24
© 2002 Rudi Posted 29 November, 2002 Makalah Pengantar Falsafah Sains (PPS702) Program Pasca Sarjana / S3 Institut Pertanian Bogor November 2002 Dosen: Prof. Dr. Ir. Rudy C. Tarumingkeng (Penanggung Jawab) Prof. Dr. Zahrial Coto Dr. Bambang Purwantara STATUS PENGAWETAN KAYU DI INDONESIA Oleh : RUDI E. 061020051 E-mail: [email protected] Abstrak Pertumbuhan penduduk Indonesia yang meningkat, iklim lingkungan tropis dan kenyataan 80% sampai 85% jenis kayu Indonesia kurang awet sampai tidak awet, serta meningkatnya

© 2002 Rudi Posted 29 November, 2002 file · Web viewMakalah Pengantar Falsafah Sains ... Tingginya deforestrasi di Indonesia disebabkan oleh tiga penyebab utama, illegal logging,

Embed Size (px)

Citation preview

© 2002  Rudi                                                                Posted  29 November, 2002Makalah Pengantar Falsafah Sains (PPS702)Program Pasca Sarjana / S3Institut Pertanian BogorNovember  2002  Dosen:Prof. Dr. Ir. Rudy C. Tarumingkeng (Penanggung Jawab)                                                        Prof. Dr. Zahrial CotoDr. Bambang Purwantara

 

 

STATUS PENGAWETAN KAYU DI INDONESIA 

 

 Oleh :

RUDI E. 061020051

 E-mail: [email protected] 

 

Abstrak

 Pertumbuhan penduduk Indonesia yang meningkat, iklim lingkungan tropis dan kenyataan 80% 

sampai 85% jenis kayu Indonesia kurang awet sampai tidak awet, serta meningkatnya 

pendapatan per kapita penduduk akan menyebabkan meningkatkannya penggunaan teknologi 

pengawetan kayu di Indonesia. Dengan kata lain, prospek penerapan pengawetan kayu di 

Indonesia cukup besar. Namun demikian, tanpa mengantisipasi tantangan maka pengawetan 

kayu di Indonesia hanya akan menjadi mata rantai ekonomi biaya tinggi dan hilangnya 

kepercayaan dari masyarakat.

 

 

I. PENDAHULUAN

 

Dalam setiap usaha pembangunan, masalah kependudukan adalah satu faktor penting. Terutama 

di Indonesia dengan jumlah penduduk yang tinggi, masalah ini menjadi lebih strategis. Dengan 

pengembangan kependudukan, diharapkan jumlah penduduk yang tinggi dapat menjadi  modal 

dasar untuk pembangunan. Sampai akhir  tahun 2000, penduduk Indonesia mencapai 210 juta 

jiwa,  atau meningkat sekitar  14.7  juta jiwa  jika dibandingkan dengan  jumlah penduduki  dalam 

tahun 1995.

Indonesia diketahui mempunyai sekitar 120.35 juta hektar hutan tropis, paling besar nomor dua  di 

dunia yang meliputi  sekitar sepuluh persen hutan tropis dunia. Indonesia juga dikenal sebagai 

negara mega biodeversity. Negeri ini mempunyai tidak kurang dari 4000 jenis kayu yang tersebar 

disepanjang hutan. Namun dari jumlah tersebut tidak lebih dari 200 jenis kayu telah dikenal dan 

secara komersial diperdagangkan selama  ini ( Martawidjaya dan Kartasujana, 1986).

Hutan Indonesia dikenal juga sebagai hutan dengan mengalami deforestrasi yang tinggi di dunia. 

Diperkirakan   deforestrasi   hutan   Indonesia   sebesar   1.6   sampai   1.8   juta   hectars   per   tahun, 

sedangkan   WALHI   (Wahana   Lingkungan   Hidup   Indonesia)   mengungkapkan   data   terjadinya 

deforestrasi di Indonesia rata-rata  2.0 juta per tahun.

Tingginya   deforestrasi   di   Indonesia   disebabkan   oleh   tiga   penyebab   utama,   illegal   logging, 

perambahan hutan dan kebakaran hutan.  Sampai  Januari  2001  telah   tercatat  360 HPH (Hak 

Pengusahaan Hutan), yang mencakup area 38.9 juta hektar hutan konversi dan produksi. Jumlah 

HPH tersebut berarti mengalami penurunan sekitar 35 persen dibandingkan pada tahun 1990.

