapat mendukung penguatan
UMKM sektor industri halal dalam Kawasan Industri Halal.
5. Mengembangkan Program kemitraan antara UMKM dengan industri besar dalam
rangka mendukung pengembangan KIH.
6. Pemetaan stakeholders dalam upaya pemberdayaan dan kemitraan UMKM dengan
industri skala besar di dalam KIH.
7. Perumusan strategi kolaborasi dan sinergi lintas stakeholders untuk mengembangkan
kemitraan usaha berbasis pengembangan kawasan industri halal untuk mendukung
pemberdayaan usaha masyarakat yang berdaya saing.
8. Program koordinasi untuk lima tahun ke depan.
1.3. Ruang Lingkup
Kajian ini hanya dibatasi pada strategi pengembangan atau penguatan UMKM sektor
industri halal berbasis Kawasan Industri Halal mendukung pemberdayaan usaha
masyarakat yang berdaya saing.
3
1.4. Metodologi
Jenis data yang digunakan dalam kajian ini meliputi data primer dan sekunder. Data primer
diperoleh melalui wawancara dan focus group discussion dengan pemangku kepentingan
dan pelaku usaha terkait serta kunjungan ke Kawasan Industri Halal Cikande, Serang,
Banten.
Sedangkan data sekunder bersumber dari data-data yang diperoleh dari Badan Pusat
Statistik, Bank Indonesia, Kementerian Koperasi dan UKM serta data-data lain yang relevan
dengan penyusunan kajian ini.
1.5. Sistematika Penulisan
Adapun laporan kajian ini terbagi menjadi beberapa pokok bahasan menghasilkan hal-hal
sebagai berikut:
1. Potensi industri halal baik secara nasional maupun global.
2. Penguatan UMK sektor industri halal.
3. Strategi halal value chain (hvc).
4. Pola-pola kemitraan usaha.
5. Inisiatif strategis pengembangan/penguatan UMKM sektor industri halal dalam KIH.
5
BAB II
POTENSI PASAR INDUSTRI HALAL
2.1. Gambaran Kondisi Perekonomian
1. Kondisi Makroekonomi Global
Dalam kurun waktu lima tahun terakhir, pertumbuhan ekonomi global berada dalam
kisaran 2–3 % (yoy) berdasarkan data International Monetary Fund (IMF) dan World
Bank. Proyeksi yang sama pada tahun 2019 dan 2020 juga akan tetap konstan di angka
sekitar 3%.
Rata-rata pertumbuhan ekonomi tertinggi berada di wilayah Asia Selatan dan Asia
Pasifik (6–7%). Sementara rata-rata pertumbuhan ekonomi terendah terjadi di Amerika
Latin dan Karibia (0–1%), bahkan sempat tercatat negatif. Sedangkan pertumbuhan
ekonomi negara-negara maju (advanced economies) dan Eropa tetap stabil di angka 1–
2%.
Pertumbuhan ekonomi global yang relatif stabil ini terjadi di tengah berbagai isu
perdagangan global yang suram, seperti Brexit, serta perang dagang antara Amerika
Serikat dan China yang berimbas terhadap perdagangan global. Selain itu anjloknya
harga minyak dunia pada tahun 2015, krisis ekonomi negara-negara Eropa Mediterania
dan Amerika Latin, kenaikan suku bunga The Fed, serta depresiasi berbagai mata uang
terhadap US Dolar, juga mempengaruhi pertumbuhan ekonomi beberapa tahun
terakhir.
Namun, secara umum, ekonomi global sedang mengalami cyclical recovery dilihat dari
kondisi keuangan global, kebijakan moneter yang akomodatif, consumer confidence
index yang meningkat, serta penguatan harga berbagai komoditas. Meskipun demikian,
proyeksi pertumbuhan ekonomi cenderung menurun lebih jauh. Hal ini tergambar dari
capital deepening yang lemah, lambatnya pertumbuhan produktivitas di berbagai
negara, serta perubahan demografi yang kurang menguntungkan perekonomian global.
2. Kondisi Makroekonomi Indonesia
Perekonomian Indonesia sampai dengan triwulan 3 tahun 2020 mengalami kontraksi
sebesar -3,49% membaik bila dibandingkan dengan triwulan 2 tahun 2020 yaitu sebesar
6
-5,32% dengan konsumsi pemerintah tumbuh sebesar 9,7%. Empat sektor yang
mampu bertahan dan tumbuh signifikan adalah sektor informasi dan komunikasi, jasa
kesehatan dan kegiatan, pertanian serta jasa pendidikan. Sementara sektor-sektor yang
berkontribusi besar terhadap PDB yaitu sektor industri pengolahan, sektor
perdagangan, dan sektor konstruksi baru pulih. Pertumbuhan ekonomi Indonesia dapat
dilihat pada grafik berikut:
Grafik 2.1
Sumber: Data Badan Pusat Statistik (2020)
Pertumbuhan tertinggi terjadi pada sektor jasa kesehatan dan kegiatan sebesar 15,3%
(yoy), jasa informasi dan komunikasi sebesar 10,6% (yoy), pertanian sebesar 2,4% (yoy)
serta jasa pendidikan sebesar 2,2% (yoy).
3. Pertumbuhan Ekonomi Syariah Indonesia
Ekonomi syariah di Indonesia sedang melewati tahap yang penting di tengah
ketidakpastian ekonomi global dan persaingan ekonomi kawasan yang semakin ketat.
Peran dan kontribusi ekonomi syariah terhadap perekonomian nasional masih belum
signifikan dalam membantu Indonesia menghadapi kondisi ekonomi dunia yang
semakin rentan, tak pasti dan kompleks. Namun, kontribusi yang masih minim ini tidak
menggambarkan kondisi dan potensi ekonomi syariah yang strategis dalam
perekonomian Indonesia pada saat ini dan di masa depan.
Peran ekonomi syariah yang minim disebabkan pengembangan berbagai sektor dalam
ekosistem perekonomian syariah belum optimal. Cakupan dan pengembangan
ekonomi syariah yang masih terfokus kepada sektor keuangan juga merupakan
kendala. Perkembangan keuangan syariah yang lebih pesat dipicu oleh beberapa faktor
di antaranya: kebutuhan yang mendesak di masyarakat akan sistem keuangan yang
bebas dari riba, regulasi yang responsif terkait kebutuhan keuangan syariah, dan model
5.19 5.18 4.97
2.97
-5.32
-3.49
-6.8
-4.8
-2.8
-0.8
1.2
3.2
5.2
2017 2018 2019 Q1 2020 Q2 2020 Q3 2020
Pertumbuhan Ekonomi Indonesia 2017-Q3 2020
7
pengembangan sistem keuangan syariah yang sudah tersedia secara global untuk
replikasi.
Di tengah pelemahan ekonomi global yang cukup memberikan tekanan pada kinerja
ekspor Indonesia, perekonomian nasional tahun 2019 tetap berdaya tahan dengan
pertumbuhan 4,97%, ditopang oleh permintaan domestik. Sejalan dengan
perkembangan tersebut, ekonomi syariah Indonesia terus meningkat meski dengan
akselerasi yang tertahan. Namun, jika diwakili oleh sektor prioritas dalam halal value
chain (hvc), kinerja ekonomi syariah secara umum lebih tinggi dibandingkan PDB
nasional dengan pertumbuhan mencapai 5,72%. Perkembangan ini menyebabkan
pangsa ekonomi syariah terhadap perekonomian nasional terus meningkat, hal
tersebut terlihat dalam grafik berikut:
Grafik 2.2
Sumber: Laporan Ekonomi dan Keuangan Syariah, Bank Indonesia 2019
Kinerja ini terutama ditopang oleh sektor makanan halal, yang memiliki kontribusi
terbesar pada pertumbuhan total hvc, hal tersebut dapat dilihat pada grafik berikut:
Grafik 2.3
Sumber: Laporan Ekonomi dan Keuangan Syariah, Bank Indonesia 2019
4.65%
5.20%
5.85% 5.79%5.72%
4.90%5.05% 5.10% 5.18%
5.02%
4.0%
4.5%
5.0%
5.5%
6.0%
2015 2016 2017 2018 2019
Pertumbuhan HVC Tehadap PDB
HVC PDB
2.0 1.8 1.9 2.0 1.8
1.8 2.1 2.3 2.1 2.1
1.1 1.2 1.4 1.2 1.1
-0.2
0.10.2 0.5 0.8
-1.00.01.02.03.04.05.06.07.0
2015 2016 2017 2018 2019
Pertumbuhan HVC (dalam %)
Pertanian Makanan Halal PRM Fesyen Muslim
8
Komposisi kontribusi pertumbuhan cenderung stabil antar sektornya. Namun demikian,
jika dilihat dari tren pertumbuhannya, sektor fesyen muslim secara konsisten
memberikan kontribusi yang terus meningkat dalam lima tahun terakhir.
Perkembangan ini sejalan dengan posisi industri halal Indonesia di tataran global yang
prospeknya terus meningkat, khususnya untuk fesyen muslim. Berbagai program
pengembangan terus diupayakan oleh melalui sinergi dengan otoritas terkait lainnya,
diharapkan akan terus mendukung kinerja ekonomi syariah Indonesia ke depan.
Dalam kurun lima tahun terakhir (2015-2019), pertumbuhan perusahaan yang memiliki
sertifikat halal semakin meningkat. Tren peningkatan jumlah perusahaan yang sudah
bersertifikat halal tersebut dapat terlihat dalam grafik berikut:
Grafik 2.4
Sumber: Laporan Ekonomi dan Keuangan Syariah, Bank Indonesia 2019
Dilihat dari perbandingan jumlah sertifikat halal dan jumlah perusahaan yang sudah
bersertifikat halal, secara rata-rata satu perusahaan memiliki lebih dari satu sertifikat
halal. Sementara itu jika dilihat dari sisi produk, satu sertifikat halal dapat berlaku untuk
lebih dari satu produk. Hal ini dimungkinkan apabila beberapa produk tersebut pada
dasarnya merupakan varian dari satu jenis produk.
Di sisi lain yang menyebabkan sektor riil tidak berkembang adalah persepsi bahwa
sebagian besar pelaku usaha di Indonesia secara substansi sudah memenuhi syarat
halal. Namun persepsi ini terbukti kurang tepat, karena sertifikasi halal berbagai produk
adalah persyaratan utama dalam pemenuhan permintaan pasar baik domestik maupun
7,940 6,564 7,198 11,249 13,9518,676 7,392 8,157 17,398 15,495
77,256
114,264 127,286
204,222
274,796
0
50,000
100,000
150,000
200,000
250,000
300,000
2015 2016 2017 2018 2019
Sertifikat Halal
Jumlah Perusahaan Jumlah Sertikat Halal Jumlah Produk
9
global akan produk halal. Oleh karena itu, konotasi bahwa ekonomi syariah merupakan
hal yang sama dengan keuangan/perbankan syariah harus ditinjau ulang.
2.2. Potensi Pasar Industri Halal
1. Potensi Pasar Industri Global
The State Global Islamic Economics 2019/2020 melaporkan, bahwa jumlah penduduk
muslim dunia pada tahun 2018 adalah sebesar 1,84 milliar jiwa dan jumlah ini akan terus
meningkat dan mencapai 27,5 persen dari total populasi dunia pada tahun 2030.
Peningkatan populasi ini akan meningkatkan permintaan terhadap produk dan jasa
halal secara signifikan.
Tren industri halal saat ini menjadi salah satu topik utama perbincangan di dunia bisnis
internasional. Penjualan dan pembelian produk halal mencapai USD 254 miliar dan
mendorong perekonomian sebesar 1-3% dari Produk Domestik Bruto di negara-negara
anggota OKI.
Pada tahun 2018, estimasi konsumsi umat muslim adalah sekitar USD 2,2 triliun dengan
tingkat pertumbuhan 5,2% (yoy) dan diperkirakan akan mencapai USD 3 triliun pada
tahun 2024. Konsumsi tersebut bersumber dari enam sektor prioritas dan pada tahun
2018 konsumsi umat muslim seluruh dunia adalah sebagai berikut :
a. Sektor makanan dan minuman halal sebesar USD 1,37 triliun dan akan mencapai
USD 1,97 triliun pada tahun 2024 atau rata-rata pertumbuhan pertahun sebesar
6,3%.
Grafik 2.5
Sumber: The State Global Islamic Economics 2019/2020
1.37
1.97
1
1.2
1.4
1.6
1.8
2
2018 2024
Makanan Halal (USD trilliun)
2018 2024
10
b. Sektor fesyen muslim sebesar USD 283 miliar dan akan mencapai USD 402 miliar
pada tahun 2024 atau rata-rata pertumbuhan pertahun sebesar 6,0%.
Grafik 2.6
Sumber: The State Global Islamic Economics 2019/2020
c. Sektor media dan hiburan sebesar USD 220 miliar dan akan mencapai USD 309
miliar pada tahun 2024 atau rata-rata pertumbuhan pertahun sebesar 5,8%.
Grafik 2.7
Sumber: The State Global Islamic Economics 2019/2020
d. Sektor pariwisata sebesar USD 189 miliar dan akan mencapai USD 274 miliar pada
tahun 2024 atau rata-rata pertumbuhan pertahun sebesar 6,4%.
220
309
0
100
200
300
400
2018 2024
Media dan Hiburan(USD miliar)
2018 2024
283
402
0
100
200
300
400
2018 2024
Fesyen Muslim(USD miliar)
2018 2024
11
Grafik 2.8
Sumber: The State Global Islamic Economics 2019/2020
e. Sektor obat-obatan sebesar USD 92 miliar dan akan mencapai USD 134 miliar pada
tahun 2024 atau rata-rata pertumbuhan pertahun sebesar 6,5%.
Grafik 2.9
Sumber: The State Global Islamic Economics 2019/2020
f. Sektor kosmetik sebesar USD 64 miliar dan akan mencapai USD 95 miliar pada
tahun 2024 atau rata-rata pertumbuhan pertahun sebesar 6,8%.
189
274
0
50
100
150
200
250
300
2018 2024
Pariwisatata Halal(USD miliar)
2018 2024
92
134
0
50
100
150
2018 2024
Obat-Obatan (USD miliar)
2018 2024
12
Grafik 2.10
Sumber: The State Global Islamic Economics 2019/2020
Menurut laporan Global Islamic Economics Indicator, negara-negara yang menjadi
pemimpin industri halal ekonomi terbesar dunia antara lain adalah Uni Emirat Arab
(UEA), Bahrain, Malaysia, dan Arab Saudi. Dalam laporan tersebut 15 negara teratas
yang memproduksi produk halal dari beberapa sektor, adalah sebagai berikut:
a. Sektor makanan dan minuman halal, UEA menempati posisi pertama dan
kemudian disusul oleh Malaysia dan Brazil, namun Indonesia tidak masuk dalam 10
besar.
b. Sektor keuangan Islam, Malaysia menduduki peringkat pertama dan disusul oleh
Bahrain dan UEA, Indonesia masuk peringkat ke-10.
c. Sektor pariwisata halal, UEA menduduki posisi teratas dan disusul oleh Malaysia
dan Turki, Indonesia berada pada posisi ke-4.
d. Sektor Fesyen Muslim, UEA menjadi pemegang posisi teratas dan disusul oleh
Indonesia pada peringkat kedua.
e. Sektor media, rekreasi, kosmetik, dan obat UEA memegang posisi teratas dan
Indonesia tidak masuk kedalam 10 besar pemeringaktan tersebut.
Dalam penerapan ekonomi halal, negara yang menjadi pemimpin pasar ekonomi halal
menyatakan bahwa regulasi dan dukungan dalam bentuk program pemerintah
terhadap perkembangan industri halal menjadi hal penting yang sangat memengaruhi
perkembangan industri halal di negara tersebut.
64
95
0
20
40
60
80
100
2018 2024
Komestik(USD miliar)
2018 2024
13
2. Potensi Pasar Industri Halal Nasional
Dalam dua dasawarsa terakhir perkembangan ekonomi dan keuangan syariah sangat
pesat, baik secara global maupun nasional. Pengembangan industri halal merupakan
bagian dari upaya pengembangan ekonomi dan keuangan Syariah.
Dalam Indonesia Halal Economy Report, menyebutkan bahwa jumlah penduduk muslim
Indonesia adalah sekitar 76 persen dari total 260 juta jiwa dengan konsumsi sebesar
USD 218,8 miliar dari produk halal dan jasa dengan pertumbuhan sekitar 5,3% pertahun.
Besarnya potensi industri halal Indonesia harus dimaksimalkan untuk menjadikan
Indonesia sebagai negara dengan industri halal terbesar dan mampu mendorong
perekonomian negara. Oleh karena itu, perlu adanya dorongan kuat dari berbagai
stakeholder yang terlibat untuk mendorong industri halal Indonesia semakin
berkembang dan mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Peluang besar industri halal sangat terbuka lebar untuk setiap negara-negara yang
menghasilkan produk halal. Potensi halal menjadi salah satu potensi ekonomi strategis
dunia seiring dengan naiknya kebutuhan konsumsi halal dunia. Di samping itu, halal
awareness pada masyarakat dunia semakin meningkat ditandai dengan negara-negara
yang bukan merupakan anggota OKI, seperti Thailand dan Korea Selatan yang
melakukan produksi dan sertifikasi produk halal dalam jumlah besar untuk pasar
domestik maupun internasional.
