6
ANALISIS KEBIJAKAN FISKAL KOTA MEDAN DI ERA OTONOMI DAERAH Kasyful Mahalli Abstract Fiscal decentralization is one of the big issues in regional development in Indonesia. Most regions depend on regional tax in pushing their economic growth. Along 2000-2003 the average tax ratio in Medan municipality is 0,40% which means that the authority could only taxing 0,4% of total output in the region. In other hand, the econometric calculation shows that regional tax has negative correlation with economic growth. The local government however has a contrary policy: growth oriented targeting or local revenue targeting. In the future, the leviathan model should be considered for local revenue targeting. Kata kunci: Desentralisasi fiskal, Tax ratio, Pendapatan asli daerah, Pertumbuhan ekonomi Pendahuluan Sejalan dengan berbagai tuntutan dan keperluan untuk mendorong desentralisasi dan otonomi, telah diundangkan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagai pengganti Undang-Undang No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang No. 25 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Undang-Undang tersebut diharapkan dapat dijadikan landasan yang cukup kuat dalam mengimplementasikan otonomi yang seluas- luasnya dan bertanggung jawab yang mampu mendukung penyelenggaraan pembangunan daerah oleh pemerintah daerah sehingga sejalan dengan aspirasi dan kebutuhan daerah. Di sisi lain pembangunan yang berkesinambungan harus dapat memberi tekanan pada mekanisme ekonomi, sosial, politik, dan kelembagaan, baik dari sektor swasta maupun pemerintah, demi terciptanya suatu perbaikan standar hidup masayarakat secara cepat. Untuk itu pemerintah daerah dituntut untuk mampu mengalokasikan sejumlah besar anggaran pembangunan untuk membiayai program- program yang terkait dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Dorongan desentralisasi yang terjadi di berbagai negara di dunia terutama di negara- negara berkembang, dipengaruhi oleh beberapa faktor, misalnya; latar belakang atau pengalaman suatu negara, peranannya dalam globalisasi dunia, kemunduran dalam pembangunan ekonomi, tuntutan terhadap perubahan tingkat pelayanan masyarakat, tanda- tanda adanya disintegrasi di beberapa negara, dan yang terakhir, banyaknya kegagalan yang dialami oleh pemerintahan sentralistis dalam memberikan pelayanan masyarakat yang efektif (Sidik 2002). Dengan telah diterbitkannya UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah telah terjadi berbagai perubahan mendasar dalam pengaturan pemerintahan daerah di Indonesia. Konsekuensinya adalah perlunya dilakukan penataan terhadap berbagai elemen yang berkaitan dengan Pemerintah Daerah sebagai manifestasi dari otonomi daerah. Berkaitan dengan hal tersebut di atas, kehadiran UU No. 32 Tahun 2004 memberikan otonomi kepada daerah kabupaten dan kota untuk membentuk dan melaksanakan kebijakan menurut prakarsa dan aspirasi masyarakatnya. Kondisi ini mendorong upaya partisipasi masyarakat yang akan mempengaruhi komponen kualitas pemerintahan lainnya dan akhirnya menyebabkan terjadinya orientasi pemerintah pada tuntutan dan pelayanan publik. Dalam kenyataannya, pemerintah sendiri perlu menstimulir pembangunan ekonomi melalui APBN. Secara umum diyakini desentralisasi fiskal akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pendapat ini dilandasi oleh pandangan yang menyatakan kebutuhan masyarakat daerah terhadap pendidikan dan barang publik pada umumnya akan terpenuhi dengan lebih baik dibandingkan bila langsung Jurnal Perencanaan & Pengembangan Wilayah WAHANA HIJAU•Vol.1•No.1•Agustus 2005 16

Analisis kebijakan fiskal

  • Upload
    arief-h

  • View
    1.686

  • Download
    5

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Analisis kebijakan fiskal

ANALISIS KEBIJAKAN FISKAL KOTA MEDAN DI ERA OTONOMI DAERAH

Kasyful Mahalli

Abstract

Fiscal decentralization is one of the big issues in regional development in Indonesia. Most regions depend on regional tax in pushing their economic growth. Along 2000-2003 the average tax ratio in Medan municipality is 0,40% which means that the authority could only taxing 0,4% of total output in the region. In other hand, the econometric calculation shows that regional tax has negative correlation with economic growth. The local government however has a contrary policy: growth oriented targeting or local revenue targeting. In the future, the leviathan model should be considered for local revenue targeting. Kata kunci: Desentralisasi fiskal, Tax ratio, Pendapatan asli daerah,

Pertumbuhan ekonomi Pendahuluan

Sejalan dengan berbagai tuntutan dan keperluan untuk mendorong desentralisasi dan otonomi, telah diundangkan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagai pengganti Undang-Undang No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang No. 25 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Undang-Undang tersebut diharapkan dapat dijadikan landasan yang cukup kuat dalam mengimplementasikan otonomi yang seluas-luasnya dan bertanggung jawab yang mampu mendukung penyelenggaraan pembangunan daerah oleh pemerintah daerah sehingga sejalan dengan aspirasi dan kebutuhan daerah.