Departemen Kehutanan Republik Indonesia melaporkan bahwa di Indonesia terdapat

sekitar 1.597 industri pengolahan kayu. Industri-industri tersebut  terdiri dari 1.472

industri penggergajian, 7 industri plywood, 5 industri pengolahan kayu dan 6 industri

chip. Kebutuhan bahan baku industri sekitar 73,8 juta m3 per tahun. Data APKINDO

( Asosiasi Pengusahaan Kayu Indonesia) menunjukan, ada 109 unit industri plywood unit

dengan kebutuhan bahan baku sekitar 14.7 juta m3 per tahun. Kenyataan lainnya,

Indonesia mempunyai 16 unit industri pulp yang membutuhkan 93 persen bahan baku log

dari hutan alam atau hutan tanaman.

Saat ini sudah dirasakan oleh masyarakat Indonesia pada umumnya bahwa harga kayu semakin 

mahal. Kenaikan harga kayu atau produk olahan kayu mungkin dirasakan sebagai suatu yang 

wajar karena banyak faktor yang terlibat yang mendukung meningkatnya harga produk tersebut. 

Walaupun hal tersebut dapat diterima, tetapi dapat dimengerti pula bahwa pasokan kayu memang 

semakin menurun karena jenis kayu komersial produksi hutan alam semakin habis dan belum 

dapat   diganti   sepenuhnya   dengan   produksi   hutan   tanaman.   Akibatnya   pasokan   kayu   akan 

berubah dari  jenis komersial  ke jenis non komersial  atau jenis kayu tak dikenal (Lesser know species)  produksi  hutan alam atau hutan sekunder serta  jenis kayu yang ditanam oleh rakyat 

sebagai produk hutan rakyat. 

HTI (Hutan Tanaman Industri) merupakan salah satu program pengembangan kehutanan yang 

dilakukan   oleh   pemerintah   dalam   penyediaan   bahan   baku   kayu   yang   selalu   meningkat 

permintaannya. Sebagai contoh, dalam PELITA VI dialokasikan program HTI sekitar 1 juta hektar 

(Departemen Kehutanan Republik Indonesia, 1994), dan mengalami peningkatan menjadi 6,2 juta 

hektar  pada   tahun  2000.  Pengembangan  program HTI   ini  dilaksanakan  di   luar   pulau  Jawa, 

dimana hutan tanaman yang didominasi   jenis  jati  dan pinus di  Jawa sudah tidak mampu lagi 

meningkatkan produksinya akibat  terus meningkatnya jumlah penduduk dan berkurangnya lahan 

hutan akibat perumahan dan pertanian.

Di pihak lain kenyataan menunjukan bahwa 80-85% kayu Indonesia mempunyai keawetan yang 

rendah (kelas III  -   IV). Dengan kata lain sebagian besar  jenis kayu tersebut mudah terserang 

berbagai   jenis   organisme   perusak   kayu.   Kenyataan   ini   ditunjang   pula   oleh   letak   geografis 

iIndonesia  di  khatulistiwa dengan  iklim  tropisnya yang memungkinkan hadirnya berbagai   jenis 

organisme perusak  kayu seperti   rayap,  bubuk  kayu  kering,   jamur  pelapuk.  Dengan  demikian 

dapat dimengerti mengapa ancaman kerusakan kayu di Indonesia sangat besar.

Upaya pencegahan kerusakan kayu sangat penting dalam rangka peningkatan mutu dan masa 

pakai   (service life)   bangunan.   Salah   satu   langka   strategis   yang   dapat   diterapkan   adalah 

memperpanjang  umur  pakai  atau  mempertahankan  umur   komponen  kayu  melalui   penerapan 

teknologi pengawetan kayu sesuai dengan standar teknis yang berlaku.

 

II. SUPPLY DAN DEMAND KAYU

 

Kayu merupakan komponen terpenting dalam pembangunan perumahan dan bangunan gedung 

lainnya di Indonesia. Menurut data statistik, dalam satu tahun tercatat tidak kurang dari 2 juta m3 

kayu   gergajian   yang   diproduksi   untuk   memenuhi   kebutuhan   pembangunan   perumahan   dan 

pemukiman. Pada kenyataannya, jumlah kayu gergajian yang diperlukan jauh dari di atas angka 

tersebut karena banyak sekali kayu-kayu yang dipergunakan sebagai bahan konstruksi bangunan 

yang dihasilkan dari industri kecil rakyat yang tidak tercatat.