Secara umum, menurut Masyarakat Ekonomi Syariah Indonesia (MEKSI) terdapat
beberapa tantangan dalam pengembangan ekonomi syariah khususnya industri halal
di Indonesia, yaitu sebagai berikut:
a. Regulasi terkait industri halal yang belum memadai.
b. Literasi dan kesadaran masyarakat akan produk halal yang kurang.
c. Interlinkage industri halal dan keuangan syariah yang masih rendah.
d. Peningkatan konsumsi dan kebutuhan produk halal di dalam negeri juga belum
mampu diimbangi dengan jumlah produksinya.
e. Tata kelola dan manajemen risiko sektor halal masih belum memadai.
f. Pemanfaatan teknologi belum optimal pada industri halal.
g. Standar halal Indonesia belum dapat diterima penuh di tingkat global.
14
2.3. Komitmen Pemerintah
Sebagai negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia, Indonesia belum dapat
berperan secara optimal dalam memenuhi permintaan ini. Berdasarkan Global Islamic
Economy Index 2019/2020, ekosistem ekonomi syariah di Indonesia tercatat berada di
posisi ke-5 terbesar secara global. Meskipun kinerja ekspor Indonesia pada produk fesyen
muslim, makanan halal, dan pariwisata halal terus meningkat, namun secara agregat,
Indonesia masih memiliki net impor yang besar untuk produk dan jasa halal, sehingga
berpotensi menambah defisit pada transaksi berjalan. Pengembangan ekonomi syariah di
Indonesia diharapkan mampu memaksimalkan kearifan lokal dalam menangkap peluang
global berupa tren gaya hidup halal yang mengedepankan produksi produk halal, baik dalam
bentuk barang maupun jasa. Untuk itu diperlukan dukungan dan komitmen dari pihak-pihak
terkait agar ekonomi syariah Indonesia dapat bersaing di pasar global, bentuk dukungan
pemerintah yang saat ini sudah terlaksana dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Regulasi
a. Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI), telah mengesahkan dan
menerbitkan Undang-Undang No. 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal.
Undang-Undang ini dikeluarkan sebagai bentuk regulasi produk-produk yang
beredar dimasyarakat diharuskan memiliki jaminan halal untuk memenuhi
kebutuhan konsumsi umat Muslim khususnya.
b. Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja telah diatur
beberapa ketentuan terkait dengan industri halal antara lain:
1) Untuk pelaku Usaha Mikro dan Kecil kewajiban bersertifikat halal didasarkan
atas pernyataan Usaha Mikro dan Kecil (self declared).
2) Pernyataan Usaha Mikro dan Kecil tersebut dilakukan berdasarkan standar
halal yang ditetapkan oleh BPJPH.
c. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2020 Tentang Komite
Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah (KNEKS). Dalam Peraturan Presiden
Republik Indonesia ini KNEKS memiliki tugas dan fungsi sebagai berikut:
1) Tugas
Mempercepat, memperluas dan memajukan pengembangan ekonomi dan
keuangan syariah dalam rangka mendukung ketahanan ekonomi nasional.
2) Fungsi
15
a) Pemberian rekomendasi arah kebijakan dan program strategis
pembangunan nasional di sektor ekonomi dan keuangan syariah.
b) Pelaksanaan koordinasi, sinkronisasi, dan sinergisitas penyusunan dan
pelaksanaan rencana arah kebijakan dan program strategis pada sektor
ekonomi dan keuangan syariah.
c) Perumusan dan pemberian rekomendasi atas penyelesaian masalah di
sektor ekonomi dan keuangan syariah.
d) Pemantauan dan evaluasi atas pelaksanaan arah kebijakan dan program
strategis di sektor ekonomi dan keuangan syariah.
2. Pemangku Kepentingan Ekonomi Syariah
a. Kementerian Agama sebagai regulator.
b. Kementrian Koordinator Bidang Perekonomian sebagai koordinator.
c. Bank Indonesia sebagai regulator.
d. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional sebagai koordinator.
e. Otoritas Jasa Keuangan sebagai regulator.
f. Lembaga Penjamian Simpanan sebagai regulator.
g. Kementerian Keuangan sebagai regulator.
h. Kementerian Badan Usaha Milik Negara sebagai regulator.
i. Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah sebagai regulator.
j. Majelis Ulama Indonesia sebagai regulator.
2.4. Tantangan
Dalam pengembangan industri halal di Indonesia terdapat empat tantangan yang harus
dihadapi, yaitu sebagai berikut:
1. Sumber daya manusia karena memberikan persepsi dan pemahaman yang lebih baik
tentang pasar.
2. Infrastruktur dan produksi. Infrastruktur menjadi kendala dalam pengembangan
industri halal, dan hambatan tersebut berkaitan dengan pelaksanaan Jaminan Produk
Halal (JPH), seperti regulasi, sistem, prosedur, dan jumlah lembaga penjaminan halal.
3. Kebijakan dan jangkauan.
4. Perumusan strategi dalam pengembangan industri halal didasarkan pada pemetaan
kendala yang telah dilakukan.
16
Minimnya keterlibatan umat Muslim dalam industri tersebut dapat menurunkan citra negara
sebagai negara yang memiliki potensi besar untuk menjadi pemain penting dalam industri
halal, terutama dalam jangka panjang. Pekerja dan produsen Muslim diharapkan memiliki
pemahaman yang lebih dalam tentang praktik halal, serta standar hukum dan etika Islam.
Hal ini diharapkan dapat mendorong semakin banyak produk dan perusahaan yang ingin
mendapatkan sertifikasi halal.
Penguatan UMKM berbasis aktivitas sektor industri halal merupakan wujud optimalisasi
potensi dan kearifan lokal dalam menangkap peluang global berupa tren gaya hidup halal
yang mengedepankan produksi produk halal, baik dalam bentuk barang maupun jasa.
Peluang pasar pengembangan industri halal sangat besar, namun sebagai negara dengan
penduduk Muslim terbesar di dunia, Indonesia belum berperan secara optimal dalam
menangkap peluang ini.
17
Area Kerjasama dalam Pengembangan Industri Halal
Kemenkeu
Kemenag
MUI
KNEKS
Kemenko
Perekonomian
Kemenkop
dan UMKM
Area Kerjasama
Pilar 1 Pilar 3
Area Kerjasama
Pilar 1 Pilar 2 Pilar 3
Area Kerjasama
Pilar 1 Pilar 2 Pilar 3
Area Kerjasama
Pilar 1 Pilar 2 Pilar 3
Area Kerjasama
Pilar 1 Pilar 2 Pilar 3
Area Kerjasama
Pilar 1 Pilar 2 Pilar 3
Area Kerjasama
Pilar 1 Pilar 2 Pilar 3
Area Kerjasama
Pilar 1 Pilar 2
Area Kerjasama
Pilar 1 Pilar 2
Area Kerjasama
Pilar 2
Bappenas
Kemenpar Kemendes
BPN
ESDMPertanianKemendikbud
Area Kerjasama
Pilar 1 Pilar 2 Pilar 3
Area Kerjasama
Pilar 1 Pilar 2 Pilar 3
Area Kerjasama
Pilar 1 Pilar 2 Pilar 3
kerjasama dengan Asosiasi
Masyarakat
ICMI
PKES
Termasuk dalam Dewan PengawasKNEKS
19
BAB III
POTENSI USAHA MIKRO KECIL DAN MENENGAH
3.1. Usaha Mikro Kecil Dan Menengah (UMKM)
Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) merupakan sektor ekonomi terbesar di
Indonesia dalam kuantitas, meski secara individu skala ekonomi pelaku sangat kecil UMKM.
Selain itu UMKM juga menyerap lebih dari 80% tenaga kerja nasional, sehingga sektor ini
mempunyai daya ungkit yang besar dalam memperkuat rantai nilai halal. UMKM juga
merupakan pelaku usaha terbesar dalam rantai nilai halal, sehingga penguatan sektor
UMKM akan secara langsung memperkuat industri halal dan mendorong pencapaian
indikator atau capaian utama, baik pemerataan, kesejahteraan, dan juga kemandirian
ekonomi bangsa. UMKM memainkan peranan strategis dalam pembangunan ekonomi
bangsa. Selain dalam pertumbuhan ekonomi dan penyerapan tenaga kerja, usaha semacam
ini juga berperan dalam mendistribusikan hasil-hasil pembangunan.
Strategi utama untuk menguatkan UMKM dilakukan melalui empat program utama:
1. Pembentukan program edukasi untuk usaha mikro.
2. Fasilitas pembiayaan terintegrasi untuk UMKM.
3. Pembangunan database UMKM.
4. Pembentukan program literasi UMKM.
3.2. Penggolongan Usaha Mikro Kecil dan Menengah
Tiga jenis usaha tersebut memiliki kekhasan masing-masing. Setidaknya terdapat dua
ukuran yang menjadi batasan dalam menggolongkan kedua jenis usaha tersebut yaitu:
1. Menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 Tentang Usaha Mikro, Kecil dan
Menengah di atur sebagai berikut:
a. Usaha mikro memiliki kekayaan bersih maksimal Rp 50 juta. Penjualan tahunannya
maksimal Rp 300 juta.
b. Usaha kecil adalah yang mempunyai kekayaan bersih antara Rp 50 juta – 500 juta.
Penjualannya dalam satu tahun mencapai Rp 300 juta hingga Rp 2,5 miliar.
20
c. Usaha menengah mempunyai kekayaan bersih Rp 500 juta - 10 miliar. Penjualan
tahunannya mencapai Rp 50 miliar.
Dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tersebut yang menjadi tolok ukur
penggolongannya adalah berdasarkan kekayaan bersih dan total penjualan tahunan
dari usaha produktif milik orang perorangan dan/ atau badan usaha yang bukan
merupakan anak usaha yang lebih besar.
2. Bank Indonesia juga mempunyai pengertian tersendiri mengenai UMKM. Skala usaha
ditentukan oleh plafond kredit atau pembiayaan modal kerja dan investasi yang bisa
diberikan oleh bank.
a. Usaha mikro adalah yang mempunyai plafond maksimal Rp 50 juta.
b. Usaha kecil mempunyai plafond antara Rp 50 juta - 500 juta.
c. Sedangkan usaha menengah adalah yang mempunyai plafond Rp 500 juta - 5
miliar.
Dengan berbagai definisi di atas, ditambah dengan fokus ekonomi syariah, maka
langkah awal adalah menentukan definisi yang tepat dan seragam antar lembaga, agar
program-program yang akan dijalankan tepat sasaran dan dapat memberikan dampak
yang siginifikan terhadap perkembangan ekonomi syariah yang berbasis pada
penguatan sektor UMKM.
3.3. Kontribusi Usaha Mikro Kecil dan Menengah
1. Perkembangan jumlah UMKM dalam jangka waktu lima tahun terkahir
Grafik 3.1
57.1 58.5260.86 62.1 63.350.654
0.681
0.7310.757
0.783
52
54
56
58
60
62
64
66
2014 2015 2016 2017 2018
Perkembangan UMKM 2014-2018(dalam juta unit)
Usaha Mikro Usaha Kecil Usaha Menengah
21
Sumber: diolah dari Kementerian Koperasi dan UKM (2020)
UMKM memiliki kontribusi yang sangat besar terhadap perekonomian Indonesia.
Jaringannya tersebar ke berbagai pelosok negeri yang merangkul dan menghidupkan
potensi masyarakat luas. Menurut Kementerian Koperasi dan UKM pada tahun 2018.
Jumlah UMKM di Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun. Sejak 2014
hingga 2018 perkembangan UMKM mencapai 13,98%. Pada tahun 2018, jumlah UMKM
telah mencapai 63.350.617 unit. Jauh lebih besar dibandingkan usaha besar yang hanya
berjumlah 5.460 unit. Jumlah ini didominasi oleh usaha mikro sebanyak 62 juta (98,7%),
dengan usaha kecil dan menengah sebesar 815 ribu unit atau hanya 1,3%.
2. Kontribusi UMKM terhadap PDB
Dalam kontribusinya terhadap PDB atas dasar harga berlaku, UMKM juga terus
mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Pada tahun 2018, UMKM menyumbang
sebesar Rp 7.704.635,9 miliar. Total kontribusinya terhadap PDB mencapai 60% dari
total usaha. Hanya saja penyumbang terbesar merupakan usaha mikro dengan 36,82%.
Diikuti usaha menengah 13,57%, dan usaha kecil 9,61%.
Grafik 3.2
Sumber: diolah dari Kementerian Koperasi dan UKM (2020)
3. Penyerapan Tenaga Kerja
UMKM menjadi faktor kunci mengurangi tingkat pengangguran. Sektor ekonomi ini
menyerap tenaga kerja sebesar 116.673.416 jiwa atau 97,02% dari seluruh sektor usaha
3,326 3,841 4,292 4,827 5,303
876 984
1,128 1,234
1,347
1,237 1,401
1,589 1,758
1,923
01,0002,0003,0004,0005,0006,0007,0008,000
2014 2015 2016 2017 2018
Kontribusi UMKM Terhadap PDB 2014-2018(dalam trilliun)
Usaha Mikro Usaha Kecil Usaha Menengah
22
di Indonesia. Usaha mikro menyerap 89,17%. Usaha kecil 4,74%. Sedangkan usaha
menengah menyerap 3,11% atau 3,7 juta tenaga kerja.
Grafik 3.3
Sumber: diolah dari Kementerian Koperasi dan UKM (2020)
Saat ini perbedaan kuantitas skala usaha sangat timpang. Usaha besar jumlahnya hanya
ribuan di satu sisi dan UMKM berjumlah sangat besar di sisi lain. Dengan usaha mikro
sebagai penyerap tenaga kerja terbanyak dan penyumbang PDB terbesar, maka
diperlukan inisiatif yang bisa menumbuhkan usaha mikro menjadi kecil. Lalu yang kecil
menjadi menengah. Kemudian menengah menjadi besar. Hal ini akan berdampak pada
pertumbuhan jumlah produksi nasional yang meningkat secara signifikan.
Tabel 3.1 Penyerapan Tenaga Kerja UMKM Berdasarkan Lapangan Usaha
Sumber: BPS, 2018
Kategori Lapangan Usaha Jumlah Usaha
Jumlah Tenaga Keja
Rata-Rata Penyerapan
Tenaga Kerja A. Pertambangan dan penggalian 170.004 376.711 2
B. Industri pengolahan 4.348.459 11.707.339 3
C. Pengadaan listrik gas/uap air
panas dan udara dingin
29.928 53.538 2
D. Pengelolaan air, pengelolaan
air limbah, pengelolaan dan
91.541 182.817 2
104,624 110,807
103,839 105,509 107,376
5,570
7,307
5,402 6,546
5,831 3,944
5,114
3,587 4,374 3,770
90,000
95,000
100,000
105,000
110,000
115,000
120,000
125,000
2014 2015 2016 2017 2018
Penyerapan Tenaga Kerja UMKM (dalam ribu)
Usaha Mikro Usaha Kecil Usaha Menengah
23
Kategori Lapangan Usaha Jumlah Usaha
Jumlah Tenaga Keja
Rata-Rata Penyerapan
Tenaga Kerja daur ulang sampah, dan
aktivitas remediasi
E. Kontruksi 225.795 2.161.410 10
F. Perdagangan besar dan
eceran, reparasi dan
perawatan mobil dan sepeda
motor
12.097.326 22.493.987 2
G. Pengangkutan dan
pergudangan
1.281.250 1.684.037 1
H. Penyediaan akomodasi dan
penyediaan makanan
minuman
4.431.154 8.530.342 2
I. Informasi dan komunikasi 625.772 977.381 2
J. Aktivitas keuangan dan
asuransi
86.266 406.598 5
K. Real estate 385.491 507.937 1
L. Jasa perusahaan 352.936 1.055.068 3
M. Pendidikan 590.423 5.873,101 10
N. Aktivitas kesehatan manusia
dan aktivitas sosial
209.048 893.338 4
O. Aktivitas jasa lainnya 1.148.296 2.363.281 2
Total 26.073.689 59.266.885 2
Adapun penyerapan 3 besar tenaga kerja oleh UMKM berdasarkan kategori lapangan
usaha adalah dari perdagangan besar dan eceran, reparasi - perawatan mobil dan
sepeda motor sebesar hampir 46,4%, diikuti penyediaan akomodasi dan makan minum
sebesar 17%, kemudian industri pengolahan 16,7%. Industri halal yang termasuk ke
dalam tiga besar usaha UMKM ini adalah makanan dan minuman halal, pariwisata halal,
halal fesyen, serta farmasi dan kosmetik halal. Juga menyentuh media dan rekreasi
halal.
24
3.4. Kondisi Nasional Usaha Mikro, Kecil dan Menengah
1. Perkembangan Teknologi
Penggunaan teknologi saat ini telah merubah kebiasaan bisnis dan konsumen. Seluruh
realisasi bisnis mengalami penyesuaian ulang. Tidak terkecuali UMKM di Indonesia,
harus turut bersaing. Penggunaan teknologi dalam ekonomi digital diproyeksikan
dapat mendorong pertumbuhan ekonomi tahunan sebesar 2% (Deloitte, 2015).