Di sisi lain pembangunan yang berkesinambungan harus dapat memberi tekanan pada mekanisme ekonomi, sosial, politik, dan kelembagaan, baik dari sektor swasta maupun pemerintah, demi terciptanya suatu perbaikan standar hidup masayarakat secara cepat. Untuk itu pemerintah daerah dituntut untuk mampu mengalokasikan sejumlah besar anggaran pembangunan untuk membiayai program-program yang terkait dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Dorongan desentralisasi yang terjadi di berbagai negara di dunia terutama di negara-negara berkembang, dipengaruhi oleh beberapa faktor, misalnya; latar belakang atau pengalaman suatu negara, peranannya dalam globalisasi dunia, kemunduran dalam pembangunan ekonomi, tuntutan terhadap

perubahan tingkat pelayanan masyarakat, tanda-tanda adanya disintegrasi di beberapa negara, dan yang terakhir, banyaknya kegagalan yang dialami oleh pemerintahan sentralistis dalam memberikan pelayanan masyarakat yang efektif (Sidik 2002).

Dengan telah diterbitkannya UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah telah terjadi berbagai perubahan mendasar dalam pengaturan pemerintahan daerah di Indonesia. Konsekuensinya adalah perlunya dilakukan penataan terhadap berbagai elemen yang berkaitan dengan Pemerintah Daerah sebagai manifestasi dari otonomi daerah. Berkaitan dengan hal tersebut di atas, kehadiran UU No. 32 Tahun 2004 memberikan otonomi kepada daerah kabupaten dan kota untuk membentuk dan melaksanakan kebijakan menurut prakarsa dan aspirasi masyarakatnya. Kondisi ini mendorong upaya partisipasi masyarakat yang akan mempengaruhi komponen kualitas pemerintahan lainnya dan akhirnya menyebabkan terjadinya orientasi pemerintah pada tuntutan dan pelayanan publik. Dalam kenyataannya, pemerintah sendiri perlu menstimulir pembangunan ekonomi melalui APBN.

Secara umum diyakini desentralisasi fiskal akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pendapat ini dilandasi oleh pandangan yang menyatakan kebutuhan masyarakat daerah terhadap pendidikan dan barang publik pada umumnya akan terpenuhi dengan lebih baik dibandingkan bila langsung

Jurnal Perencanaan & Pengembangan Wilayah WAHANA HIJAU•Vol.1•No.1•Agustus 2005 16

Page 2: Analisis kebijakan fiskal

diatur oleh pemerintah pusat. Namun kecenderungan ke arah tersebut tidak nampak karena hingga saat ini sebagian besar Pemerintah Daerah (Pemda dan DPRD) Kota dan Kabupaten di Indonesia merespons desentralisasi fiskal dengan menggenjot kenaikan PAD melalui pajak dan restribusi tanpa diimbangi peningkatan efektivitas pengeluaran APBD serta dampaknya terhadap pertumbuhan ekonomi (PDRB).

Beranjak dari pemikiran ini, patut dipertanyakan sejauh mana Kabupaten/Kota melaksanakan kebijakan fiskal dikaitkan dengan pertumbuhan ekonomi dalam era otonomi daerah. Tulisan ini bertujuan untuk: 1. Mengevaluasi pola pengeluaran Pemerintah

kota Medan sejak berlakunya otonomi daerah.

2. Menganalisis kebijakan fiskal utamanya pengeluaran pembangunan.

3. Merumuskan kebijakan fiskal yang seharusnya ditempuh oleh pemerintah kota Medan.

Perkembangan Ekonomi dan Desentralisasi Fiskal Kota Medan

Dalam kurun waktu 2000-2003, ekonomi kota Medan tumbuh rata-rata sebesar 5,11%% per tahun. Pertumbuhan ekonomi yang dominan terjadi pada sektor penggalian (11,17%), sementara sektor industri mengalami pertumbuhan yang terendah (3,20%). Pertumbuhan sektor penggalian yang tertinggi terjadi pada tahun 2000 sebesar 24,87%, sementara pada tahun yang sama sektor pertanian, bangunan dan angkutan mengalami pertumbuhan lebih tinggi dibanding pertumbuhan ekonomi Kota Medan.