Sebagaimana   diketahui   bahwa   ketersediaan   kayu   semakin   menurun   baik   dari   sisi   kuantitas 

maupun kualitas. Pada tahun 1980-an kayu bangunan didominasi jenis-jenis kayu tertentu seperti 

kapur, kempas, jati, merbau dan ulin yang termasuk jenis-jenis kayu kelas kuat dan kelas awet 

cukup   tinggi.   Pada   saat   sekarang   ini   dengan   meningkatnya   permintaan   akan   kayu   untuk 

perumahan dan gedung, penyediaan kayu yang kualitas tinggi mengalami penurunan. Kualitas 

kayu terutama kelas awet makin langka didapatkan, maka pada era sekarang dalam penggunaan 

kayu untuk pembangunan perumahan dan gedung mulai didominasi jenis-jenis kayu yang kurang 

awet.

Peningkatan   jumlah   penduduk   Indonesia   yang   mencapai   2,5%   per   tahun   mengakibatkan 

meningkatnya permintaan akan bahan kayu konstruksi dan untuk mebel. Dalam tahun 2000 saja 

seperti dilaporkan oleh Departemen Pemukiman dan Prasarana Wilayah, bahwa Indonesia telah 

membangunan  lebih dari  700.000 unti   rumah per  tahun, dengan kebutuhan kayu 2,2  juta m3. 

Kebutuhan   kayu   tersebut   dihitung   hanya   untuk   bahan   konstruksi   rumah   baru   tanpa 

memperhitungkan kebutuhan kayu untuk renovasi rumah-rumah yang rusak.   

Beberapa   jenis   kayu   dengan   mutu   rendah   umumnya   beredar   dipasaran.   Hasil   penelitian 

Khaerudin   (   1995)   menunjukkan   penomena   tersebut.   Seperti   dapat   dilihat   pada   Tabel   1, 

ketersediaan  kayu gergajian  bekualitas   rendah  lebih  banyak  dari  pada kayu-kayu  berkualitas 

tinggi,  harga kayu   tidak hanya tergantung pada kualitas   tetapi   juga dipengaruhi  oleh struktur 

pasar kayu itu sendiri. 

 

Table 1. Pemasaran Kayu Gergajian Dari Luar Jawa Ke Jakarta

 Kualitas Kayu Marketing Margin (%)*)

1.   Rendah

2.   Sedang

3.   Tinggi

43.42

42.44

36.92

 

Catatan : *) harga konsumen di Jakarta

Sumber : Khaerudin (1995)

 

Sementara itu, kebutuhan rata-rata per tahun sekitar 1.881 buah industri pemanfaatan kayu di 

Indonesia (Departemen Kehutanan, 2000), yang terdiri dari sawtimber, plywood, pulp, blockboard, 

chipmill, chopstick, pencilslat dan korek api mencapai 63,48 juta m3. 

Sampai   tahun   2000,   produksi   kayu   Indonesia   dari   hutan   alam   dan   hutan   tanaman   hanya 

mencapai 17.3 juta m3. Ini berarti terjadi penurunan produksi kayu selama lima tahun terakhir. 

Besarnya  produksi  kayu didominasi  dari  hutan yang dikonversi   (pemegang HPH) yang dapat 

menyediakan   sekitar   13.9   juta   m3   log   kayu   tiap   tahun   (Departemen   Kehutanan   Republik 

Indonesia, 2000). Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 2.

  

Table 2. Produksi Kayu Log dari Hutan Alam dan Hutan Tanaman Indonesia  1996-200

(dalam meter kubik)

 Tahu

n

Hutan 

AlamHutan 

Konversi

(HPH)

Hutan 

Rakyat

PT. 