Perdagangan dalam jaringan merupakan sarana yang sangat potensial untuk
mengembangkan UMKM. Dengan semakin aktif dalam menggunakan teknologi,
pendapatan pelaku UMKM mengalami peningkatan sebesar 80% dan pendapatan
UMKM daring 6% lebih tinggi bila dibandingkan dengan UMKM yang belum
memanfaatkan teknologi (Deloitte, 2015).
2. Regulasi Pemerintah
Melihat peran penting UMKM di Indonesia, khususnya untuk pengembangan industri
halal, pemerintah baik pusat maupun daerah telah mengeluarkan beberapa strategi
pengembangan dan peraturan-peraturan yang menargetkan perkembangan UMKM.
Berikut adalah garis besar peraturan-peraturan yang dikeluarkan pemerintah terkait
UMKM dan industri halal:
a. Pemerintah Pusat
1) Undang-Undang No. 20 Tahun 2008 Tentang Usaha Mikro, Kecil, dan
Menengah
Kebijakan ini mengatur pemberdayaan UMKM. Prinsip pemberdayaan UMKM
dengan penumbuhan kemandirian dan kewirausahaan, perwujudan kebijakan
publik yang transparan, pengembangan UMKM berbasis potensi daerah, dan
berorientasi pasar. Pemerintah pusat dan daerah bersama-sama
menumbuhkan iklim usaha dengan menetapkan kebijakan yang meliputi
aspek pendanaan, sarana dan prasarana, informasi usaha, kemitraan,
perizinan usaha, kesempatan berusaha, promosi dagang, dan dukungan
kelembagaan.
2) Undang-Undang No. 1 Tahun 2013 Tentang Lembaga Keuangan Mikro
Peraturan ini mengatur tentang pendirian Lembaga Keuangan Mikro (LKM) di
Indonesia. LKM di Indonesia harus berupa berbadan hukum koperasi atau
25
Perseroan Terbatas. Kegiatan LKM berupa usaha simpan pinjam, yaitu
mencakup pemberdayaan masyarakat melalui pinjaman dalam skala mikro
kepada masyarakat mengelola simpanan dalam prinsip syariah atau
konvensional.
3) Undang-Undang No. 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal
Untuk memberikan kenyamanan, keamanan, keselamatan, dan kepastian
ketersediaan produk halal bagi masyarakat, pemerintah mengeluarkan
peraturan tentang Jaminan Produk Halal. Peraturan ini mengatur bahwa per
tahun 2019, seluruh produk yang dijual di Indonesia sudah tersertifikasi halal
oleh Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH).
4) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja
Dalam undang-undang ini telah mengatur beberapa ketentuan terkait dengan
jaminan produk halal khususnya yang terkait dengan sertifikasi halal untuk
sektor usaha mikro dan kecil.
5) Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 2018 Tentang Pelayanan Perizinan
Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik
OSS (Online System Submission) adalah sistem pendaftaran perizinan usaha
yang dilakukan dalam bentuk dokumen elektronik sesuai dengan peraturan
perundang-undangan. Lembaga OSS menerbitkan izin usaha kepada pelaku
usaha yang tidak memerlukan prasarana untuk menjalankan usaha. Lembaga
OSS bertugas memberikan fasilitas perizinan berusaha kepada pelaku UMKM
berupa pelayanan informasi pelayanan usaha, dan bantuan mengakses laman
OSS untuk mendapatkan perizinan.
6) PERMEN K-UKM No. 16/Per/M.KUKM/IX/2015 Tentang Pelaksanaan
Kegiatan Usaha Simpan Pinjam dan Pembiayaan Syariah oleh Koperasi
Peraturan ini menjelaskan usaha simpan pinjam dan pembiayaan berprinsip
syariah hanya dapat dilakukan oleh koperasi syariah. Peraturan Menteri ini
mengatur secara detail pengurus, wilayah keanggotaan, permodalan, dan
kegiatan usaha KSSPS dengan akad-akad tertentu. Koperasi syariah juga
dapat berperan sebagai penyalur dana ZISWAF (zakat, infaq, sedekah, wakaf,
dan dana sosial lainnya).
26
7) Fatwa DSN-MUI No. 108 Tahun 2016 Tentang Pedoman Penyelenggaraan
Pariwisata Syariah
Dewan Syariah Nasional MUI mengeluarkan fatwa mengenai pariwisata halal
untuk mendukung dan dijadikan rujukan oleh peraturan selanjutnya dalam
wisata halal. Dalam fatwa ini, DSN-MUI menjelaskan akad-akad transaksi yang
terjadi selama penyelenggaraan pariwisata halal. DSN-MUI mewajibkan hotel
syariah untuk menggunakan jasa lembaga keuangan syariah.
b. Pemerintah Daerah
1) Pergub NTB No. 51 Tahun 2015 Tentang Wisata Halal Nusa Tenggara
Barat
Peraturan Gubernur Nusa Tenggara Barat (NTB) mengatur kegiatan usaha
wisata halal di NTB. Pergub ini mengatur syarat-syarat destinasi wisata halal,
standar akomodasi wisata halal, persyaratan pramuwisata perjalanan wisata
halal, dan peran masyarakat dalam wisata halal NTB.
2) Peraturan Daerah Nusa Tenggara Barat No. 2 Tahun 2016 Tentang
Pariwisata Halal
Perda ini melengkapi peraturan yang sudah ada tentang industri pariwisata
halal. Perda ini mengatur kebijakan investasi halal dengan pemberian insentif
investasi sesuai peraturan perundang-undangan, memberikan keringanan
pajak dalam penanaman modal asing, dan menyederhanakan peraturan dan
birokrasi untuk perizinan. Perda ini mengatur promosi untuk berinvestasi di
pariwisata halal, mengatur strategi pemasaran dan promosi pariwisata halal
yang berkesinambungan dan berkelanjutan.
3) Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam No. 8 Tahun 2016 Tentang
Sistem Jaminan Produk Halal
Perda NAD mengeluarkan peraturan mengenai aturan sertifikasi produk halal
dengan standar halal NAD. Pemerintah Aceh bertanggung jawab dalam
pengawasan sistem jaminan produk halal di Aceh. Perda ini menjelaskan tugas
dari petugas SJPH.
Peraturan-peraturan di atas disusun untuk membantu pemerintah mencapai
tujuan berupa dukungan terhadap UMKM yang berkontribusi terhadap
27
perekonomian nasional serta memaksimalkan peranannya dalam
mengembangkan industri halal.
3.5. Peluang dan Tantangan Pengembangan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah
Potensi dan peluang UMK industri halal di Indonesia sangat besar, terutama dilihat dari
jumlah konsumen Muslim potensial. Walaupun demikian, segmen pasar konsumen Muslim
dan konsumen produk halal harus dibedakan karena adanya faktor-faktor yang
mempengaruhi, seperti norma subjektif, sikap, niat membeli produk halal dan tingkat
religiusitas. Pengetahuan mengenai perilaku konsumen Muslim Indonesia harus lebih
didalami agar UMKM industri halal Indonesia dapat berperan maksimal di pasar dalam
negeri dan ekspor di saat yang bersamaan. Potensi konsumen Muslim tidak hanya ada di
Indonesia. Negara – negara Teluk dan Asia Tenggara pun dapat menjadi tujuan ekspor
produk-produk industri halal Indonesia.
Potensi lainnya adalah pengelolaan UMKM industri halal berbasis teknologi. Beberapa pionir
industri halal di Indonesia mengawali usahanya dari ekonomi berbasis digital, industri
perdagangan retail, sampai yang bergerak dalam penyebaran informasi untuk penduduk
pedesaan.
Akan tetapi, lebih dari sepertiga total UMKM di Indonesia masih belum masuk dalam
teknologi digital (Deloitte Access Economics, 2015). Padahal, di tahun 2015 diperkirakan
masuknya UMKM dalam ekonomi digital mendongkrak penjualan sebesar 80% (Deloitte
Access Economics, 2015).
Walaupun sektor UMKM memiliki potensi dan peluang yang besar, akan tetapi terdapat
banyak tantangan dalam mencapai potensi tersebut. Berdasarkan uraian di atas, terdapat
beberapa tantangan yang teridentifikasi, yaitu:
1. Kurangnya pemahaman dan kesadaran tentang pentingnya produk halal, termasuk
sertifikasi halal. Esensi dari industri halal adalah adanya jaminan bahwa produk dan jasa
yang ditawarkan sudah halal dan aman dikonsumsi khususnya untuk konsumen Muslim.
2. Perlunya pendampingan untuk menambah kemampuan manajerial para wirausahawan
untuk dapat melakukan value creation.
3. Kurang tersedianya data yang terpusat dan lengkap mengenai UMKM yang belum
mendapatkan sertifikasi halal sebagai sasaran sosialisasi.
28
4. Kurangnya sumber daya manusia (SDM) untuk melakukan pengawasan dan
pengecekan proses halal dari hulu ke hilir. Saat ini misalnya, kurangnya tenaga
pengawas untuk rumah potong hewan dan di pasar-pasar tradisional.
5. Pembiayaan atau penyaluran dana untuk UMKM, baik dari sisi penyalur yang
persyaratannya tidak aplikatif untuk UMKM, maupun dari sisi minimnya pengetahuan
pemohon dana tentang lembaga keuangan syariah.
6. Infrastruktur di sekitar kegiatan usaha yang masih belum berpihak, seperti izin usaha
yang terkesan lambat, tenaga kerja yang minim keahlian, kurangnya insentif
perpajakan, dan kemudahan akses fasilitas untuk melakukan inovasi produk.
7. Belum adanya platform digital terpadu yang mendata UMKM industri halal termasuk
jenis usaha, produk, dan lokasinya, serta yang bisa mempertemukan pelaku usaha yang
membutuhkan dukungan finansial dengan pihak yang mengalami kelebihan dana.
8. Kurangnya akses terhadap hasil penelitian dan pengembangan yang menggunakan
teknologi untuk memaksimalkan produk (output).
9. Kurangnya pendidikan dan kesadaran pelaku UMKM terhadap penggunaan teknologi
dalam berbisnis, dan tersedianya sarana prasarana.
Sementara permasalahan dari sisi bisnis, UMKM kesulitan mencari mentor untuk konsultasi
pengembangan bisnis, agar bisa naik kelas dari usaha mikro menjadi usaha kecil, dari usaha
kecil menjadi usaha menengah, serta dari usaha menengah menjadi usaha besar. Pelaku
bisnis UMKM memerlukan pendampingan untuk mengembangkan bisnis agar lebih bisa
bersaing di ekonomi digital. Dari pernyataan ini, terlihat indikasi kurang familiarnya pelaku
usaha UMKM Indonesia terhadap layanan keuangan digital yang berpotensi menjadi
sumber modal untuk mengembangkan usaha. Peluang dan tantangan pengembangan
UMKM dapat diidentifikasi pada tabel berikut
Tabel 3.2
Peluang dan Tantangan Pengembangan UMKM
Aspek Peluang Tantangan
Demografi Besarnya jumlah Muslim di Indonesia
Muslim di Indonesia kurang
menyadari pentingnya
mengonsumsi produk halal
29
Aspek Peluang Tantangan
Pemasaran Jumlah Muslim yang besar merupakan
sasaran pemasaran yang potensial
Negara-negara kawasan Timur Tengah
merupakan sasaran pemasaran yang
potensial
1. Adanya aspek-aspek yang
harus dipenuhi dari konsumen
Muslim, yaitu norma subjektif,
sikap, niat membeli dan
religiusitas
2. Kemampuan ekspor UMKM di
Indonesia masih rendah
Ekonomi
Digital
Beberapa pionir UMKM industri halal
berawal dari ekonomi berbasis digital
1. Sepertiga UMKM di Indonesia
belum berbasis teknologi
digital
2. Kurangnya akses terhadap
hasil penelitian dan
pengembangan yang
menggunakan teknologi untuk
memaksimalkan produk
(output)
Pendanaan Setidaknya 20% kredit perbankan
disalurkan kepada UMKM. Bank-bank
BUMN menyumbang 50% di antaranya
Regulasi yang mengatur pendanaan
untuk UMKM sudah banyak
1. Pada praktiknya, penyaluran
dana kepada UMKM masih
minim
2. Untuk pendanaan, mindset
mayoritas pelaku masih
tertuju pada perbankan
Sertifikasi
Halal
Sudah ada UU no 33 tahun 2014
Tentang Jaminan Produk Halal yang
mengatur mengenai kewajiban memiliki
sertifikat halal, termasuk untuk UMKM
Adanya program subsidi sertifikat halal
dari Kementerian Koperasi dan UKM
dan Pemerintah Daerah Provinsi
tertentu
1. Biaya pengurusan sertifikat
halal masih mahal
2. Program subsidi sertifikat
halal belum tersosialisasikan
dengan baik
3. Data yang dimiliki oleh BPJPH
masih terbatas
30
Aspek Peluang Tantangan
4. Kurangnya SDM untuk
pengawasan halal dari hulu ke
hilir
Bisnis Terdapat situs belanja online yang
mampu mempertemukan pengusaha
UMKM dengan pihak yang dapat
memberikan pembiayaan
1. Sulitnya mencari mentor
untuk pendampingan dan
pembiayaan bisnis
2. Minimnya infrastruktur di
sekitar kegiatan usaha
Sumber: Masterplan Ekonomi Syariah Indonesia 2019-2024
Kebutuhan pendampingan usaha sangat diperlukan untuk tiga hal, yaitu
1. Cara menjual produk atau jasa (how to sell).
2. Cara mendapatkan pembiayaan (how to fund).
3. Cara menjalankan usaha (how to operate).
Ketiga hal ini sangat penting dalam mendorong UMKM sebagai peran vital perekonomian
Indonesia untuk mendongkrak PDB.
3.6. Dukungan UMKM Terhadap Klaster Utama Ekonomi Syariah
Dalam Masterplan Ekonomi dan Keuangan Syariah Indonesia telah diidentifikasikan
dukungan UMKM terhadap sektor prioritas ekonomi syariah yaitu sebagai berikut:
Tabel 3.3
Klaster Keterkaitan dengan Klaster UMKM
Makanan
Halal
1. Belum ada peraturan pemerintah atau peraturan menteri yang
menuliskan teknis rinci mengenai auditor halal dalam BPJPH dan siapa
saja yang dapat menjadi mitra BPJPH dalam menangani sertifikasi halal.
2. Pelaku UMKM mengeluhkan mengenai mahalnya harga sertifikasi,
sedikitnya informasi mengenai sertifikasi halal pada pelaku usaha, dan
lamanya proses mendapatkan label.
3. Kurangnya jumlah auditor halal
31
Klaster Keterkaitan dengan Klaster UMKM
4. Pelaku-pelaku UMKM tidak merasa sertifikasi halal dapat menambah
profitnya
5. Adanya kesenjangan antara inisiatif Kementerian K-UKM dengan
jumlah UMKM yang terjaring
6. Diusulkan sertifikasi halal untuk komunitas, sehingga penyelia dan
auditor halal tersedia di tingkat komunitas dan dapat menekan biaya
operasional UMKM halal.
7. Selain itu, diperlukan program sosialisasi agar pentingnya label halal
dapat diterima dalam usaha UMKM, perlunya tenaga sertifikasi halal
yang lebih dekat dengan pelaku UMKM, perlunya skema pengurangan
biaya sertifikasi halal, dan penyederhanaan persyaratan sertifikasi halal
Pariwisata
Halal
1. UMKM merupakan pelaku usaha di setiap entry point value chain
pariwisata halal, yaitu destinasi wisata, airlines & airports, hotel,
restoran, kafe, retailer, dan travel & tour.
2. Pertumbuhan UMKM pariwisata halal secara langsung akan
menyumbangkan pertumbuhan industri terkait. Ditambah lagi hampir
semua UMKM yang tergabung di industri pariwisata halal dapat dibiayai
oleh lembaga keuangan syariah sehingga bisa tumbuh lebih cepat.
Fesyen
Muslim
1. 30% UKM di Indonesia dikuasai oleh industri pakaian Muslim
(Kemenperin, 2016)
2. Akan tetapi akses UMKM terhadap bahan baku masih terbatas
3. Perlunya memperkuat kemitraan antara industri tekstil, desainer,
pemegang brand, serta UKM fesyen untuk mempercepat pertumbuhan
fesyen Muslim
Farmasi dan
Kosmetik
Halal
1. Pelaku usaha besar di kosmetik halal berasal dari UMKM yang bermula
dari pesantren
2. Ini merupakan potensi bahwasanya pelaku UMKM bisa menjadi pemain
utama di industri kosmetik dengan menjadi produsen kosmetik halal
dengan harga terjangkau
32
Klaster Keterkaitan dengan Klaster UMKM
Media dan
Rekreasi
Halal
1. Aplikasi dan game developer merupakan UMKM
2. Sebesar 15 triliun rupiah (2% dari total PDB Ekraf nasional) PDB
merupakan kontribusi subsektor aplikasi dan game developer pada
tahun 2015.
3. Hanya 0,97% usaha subsektor aplikasi dan game developer
mendapatkan pendanaan yang bersumber dari modal ventura.
4. Skema grup angel investor bisa digunakan sebagai katalis untuk
meningkatkan akses permodalan syariah untuk UMKM media dan
rekreasi halal
Ekonomi
Digital
A. Pemerintah Indonesia memberikan dukungan yang besar untuk
mengembangkan sektor ekonomi digital dalam negeri. Kementerian
Koperasi dan UMKM secara khusus memberikan dukungan untuk
ekonomi digital. Program yang digulirkannya adalah UMKM Go Digital.