Tabel 1. Pertumbuhan Ekonomi Kota Medan

Tahun 2000 s.d. 2003 Atas Dasar Harga Konstan

No Lapangan

Usaha/ Sektor

Tahun Rata- Rata

2000 2001 2002 2003 1 Pertanian 9,43 4,68 6,88 4,49 6,37 2 Penggalian 24,87 8,83 9,60 1,38 11,17 3 Industri 3,25 4,96 0,50 4,08 3,20

4 Listrik, Gas & Air 4,92 5,42 6,67 7,98 6,25

5 Bangunan 15,36 14,13 4,05 5,65 9,80 6 Perdagangan 3,82 2,01 3,90 3,61 3,34 7 Angkutan 9,84 9,11 6,05 8,58 8,40 8 Keuangan 1,41 6,31 7,24 5,32 5,07

No Lapangan

Usaha/ Sektor

Tahun Rata- Rata

2000 2001 2002 2003 9 Jasa 5,06 2,24 2,80 4,42 3,63

PDRB 5,40 5,22 4,50 5,32 5,11

Sumber: Pendapatan Regional Kota Medan Tahun 1994-2003 Pada tahun 2001, pertumbuhan ekonomi

Kota Medan mengalami penurunan sebesar 18% dibanding tahun sebelumnya. Penurunan ini disebabkan adanya penurunan di seluruh sektor ekonomi kecuali sektor industri dan sektor keuangan. Pada tahun ini sektor penggalian mengalami penurunan yang sangat drastis menjadi 8,82%.

Pertumbuhan ekonomi Kota Medan pada tahun 2002 terus mengalami penurunan. Sektor industri hanya mengalami pertumbuhan sebesar 0,50% begitu juga dengan sektor bangunan dan angkutan yang mengalami penurunan yang sangat signifikan.

Di tahun 2003, pertumbuhan ekonomi kota Medan kembali bangkit dengan tingkat pertumbuhan sebesar 5,32%, lebih tinggi 0,82% dibanding tahun sebelumnya. Hal ini tidak terlepas dari dari dorongan kondisi ekonomi makro terutama turunnya tingkat bunga yang merangsang kegiatan sektor riil. Sektor yang mulai bergairah pada tahun 2003 ini adalah sektor industri, utilitas, bangunan, angkutan dan jasa. Sementara sektor pertanian, penggalian, perdagangan dan keuangan mengalami pertumbuhann yang lebih rendah dari tahun sebelumnya. Sejalan dengan pertumbuhan ekonomi kota Medan, APBD kota Medan mengalami peningkatan yang signifikan selama kurun waktu Tahun 2000-2003. Selama periode ini APBD mengalami pertumbuhan sebesar 41,77%, sedangkan PAD mengalami pertumbuhan rata-rata 40,18% per tahun dan dana perimbangan mengalami pertumbuhan sebesar 35,52%. Belanja rutin mengalami pertumbuhan rata-rata 38,70% per tahun sementara belanja pembangunan tumbuh sebesar 49,83% per tahun. Namun bila dilihat dari nilai kontribusi terhadap total APBD, PAD hanya menyumbang sebesar rata-rata 21,60%, sedangkan dana perimbangan memberikan

17

Page 3: Analisis kebijakan fiskal

Tabel 2. APBD Kota Medan Tahun 2000 s.d. 2003 No Item Tahun Anggaran

2000 2001 2002 2003 1 Sisa Anggaran Tahun Lalu 12.242.061.000 3.341.389.000 30.586.687.000 10.160.617.000 2 PAD 58.033.917.000 80.967.590.000 129.103.734.000 224.098.694.000 3 Dana Perimbangan 171.174.701.000 322.283.646.000 451.316.101.000 577.334.229.000 4 Pinjaman Pemerintah Daerah - - - - 6 Bagian Lain Penerimaan yang Sah - 52.500.000.000 163.697.663.000 6 Belanja Rutin 180.436.184.000 328.324.516.000 524.653.679.000 667.822.588.000 7 Belanja Pembangunan 61.014.495.000 78.268.109.000 138.852.843.000 307.468.615.000

APBD 241.450.679.000 406.592.625.000 663.506.522.000 975.291.203.000

0,00

0,10

0,20

0,30

0,40

0,50

0,60

0,70

2000 2001 2002 2003

Tahun

(%)

Gambar 1. Perkembangan Tax Ratio Kota Medan kontribusi rata-rata 69,34%. Sementara belanja rutin menyerap rata-rata 75,76% dari total belanja daerah.