Perhutani 

di Jawa

Hutan 

Tanaman 

Industri

(HTI)

1996

1997

1998

1999

2000

15,595,766

16,225,228

11,867,274

8,599,105

7,661,219

7,232,482

9,524,572

7,249,878

6,239,278

4,643,993

603,151

1,213,928

719,074

957,056

232,134

1,911,757

1,604,034

1,718,561

1,890,900

897,615

474,268

425,893

480,210

4,844,493

3,779,828

Sumber : Departemen Kehutanan Republik Indonesia, (2000)

 

Pasokan  kayu  memang  semakin  menurun   karena   jenis   kayu  komersial   produksi  hutan  alam 

semakin habis dan belum dapat diganti sepenuhnya dengan produksi hutan tanaman. Akibatnya 

pasokan kayu akan berubah dari  jenis komersial ke jenis yang non komersial yaitu  jenis kayu 

yang ditanam oleh rakyat sebagai produk hutan rakyat. Bentuk pasokan kayu yang terakhir sudah 

dapat dibuktikan di pulau Jawa berupa meningkatnya perdagangan kayu rakyat.

 

III. KAYU DAN FAKTOR PERUSAK KAYU

 Fakta   menunjukkan   lingkungan   Indonesia   merupakan   daerah   tropis.   Negeri   ini   mempunyai 

kehangatan, kelembaban dan bahan organik dalam tanah yang tinggi, di bawah kondisi tersebut 

perkembangan   organisme   khususnya   organisme   perusak   kayu   sangat   baik.   Hal   tersebut 

tercermin dari apa yang disebut sebagai negara mega biodeversity, dimana Indonesia mempunyai 

1.000.000 jenis serangga, 250.000 jenis jamur dan 200 jenis rayap. Kenyataan lain menunjukan 

bahwa   80   -   85%   kayu-kayu   Indonesia   mempunyai   keawetan   yang   rendah,   atau   dengan 

perkayaan kayu-kayu Indonesia mudah diserang oleh organisme perusak kayu. Bahkan, di DKI 

Jakarta hampir 90% kayu yang beredar adalah kayu yang tidak awet.

Kesimpulanya, Indonesia mempunyai banyak jenis kayu, tetapi umumnya adalah kayu yang tidak 

awet. Pada sisi lain, Indonesia juga mempunyai banyak organisme perusak kayu, seperti rayap, 

kumbang kayu (beetles), jamur pelapuk, jamur pewarna dan marine borer. Sebagai gambaran, 

Indonesia mempunyai tidak kurang dari 200 jenis rayap, yang diantaranya 5 jenis tergolong rayap 

yang potensial  dalam merusak kayu,  seperti  Coptotermes curvignathus,  Coptotermes traviani, Macrotermes gilvus, Microtermes insperatus dan Cryptotermes cynocephalus.

Macrotermes, Microtermes dan Odontotermes adalah rayap tanah yang paling dominan terdapat 

di  Jawa Barat.  Serangannya disamping pada produk kayu dan kayu konstruksi,  mereka  juga 

menyerang tanaman hidup, umumnya sistem perakarannya, dan batangi atau cabang kayu. Pada 

saat ini dilaporkankan bahwa, jenis rayap  Coptotermes spp juga terdapat di Jawa Barat yang 

menyerang  tanaman hidup  Pinus merkusii dan  Casuarina equisetifolia,  disamping  menyerang 

kayu struktural da lam pemakaian. Di Selatan Sulawesi dan Kalimantan Tengah,  Coptotermes boetonensis dan Coptotermes borneensis   menyerang bangunan rumah dan produk kayu lain.

Kerugian ekonomis akibat kerusakan kayu oleh faktor perusak kayu pda bangunan di Indonesia 

besarnya  telah mencapai  milyaran rupiah  tiap  tahunnya.  Salah satu  kasus adalah banyaknya 

bangunan perumahan di DKI Jakarta yang telah diserang rayap  dan harus diperbaiki. Survei di 

beberapa kota  besar,  Jakarta,  Surabaya,  Bandung dan kota-kota  besar   lainnya menunjukkan 

bahwa umumnya bangunan perumahan sangat mudah diserang oleh organisme perusak kayu 

terutama rayap dan dapat menyebabkan kerugian ekonomis. Sebagai contoh besarnya kerugian 

ekonomis akibat  serangan rayap pada bangunan rumah di  Indonesia besarnya mencapai  Rp. 

2,67 trilyun pada tahun 2000 dan pada bangunan milik pemerintah besarnya mencapai Rp. 300 

milyar per tahun.