B. Layanan P2P lending memberikan kesempatan untuk usaha kecil
(UMKM) yang belum dapat memperoleh pinjaman bank (unbankable)
sehingga mendapatkan modal usaha.
C. Strateginya adalah menciptakan lebih banyak UMKM yang didorong
oleh teknologi
Jaminan
Sosial
BAZNAS dan BWI berkorelasi juga dengan lembaga-lembaga existing yang
berhubungan dengan jaminan sosial seperti Lembaga Pengelola Dana
Pendidikan (LPDP), Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), Lembaga
Pengelola Dana Bergulir (LPDB) dan lembaga lain yang terkait dengan
penyediaan jaminan sosial. Jaminan ini disediakan lembaga-lembaga
tersebut untuk UMKM. Di dalamnya terdapat kesempatan meningkatkan
kemampuan SDM melalui pendidikan, akses kesehatan bersubsidi,
permodalan syariah dengan beban lebih ringan dibanding bank.
Keuangan
Syariah
1. UMKM perlu dibuat akses yang memadai dengan lembaga-lembaga
filantropi baik yang terdapat pada perbankan syariah, misal dengan
mengakses dana qardhul hasan pada bank syariah atau dengan
lembaga-lembaga yang mengelola ZISWAF, terutama dengan
33
Klaster Keterkaitan dengan Klaster UMKM
memanfaatkan hasil pengelolaan dana dari lembaga-lembaga wakaf
produktif.
2. Fungsi bank syariah yang saat ini hanya berperan sebagai LKS-PWU
(Lembaga Keuangan Syariah- Pengumpul Wakaf Uang), kedepan harus
didorong perannya menjadi pengelola dana wakaf produktif, atau yang
sering disebut dengan nazir wakaf.
3. Dana haji juga harus dioptimalkan dan ditempatkan di institusi
keuangan syariah dan dialokasikan untuk proyek-proyek UMKM,
fasilitas, dan infrastruktur industri halal.
4. Membangun pusat UMKM di setiap provisi dengan difersivikasi produk.
5. Pemerintah dapat menentukan daerah yang akan dijadikan pusat
UMKM. Selanjutnya lembaga keuangan mikro syariah hingga perbankan
syariah bekerja sama mengembangkannya.
6. Daerah ini juga bisa dijadikan sebagai destinasi pariwisata halal yang
mengusung konsep desa pemberdayaan syariah.
Sumber: Masterplan Ekonomi Syariah Indonesia 2019-2024
35
BAB IV
KAWASAN INDUSTRI HALAL
Dalam Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 17 Tahun 2020 Tentang Tata Cara Memperoleh
Surat Keterangan Dalam Rangka Pembentukan Kawasan Industri Halal telah diatur hal-hal yang
terkait dengan Kawasan Industri Halal (KIH).
4.1. Definisi
Kawasan Industri Halal (KIH) adalah seluruh atau sebagian kawasan industri yang dirancang
dengan sistem dan fasilitas untuk mengembangkan industri yang menghasilkan produk
halal.
4.2. Konsep Pembentukan KIH
Pembentukan KIH didasarkan atas kebutuhan investasi pasar Timur Tengah, adapun konsep
tersebut adalah sebagai berikut:
1. Penyediaan Infrastruktur Terpadu
Efisiensi dan efektif memberikan kemudahan menjalankan industri halal, mulai dari
bahan baku sampai dengan distribusi. Dengan kawasan yang bersifat klaster (zona)
diharapkan KIH tidak memberikan dampak terhadap lingkungan disamping dapat
memberikan jaminan pengawasan yang memenuhi persyaratan halal (menjadi daya
tarik investasi)
2. Memperoleh Fasilitas
Untuk mendorong ekonomi syariah Indonesia diperlukan adanya dukungan dari
Pemerintah khususnya yang berkaitan dengan fiscal untuk meningkatkan daya saing
produk halal terhadap kebutuhan pasar global yang sangat besar.
3. Pembentukan Rantai Nilai Halal
Pengembangan selanjutnya untuk mendorong kebijakan alternatif Pemerintah terkait
dengan penguatan keuangan syariah pada industri halal yang disertai dengan
penguatan usaha mikro dan kecil yang bekerjasama dengan pelaku usaha halal local
dan global berikut dengan penguatan sumber daya manusia halal Indonesia.
36
4.3. Fokus Pengembangan KIH
Pengembangan KIH memiliki tiga fokus utama yaitu:
1. Pengembangan KIH sebagai kontributor utama yang penting bagi pertumbuhan
ekonomi nasional,
2. Pengembangan standar halal yang komprehensif untuk percepatan petumbuhan
industri halal nasional.
3. Peningkatan kontribusi industri halal terhadap neraca perdagangan nasional pada
sektor-sektor halal unggulan
Pengembangan industri halal akan dikembangkan pada empat sektor industri yaitu
makanan dan minuman halal, fesyen muslim, farmasi dan kosmetik.
4.4. Kriteria dan Persyaratan KIH
Suatu kawasan dapat dikategorikan sebagai KIH harus memenuhi kriteria dan persyaratan
sebagai berikut:
1. Kriteria
a. Seluruh area kawasannya dialokasikan untuk perusahaan industri yang
menghasilkan produk halal, atau kawasan industri yang sebagian areanya
merupakan zona khusus berupa hamparan lokasi utuh yang digunakan untuk
menampung perusahaan industri yang menghasilkan produk halal.
b. Kawasan Industri yang didalam areanya menyediakan sarana dan prasarana yang
secara fungsi dan lokasi bersifat terintegrasi dan mendukung kehandalan
perusahaan industri didalamnya untuk menghasilkan produk halal sesuai dengan
ketentuan perundang-undangan di bidang jaminan produksi halal.
2. Sarana dan Prasarana
a. Lembaga Pemeriksa Halal dan Laboratorium Halal.
b. Instalasi Pengolahan air baku halal.
c. Kantor Pengelola.
d. Pembatas.
e. Tim Manajemen Halal.
f. Dokumen Sistem Manajemen Halal.
4.5. Master Plan Pembangunan KIH
37
Sampai dengan tahun 2020 terdapat enam kawasan yang mengajukan permohonan untuk
dijadikan sebagai KIH yaitu :
1. Bintan Inti Industrial Estate, Bintan, Kepulauan Riau.
2. Batamindo Industrial Park, Batam, Kepulauan Riau.
3. Kawasan Industrial Surya Borneo, Kotawringin Barat, Kalimantan Tengah.
4. Jakarta Industrial Estate Pulogadung, Jakarta Timut, DKI Jakarta.
5. Modern Cikande Industrial Estate, Serang, Banten.
6. Kawasan Industri Safe N Lock, Sidoarjo, Jawa Timur.
Dari enam kawasan tersebut yang sudah mendapatkan izin sebagai KIH adalah Modern
Cikande Industrial Estate, Serang, Banten seluas 500 ha dan Kawasan Industri Safe N Lock,
Sidoarjo, Jawa Timur seluas 9,9 ha.
Gambar 4.1
Master Plan Rencana Pembangunan KIH
4.6. Pemangku Kepentingan Dalam Pengembangan Kawasan Industri Halal
Dalam pelaksanaan Kawasan Industri Halal (KIH), maka pemangku kepentingan yang
diharapkan peran dan kontribusinya adalah sebagai berikut:
1. Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian
38
Sesuai dengan Perpres Nomor 37 tahun 2020 Tentang Kementerian Koordinator
Bidang Perekonomian, peran yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan
koordinasi, sinkronisasi, dan pengendalian terhadap program K/L terkait dengan
pengembangan Kawasan Industri Halal (KIH).
2. Kementrian Perindustrian
Kementerian Perindustrian telah mencanangkan untuk membentuk kawasan industri
halal yang ditargetkan selesai sebelum tahun 2020. Namun, Kementerian Perindustrian
saat ini tidak langsung membangun kawasan industri tersebut, melainkan dengan
membentuk suatu zona khusus sebagai pilot project untuk dilanjutkan menjadi KIH.
Sampai dengan bulan November 2020 telah ditetapkan dua KIH yaitu, Modern Valley
Cikande, Serang, Banten dan Safe and Lock, Sidoarjo, Jawa Timur. Program dukungan
pemerintah sebagaimana yang telah disebutkan di atas belum terlalu berpengaruh
signifikan terhadap perkembangan industri halal di Indonesia. Perlu adanya gebrakan
baru dalam bentuk regulasi dan sistem program untuk memacu industri halal
berkembang pesat dan mampu bersaing dengan negara-negara lainnya.
3. Kementrian Agama
Pengembangan KIH perlu didukung oleh sumber daya manusia yang kompeten
sehingga seluruh sarana dan prasarana yang tersedia di KIH dapat berjalan sesuai
dengan yang diharapkan. Kementerian Agama berperan untuk menyediakan atau
mendidik sumber daya manusia yang kompeten dalam mendukung pelaksanaan
pengembangan KIH.
4. Kementerian Koperasi dan UKM
Pencapaian tujuan UMKM sebagaimana disusun oleh Kementerian Koperasi dan Usaha
Kecil Menengah (Kemenkop-UKM, 2015), dilaksanakan melalui upaya berikut ini:
a. Peningkatan kompetensi UMKM dalam kewirausahaan dan inovasi, teknik produksi
dan pengelolaan usaha, serta pemasaran di dalam dan luar negeri.
b. Peningkatan jangkauan, skema dan kualitas layanan sistem pendukung koperasi
dan UMKM terkait diklat, pembiayaan, pendampingan usaha, layanan teknologi
dan informasi, intermediasi pasar, dan kemitraan.
39
c. Peningkatan iklim usaha yang kondusif melalui penetapan dan perbaikan
peraturan dan kebijakan, kemudahan perizinan, serta peningkatan kesempatan,
kepastian dan perlindungan usaha.
d. Peningkatan keterpaduan kebijakan lintas instansi dan pusat-daerah yang
didukung peran dan partisipasi pemangku kepentingan lainnya.
5. Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah
Dalam Masterplan Ekonomi Syariah Indonesia (MEKSI), terdapat empat strategi utama
yang menjadi acuan para pemangku kepentingan ekonomi syariah. Strategi tersebut
adalah:
a. Penguatan halal value chain (terdiri atas industri makanan dan minuman,
pariwisata, fesyen Muslim, media, rekreasi, industri farmasi dan kosmetika, dan
industri energi terbarukan).
b. Penguatan keuangan syariah.
c. Penguatan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM).
d. Penguatan ekonomi digital (terutama perdagangan elektronik dan teknologi
finansial. Tujuannya adalah untuk mewujudkan Indonesia yang mandiri, makmur
dan madani dengan menjadi pusat ekonomi syariah terkemuka dunia.
Dalam Rencana Implementasi Pengembangan Ekonomi Syariah Indonesia 2020-2024
yang disusun sebagai penjabaran dari MEKSI, terdapat 11 Inisiatif Strategis dalam
Bidang Pengembangan Ekonomi Syariah dan Industri Halal yaitu:
a. Penyusunan Rencana Pengembangan Industri Halal.
b. Pengembangan Kawasan Industri Halal.
c. Pembentukan Close Loop Halal Value Chain System.
d. Integrasi Perizinan Industri Halal.
e. Inkubasi Bisnis Digital Industri Halal.
f. Penguatan Marketplace Halal.
g. Digitalisasi Informasi Industri Halal Indonesia.
h. Konsolidasi dan Sentralisasi Informasi UMKM.
i. Peningkatan Kualitas UMKM sektor Industri Halal.
40
j. Pengembangan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (One Stop Service Center).
k. Rancangan Pedoman Umum (Guiding Principles) Industri Halal.
6. Badan Pengelolaan Jaminan Produk Halal
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal,
otoritas sertifikasi halal diserahkan kepada Badan Pengelola Jaminan Produk Halal
(BPJPH) di bawah Kementerian Agama, setelah selama ini otoritas tersebut berada di
Lembaga Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika-Majelis Ulama
Indonesia (LPPOM-MUI).
7. Majelis Ulama Indonesia
Majelis Ulama Indonesia (MUI) akan bekerjasama dengan BPJPH dalam melaksanakan
kewenangannya dalam bentuk: Sertifikasi Auditor Halal, Penetapan kehalalan Produk
dan Akreditasi Lembaga Pemeriksa Halal (LPH). Khusus yang terkait dengan Sertifikasi
Auditor Halal, kerjasama BPJPH dengan MUI mengenai Sertifikasi Auditor Halal
meliputi pendidikan, pelatihan dan uji kompetensi.
8. Lembaga Pemeriksa Halal
4.7. Pembagian Peran Kementerian/Lembaga Dalam Kawasan Industri Halal
Pembagian peran Kementerian/Lembaga terkait:
1. Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian: Menyusun regulasi dan insentif bagi
industri yang berada di KIH, melakukan riset dan analisis mengenai potensi pasar di KIH,
Menjadi fasilitator untuk menghubungkan investor baik dalam dan luar negeri dengan
pelaku bisnis pada KIH untuk mendapat pembiayaan.
2. Kementerian Perindustrian: Menyusun peta klaster dan/atau daerah unggulan yang
berpotensi untuk mendorong pertumbuhan industri halal Indonesia, promosi KIH serta
mengkoordinasikan sentra IKM yang berada di sekitar KIH untuk dapat bekerja sama
dengan industri halal di dalam KIH.
3. Kementerian Agama: mengidentifikasi pesantren/koperasi pesantren sasaran yang
mempunyai kapasitas terlibat dalam program ini.
4. Kementerian Koperasi dan UKM: mengembangkan program kemitraan antara pelaku
UKM dan Koperasi yang memiliki kapasitas dengan usaha besar dan menengah.
5. Kementerian Pertanian: mengidentifikasi UMK binaan disektor pertanian yang dapat
membangun kemitraan dengan pelaku industri pertanian yang berada di sekitar KIH.
41
6. Kementerian Kelautan dan Perikanan: mengidentifikasi UMK binaan di sektor perikanan
dan kelautan dan membangun kemitraan dengan pelaku industri perikanan yang
berada di sekitar KIH.
7. Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah: merumuskan kebijakan strategis
dalam pengembangan KIH.
4.8. KIH Modern Cikande Industrial Estate
1. Gambaran Singkat
Modern Cikande Industrial Estate merupakan kawasan industri yang terletak di
Cikande, Kabupaten Serang, Provinsi Banten dengan luas total area seluruhnya adalah
3.175 ha. Dari luas total tersebut yang diperuntukan sebagai KIH adalah seluas 500 ha.
Pembangunan KIH tersebut diperkirakan memakan waktu selama lima tahun dan akan
dibangun melalui tiga tahap, yaitu tahap pertama seluas 150 ha, tahap kedua seluas 150
ha dan tahap ketiga seluas 200 ha. Tahap pertama telah dilakukan pembangunan sejak
bulan Oktober 2019. Fasilitas yang tersedia di KIH Modern Cikande Industrial Estate
adalah sebagai berikut:
a. Proses yang terintegrasi dan fasilitas pendukung.
b. Pusat Penelitian dan Pengembangan.
c. Politeknik Teknologi Pangan.
d. Sistem Manajemen Mutu Halal.
e. Lembaga Pembiayaan Syariah.
f. Pelabuhan, Logistik dan Fasilitas Kepabeanan.
Saat ini untuk area industri halal tersebut telah memiliki satu tenan yaitu PT. Charoen
Phoekpand Indonesia sebuah perusahaan perusahaan multinasional berasal dari
Thailand yang memiliki enam belas bidang usaha antara lain dibidang pembibitan ayam
ras, kegiatan rumah potong dan pengepakan daging unggas dan bukan unggas serta
industri pengolahan dan pengawetan produk daging dan daging unggas. PT. Chaoren
Phokpand Indonesia menempati areal seluas 150 ha. Berikutnya akan diikuti oleh tenan
yang lain yaitu PT. Paragon Technology dan Innovation sebuah perusahaan yang
bergerak dibidang kosmetik dengan merek Wardah Cosmetics, Make Over dan Emina
Cosmetics.
42
2. Informasi Tenan (Kisah Sukses Halal Value Chain)
PT Charoen Pokphand Indonesia
a. Gambaran umum perusahaan
PT. Charoen Pokphand Indonesia, Tbk. (PT. CPI) didirikan pada tanggal 7 Januari
1972 dihadapan notaris Gede Ngurah Rai, berdasarkan Akta No. 6 di Jakarta dan
bergerak pada bidang produksi dan perdagangan pakan ternak. PT. CPI
merupakan Perusahaan Penanaman Modal Asing (PMA) yang berpusat di Thailand.
Keputusan pendirian perusahaan di Indonesia ini, karena melihat Indonesia
berpotensi bagi industri. PT. CPI juga telah menjadi Perusahaan Terbuka dan telah
terdaftar di Bursa Efek Indonesia dengan kode emiten CPIN.