Untuk melaksanakan pembangunan kota yang terstandardisasi dengan menjadikan kota medan sebagai kota metropolitan, dengan fisiknya yang modern, yang didukung oleh infrastruktur ekonomi dan sosial yang lengkap dan handal, dengan masyakarat yang menguasai iptek, imtaq, dan diwarnai oleh adanya mobilitas orang, produksi, dan perdagangan yang tinggi dan berskala besar, serta memiliki daya tarik, kekayaan, dan kekuatan kebudayaan yang tinggi, sekaligus merupakan pusat kegiatan pemerintahan, kegiatan ekonomi regional maupun internasional, pemerintah kota Medan membutuhkan dana yang tidak sedikit untuk dapat mewujudkan rencana yang telah ditetapkan dalam Rencana Stratejik Pemerintah Kota Medan tahun 2001-2005. Sumber pendapatan pemerintah kota Medan salah satunya adalah melalui Pendapatan Asli Daerah yang salah satu komponennya bersumber dari Pajak Daerah. Pada tahun 2003, pajak daerah menyumbang sebesar 56,56% ke dalam Pendapatan Asli Daerah dan merupakan sumber pendapatan yang tertinggi dibandingkan dengan

sumber pendapatan asli daerah yang lainnya. Retribusi daerah memberikan kontribusi sebesar 39,38% sedang lain-lain PAD yang sah dan laba perusahaan daerah memberikan kontribusi masing-masing 3,60% dan 0,46%. Kontroversi Antara Pajak dan Pertumbuhan Ekonomi

Salah satu fenomena menarik dalam melihat perkembangan ekonomi daerah adalah dengan melihat seberapa besar kemampuan daerah dalam menarik pajak atas produksi daerah pada tahun tertentu. Selama periode tahun 2000 s.d. 2003 terlihat bahwa tax ratio kota Medan hanya sebesar rata-rata 0,40% per tahun. Hal ini berarti bahwa pemerintah kota Medan hanya mampu menarik pajak sebesar 0,4% dari total produksi yang dihasilkan. Angka ini jelas sangat kecil dibanding dengan normal tax ratio bagi negara sedang berkembang sekalipun yaitu 16 persen. Dengan perkataan lain bila produksi yang dihasilkan oleh keseluruhan sektor berjumlah Rp 1.000 pajak yang mampu di tarik hanya sebesar Rp 40. Kondisi ini juga menunjukkan masih banyaknya potensi pajak yang selayaknya dapat digali oleh pemerintah kota Medan di masa yang akan datang.

Jurnal Perencanaan & Pengembangan Wilayah WAHANA HIJAU•Vol.1•No.1•Agustus 2005 18

Page 4: Analisis kebijakan fiskal

Tabel 3. Hasil Estimasi Fungsi Pertumbuhan Ekonomi (PDRB) terhadap Pengeluaran

Pemerintah (Gov) dan Pajak Daerah (Tax)

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. C 2536199. 112523.2 22.53933 0.0000

GOV 2.74E-05 3.98E-06 6.894663 0.0000 TAX -0.000112 2.78E-05 -4.020028 0.0015

R-squared 0.970565 Mean dependent var 4364277. Adjusted R-squared 0.966037 S.D. dependent var 781872.6 S.E. of regression 144091.7 Akaike info criterion 26.76165 Sum squared resid 2.70E+11 Schwarz criterion 26.90651 Log likelihood -211.0932 F-statistic 214.3286 Durbin-Watson stat 2.189867 Prob(F-statistic) 0.000000

Dengan menggunakan data tahun 2000

s.d. 2003, hasil kajian empiris atas hubungan antara PDRB dengan belanja pemerintah dan pajak daerah menunjukkan adanya hubungan yang positif antara perkembangan ekonomi (PDRB) dengan belanja pemerintah, namun PDRB berhubungan negatif dengan pajak daerah sebagaimana terlihat pada Tabel 3.