Dengan meningkatnya jumlah penduduk Indonesia dan meningkatnya pendapatan per kapita dari 

tahun ke tahun dan pada sekarang kayu-kayu yang digunakan untuk pembangunan perumahan di 

Indonesia ummnya tidak awet atau dengan perkataan lain mudah diserang faktor perusak kayu, 

maka penggunaan teknologi pengawetan kayu merupakan upaya yang sangat tepat.

 

IV. PENGAWETAN KAYU DENGAN BAHAN PENGAWET

 Seperti   telah   dijelaskan   dimuka,   sebagian   besar   jenis   kayu   mempunyai   keawetan   rendah, 

sehingga mudah rusak, keropos atau lapuk akibat serangan organisme perusak kayu. Disamping 

itu,   ketergantungan   kepada   jenis-jenis   kayu   awet   menyebabkan   penggunaan   kayu   kurang 

optimal. Untuk mengatasi hal tersebut perlu dimasyarakatkan upaya-upaya untuk mengingkatkan 

keawetan jenis-jenis kayu yang kurang awet.

Upaya seperti itu disebut pengawetan kayu. Jelasnya, pengawetan kayu adalah perlakuan kimia 

dan atau perlakuan fisik   terhadap kayu untuk memperpanjang masa pakai  (service life)  kayu. 

Dalam   kenyataan   sehari-hari,   yang   dimaksud   dengan   pengawetan   kayu   adalah   proses 

pemasukan bahan kimia ke dalam kayu untuk meningkatkan keawetannya. Bahan kimia yang 

digunakan dalam perlakuan tersebut tersebut di atas adalah bahan pengawet kayu.

Beberapa cara mengawetkan kayu sudah dikenal di Indonesia sejak tahun 1950-an, diantaranya 

pelaburan, pencelepun, perendaman (rendaman dingin dan rendaman panas-dingin) yang biasa 

disebut seabagai metode sederhana dan metode yang lebih modern seperti  vakum tekan dan 

metode injeksi.

Teknologi   pengendalian   rayap   terutama   di   Indonesia   masih   bertumpuh   pada   penggunaan 

pestisida anti rayap (termitisida) melalui perlakuan tanah (soil treatment) maupun dengan cara 

impregnasi   termitisida ke dalam kayu melalui  pengawetan kayu. Alternatif  pengendalian rayap 

yang sekarang dikembangkan adalah sistem pengumpanan (baiting system) dan perintang fisik 

(physical barrier) serta pengendalian hayati. Menurut sifat aplikasinya, ada dua teknik perlakuan 

tanah, yaitu (1) perlakuan pra konstruksi (pre construction treatment) bila perlakuan dilaksanakan 

menjelang/sewaktu bangunan didirikan,  dan (2)  perlakuan pasca konstruksi   (post construction treatment) bila perlakuan dilaksanakan pada bangunan yang sudah berdiri.

 

 V. BAHAN PENGAWET KAYU DI  INDONESIA

 Sejalan dengan pertambahan jumlah penduduk dan laju pembangunan nasional, pembangunan 

perumahan terus meningkat dari tahun ke tahun yaitu 1.709.831 unit pada tahun 1989, 2.215.956 

unit pada tahun 1992, 2.544.196 unit pada tahun 1994 dan 113.880 unit pada thun 2000 (Biro 

Pusat Statistik, 2000). Pada tahun 2002 pemerintah telah menargetkan pembangunan perumahan 

massal  sederhana sebanyak 600.000 unit   (Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah, 

2001). 

Salah satu komponen penting dalam pembangunan perumahan adalah kayu. Oleh karena  itu 

peningkatan  pembangunan  perumahan   juga  mendorong  pemakaian  kayu   yang  makin  besar. 

Pada   PELITA   VI   saja   kebutuhan   kayu   untuk   pembangunan   perumahan   massal   sederhana 

diperkirakan mencapai 807.752 m3. Pemilihan kayu ini didasarkan pada beberapa pertimbangan 

bahwa kayu memiliki beberapa keunggulan dengan bahan lainnya. Selain memiliki keunggulan, 

kayupun memiliki kelemahan, antara lain tidak tahan terhadap serangan organisme perusak kayu 

seperti yang telah diuraikan di atas.