Pada tahun 1995, PT. CPI memperluas usahanya dengan mendirikan PT. CPI –
Chicken Processing Plant yang merupakan industri rumah potong dan pengolahan
daging ayam di daerah Cikande, Tangerang di atas lahan seluas 2,1 hektar.
b. Produk yang Dihasilkan
Sebagai industri pemotongan dan pengolahan daging ayam, PT. CPI menghasilkan
berbagai macam produk seperti daging ayam olahan, Sosis, Nugget, Crispy Crunch,
Spicy Wing dan lain-lain. PT. CPI – Chicken Processing Plant memproduksi empat
produk utama yaitu Fiesta, Okey, Champ dan Akumo. Masing-masing produk
tersebut telah dilakukan pengontrolan dan pengendalian mutu untuk mencapai
standar mutu yang ditetapkan oleh perusahaan dengan tetap memperhatikan
standar kehalalan.
Tabel 4.2. Jenis Produk Nugget
Merek Produk
Fiesta Chicken Nugget
Stikie
Karage
Crispy Crunch
Spicy Wing
Champ Chicken Nugget
Chicken Stick
Chicken Nugget Coin
Okey Stik Okey
Nugget Okey
43
Akumo Nugget Akumo
PT. CPI - Chicken Processing Plant didukung oleh pengalaman teknologi dan
sumber daya manusia yang terbaik, dalam perjalanannya PT. CPI - Chicken
Processing Plant telah membuktikan dirinya sebagai perusahaan pengolahan
daging ayam yang bermutu di Indonesia. Visi PT. CPI - Chicken Processing Plant
adalah menjadi produsen kelas dunia makanan olahan dari daging ayam khususnya
dan bahan lain umumnya dengan Misi adalah membantu meningkatkan kualitas
bangsa Indonesia dan dunia serta memuaskan pelanggan dengan memproduksi
makanan olahan yang bermutu tinggi dan halal dengan menerapkan Good
Manufacturing Practice (GMP), Sanitation Standard Operating Procedure (SSOP),
Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP) dan ISO 9001.
Produk PT. CPI - Chicken Processing Plant merupakan produk dengan kualitas
terbaik, dimulai dengan proses pemilihan bahan baku ayam yang memenuhi
standar ayam yang sehat, bebas dari segala penyakit, proses pemotongan dan
pembersihan ayam yang dilakukan dengan halal dan higienis, juga proses
pengolahanya yang diawasi secara ketat dan sesuai dengan standar makanan
yang bermutu tinggi, sampai pada kemasan dan kualitas kontrol, serta distribusi
yang dilakukan oleh sumber daya manusia yang terbaik, didukung oleh mesin
mesin yang modern dan berteknologi tinggi.
PT. CPI - Chicken Processing Plant, memproduksi dan memasok produk yang
bermutu tinggi untuk keperluan industri makanan di Indonesia. PT. CPI - Chicken
Processing Plant, sangat mengutamakan kebersihan dan kualitas dari produk yang
dihasilkan, untuk itu masalah sanitasi dan higienis serta jaminan halal sangat
diutamakan, untuk menghasilkan produk bermutu tinggi dan memenuhi harapan
serta kebutuhan pelanggan.
PT. CPI - Chicken Processing Plant mengeluarkan kebijakan mutu yang merupakan
kebijakan perusahaan yaitu: senantiasa menghasilkan produk yang bermutu tinggi,
halal dan aman untuk dikonsumsi dalam rangka pencapaian visi & misi perusahaan
sehingga dapat memberikan jaminan kepuasan kepada pelanggan dengan motto
“A Tradition of Quality”.
c. Manajemen Rantai pasok di PT Charoen Pokphand Indonesia
Dalam memproduksi makanan olahan ayam, PT. CPI - Chicken Processing Plant
membutuhkan berbagai macam sarana produksi pangan untuk menghasilkan
44
produk yang diinginkan. Sarana produksi pangan yang sangat penting dan
dibutuhkan oleh PT. CPI - Chicken Processing Plant ini adalah Ayam, Bumbu
(Premix), dan berbagai kemasan untuk memproduksi makanan olahan ayam.
PT. CPI - Chicken Processing Plant bekerja sama dengan beberapa pemasok
sarana produksi pangan, dan tidak menggantungkan pada satu perusahaan
sebagai pemasok utama. Dengan memiliki pemasok yang sudah cukup kuat, hal
tersebut akan menjamin kontinuitas dari ketersediaan sarana produksi pangan
yang dibutuhkan oleh perusahaan.
Dalam rantai pasok PT. CPI - Chicken Processing Plant terdapat beberapa pihak
yang terlibat yaitu terdiri dari:
1) Peternak Ayam (UMK).
2) Penghasil Bumbu.
3) Penghasil Plastik.
4) PT. Charoen Pokphand Indonesia Jaya Farm.
5) Pabrik bumbu.
6) PT. Sarana Prima.
7) PT. Charoen Pokphand Indonesia- Chicken Processing Plant.
8) Distributor PT Prima Food International.
9) Departement Store.
10) Mitra.
Secara garis besar rantai pasok PT. CPI, Tbk adalah sebagai berikut
45
Gambar 4.2
Bagian upstream (hulu), supply chain meliputi aktivitas dari suatu perusahaan
manufaktur dengan para supplier, yaitu supplier bahan baku dan supplier
kemasan.
1) Aliran Material
PT. CPI memproduksi berbagai macam produk olahan daging ayam. Produk
yang menjadi unggulan perusahaan ini adalah naget ayam. Bahan baku yang
digunakan untuk pembuatan naget ayam adalah ayam broiler, bumbu
(Premix), serta plastik yang aman bagi pangan untuk mengemas produk.
a) Ayam Broiler
Ayam yang digunakan untuk produksi naget dan sosis adalah Ayam
Broiler. Ayam Broiler merupakan jenis ayam yang dalam proses
pengolahannya akan menjadi makanan olahan daging ayam. Superior
dalam tingkat kualitas ayam menunjukkan bahwa ayam tersebut adalah
grade pertama, meskipun standar superior sendiri berbeda untuk
masing-masing peternakan. Ayam broiler yang digunakan oleh PT. CPI
46
selain dari grup usaha PT. CPI juga diperoleh dari peternak-peternak lokal
(UMK) yang telah menjadi mitra PT. CPI.
b) Bumbu (Premix)
Bumbu (Premix) berfungsi untuk memberikan rasa pada produk yang
dihasilkan. Bumbu (Premix) yang digunakan sebagai bahan pendukung
pembuatan produk merupakan Bumbu (Premix) terbaik yang didapat
langsung dari supplier terutama dalam hal warna dan rasanya.
c) Bahan Pengemas dan Pemasok Bahan Pengemas
Plastik merupakan bahan pengemas yang langsung kontak dengan
produk. Plastik yang digunakan terbuat dari bahan tahan dingin. Sebelum
plastik digunakan untuk proses produksi, plastik disimpan dalam dry
store.
2) Aliran Produk
Produk-produk makanan olahan ayam yang dihasilkan menggunakan kualitas
terbaik serta melalui penelitian yang cukup lama oleh departemen riset dan
pengembangan perusahaan sehingga produk dari PT. CPI memiliki kualitas
dan keuntungan yang lebih dibandingkan dari pesaing-pesaingannya dan
hingga saat ini PT. CPI selain sebagai market leader juga price leader.
Downstream (arah muara) rantai pasok meliputi semua aktivitas yang
melibatkan pengiriman produk kepada pelanggan akhir. Dalam
pengembangan bisnisnya, PT. CPI telah mendistribusikan produknya ke
seluruh penjuru Nusantara. Di bawah kantor penjualan, selanjutnya jalur
distribusi memiliki tiga tingkat:
a) Agen/Sub-distributor/Wholesaler yang berada di lingkungan PT. CPI
yang disebut dister.
b) Sub-Wholesaler, yang sering juga disebut sub-agen.
c) Retailer (mitra) untuk tingkat Dister dikenal Dister Aktif (DA) dan Dister
Pasif (DP). DA tidak hanya menunggu pembeli datang ke tempatnya, tapi
juga mendistribusikan produk hingga tingkat pengecer. Sedangkan DP
hanya menunggu pembeli datang ke tempatnya.
d) Di Indonesia, jumlah dister terbanyak berada di Jabodetabek. Adapun
untuk level pengecer, PT. CPI telah membuat tiga segmen yaitu:
(1) Departemen Store yang meliputi Hypermart, Superindo, Carrefour,
Giant.
47
(2) Mitra yang meliputi: Usaha Kecil Menengah (UKM), Koperasi, Pasar,
Toko Kelontong;
(3) Pemakai akhir.
Melalui jalur-jalur distribusi itulah produk PT. CPI dipasarkan hingga pemakai
akhir.
3. Hasil Kunjungan KIH
Pada tanggal 10 November 2020 telah dilakukan Focus Group Discussion (FGD)
kunjungan ke lokasi KIH Modern CIkande Industrial Estate, Serang, Banten yang dihadiri
oleh:
a. Kementerian Koordinator BIdang Perekonomian.
b. Kementerian Perindustrian.
c. Dinas Koperasi, Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Serang.
d. Dinas Pertanian, Kabupaten Serang.
e. Modern Cikande Industrial Estate.
f. PT. Charoen Pokphand, Cikande.
Dari hasil FGD tersebut diperoleh informasi sebagai berikut
a. KIH Modern Cikande Industrial Estate, Serang, Banten dalam pengembangan
industri halal fokus kepada tiga sektor yaitu makananan dan minuman halal,
farmasi dan komestika.
b. Keberadaan KIH belum tersosialisasi secara luas, pihak dinas yang hadir dalam
FGD merasa belum memperoleh informasi bahwa KIH telah terbentuk di wilayah
Kabupaten Serang.
c. Pemerintah Daerah Kabupaten Serang telah memiliki program-program kerja
dengan pola kemitraan khususnya makananan halal untuk komoditas kambing,
ayam dan bebek. Dengan telah adanya program-program kerja ini apabila maka
KIH Modern Cikande Industrial Estate dapat diusulkan menjadi role model
pengembangan KIH dengan strategi kemitraan UMK dengan Usaha Menengah dan
Usaha Besar.
d. Pihak pengelola KIH Modern Cikande Industrial Estate, Serang, Banten
mengharapkan adanya program insentif dari Pemerintah dalam rangka menarik
investasi dari perusahaan baik nasional maupun multinasional sehingga KIH
48
Modern CIkande Industrial Estate, Serang, Banten memiliki daya tarik bagi investor
domestik maupun global.
e. Pihak pengelola telah memiliki rencana untuk memberikan area untuk UMK halal
yang dapat dipergunakan sebagai show case produk-produk dari UMK tersebut.
f. Pihak pengelola membuka kemungkinan kerjasasama dengan Pemerintah Daerah
baik Kabupaten Serang maupun Provinsi Banten dalam rangka memberdayakan
UMK halal yang terdapat disekitar KIH Modern Cikande Industrial Estate, Serang,
Banten melalui program kemitraan dengan tenan berbasis industri halal.
50
BAB V
KONSEP KEMITRAAN USAHA DAN VALUE CHAIN
5.1. Kemitraan Usaha
Pemerintah telah membuat program kerja dengan pola-pola kemitraan yang dibuat demi
UMKM. Hal ini bertujuan untuk mendorong dan menumbuhkan UMKM yang tangguh dan
modern. UMKM sebagai kekuatan ekonomi rakyat dan berakar pada masyarakat dan UMKM
yang mampu memperkokoh struktur perekonomian nasional yang lebih efisien.
Dalam konsep kemitraan semua pihak harus menjadi stakeholders dan berada dalam
derajat subyek-subyek bukan subyek-obyek, sehingga pola yang dijalankan harus dilandasi
dengan prinsip-prinsip partisipatif dan kolaboratif yang melibatkan seluruh stakeholders
dalam kemitraan yang dijalankan. Kemitraan sekarang ini sudah menjadi perhatian semua
pihak, karena kemitraan merupakan salah satu aspek dalam pertumbuhan iklim usaha untuk
pengembangan UMK melalui “permberdayaan” dalam rangka memperoleh peningkatan
pendapatan dan kemampuan usaha serta peningkatan daya saing dari usaha kecil dan
menengah atau usaha besar. Pemberdayaan tersebut disertai perbaikan dan
pengembangan oleh usaha menengah dan usaha besar dengan memperhatikan prinsip
saling membutuhkan, saling memperkuat dan saling menguntungkan.
Kemitraan telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 2008 Tentang Usaha Mikro,
Kecil dan Menengah dan Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2013. Kemitraan secara
detil adalah sebagai berikut:
1. Definisi
Dalam pasal 1 angka 13 mendefinisikan kemitraan adalah kerjasama dalam keterkaitan
usaha, baik langsung maupun tidak langsung, atas dasar prinsip saling memerlukan,
mempercayai, memperkuat, dan menguntungkan yang melibatkan pelaku Usaha
Mikro, Kecil, dan Menengah dengan Usaha Besar.
2. Tujuan
Pola kemitraan bertujuan untuk menumbuhkan iklim usaha dan diamanatkan oleh
Undang-Undang Nomor 20 tahun 2008 kepada Pemerintah Pusat dan Pemerintah
Daerah. Adapun aspek kemitraan tersebut ditujukan untuk:
a. Mewujudkan kemitraan antar Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah.
b. Mewujudkan kemitraan antara Usaha Mikro, Kecil, Menengah, dan Usaha Besar.
51
c. Mendorong terjadinya hubungan yang saling menguntungkan dalam pelaksanaan
transaksi usaha antar- Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah.
d. Mendorong terjadinya hubungan yang saling menguntungkan dalam pelaksanaan
transaksi usaha antara Usaha Mikro, Kecil, Menengah, dan Usaha Besar.
e. Mengembangkan kerjasama untuk meningkatkan posisi tawar Usaha Mikro, Kecil,
dan Menengah.
f. Mendorong terbentuknya struktur pasar yang menjamin tumbuhnya persaingan
usaha yang sehat dan melindungi konsumen.
g. Mencegah terjadinya penguasaan pasar dan pemusatan usaha oleh orang
perorangan atau kelompok tertentu yang merugikan Usaha Mikro, Kecil, dan
Menengah.
3. Ruang Lingkup Kemitraan
Kemitraan antar-Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah dan Kemitraan antara Usaha Mikro,
Kecil, dan Menengah dengan Usaha Besar mencakup proses alih keterampilan di
bidang produksi dan pengolahan, pemasaran, permodalan, sumber daya manusia, dan
teknologi.
4. Pilar kemitraan
Pilar kemitraan usaha dilaksanakan melalui pengembangan kerjasama antara pelaku
UMK dengan kelompok usaha besar dengan mengembangkaan kemitraan bisnis yang
berkelanjutan. Pada pilar ini, kelompok usaha besar didorong untuk berperan sebagai
offtaker, penjamin harga, pendamping dan penyedia bantuan teknis produksi bagi
pelaku UMK. Sementara pelaku UMK berperan menyediakan bahan baku, lahan dan
lembaga usaha, SDM tenaga kerja dan produksi.
5. Pola kemitraan
Beberapa pola kemitraan yang banyak dilaksanakan adalah sebagai berikut
a. Kerjasama keterkaitan antar hulu-hilir (Forward Linkage)
Pembangunan industri dasar dengan skala besar yang dilakukan untuk mengolah
langsung sumber daya alam termasuk sumber energi yang terdapat di suatu
daerah, perlu dimanfaatkan untuk mendorong pembangunan cabang-cabang dan
jenis-jenis industri yang saling mempunyai kaitan, yang selanjutnya dapat
dikembangkan menjadi kawasan-kawasan industri. Rangkaian kegiatan
pembangunan industri tersebut pada gilirannya akan memacu kegiatan
52
pembangunan sektor-sektor ekonomi lainnya beserta prasarananya antara lain
yang penting adalah terminal-terminal pelayanan jasa, daerah pemukiman baru
dan daerah pertanian baru. Wilayah yang dikembangkan dengan berpangkal tolak
pada pembangunan industri dalam rangkaian yang dipadukan dengan kondisi
daerah dalam rangka mewujudkan kesatuan ekonomi nasional, merupakan
Wilayah Pusat Pertumbuhan Industri.
b. Kerjasama keterkaitan antar hilir-hulu (Backward Linkage)
Pertumbuhan ataupun pemerataan ekonomi dengan penerapan kerjasama
keterkaitan hilir hulu yang tepat guna sejauh mungkin dapat menggunakan bahan-
bahan dalam negeri adalah untuk meningkatkan nilai tambah, memelihara
keseimbangan antara peningkatan produksi dan kesempatan kerja, serta
pemerataan pendapatan, dalam rangka usaha memperbesar nilai tambah
sebanyak-banyaknya, maka pembangunan industri harus dilaksanakan dengan
mengembangkan keterkaitan yang berantai ke segala jurusan secara seluas-
luasnya yang saling menguntungkan kelompok industri hilir, keterkaitan antara
kelompok industri hulu/dasar.