Dari hal di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa pajak daerah yang pada era otonomi daerah merupakan sumber andalan pemerintah kota Medan memberikan dampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi. Dengan kata lain bila pajak daerah naik, maka akan berdampak pada penurunan ekonomi daerah. Pemerintah daerah umumnya keliru dalam menjalankan otonomi daerah utamanya bila dikaitkan dengan peningkatan Pendapatan Asli Daerah. Pemerintah daerah selalu mengedepankan pengutipan pajak daerah namun mengabaikan pertumbuhan eknonomi. Seyogianya, pemerintah daerah memacu pertumbuhan ekonomi terlebih dahulu baru melakukan pengutipan pajak daerah. Dengan cara ini, investor akan tertarik menanamkan modalnya.

Penggalian sumber-sumber keuangan daerah khususnya yang berasal dari pajak daerah pada dasarnya perlu memperhatikan 2 (dua) hal, yaitu: (i) dasar pengenaan pajak dan (ii) tarif pajak. Pemerintah daerah cenderung untuk menggunakan tarif yang tinggi agar diperoleh total penerimaan pajak daerah yang maksimal. Pengenaan tarif pajak yang lebih tinggi, secara teoretis tidak selalu menghasilkan total penerimaan maksimum. Hal ini tergantung pada

respons wajib pajak, permintaan dan penawaran barang yang dikenakan tarif pajak lebih tinggi.

Formulasi model ini dikenal sebagai Model Leviathan. Dengan asumsi bahwa biaya administrasi perpajakan dianggap tidak signifikan dan ceteris-paribus level pelayanan publik yang dibiayai dari penerimaan pajak, dan hanya kegiatan ekonomi saja yang dipengaruhi oleh besaran pajak, maka Gambar 2 menunjukkan hubungan antara tarif pajak proporsional atas basis pajak tertentu. Bentuk kurva (“Laffer”) yang berbentuk parabola menghadap sumbu Y (tarif pajak), menghasilkan Total Penerimaan Pajak Maksimum yang ditentukan oleh kemampuan wajib pajak untuk menghindari beban pajak baik legal maupun ilegal dengan mengubah “economic behavior” dari wajib pajak. Gambar 2 juga mengasumsikan bahwa penyesuaian wajib pajak terhadap pengenaan tarif pajak tertentu adalah independen terhadap jenis pajak dan tarif pajak lainnya. Model Leviathan akan mencapai total penerimaan pajak maksimum (T*) pada tarif t*. Pada tarif t*, menunjukkan bukanlah tarif tertinggi, tetapi dapat dicapai total penerimaan pajak maksimum. Pada kondisi ini dikenal sebagai Revenue Maximizing Tax Rate. Model Leviathan ini memberikan pelajaran kepada kita bahwa peningkatan penerimaan pajak daerah tidak harus dicapai dengan mengenakan tarif pajak yang terlalu tinggi, tetapi dengan pengenaan tarif pajak yang lebih rendah dikombinasikan dengan struktur pajak yang meminimalkan penghindaran pajak dan respons harga dan kuantitas barang terhadap pengenaan pajak sedemikian rupa, maka akan dicapai Total Penerimaan Maksimum. Model Leviatan ini

Jurnal Perencanaan & Pengembangan Wilayah WAHANA HIJAU•Vol.1•No.1•Agustus 2005 2

Page 5: Analisis kebijakan fiskal

Kasyful Mahalli: Analisis Kebijakan Fiskal Kota Medan di Era Otonomi Daerah

Gambar 2. Model Leviatan

dapat dikembangkan untuk menganalisis hubungan lebih lanjut antara tarif dan dasar pengenaan pajak untuk mencapai Total Penerimaan Pajak Maksimal. Penutup

Otonomi daerah memberikan kewenangan kepada daerah untuk mengatur rumah tangganya sendiri. Sejalan dengan itu pemerintah daerah seringkali mengeluarkan peraturan daerah dengan dalih peningkatan PAD. Peraturan daerah yang diperlukan daerah adalah yang mampu meningkatkan kinerja ekonomi, sosial dan politik daerah itu sendiri. Tetapi perlu diingat, bahwa munculnya Perda yang ada jangan sampai mematikan kegiatan ekonomi itu sendiri (diseconomic) atau bahkan menimbulkan restriksi (trade barriers) perdagangan antar-daerah sendiri yang akhirnya menurunkan kesejahteraan daerah itu sendiri. Untuk itu, daerah perlu mengembangkan kerjasama horizontal dan vertikal (horizontal and vertical integration) dengan daerah maupun pemerintahan di tingkat yang lebih tinggi. Oleh karena itu, sebenarnya implementasi desentralisasi fiskal ini memerlukan tuntutan perubahan yang mendesak di berbagai sektor baik dari eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Dengan kata lain, dalam pengelolaan manejemen daerah masih diperlukan waktu dan keseriusan dari segala pihak.