Beberapa macam bahan pengawet kayu telah beredar di pasaran, akan tetapi permintaan satu 

jenis bahan pengawet kayu dengan jenis yang lainnya belum diketahui, demikian juga bagaimana 

perkiraan  permintaannya  di  masa datang.  Banyak bahan pengawet kayu di   Indonesia  hingga 

sekarang masih dari negara-negara produsen. Bahan-bahan pengawet kayu tersebut terdiri dari 

campuran   dari   bahan   non   organic,   tiosianat,   arganofosfat,   pyretroid   dan   campuran   lain. 

Disamping bahan pengawet tersebut, formulasi baru sekarang ini diadopsi dari beberapa negara-

negara. Sebagai contoh, di  Indonesia melalui KOMPES ( Pestisida Komisi pengawas) sebagai 

berikut:

o CCB ( borium tembaga chromated)

o CCF ( tepung tembaga chromated)

o FCAP ( zat asam karbol arsenat khromat tepung)

o BFCA ( arsenat khromat tepung borium)

Di Indonesia,  arsenat tembaga chromated (CCA) yang dahulu merupakan satu-satunya bahan 

pengawet kayu untuk digunakan di menara pendingin dan bahan pengawet yang paling umum 

digunakan untuk berbagai  tujuan penggunaan kayu, tetapi sejak tahun 1994, bahan ini (CCA) 

telah dilarang beredar di Indonesia.

Salah satu konsumen kayu awetan adalah sektor perumahan dan dari pembangunan perumahan 

yang telah dilakukan baik oleh pihak pemerintah ataupun swasta belum diketahui pasti berapa 

jumlah bahan pengawet kayu yang telah dan akan digunakan dalam pembangunan perumahan 

tersebut.   Fluktuasi   konsumsi   bahan   pengawet   kayu   antara   lain   karena   adanya   kesulitan 

pengadaan bahan baku kayu yang sesuai dengan rencana. Karena jenis bahan baku kayunya 

berbeda maka bahan pengawet kayu yang diserap pun akan berbeda. Sementara itu sifat pasar 

dari bahan pengawet kayu yang masih bersifat monopolistik, sistem peredaran yang berbeda dari 

jenis komoditi  atau barang dagangan lainnya serta adanya campur tangan pemerintah melalui 

kebijakan yang dikeluarkan mengenai peredaran bahan pengawet kayu di Indonesia, jelas akan 

menimbulkan juga konsumsi ba han pengawet kayu mengalami fluktuasi.

Sementara itu, kebutuhan bahan pengawet kayu dalam pembangunan perumahan massal dalam 

peramalan mengalami peningkatan dari 548.74 ton dalam tahun 1996 menjadi 600.62 ton dalam 

tahun   2000.   Ini   berarti   peningkatan   itu   18%   dibandingkan   dengan   permintaan   tahun   yang 

sebelumnya (Tabel  3).  Jika dibandingkan dengan hasil  yang dihasilkan oleh Mutaqien (1991) 

menunjukkan bahwa konsumsi bahan pengawet kayu dalam pembangunan perumahan massal 

sederhana di Indonesia hanya 29,55% permintaan bahan pengawet kayu   riil di Indonesia dan 

hanya  1,44% saja dari  permintaan potensinya.

 

Tabel 3. Konsumsi Bahan Pengawet Kayu Di Indonesia 1996-2000

Tahun Bahan Pengawet Kayu 

(kg)

Jumlah Komulatif (kg)

1996

1997

1998

1999

2000

547,736.88

577,768.03

594,910.11

637,024.72

600.621,84

9,878,480.48

10,456,248.51

11,051,158.62

11,688,183.34

12,288,805.18

Sumber: Jamali, D. Nandika dan D. Darusman ( 1997)

 

Berdasarkan program pembangunan perumahan yang ditargetkan oleh pemerintah terlihat bahwa 

rata-rata   yang   akan   dibangun   120.000   unit/tahun   yang   dilimpahkan  pelaksanaannya   kepada 

Perum Perumnas, Pengembang swasta dan koperasi.  Jika diasumsikan rumah yang dibangun 

mengikuti pola yang sama seperti pola pada Perum Perumnas dalam penentuan kebutuhan kayu 

dan bahan pengawet kayunya per tipe rumah maka kebuthan bahan pengawet kayu 2.912,80 ton. 

Jadi tiap tahunnya dibutuhkan bahan pengawet kayu sebanyak 582,56 ton.