Pemerintah memanfaatkan peranan koperasi, Kamar Dagang dan Industri
Indonesia, serta asosiasi/federasi perusahaan-perusahaan industri sebagai wadah
untuk meningkatkan pengembangan bidang usaha industri.
c. Kerjasama dalam pemilik usaha
Dalam konsep kerjasama usaha melalui kemitraan ini, jalinan kerjasama yang
dilakukan antara usaha besar atau menengah dengan usaha kecil didasarkan pada
kesejajaran kedudukan atau mempunyai derajat yang sama terhadap kedua belah
pihak yang bermitra. Ini berarti bahwa hubungan kerjasama yang dilakukan antara
pengusaha besar atau menengah dengan pengusaha kecil mempunyai kedudukan
yang setara dengan hak dan kewajiban timbal balik sehingga tidak ada pihak yang
dirugikan, tidak ada yang saling mengekspoitasi satu sama lain dan tumbuh
berkembangnya rasa saling percaya di antara para pihak dalam mengembangkan
usahanya.
d. Kerjasama dalam bentuk bapak dan anak angkat
53
Pada dasarnya pola bapak angkat adalah refleksi kesediaan pihak yg mampu atau
besar untuk membantu pihak lain yang kurang mampu atau pihak yang memang
memerlukan pembinaan.
Oleh karena itu pada hakikatnya pola pendekatan tersebut adalah cermin atau
wujud rasa kepedulian pihak yang besar terhadap yang kecil. Pola bapak angkat
dalam pola pengembangan UMK umumnya banyak dilakukan BUMN dengan usaha
mikro dan kecil.
e. Kerjasama dalam bentuk bapak angkat sebagai modal ventura
Merupakan bentuk kerjasama dalam bentuk suatu investasi melaui pembiayaan
berupa penyertaan modal ke dalam suatu perusahaan swasta (anak perusahaan)
sebagai pasangan usaha untuk jangka waktu tertentu.
f. Intiplasma
Kemitraan yang dilakukan dengan cara Usaha Besar sebagai inti berperan
menyediakan input, membeli hasil produksi plasma, dan melakukan proses
produksi untuk menghasilkan komoditas tertentu, dan UMK sebagai plasma
memasok/menyediakan/menghasilkan/menjual barang atau jasa yang
dibutuhkan oleh inti.
Dalam pelaksanaan pola intiplasma, usaha besar sebagai inti mempunyai
kewajiban untuk membina dan mengembangkan UMK dalam hal:
1) Penyediaan dan penyiapan lahan.
2) Penyediaan sarana produksi.
3) Pemberian bimbingan teknis produksi dan manajemen usaha.
4) Perolehan, penguasaan, dan peningkatan teknologi yang diperlukan.
5) Pembiayaan.
6) Pemasaran.
7) Penjaminan.
8) Pemberian informasi.
9) Pemberian bantuan lain yang diperlukan bagi peningkatan efisiensi dan
produktivitas dan wawasan usaha.
54
g. Subkontrak
Kemitraan yang dilakukan antara pihak penerima subkontrak untuk memproduksi
barang dan/atau jasa yang dibutuhkan Usaha Besar sebagai kontraktor utama
disertai dukungan kelancaran dalam mengerjakan sebagian produksi dan/atau
komponen, kelancaran memperoleh bahan baku, pengetahuan teknis produksi,
teknologi, pembiayaan, dan sistem pembayaran.
Pelaksanaan kemitraan usaha dengan pola subkontrak, Usaha Besar memberikan
dukungan berupa:
1) Kesempatan untuk mengerjakan sebagian produksi dan/atau komponennya;
2) Kesempatan memperoleh bahan baku yang diproduksi secara
berkesinambungan dengan jumlah dan harga yang wajar;
3) Bimbingan dan kemampuan teknis produksi atau manajemen;
4) Perolehan, penguasaan, dan peningkatan teknologi yang diperlukan;
5) Pembiayaan dan pengaturan sistem pembayaran yang tidak merugikan salah
satu pihak; dan
6) Upaya untuk tidak melakukan pemutusan hubungan sepihak.
Model kemitraan ini menyerupai pola kemitraan contract farming tetapi pada pola
ini kelompok tidak melakukan kontrak secara langsung dengan perusahaan
pengolah (processor) tetapi melalui agen atau pedagang.
1) Pembinaan Kelompok Mitra
Kelompok Mitra perlu ditingkatkan kemampuannya dalam hal:
a) Merencanakan Usaha.
b) Melaksanakan dan mentaati perjanjian kemitraan
c) Memupuk modal dan memanfaatkan pendapatan secara rasional.
d) Meningkatkan hubungan melembaga dengan koperasi.
e) Mencari dan mencapai skala usaha ekonomi.
2) Pembinaan Oleh Perusahaan Mitra
a) Meningkatkan pengetahuan dan kewirausahaan kelompok mitra.
b) Membantu mencarikan fasilitas kredit yang layak.
c) Mengadakan penelitian, pengembangan, dan pengaturan teknologi tepat
guna.
55
d) Melakukan konsultasi dan temu usaha.
h. Waralaba
Kemitraan yang dilakukan dengan, memberikan hak khusus yang dimiliki oleh
orang perseorangan atau badan usaha terhadap sistem bisnis dengan ciri khas
usaha dalam rangka memasarkan barang dan/atau jasa yang telah terbukti
berhasil dan dapat dimanfaatkan dan/atau digunakan oleh pihak lain berdasarkan
perjanjian waralaba.
Usaha besar yang memperluas usahanya dengan cara waralaba, memberikan
kesempatan dan mendahulukan usaha mikro, kecil, dan menengah yang memiliki
kemampuan.
Pemberi waralaba dan penerima waralaba mengutamakan penggunaan barang
dan/atau bahan hasil produksi dalam negeri sepanjang memenuhi standar mutu
barang dan jasa yang disediakan dan/atau dijual berdasarkan perjanjian waralaba.
Pemberi waralaba wajib memberikan pembinaan dalam bentuk pelatihan,
bimbingan operasional manajemen, pemasaran, penelitian, dan pengembangan
kepada penerima waralaba secara berkesinambungan.
i. Perdagangan Umum
Kemitraan yang dilakukan dalam bentuk kerjasama pemasaran, penyediaan lokasi
usaha, atau penerimaan pasokan/penyediaan barang atau jasa dari Usaha Mikro,
Usaha Kecil, dan Usaha Menengah oleh Usaha Besar, yang dilakukan secara
terbuka. Pelaksanaan kemitraan dengan pola perdagangan umum, dapat
dilakukan dalam bentuk kerjasama pemasaran, penyediaan lokasi usaha, atau
penerimaan pasokan dari Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah oleh Usaha Besar
yang dilakukan secara terbuka.
Pemenuhan kebutuhan barang dan jasa yang diperlukan oleh Usaha Besar
dilakukan dengan mengutamakan pengadaan hasil produksi Usaha Kecil atau
Usaha Mikro sepanjang memenuhi standar mutu barang dan jasa yang diperlukan.
j. Rantai Pasok
Kemitraan yang meliputi
1) Pengelolaan perpindahan produk yang dilakukan oleh perusahaan dengan
penyedia bahan baku.
56
2) Pendistribusian produk dari perusahaan ke konsumen.
3) Pengelolaan ketersediaan bahan baku, pasokan bahan baku serta proses
pabrikasi.
k. Bagi Hasil
Kemitraan yang dilakukan oleh usaha besar atau usaha menengah dengan usaha
mikro dan usaha kecil, yang pembagian hasilnya dihitung dari hasil bersih usaha
dan apabila mengalami kerugian ditanggung bersama berdasarkan perjanjian
tertulis.
l. Kerjasama Operasional
Kemitraan yang dilakukan usaha besar atau usaha menengah dengan cara
bekerjasama dengan usaha kecil dan/atau usaha mikro untuk melakukan suatu
usaha bersama dengan menggunakan aset dan/atau hak usaha yang dimiliki dan
secara bersama menanggung risiko usaha.
m. Usaha Patungan (Joint Venture)
Kemitraan yang dilakukan dengan cara usaha mikro dan usaha kecil milik Indonesia
bekerjasama dengan usaha menengah dan usaha besar milik asing untuk
menjalankan aktifitas ekonomi bersama yang masing-masing pihak memberikan
kontribusi modal saham dengan mendirikan badan hukum perseroan terbatas dan
berbagi secara adil terhadap keuntungan dan/atau risiko perusahaan.
n. Penyumberluaran (Outsourcing)
Kemitraan yang dilaksanakan dalam pengadaan/penyediaan jasa
pekerjaan/bagian pekerjaan tertentu yang bukan merupakan pekerjaan pokok
dan/atau bukan komponen pokok pada suatu bidang usaha dari usaha besar dan
usaha menengah oleh usaha mikro dan usaha kecil.
6. Sustainabilitas sebuah kemitraan hanya akan terjadi apabila sejumlah faktor kunci
diperhatikan secara sungguh-sungguh, yaitu :
a. Kepercayaan dan kesungguhan untuk berhasil yang tinggi di antara mereka yang
bermitra (trust, faith, and passion).
b. Ekseskusi yang konsisten dan berkelanjutan
57
c. Secara periodik melakukan proses perencanaan-implementasi-monitoring
terhadap manfaat aliansi ditinjau dari kacamata masing-masing organisasi yang
bermitra secara transparan.
d. Selalu melakukan inovasi yang berkelanjutan karena kebutuhan masyarakat yang
selalu bertambah dari waktu ke waktu.
e. Proses penyelenggaraan kemitraan yang menjunjung nilai-nilai profesional dan
etika yang tinggi.
5.2. Konsep Value Chain
Value chain adalah rantai nilai kegiatan yang menciptakan atau menghasilkan nilai
menciptakan atau menghasilkan nilai mulai dari penerimaan bahan baku dari supplier,
penelitian dan pengembangan proses/produ, penjualan ke konsumen sampai kegiatan
yang diperlukan setelah barang terjual. Customer value menunjukkan karakteristik produk
atau jasa yang dipandang konsumen sebagai sesuatu yang bernilai.
Konsep value chain merupakan konsep yang dikembangkan oleh Porter pada tahun 1985
yang memandang perusahaan sebagai suatu rangkaian atau jaringan aktivitas dasar yang
menambah nilai bagi produk atau jasanya dan menambah margin nilai baik bagi perusahaan
maupun bagi pelanggannya. Value chain menggambarkan aktivitas di dalam dan di sekitar
organisasi dan menghubungkannya pada kekuatan persaingan perusahaan.
Porter berpendapat bahwa suatu perusahaan dapat mencapai keunggulan kompetitifnya
dengan mengembangkan salah satu dari dua strategi umum yaitu
1. Low Cost Strategy
Fokus utama dari low-cost strategy adalah mencapai biaya yang lebih rendah secara
relatifnya dibandingkan dengan kompetitor (cost leadership). Cost leadership dapat
dicapai dengan beberapa pendekatan, antara lain economic of scale in production,
experience curve effects, high cost control, dan cost minimization dalam area research
and development, sales, atau advertising.
2. Differentiation Strategy
Fokus utama differentiation strategy adalah menciptakan suatu produk yang unik bagi
konsumen atau memiliki atribut yang berbeda secara signifikan dengan produk
pesaing dan atribut tersebut penting dan bernilai bagi konsumen. Keunikan produk
dapat dicapai dengan berbagai cara, antara lain brand royalty, superior customer
service, dealer network product design, atau technology.
58
Competitive advantage akan dicapai bila perusahaan dapat memberikan customer value
yang lebih tinggi daripada kompetitor untuk biaya yang sama atau customer value sama
untuk biaya yang lebih rendah daripada kompetitor.
Sifat value chain tergantung pada sifat industri dan berbeda-beda untuk perusahaan
manufaktur, perusahaan jasa dan organisasi yang tidak berorientasi pada laba.
5.3. Aktivitas dalam Value Chain
Value chain mengidentifikasi sembilan aktivitas yang dapat menciptakan nilai dan biaya
dalam bidang bisnis tertentu. Kesembilan aktivitas penciptaan nilai tersebut terdiri dari lima
aktivitas primer dan empat aktivitas pendukung. Porter mengelompokkan aktivitas
perusahaan menjadi dua kelompok, yaitu aktivitas utama dan aktivitas pendukung. Aktivitas
utama terdiri dari inbound logistics, operations, outbound logistics, marketing and sales,
and service. Setiap aktivitas ini saling terhubung dengan aktivitas pendukung agar dapat
meningkatkan efektivitas atau efisiensinya. Terdapat empat area utama dalam aktivitas
pendukung, yaitu: procurement, technology development, human resource management,
dan infrastructure.
Aktivitas dalam value chain adalah sebagai berikut:
1. Aktivitas Primer
Merupakan aktivitas yang dilakukan dalam membuat produk secara fisik, menjual dan
menyampaikannya kepada pembeli, serta aktivitas pelayanan purna jual. Aktivitas-
aktivitas primer terdiri atas lima kategori:
a. Inbound Logistics.
Aktivitas yang berhubungan penerimaan, penyimpanan, dan penyebaran masukan
ke produk, seperti: penanganan material, pergudangan, pengendalian persediaan,
penjadwalan kendaraan, dan pengembalian ke pemasok.
b. Operation.
Aktivitas yang berhubungan dengan pengubahan masukan menjadi produk jadi,
seperti: permesinan, pengemasan, pemasangan, perawatan mesin, pengujian,
penyetakan, dan operasi fasilitas.
c. Outbound Logistics.
Aktivitas yang berkaitan dengan pengumpulan, penyimpanan, dan pendistribusian
produk secara fisik kepada pembeli, seperti: penggudangan barang jadi,
penanganan material, operasi kendaraan pengiriman, pemrosesan pesanan, dan
penjadwalan.
d. Marketing and Sales.
59
Aktivitas yang berhubungan dengan penyediaan sarana di mana pembeli dapat
membeli produk dan membujuk mereka untuk melakukannya, seperti: periklanan,
promosi, tenaga penjualan, quoting, seleksi channel, channel relation, dan
penetapan harga.
e. Service.
Aktivitas yang berhubungan dengan penyediaan jasa untuk meningkatkan atau
mempertahankan nilai produk, seperti: instalasi, perbaikan, pelatihan, parts supply,
dan penyesuaian produk.
2. Aktivitas Pendukung
Sedangkan aktivitas-aktivitas pendukung terdiri dari:
a. Procurement.
Mengacu pada fungsi dari pembelian masukan yang dipergunakan dalam value
chain perusahaan, bukan pada masukan yang dibeli itu sendiri.
b. Technology Development.
Terdiri dari sejumlah aktivitas yang dapat dikelompokkan secara luas dalam
usahanya memperbaiki produk dan proses.
c. Human Resource Management.
Terdiri dari aktivitas-aktivitas yang meliputi: perekrutan, hiring, pelatihan,
pengembangan, dan kompensasi untuk semua jenis personil.
d. Firm Infrastructure.
Terdiri dari sejumlah aktivitas yang meliputi: manajemen umum, perencanaan,
pendanaan, akuntansi, hukum, government affairs, dan manajemen kualitas.
5.4. Korelasi Kemitraan Usaha dan Value Chain
Dalam sudut pandang stratejik, konsep value chain menekankan dua aspek utama untuk
meningkatkan perusahaan yaitu keterkaitan dengan pemasok dan keterkaitan dengan
pelanggan.
Berdasarkan pandangan dalam konsep value chain tersebut, perusahaan perlu
mengembangakan hubungan kemitraan dalam rangkaian aktivitas dari hulu ke hilir. Makna
yang terkandung dari istilah kemitraan adalah membina hubungan kerja sama untuk
mencapai suatu tujuan, dimana semua pihak yang terlibat akan memperoleh manfaat atau
keuntungan.
1. Kemitraan dengan pemasok
Perlunya menjalin kemitraan dengan pemasok adalah untuk menciptakan dan
memelihara hubungan yang loyal, saling percaya, dan dapat diandalkan sehingga akan
60
menguntungkan kedua belah pihak, dan meningkatkan penyempurnaan kualitas,
produktivitas dan daya saing secara berkesinambungan.
Dalam menjalin kemitraan dengan pemasok, ada beberapa syarat yang pelu dipenuhi,
yaitu :
a. Personil pemasok harus berinteraksi dengan orang yang benar-benar
menggunakan produknya sehingga perbaikan yang diperlukan dapat diidentifikasi
dan dilakukan.
b. The-price approach dalam negosiasi antara pembeli dan pemasok harus
dihilangkan. Kualitas, keistimewaan produk, dan penyampaiannya harus juga
menjadi bagian dalam negosiasi.
c. Kualitas produk yang dihasilkan pemasok harus terjamin, demikian pula kualitas
prosesnya.
d. Pemasok harus benar-benar memahami dan dapat mempraktikkan Just-In-Time
(JIT).
e. Kedua belah pihak harus mampu saling bertukar informasi (terutama melalui
peralatan elektronik).
2. Kemitraan dengan pelanggan
Pelanggan disini adalah pemakai akhir suatu produk dan pembeli dari produk yang
dihasilkan pemasok. Adapun perlunya membentuk kemitraan dengan pelanggan
adalah untuk meningkatkan kepuasan pelanggan dan daya saing perusahaan. Cara
terbaik untuk menjamin kepuasan pelanggan adalah melibatkan mereka sebagai mitra
dalam proses pengembangan produk. Hal ini dikarenakan hanya pelanggan sendirilah
yang tahu dengan pasti apa yang mereka inginkan. Dengan melibatkan pelanggan dari
tahap awal siklus pengembangan produk, maka pemanufaktur dapat melakukan
perubahan dengan relatif murah dan mudah.