Upaya untuk meningkatkan PAD di masa mendatang seyogianya dilakukan melalui peningkatan taxing power antara lain melalui penyerahan beberapa pajak Pusat kepada Daerah, penyerahan sebagian PNBP kepada Daerah dan lain-lain kebijakan sharing tax atau piggy backing system. Bagi Kabupaten/Kota perlu diberikan tambahan pendapatan dengan memberikan kewenangan penuh untuk memungut pajak sampai dengan besaran tertentu. Untuk itu, PBB dan BPHTB disarankan

dialihkan menjadi pajak Daerah dan Pemerintah Kabupaten/Kota diberikan wewenang untuk menetapkan dasar pengenaan pajak (tax-base) dan tarif sampai dengan batas tertentu atas kedua jenis pajak tersebut.

Penggalian sumber-sumber keuangan daerah yang berasal dari pajak daerah ditentukan oleh 2 (dua) hal, yaitu: dasar pengenaan pajak dan tarif pajak. Model Leviathan mengatakan bahwa pengenaan tarif pajak yang lebih tinggi secara teoretis tidak selalu menghasilkan total penerimaan yang maksimal. Kondisi ini tergantung oleh respons wajib pajak, permintaan dan penawaran barang yang dikenakan tarif pajak lebih tinggi. Teori ini seyogianya dapat dijadikan pertimbangan utama bagi pemerintah daerah dalam upaya menggali sumber-sumber keuangan yang berasal dari pajak daerah yang tidak selalu berorientasi pada pengenaan tarif yang lebih tinggi untuk mencapai total penerimaan yang maksimal. Daftar Pustaka Anonymous, Undang-Undang No 22 Tahun

1999 Tentang Otonomi Daerah. Anonymous, 2004, Undang-Undang No 32

Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, Medai Grafika Utama, Yogyakarta.

Asryad, Lincoln, 1999, Pengantar Perencanaan dan Pembangunan Ekonomi Daerah, PT.BPFE, Yokyakarta, Cetakan Pertama, Yokyakarta.

Departemen Dalam Negeri RI Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 29 Tahun 2002, Otonomi Daerah Tahun 2002, Direktorat Pengelolaan Kekayaan Daerah Direktorat Jenderal.

Ebel, Robert D. and Yilmaz, Serdar, 2002, On the Measurement and Impact of Fiscal Decentralization, World Bank Institute, Washington DC, USA

19

Page 6: Analisis kebijakan fiskal

Musgrave, Richard. A and Musgrave, Peggy. B,

1989, Public Finance in Theory and Practice, Fifth Edition, McGraw Hill International, Singapore.

Morris, Nick, 2002, Fiscal Capacity and Expenditure at Different Level of Governments, Asian Development Bank, Tasman Economics, Australia.

Prakoso, Kesit Bambang, 2003, Pajak dan Retribusi Daerah, Tim Ull Press, Cetakan Pertama.

Sidik, Machfud, 2002(a), Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah Sebagai Pelaksanaan Desentralisasi Fiskal; Antara Teori dan Aplikasinya di Indonesia, Makalah yang disampaikan pada Seminar “Setahun Implementasi Kebijakan Otonomi Daerah di Indonesia, 13 Maret, Jogjakarta

Sidik, Machfud, 2002(b), Optimalisasi Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dalam Rangka Meningkatkan Kemampuan Keuangan Daerah, Makalah yang disampaikan dalam Acara Orasi Ilmiah dengan Tema “Strategi Meningkatkan Kemampuan Keuangan Daerah Melalui Penggalian Potensi Daerah dalam Rangka Otonomi Daerah” Acara Wisuda XXI STIA LAN Bandung Tahun Akademik 2001/2002 - di Bandung, 10 April 2002

Sidik, Machfud, 2002(c), Format Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah yang Mengacu pada Pencapaian Tujuan Nasional, Makalah yang disampaikan pada Seminar “Public Sector Scorecard, 17-18 April, Jakarta

Usman, Syaikhu, 2002, Regional Autonomy in Indonesia; Field Experiences and Emerging Challenges, Makalah yang disampaikan pada The 7th PRSCO Summer Institute/The 4th IRSA International Conference “Decentralization, Natural Resources and Regional Development in Pacific Rim, 20-21 Juni, Bali.

Jurnal Perencanaan & Pengembangan Wilayah WAHANA HIJAU•Vol.1•No.1•Agustus 2005 20