 

VI. PELUANG DAN TANTANGAN PENERAPAN PENGAWETAN KAYU DI  INDONESIA

 Peluang   dan   tantangan   penerapan   teknologi   pengawetan   kayu   di   Indonesia,   sangat   perlu 

diberikan agar lembaga atau perusahaan yang melaksanakannya dapat berjalan dengan baik. 

1. Peluang Penerapan Pengawetan Kayu

Peluang   penerapan   pengawetan   kayu   dapat   ditelaah   dari   empat   faktor   utama   yaitu:   (1) 

permintaan   potensi   kayu;   (2)   dukungan   kebijakan   pemerintah;   (3)   persepsi   masyarakat 

terhadap pengawetan kayu; dan ( 4) ketersediaan perangkat lunak.

1.1. Permintaan potensial kayu

Sampai saat ini besarnya permintaan potensial akan kayu bangunan di Indonesia belum 

pernah dilaporkan. Namun demikian mengingat besarnya produksi kayu Indonesia (25-30 

juta   m3   per   tahun)   yang   sebagianbesar   merupakan   jenis   kayu   kurang   awet   serta 

pesatnya  pembangunan   sektor  perumahan,  maka  dapat  diduga  permintaan  potensial 

akan kayu bangunan juga cukup besar.

 

1.2. Dukungan Kebijakan Pemerintah

Harus   diakui   bahwa   berbagai   instansi   pemerintah   sebenarnya   telah   sejak   lama 

menunjukan   dukungannya   terhadap   pemasyarakatan   teknologi   pengawetan   kayu. 

Dukungan   tersebut   antara   lain   tercermin   dari   terbitnya   beberapa   standar   tentang 

pengawetan kayu, antara lain :

      Standar  Kehutanan   Indonesia  No.  SKI.C-m-001:1987,   tentang   “Pengawetan  Kayu 

untuk Perumahan dan Gedung”.

      Standar Konstruksi Bangunan Indonesia No.SKBI-4.3.53. 1987, tentang “Spesifikasi 

Kayu Awet Untuk Perumahan dan Gedung”.

Penerbitan standar tersebut jelas mencerminkan  political will  dan dukungan pemerintah 

bagi pemasyarakatan teknologi pengawetan kayu.

1.3. Presepsi Masyarakat 

Terlepas dari  kemungkinan adanya  law enforcement,  pada dasarnya konsumen dapat 

secara   sukarela  memilih  atau   tidak  memilih   kayu  bangunan   yang  diawetkan.  Namun 

demikian   berdasarkan   pengalaman-pengalaman   konsumen   sebelumnya,   penggunaan 

kayu   bangunan   yang   diawetkan   dianggap   penting   agar   bangunan   mereka   terjamin 

tentang kualitas bangunan yang dimilikinya.

Apabila   persepsi   ini   terwujud   di   masyarakat,   maka   prospek   penerapan   teknologi 

pengawetan kayu di Indonesia sangat besar. Apalagi didukung oleh daya beli masyarakat 

yang makin meningkat sejalan dengan keberhasilan pembangunan ekonomi sekarang ini.

1.4. Ketersediaan Perangkat lunak 

Teknologi pengawetan kayu telah dikenal di Indonesia sejak tahun 50-an. Sejalan dengan 

itu kegiatan pendidikan dan pelatihan tentang pengawetan kayu termasuk pengendalian 

kualitasnya cukup sering dilaksanakan. Dengan demikian dapat dimengerti jika teknologi 

pengawetan kayu dapat dikatakan sudah tersedia dan dikuasai secara optimal.

 

2.   Tantangan Yang Dihadapi

Walaupun peluang penerapan teknologi pengawetan kayu di Indonesia cukup besar, berbagai 

tantangan tampaknya masih perlu di antisipasi. Tantangan tersebut adalah : (1) terpenuhinya 

asas

 independensi, transparansi dan kredibilitas; (2) koordinasi kelembagaan, dan (3) ketersediaan 

sarana pendukung di daerah.

2.1. Independensi, Transparansi dan Kredibilitas

Agar sistem pengawetan kayu dapat berkembang secara maksimal, maka sistem tersebut 

perlu dilandasi asas indenpendensi, transparansi dan kredibilitas.

Lembaga pengawetan kayu harus berdiri di atas semua kepentingan secara proporsional. 