5.5. Halal Supply Chain Management (Studi Kasus di Malaysia)
Penerapan rantai pasok halal yang dapat dijadikan percontohan adalah pola rantai pasok
halal di Malaysia. Malaysia telah mengembangkan rantai pasok halal yang terintegrasi
dengan kawasan industri. Dalam penerapan rantai pasok halal tersebut Malaysia
mengembangkan dalam bentuk Halal Supply Chain Management (HSCM). HSCM
merupakan Salah satu sistem pengembangan industri halal saat ini yang dinilai efektif dan
effisien. Secara sederhana HSCM didefinisikan sebagai rantai pasok produksi dengan
sertifikasi halal dari bahan baku hingga produk yang siap dikonsumsi. Mengingat
komplesitas rantai pasokan halal dan tidak adanya kecacatan dalam prosesnya. HSCM
61
mengatur penyedian bahan baku produksi, proses pengolahan, marketing, promosi, hingga
produk siap konsumsi harus sesuai dengan standar halal. Secara umum ada 4 aktivitas
utama dalam halal supply chain, yaitu:
1. Halal Procurement (Pengadaan)
Pengadaan produk halal adalah proses pengadaan bahan baku halal yang terdiri dari
keterlibatan dalam kegiatan yang berfokus untuk menjaga integritas halal sepanjang
rantai pasokan. Penilaian bahan baku halal tidak hanya dari zat produknya yang halal,
melainkan sumber dan sistem pembayarannya juga halal.
2. Halal Manufacturing (Pengolahan)
Proses pengolahan halal adalah proses transformasi bahan baku menjadi produk
dengan prosedur sesuai dengan standard halal. Proses pengolahan menjadi fase yang
memiliki tingkat risiko penyebab ketidak halalan paling tinggi. Oleh karena itu, perlu
adanya penguatan penerapan sistem syariah pada internal perusahaan pengolahan.
3. Halal Distribution
Distribusi halal terdiri dari pengemasan dan wadah produk halal. Karaktersitik utama
dalam pengemasan produk yang halal adalah bahan pengemasan harus halal dan baik.
Salah satu permasalahan yang diangkat dalam kemasan halal adalah sertifikasi pada
kemasan tersebut
4. Halal Logistic
Logistik mencakup pengorganisasian, perlindungan, dan identifikasi produk dan bahan
sebelum sampai pada konsumen. Status halal tidak hanya mempertimbangkan
produknya saja, proses distribusi dan marketing juga termasuk dalam rantai pasok
produk halal.
62
Gambar 5.1
FlowChart Halal Supply Chain
Halal supply chain dinilai sangat tepat dan competable jika diterapkan di Indonesia. Sistem
halal supply chain dapat dipadukan dengan integrated digital system untuk mempermudah
pengimplementasian halal supply chain di Indonesia. Integrated digital system
menggunakan prinsip effesiensi menggunakan penyatuan kawasan berbasis digital
sehingga mampu menekan biaya serta memaksimalkan output dan income perusahaan.
Konsep supply chain yang dipadukan dengan integrated digital system akan menjadi
seperti kawasan industri halal dimana pengadaan bahan, pengolahan produk, distribusi, dan
marketing berada dalam satu kawasan yang distandarisasi kehalalannya. Kawasan dengan
paduan integrated digital system dan HSCM disebut sebagai Integrated Halal Zone (IHZ).
IHZ akan mendorong industri halal cepat berkembang. Selain itu, BPJPH dapat dengan
mudah mengawasi standar kehalalan produk dari hulu hingga hilir. Proses kontroling,
pengawasan, dan evaluasi dapat dilakukan dengan cepat dan tidak memakan biaya yang
besar. Sudah saatnya industri halal Indonesia untuk bangkit dan mampu bersaing dengan
negara-negara industri halal terbaik dunia.
SupplierRawMaterial
Manufacturer WholesalerStorage Retailer Consumer
Inbound Phases ProductionPhases Outbound Phases
Halal Procurement HalalManufacturing HalalDistribution HalalLogistic
PhysicalDistributionManagement
BusinessLogistic
HalalCheckPoint
Supplyofgoods
InformationFlowsHalalCheckPoint
63
Gambar 5.2
Halal Supply Chain Management
65
BAB VI
STRATEGI KEMITRAAN USAHA
Penguatan halal value chain (hvc) merupakan salah satu strategi dalam pengembangan ekonomi
syariah khususnya industri halal. Dalam penguatan hvc ini salah satu unsur yang memegang
peranan penting adalah adanya kemitraan usaha dari sektor hulu sampai dengan hilir.
Kemitraan adalah kerja sama dalam keterkaitan usaha baik langsung maupun tidak langsung
antara Usaha Mikro dan atau Usaha Kecil (UMK) dengan Usaha Menengah dan/atau Usaha Besar
disertai pembinaan dan pengembangan oleh Usaha Menengah dan/atau Usaha Besar dengan
memperhatikan prinsip saling memerlukan, saling mempercayai, saling memperkuat, dan saling
menguntungkan.
Kemitraan dalam pelaksanaannya perlu melibatkan sektor UMKM, dimana dalam salah satu
strategi pengembangan industri halal adalah melalui penguatan UMK. Dalam penguatan UMK
diperlukan strategi yang efektif dan efisien. Strategi tersebut adalah kemitraan usaha, strategi
ini dipergunakan untuk mempersiapkan pelaku bisnis skala UMK agar dapat bersaing dalam
mengembangkan industri halal. Beberapa strategi unggulan, perubahan perilaku, dan sistem
organisasi sebagai pondasi perkembangan kemitraan secara lebih mendasar. Konsep
operasional dari strategi ini selayaknya dapat dilakukan secara simultan oleh semua pelaku
kemitraan termasuk lembaga pemerintah sebagai instansi pembina. Berkaitan dengan hal
tersebut, terdapat beberapa strategi yang perlu dilaksanakan agar kemitraan dapat diwujudkan.
6.1. Strategi Kemitraan
Strategi Kemitraan yang dapat diterapkan antara lain, adalah:
1. Mengembangkan UMK dan koperasi yang mandiri dan kuat.
Melalui upaya sebagai berikut:
a. Pembinaan secara intensif dibidang manajemen usaha.
b. Penyediaan fasilitas sumber dana murah.
c. Pengembangan fungsi kelompok tani/ternak, kelompok pengrajin, dan kelompok
lainnya menjadi suatu unit usaha yang kooperatif.
d. Memberikan peluang usaha yang seluas-luasnya kepada pengusaha skala UMK.
e. Pembinaan kualitas hasil produksi atau jasa yang dihasilkan oleh UMK dengan
mengikuti standar mutu yang berlaku.
f. Penyediaan informasi teknologi, informasi pasar yang mudah dijangkau.
66
2. Memacu penerapan peraturan yang terkait dengan industri halal, UMK dan
kemitraan.
Peraturan tersebut antara lain: Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta
Kerja (UU Cipta Kerja), Undang-Undang terkait dengan Usaha Mikro, Kecil dan
Menengah (UU UMKM), Undang-Undang Jaminan Produk Halal (UU JPH) dan Peraturan
Pemerintah Tentang Kemitraan. Penerapan Undang-undang terkait dengan UMKM dan
Peraturan Pemerintah Tentang Kemitraan ini menjadi sangat penting dalam
mendorong tumbuh dan berkembangnya UMK dan Koperasi.
Melalui upaya sebagai berikut:
a. Sosialisasi UU Cipta Kerja, UU UMKM, UU JPH dan Peraturan Pemerintah Tentang
Kemitraan melalui berbagai kesempatan seperti: seminar, diskusi, media massa
dan lainnya.
b. Menyiapkan perangkat operasional berupa petunjuk teknis pelaksanaan.
c. Menyiapkan sumber daya manusia yang bertugas memberikan informasi dan
penjelasan tentang Peraturan Pemerintah.
d. Memonitor dan mengevaluasi pelaksanaan kemitraan tersebut serta mengetahui
kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan program kemitraan.
3. Memantapkan kelembagaan kemitraan.
Strategi ini dimaksudkan untuk mewujudkan kelembagaan kemitraan usaha kedua
belah pihak yang harus dibangun dan dipersiapkan melalui proses terencana dan
berkelanjutan.
Melalui upaya sebagai berikut:
a. Pengembangan pola-pola kemitraan yang mudah diimplementasikan.
b. Menyiapkan pedoman pembinaan kemitraan usaha yang dapat dijadikan sebagai
bahan acuan bagi instansi pembina dan pelaku kemitraan.
c. Mengembangkan konsultan pelayanan kemitraan yang dapat menghubungkan
antara UMK dengan usaha menengah atau usaha besar.
d. Pengembangan pola pembinaan kemitraan melalui beberapa tahapan berikut:
1) Melakukan identifikasi potensi masalah dan peluang.
2) Melakukan pendekatan kepada pengusaha.
3) Merumuskan kegiatan pembinaan.
4) Mengadakan temu usaha dan konsultasi yang teratur dan konsisten sehingga
dapat terlaksana kemitraan dengan prinsip bisnis dan sinergi yang saling
menguntungkan.
67
4. Meningkatan aspek manajemen
Keberhasilan suatu kemitraan perlu didukung oleh meningkatkan kemampuan UMK
dalam aspek manajemen. Upaya yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut:
a. Bantuan yang berkaitan dengan aspek pemasaran.
b. Bantuan penyusunan studi kelayakan.
c. Sistem dan prosedur organisasi dan manajemen.
d. Menyediakan tenaga konsultan dan advisor.
5. Meningkatkan kemampuan sumberdaya manusia.
Keberhasilan atau kegagalan pelaksanaan kemitraan sangat ditentukan oleh factor
kemampuan sumberdaya manusianya terutama dalam menerapkan strategi bisnis
yang telah ditetapkan. Kemampuan para pelaku bisnis untuk menguasai teknologi,
manajemen, informasi pasar dan lain sebagainya.
Melalui upaya sebagai berikut:
a. Peningkatan kualitas pendidikan dan pelatihan melalui perbaikan, penyesuaian
kurikulum dan silabus, menata kelembagaan, penyediaan sarana-prasarana yang
cukup memadai, dan peningkatan kualitas SDM tenaga pengajar, serta
meningkatkan manajemen pengolahannya.
b. Pengembangan lembaga inkubator dan magang dengan penerapan kurikulum
terpadu yang dapat diterapkan dan berada dalam dunia nyata usaha.
c. Meningkatkan ketrampilan dan kemampuan, tenaga penyuluh, pendamping,
fasilitator melalui pelatihan khusus dan studi banding diberbagai wilayah.
6. Menerapkan teknologi, standarisasi, dan akreditasi.
Pemanfaatan, pengembangan dan penguasaan teknologi, standarisasi, akreditasi
merupakan langkah yang tidak terpisahkan dari upaya untuk mengembangkan
kemitraan. Peran utama dari teknologi semakin nyata terlihat jelas bila dikaitkan dengan
peningkatan produksi dan produktivitas, sedangkan penerapan standarisasi dan
akreditasi akan menjamin peningkatan kualitas, kuantitas dan harga.
a. Bidang Teknologi, upaya yang dilakukan:
1) Mengembangkan lembaga penelitian dan pengembangan, agar senantiasa
menemukan dan menghasilkan teknologi yang dapat diaplikasikan.
2) Pengembangan teknologi pengolahan, penyimpanan, pengemasan dan
distribusi agar tercipta jaringan dari hulu ke hilir yang efisien dan memenuhi
kriteria halal sehingga menghasilkan nilai tambah yang cukup tinggi.
68
3) Adanya sosialisasi kepada pelaku bisnis mengenai perkembangan teknologi.
4) Tersedianya sumber daya manusia sebagai penyuluh, mediator dan fasilitator
baik disiapkan oleh pemerintah maupun masyarakat, swasta, dan LSM.
5) Membantu perbaikan sistem produksi dan kontrol kualitas.
6) Membantu pengembangan disain dan rekayasa produk.
7) Membantu meningkatkan efisiensi pengadaan bahan baku.
b. Bidang Standarisasi dan Akreditasi, upaya yang dilakukan:
1) Perumusan standar untuk hasil pertanian, komoditi industri dan perdagangan
dan pedoman pembinaan mutu melalui penyusunan pedoman dan standar
nasional berdasarkan sistem jaminan mutu yang berkembang secara
internasional.
2) Pengembangan dan akreditasi lembaga pengawasan mutu melalui
pengadaan laboratorium penguji dan pengawasan terhadap lembaga-
lembaga sertifikasi (lembaga sertifikasi sistem mutu, produk/jasa, dan
personil).
3) Sosialisasi standarisasi agar masyarakat mengerti akan mutu produk sehingga
terjamin hubungannya dengan kesehatan dan kelestarian lingkungan.
4) Mempermudah birokrasi pengajuan standarisasi dan akreditasi yang diajukan
oleh setiap pelaku bisnis.
7. Membangun akses pasar dan informasi pasar.
Akses pasar dan informasi pasar merupakan dua hal yang penting yang saling berkait
dan mutlak harus dikuasasi oleh pelaku kemitraan. Tanpa akses pasar yang baik
sangatlah mustahil untuk mendapatkan nilai tambah dari produk yang dihasilkan.
Sebaliknya tanpa informasi pasar yang jelas dan akurat mengenai jumlah, kualitas dan
harga dari suatu barang pasti akan menimbulkan distorsi yang mungkin saja dapat
menimbulkan perselisihan bagi pelaku kemitraan.
Melalui upaya sebagai berikut:
a. Pengembangan pasar internasional melalui promosi, penyebaran informasi, temu
usaha di tingkat internasional.
b. Pengembangan pasar domestik.
c. Pengembangan informasi produk.
d. Memberikan bantuan informasi pasar.
e. Membantu melakukan identifikasi pasar dan perilaku konsumen.
f. Membantu peningkatan mutu produk dan nilai tambah kemasan.
69
8. Mendorong pengembangan investasi dan permodalan.
Kurangnya investasi dan modal menyebabkan lemahnya posisi tawar khususnya bagi
UMK. Strategi yang dilakukan dalam mendorong pengembangan investasi dan
permodalan yang seyogyanya ditujukan untuk keberpihakan pemerintah kepada UMK.
Dengan keberpihakan ini diharapkan akan meningkatkan posisi tawar dari sebagian
besar UMK.
Melalui upaya sebagai berikut:
a. Menyediakan informasi potensi dan peluang usaha yang diperlukan dalam
pengembangan investasi oleh pelaku kemitraan.
b. Pemanfaatan dan pengembangan secara optimal sumber-sumber permodalan
melalui penyempurnaan peraturan dan kebijakan.
c. Memperluas sumber pendanaan berupa pembiayaan perbankan, Lembaga
Keuangan Nonbank, modal ventura, dana dari penyisihan keuntungan BUMN
dengan bagi hasil terjangkau dan prosedur yang sederhana.
d. Sosialisasi informasi mengenai akses permodalan kepada para pelaku bisnis.
9. Memaksimalkan peran dan keterlibatan pengelola Kawasan Industri Halal (KIH)
Sebagai salah satu pihak yang terlibat dalam pengembangan industri halal di
Indonesia. KIH diharapkan berperan aktif dapat memberikan kontribusi sebagai filter
dalam memberikan persyaratan kepada tenan agar wajib memiliki program kemitraan
dengan UMK yang terdapat disekitar KIH.
6.2. Langkah Penerapan Kemitraan Usaha
Dalam mewujudkan kemitraan usaha, kita perlu memperhatikan dan melakukan hal-hal
sebagai berikut:
1. Pelaksanaan kemitraan berdasarkan pada strategi dasar yaitu hubungan kemitraan
yang memiliki keterkaitan usaha, kemitraan yang tidak memiliki keterkaitan usaha dan
penciptaan pelaku bisnis baru.
2. Implementasi gerakan kemitraan dengan langkah-langkah, sebagai berikut:
a. Penetapan komitmen kemitraan oleh usaha besar/menengah.
b. Identifikasi peluang kemitraan oleh usaha besar/menengah.
c. Sosialisasi program kemitraan usaha.
d. Publikasi program dan hasil-hasil kemitraan.
e. Monitoring pelaksanaan kemitraan
3. Perumusan sasaran gerakan kemitraan.
70
Sasaran kemitraan adalah dunia usaha secara keseluruhan. Pola kemitraan yang
dikembangkan dapat berbeda menurut sektornya masing-masing. Beberapa pola yang
selama ini telah dijalankan adalah:
a. Sektor pertanian menggunakan pola inti plasma.
b. Sektor industri manufaktur menggunakan pola sub-kontrak.
c. Sektor perdagangan dan jasa kita menggunakan pola kemitraan waralaba dan
keagenan.
Dan tidak menutup kemungkinan tumbuhnya pola-pola kemitraan di luar pola-pola
yang telah ada
6.3. Pola Kemitraan Usaha
Kemitraan antara UMK dengan usaha menengah dan usaha besar disertai pembinaan dan
pengembangan oleh usaha menengah dan atau usaha besar dengan memperhatikan
prinsip saling memerlukan, saling memperkuat dan saling menguntungkan. Pola Kemitraan
dalam rangka keterkaitan usaha diselenggarakan melalui pola-pola yang sesuai dengan
sifat dan tujuan usaha yang dimitrakan dengan diberikan peluang kemitraan seluas-luasnya
kepada UMK oleh Pemerintah dan dunia usaha.
1. Pola Inti Plasma
Dalam pola inti plasma, usaha besar dan usaha menengah sebagai inti membina dan
mengembangkan KUMK yang menjadi plasmanya dalam:
a. Penyediaan dan penyiapan lahan.
b. Penyediaan sarana produksi.
c. Pemberian bimbingan teknis manajemen usaha dan produksi.
d. Perolehan, penguasaan dan peningkatan teknologi yang diperlukan.
e. Pembiayaan.
f. Pemberian bantuan lainnya yang diperlukan bagi peningkatan efisiensi dan
produktivitas usaha.
2. Pola Sub Kontrak
Dalam pola sub kontrak, kemitraan antara UMK dengan usaha menengah dan usaha
besar disertai pembinaan dan pengembangan oleh Usaha Menengah dan atau Usaha
Besar dengan memperhatikan prinsip saling memerlukan, saling memperkuat dan
saling menguntungkan. Pola Kemitraan dalam rangka keterkaitan usaha
diselenggarakan melalui pola-pola yang sesuai dengan sifat dan tujuan usaha yang
dimitrakan dengan diberikan peluang kemitraan seluas-luasnya kepada UMK, oleh
Pemerintah dan dunia usaha. Dalam hal kemitraan usaha besar dan atau usaha
71
menengah dengan usaha kecil berlangsung dalam rangka sub kontrak untuk
memproduksi barang dan atau jasa, usaha besar atau usaha menengah memberikan
bantuan berupa:
a. Kesempatan untuk mengerjakan sebagian produksi dan atau komponen.
b. Kesempatan yang seluas-luasnya dalam memperoleh bahan baku yang
diproduksinya secara berkesinambungan dengan jumlah dan harga yang wajar.
c. Bimbingan dan kemampuan teknis produksi atau manajemen.
d. Perolehan, penguasaan dan peningkatan teknologi yang diperlukan
e. Pembiayaan.
3. Pola Keagenan
Dalam kegiatan perdagangan pada umumnya, kemitraan antara usaha besar dan atau
usaha menengah dengan KUMK dapat berlangsung dalam bentuk kerjasama
pemasaran, penyediaan lokasi usaha, atau penerimaan pasokan dari UMK mitra
usahanya untuk memenuhi kebutuhan yang diperlukan oleh usaha besar dan atau
usaha menengah yang bersangkutan. Dengan memperhatikan pemenuhan kebutuhan
barang dan jasa yang diperlukan oleh usaha besar atau usaha menengah dilakukan
dengan mengutamakan pengadaan hasil produksi KUMK dengan cara langsung dan
terbuka. Untuk lebih mendorong terwujudnya kemitraan antara usaha besar dan usaha
menengah dengan UMK, terhadap kemitraan yang berlangsung diberikan perlakuan
tambahan sebagai berikut:
a. Pengutamaan kesempatan dalam pelaksanaan pengadaan barang atau jasa yang
diperlukan Pemerintah
b. Kelonggaran dalam hal-hal tertentu untuk memanfaatkan bidang usaha yang
dialokasikan untuk UMK
c. Pengeluaran dalam rangka pembinaan dan pengembangan kemitraan
diperhitungkan sebagai biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto
dalam rangka penentuan besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi usaha besar dan
usaha menengah yang bersangkutan.
4. Hak dan Kewajiban
a. Usaha besar dan usaha menengah yang melaksanakan kemitraan mempunyai hak
untuk mengetahui kinerja kemitraan UMK mitra binaannya. UMK yang bermitra
mempunyai hak untuk memperoleh pembinaan dan pengembangan dari usaha
besar dan usaha menengah mitranya dalam satu aspek atau lebih tentang
pemasaran, sumber daya manusia, permodalan, manajemen dan teknologi.
72
b. Usaha besar dan usaha menengah yang melaksanakan kemitraan dengan KUMK
berkewajiban untuk:
1) Memberikan informasi peluang kemitraan.
2) Memberikan informasi kepada Pemerintah mengenai perkembangan
pelaksanaan kemitraan.
3) Menunjuk penanggung jawab kemitraan.
4) Mematuhi dan melaksanakan ketentuan-ketentuan yang telah diatur dalam
perjanjian kemitraan.
5) Melakukan pembinaan kepada mitra binaannya dalam satu atau lebih aspek.
6) Memberikan informasi tentang pelaksanaan kemitraan kepada
Kementerian/Lembaga teknis terkait.
c. UMK yang melaksanakan kemitraan dengan usaha besar dan atau menengah
berkewajiban untuk:
1) Meningkatkan kemampuan manajemen dan kinerja usahanya secara
berkelanjutan, sehingga lebih mampu melaksanakan kemitraan dengan usaha
besar atau usaha menengah.
2) Memanfaatkan dengan sebaik-baiknya berbagai bentuk pembinaan dan
bantuan yang diberikan oleh usaha besar dan atau usaha menengah.
73
Model Kemitraan dalam Membangun Keunggulan Kompetitif UMK
Gambar 6.1
Inventarisasi
1. Aspek Distributif2. Aspek Efisiensi3. Aspek Risiko dan
Ketidakpastian
Identifikasi Kriteria
1. Tujuan2. Manfaat3. Kekuatan
4. Kelemahan5. Persepsi
6. Rule7. Core Business8. Hak dan
Kewajiban9. Transparansi
10. Job Description
Aliansi Strategis
UMK
1. Kelembagaan danManajemen
2. Aspek
Bisnis/Usaha
UsahaBesar
1. Kelembagaan danManajemen
2. Aspek
Bisnis/Usaha
1. Manajemen2. Investasi3. Bisnis/Usaha
75
BAB VII
REKOMENDASI KEBIJAKAN
Pemberdayaan dan kemitraan usaha masyarakat khususnya UMK, yang berada di sekitar
Kawasan Industri Halal (KIH) atau yang menjadi pendukung/pemasok bagi operasionalisasi
industri berskala besar di dalam KIH, merupakan isu kebijakan yang penting untuk dikaji agar
pengembangan UMK dengan pola kemitraan di dalam KIH mampu mengoptimalkan potensi
daerah dan meningkatkan daya saing usaha melalui pelibatan UMKM dalam rantai nilai industri.
Strategi kemitraan usaha diharapkan dapat menjadi pendorong pengembangan industri halal di
KIH sehingga terwujudnya halal value chain yang dapat menjadi komponen penting dalam
mendorong perkembangan ekonomi syariah dan perekonomian nasional, ekosistem yang baik,
integratif dan efisien sangat penting untuk dikembangkan. Ekosistem yang dimaksud adalah
sistem yang menyambungkan rantai nilai halal secara menyeluruh. Ekosistem tersebut juga
harus mampu menghubungkan seluruh komponen inti dan pendukung industri halal dari hulu ke
hilir.
Di samping pelaku inti atau dunia usaha dari berbagai klaster yang sudah dibahas sebelumnya,
bagian yang juga penting dalam ekosistem ekonomi syariah ini adalah sistem pendukung yang
terdiri dari literasi (terkait dengan pengetahuan, kesadaran dan edukasi publik), sumber daya
manusia, riset dan pengembangan, serta fatwa, regulasi dan tata kelola. Seluruh fungsi ini
sangat krusial dalam meningkatkan kapasitas dan skala ekonomi syariah dan industri halal
nasional, sehingga pada akhirnya mampu mewujudkan visi menjadikan Indonesia sebagai pusat
ekonomi syariah dunia.
Berdasarkan hasil kajian, ada beberapa rekomendasi yang perlu dilakukan oleh Pemerintah
antara lain:
1. Perlu merumuskan suatu Program Kemitraan Usaha dengan skala nasional yang berbasis
pengembangan Kawasan Industri Halal (KIH).
Sebagai langkah awal perlu untuk mendorong penguatan landasan kebijakan yang
dikeluarkan oleh Presiden, dalam hal ini produk regulasi yang dapat mengikat komitmen dan
mensinkronisasi program kegiatan kemitraan usaha yang sudah dan tersebar di
Kementerian/Lembaga terkait, untuk dapat menjadi pedoman bersama dalam pelaksanaan
Program Kemitraan Usaha Nasional guna mempercepat perwujudan peningkatan industri
halal.
76
2. Perlu merumuskan sinergi pentahelix (akademisi, badan usaha, komunitas, pemerintah, dan
media) dalam membangun ekosistem industri halal.
3. Perlu harmonisasi hal-hal strategis yang termuat dalam Masterplan Ekonomi Syariah
Indonesia 2019-2024 dengan implementasi program kerja dari Kementerian/Lembaga
berdasarkan pemangku kepentingan dalam setiap peran yang secara spesifik berkontribusi
terhadap pengembangan industri halal.
4. Diperlukan koordinasi dan sinkronisasi program dengan Kementerian/Lembaga dan
Pemerintah Daerah terkait untuk memetakan karakteristik pelaku UMK, sehingga
pelaksanaan program dapat efektif dan efisien.
5. Mendorong lebih banyak program kemitraan dengan pelaku usaha besar melalui
pendekatan public private people partnership dan inklusi bisnis, untuk penguatan UMK
sehingga menghasilkan UMKM yang berkompeten dan berdaya saing. Dalam hal ini
dibutuhkan komitmen kuat dari pihak pelaku usaha besar untuk melibatkan pelaku UMK
sebagai mitra usaha yang menopang kebutuhan core business pelaku usaha besar
(pelibatan dalam rantai nilai bisnis).
6. Mengoptimalkan peran Pemerintah Daerah, BUMN/D, BUMDesa, dan Sektor Swasta dalam
memberikan dukungan program dalam implementasi Kemitraan Usaha.
7. Pelaku UMK dalam kemitraan usaha tidak hanya organisasi masyarakat umum, UMK, dan
kelompok usaha masyarakat perlu diperluas pada pesantren/koperasi pesantren.
8. Perlu pendekatan tematik pengembangan program kemitraan usaha dikaitkan dengan
pengembangan infrastruktur kawasan industri halal yang ada dengan fokus pada
penguatan rantai nilai industri halal dari hulu sampai hilir melalui pembangunan KIH dan
Halal Hub yang disesuaikan dengan keunggulan komparatif daerah tersebut. Program ini
bertujuan untuk mendorong pengembangan kawasan industri halal yang berbasis regional
sesuai dengan karateristik dan keunggulan komparatif masing-masing daerah. Artinya
dalam pembangunan/pengembangan kawasan industri halal salah satu pertimbangannya
adalah daerah tersebut telah memiliki halal hub yang memiliki karakteristik dan comparative
advantage masing-masing daerah unggulan. Program kemitraan usaha didesain sesuai
dengan kebutuhan industri maupun pelaku usaha yang ada di KIH dimaksud.
9. Memperkuat infrastruktur untuk meningkatkan efektivitas dan standarisasi proses
sertifikasi halal di Indonesia (Halal Center, Lembaga Penjamin Halal, perwakilan BPJPH,
Sistem Informasi Halal, dll). Sertifikasi halal akan menjadi faktor yang berkontribusi dalam
keputusan pembelian konsumen.
77
10. Program insentif untuk pelaku usaha lokal dan global untuk berinvestasi dalam mendukung
perkembangan hvc secara komprehensif (mulai dari bahan baku, produksi, distribusi dan
promosi). Komponen utama dari industri halal adalah bahan baku. Hingga saat ini, bahan
baku yang digunakan dalam proses produksi sebagian besar masih bersumber dari bahan
baku impor. Indonesia dengan sumber daya alam yang melimpah mampu untuk dapat
menghasilkan bahan baku bagi industri halal. Namun demikian, faktor keterbatasan
penggunaan teknologi dan keterbatasan pendaan menjadi penghambat dari sisi pasokan.
Untuk mengatasi permasalahan tersebut, diperlukan kerjasama dengan pemain besar di
level lokal dan global untuk dapat berinvestasi langsung di Indonesia. Dengan adanya proses
produksi oleh pemain besar di dalam negeri diharapkan dapat meningkatkan output
produksi bahan baku dalam jangka pendek dan dapat mempercepat terjadinya transfer
teknologi dalam jangka panjang. Oleh karena itu, program insentif diperlukan untuk dapat
menarik minat pemain besar, baik di level lokal maupun global, agar berinvestasi langsung
di dalam negeri. Program insentif investasi ini mencakup rantai bahan baku, produksi,
distribusi hingga promosi.
11. Meningkatkan jangkauan melalui sosialisasi/edukasi publik terhadap keberadaan Kawasan
Industri Halal kepada Pemerintah Daerah Provinsi, Kabupaten/Kota, pelaku usaha besar dan
menengah serta tentunya pelaku usaha mikro dan kecil dan perguruan tinggi.
12. Rekomendasi model bisnis makanan halal berbasis pertanian/peternakan
Gambar 7.1
13. Rekomendasi model bisnis Kawasan Industri Halal
Sebagai salah satu model bisnis yang dapat di adopsi oleh suatu Kawasan Industri Halal
adalah sebagaiman yang terdapat dalam gambar dibawah ini
RoleModeluntuk usaha
lain
StakeholderTerkait
Pelaku UsahaUMK
KelompokUsahaUMK
PenyiapanLahan
Perawatan
Pemanenan
Sortir/Pembersihan
Penimbangan
Pencatatan
Penyimpanan
Pengemasan
PerusahaanMitra
Distribusi
PasarHalal
Global
PasarHalal
Domestik
Penanganan diPertanian/Peternakan
Penanganan diPertanian/Peternakan
Bahan Baku Produksi Proses&Distribusi Pemasaran Konsumen
78
Gambar 7.2
BahanBaku
Hulu HilirAntara
Pelatihan KonsultasiRiset &
Pengembangan
SertifikasiHalal
Produksi/Pemotongan/Pengolahan Halal
SertifikasiHalal
BahanBaku
Pengemasan,Penyimpanan danDistribusi Halal
Logistik danDistribusiHalal
80
DAFTAR PUSTAKA
Ambar Teguh Sulistiyani. 2004. Coopetition Vol. IX, Nomor 1, Maret 2018 53- 66, Kemitraan dan
Model-Model Pemberdayaan. Yogyakarta: Gaya Media.
Anang Hidayat. 2018. Aliansi strategis dalam membangun keunggulan kompetitif usaha kecil
menengah di Indonesia, Strategic alliances to develop a competitive advantage on Small
Medium Enterprises (SMES) in Indonesia, Pusat penelitian sumber daya regional LIPI.
Bank Indonesia. 2019. Laporan Ekonomi dan Syariah Indonesia 2019.
Dandan Irawan. 2014. Pengembangan Kemitraan Koperasi, Usaha Mikro Dan Kecil (KUMK)
Dengan Usaha Menengah/Besar Untuk Komoditi Unggulan Lokal, , Institut Manajemen
Koperasi Indonesia.
Dinar Standar. 2020. State of The Global Economiy Report 2019/2010.
Fitra Lestari, Budi Azwar. 2019. Strategi Rantai Pasok Halal di Malaysia (Proses Bisnis di
Malaysia). Kreasi Edukasi, Pekanbaru.
Irwan Ibrahim, Mohamad Dzulhaizat Mohamad Zawahair, Bibi Masliyana Makhbol Shah, Siti
Balqis Roszalli, Sharifah Farah Syed Abdul Rani, Afizan Amer. 2016. Halal Sustainable
Supply Chain Model: A Conceptual Framework, Operation Management Program,
Faculty of Business and Management, UiTM Puncak Alam, Selangor, Malaysia.
Komite Nasional Ekonomi Keuangan Syariah. 2019, Masterplan Ekonomi Syariah Indonesia
2019-2024.
---------------. 2020 Rencana Implementasi Pengembangan Ekonomi Syariah Indonesia 2020-
2024, Buku 2 – Bidang Pengembangan Ekonomi Syariah dan Industri Halal (1/2).
---------------. 2020. Materi arah kebijakan pengembangan industri halal, Ventje Rahardjo,
Ketua KNEKS, 18 Agustus 2020.
https://cp.co.id/en/company profile PT. Charoen Phokpand Indonesia. Diakses pada tanggal 1
November 2020.
Kementerian Perindustrian, 2020. Materi kebijakan kawasan industri dalam ekosistem ekonomi
syariah dan industri halal, Ir. Ignatius Warsito, MBA-Direktur Perwilayahan Industri,
Direktorat Jenderal Ketahanan, Perwilayahan dan Akses Industri Internasional, 18
Agustus 2020.
81
---------------. 2020. Materi kebijakan pengembangan kawasan industri halal dan upaya
pemberdayaan IKM, Ir. Ignatius Warsito, MBA-Direktur Perwilayahan Industri, Direktorat
Jenderal Ketahanan, Perwilayahan dan Akses Industri Internasional, 10 November 2020.
Pemerintah Republik Indonesia. 2020. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta
Kerja.
---------------. 2014. Undang-Undang No. 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal.
---------------. 2008. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 Tentang Usaha Mikro, Kecil dan
Menengah.
Slamet Purwo Santoso. 2001. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kemitraan Usaha Penanaman
Modal Asing (PMA) dengan Usaha Kecil dan Menengah (UKM). Jakarta.
Talib et al., 2015. Halal Supply Chain Critical Success Factors: A Literature Review. Journal of
Islamic Marketing.
Deputi Bidang Koordinasi Ekonomi Digital, Ketenagakerjaan, dan UMKM
KEMENTERIAN KOORDINATOR BIDANG PEREKONOMIANJalan Lapangan Banteng Timur No 2-4
Jakarta Pusat 10710