Hal ini harus tercermin baik dari unsur-unsur pelaksananya maupun dari acuan kerja yang 

dipakai.

Transparansi   mengandung   arti   keterbukaan   dalam   pengelolaan.   Ini   berarti   lembaga 

pengawetan kayu dan mekanisme kerjanya harus jelas dan lugas serta dapat diakses 

oleh semua pihak sejauh tidak melanggar norma-norma yang berlaku.

Kredibilitas   mengandung   arti   kemampuan,   keandalan   dan   kepercayaan.   Lembaga 

pengawetan   kayu   harus   mempunyai   kemampuan   dan   keandalan   yang   tinggi   dalam 

mengemban misinya.

2.2. Koordinasi Kelembagaan

Karena kompleknya interaksi antara pihak-pihak yang terkait dengan lembaga ini maka 

koordinasi  dengan  lembagainstitusi   lain  mutlak  diperlukan.  Sebagai  contoh  koordinasi 

dengan Komisi Pestisida (KOMPES) sebagai instansi yang bertanggungjawab mengenai 

registrasi   bahan   pengawet   kayu   akan   sangat   membantu   kelancaran   kerja   lembaga 

tersebut.

2.3. Ketersediaan Saranan Pendukung di Daerah

Berbagai   sarana   pendukung,   khususnya   perangkat   keras,   dalam   pelaksanaan 

pengawetan   kayu   pada   umumnya   masih   terdapat   di   kotakota   besar,   sedangkan   di 

beberapa daerah tertentu masih langka.

Tanpa mengantisipasi ketiga hal di atas maka penerapan teknologi kayu di Indonesia hanya 

akan menjadi mata rantai ekonomi biaya tinggi dan kehilangan kepercayaan dari masyarakat. 

  

DAFTAR PUSTAKA 

Association of Wod Preservation Indonesia. 1988. Peningkatan Usaha Pengawetan Kayu Secara 

Profesional. Proceedings Meeting of Works National. Orchid Palace Hotel Jakarta

Komisi   Pestisida   Indonesia.   2000.   Pestisida   Untuk   Pertanian   dan   Kehutanan.   Koperasi 

Departemen Pertanian. Jakarta.

Departement   of   Information  The  Republic   of   Indonesia.   1996.   Indonesia   is   Going   To   Be   In 

Globalitation Era. Ministry of Imformation The Republic of Indonesia.

Jamali, D. Nandika and D. Darusman. 1997. Wood Preservatives Demand for Low Cost Housing 

Development   in   Indonesia.   Journal  of  Forest  Products  Technology.  Faculty  of  Forestry 

Bogor Agricultural University. Bogor.

Khaerudin. 1995. Analisis Biaya dan Marjin Tataniaga Kayu Gergajian di DKI Jakarta (Studi Kasus 

di Pelabuhan Sunda Kelapa). Minithesis of Management of Forest Department. Faculty of 

Forestry Bogor Agricultural. Bogor. Unpublised.

Martawidjaya,  A.   and  Kartasudjana.   1986.  Ciri  Umum  Sifat   dan  Kegunaan  Jenis-Jenis  Kayu 

Indonesia. Forest Products and Social-Economic Researc and Development Centre. Bogor

Mubariq,  A.  1960.  The   role  of  Timber  Production   in   Indonesian  Economy  Reality  or   Illusion. 

Konphalindo Jakarta.

Mutaqien,   I.   1991.   Potensi   Pasar   Bahan   Pengawet   Kayu   di   Indonesia.   Minithesis   of   Forest 

Products Technology Department. Faculty of Forestry Bogor Agricultural University. Bogor. 

Unpublised.

Nandika, D. 1996. Certification System of Preserved Wood for Housing Construction in Indonesia. 

Prospects  and Constraints.  Journal  of  Forest  Products  Technology.  Faculty  of  Forestry 

Bogor Agricultural University. Bogor.

Permadi, P. 1997. Alternative Wood Preservatives for Use in Indonesia. Research was Supported 

in Part  by   the USDA,  Foreign  Agricultureal  Service.  Research  and Scientific  Exchange 

Division, International Cooperation and Development.

Tarumingkeng,   R.C.   1974.   Termite   of   Importance   to   Forestry   and   Wood   Construction   in 

Indonesia. Prepared for Seminar on Pest Control in Building Indonesia. Jakarta.