View
234
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
PENAPISAN BAKTERI PENGHASIL ENZIM KITINOLITIK PADA
TERASI UDANG REBON (Mysis relicta)
(Skripsi)
Oleh
DIAN PUTRA
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2016
ABSTRACT
FILTRATION OF CHITINOLYTIC ENZYME PRODUCING BACTERIA
IN REBON SHRIMP (Mysis Relicta) PASTA
By
Dian Putra
Terasi is pasta fishery product, it is made from shrimp or small fish by
fermentation process. Shrimp’s shells that used as raw material contain of chitin
as much as 15-20 %. During the fermentation process, occurred a process of chitin
hydrolysis too therefore it is suspected that there are contain bacteria of
chitinolytic enzyme producing. This research aims to filtering chitinolytic
enzyme-producing bacteria in rebon shrimp (Mysis relicta) terasi that obtained
from Margasari village, Labuhan Maringgai District, Lampung Timur Regency.
Isolation is done with terraced dilution, then it is performed a purification to
obtain pure isolates. Pure isolates were obtained are performed chitinolytic
bacteria filtering and chitinolytic enzyme activity assay to obtained chitinolytic
enzyme activity values. The results showed that isolation of terasi’s bacterial is
obtained pure isolates, namely: T1a2, T2b1, T2b2, T2c1, T2c2, T3a1, T3b2, and
T3e1. The testing process chitinolytic enzyme activity is obtained the highest
chitinolytic enzyme activity values is in isolate T1a2 [0.00965 U / ml].
Identification’s result of isolates T1a2 showed that isolates are included in genus
Corynebacterium sp.
Keywords: isolation, enzim, filtering, rebon shrimp
ABSTRAK
PENAPISAN BAKTERI PENGHASIL ENZIM KITINOLITIK PADA
TERASI UDANG REBON (Mysis relicta)
Oleh
Dian Putra
Terasi merupakan produk perikanan berbentuk pasta, dibuat dari udang atau ikan-
ikan kecil yang diolah secara fermentasi. Cangkang udang yang digunakan
sebagai bahan baku pembuatan terasi memiliki kandungan kitin 15-20%. Selama
proses fermentasi terjadi hidrolisis kitin sehingga diduga terdapat bakteri
penghasil enzim kitinolitik. Penelitian ini bertujuan untuk melakukan penapisan
bakteri penghasil enzim kitinolitik pada terasi udang rebon (Mysis relicta) yang
berasal dari Desa Margasari, Kecamatan Labuhan Maringgai, Kabupaten
Lampung Timur. Isolasi dilakukan dengan pengenceran bertingkat yang
selanjutnya dilakukan pemurnian untuk mendapatkan isolat murni. Isolat murni
yang diperoleh dilakukan penapisan bakteri kitinolitik dan uji aktivitas enzim
kitinolitik untuk mengetahui nilai aktivitas enzim kitinolitik. Hasil penelitian
menunjukan isolasi bakteri terasi murni, yaitu : T1a2, T2b1, T2b2, T2c1, T2c2,
T3a1, T3b2, dan T3e1. Hasi pengujian aktivitas enzim kitinolitik tertinggi pada
isolat T1a2 [0.00965 U/ml]. Hasil identifikasi dari isolat T1a2 menujukkan bahwa
isolat tersebut genus Corynebacterium sp.
Kata Kunci : Isolasi, Enzim, Penapisan, Udang Rebon.
PENAPISAN BAKTERI PENGHASIL ENZIM KITINOLITIK PADA
TERASI UDANG REBON (Mysis relicta)
Oleh
Dian Putra
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar
SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
Pada
Jurusan Teknologi Hasil Pertanian
Fakultas Pertanian Universitas Lampung
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2016
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bogor, Provinsi Jawa Barat pada tanggal 24 Januari 1991,
Penulis merupakan anak pertama dari empat bersaudara dari pasangan Bapak
Naming I Putra dan Ibu Tri Murni, S.Pd.
Penulis menyelesaikan pendidikan di Taman Kanak-Kanak di TK Aisyiyah pada
tahun 1998, Sekolah Dasar di SDN 1 Mulya Asri pada tahun 2003, Sekolah
Menengah Pertama di SMPN 1 Tulang Bawang Tengah pada tahun 2006, dan
Sekolah Menengah Atas di SMAN 1 Tumijajar pada tahun 2009
Penulis melanjutkan pendidikan kejenjang S1 di Universitas Lampung Jurusan
Teknologi Hasil Pertanian Fakultas Pertanian melalui jalur penerimaan Ujian
Masuk Lokas (UML) pada tahun 2010. Selama menjalani kuliah, penulis
melaksanakan Kuliah Kerja Nyata Tematik di Desa Purwosari, Kecamatan
Batanghari Nuban, Lampung Timur, Tahun 2014. Penulis melaksanakan Praktik
Umum di PT. Garudafood Putra Putri Jaya Lampung dengan judul “Pemeriksaan
dan Pengujian Mutu Produk Kacang Atom Garuda di PT. Garudafood Putra Putri
Jaya Lampung” pada tahun 2013.
Selama menjadi mahasiswa penulis pernah aktif di organisasi kampus dan luar
kampus. Anggota muda di UKMF Forum Studi Islam (FOSI) Fakultas Pertanian
periode periode 2010-2011, Kepala Biro di UKMF Forum Studi Islam (FOSI)
Fakultas Pertanian periode 2011-2012, Kepala Biro di UKM Biro Rohani Islam
Mahasiswa (BIROHMAH) Universitas Lampung periode 2012-2013, Kepala Biro
KAMMI PK Unila periode 2012-2013, Kepala Departeman KAMMI PK Unila
2013-2014, Ketua KAMMI PK Unila 2014-2015 dan Ketua Umum KAMMI
daerah Bandar Lampung 2015-2016
Moto
“Hai orang-orang yang beriman, Jadikanlah sabar dan shaladmu Sebagai penolongmu, sesungguhnya
Allah beserta orang-orang yang sabar” (Al-Baqarah: 153)
Jadilah seperti karang di lautan yang kuat dihantam ombak dan kerjakanlah hal yang
bermanfaat untuk diri sendiri dan orang lain, karena hidup hanyalah sekali. Ingat hanya pada Allah dimanapun kita berada dan kepada Dia-lah
tempat meminta dan memohon.
Berangkat dengan penuh keyakinan Berjalan dengan penuh keikhlasan
Istiqomah dalam menghadapi cobaan.
SANWACANA
Alhamdulillaahirobbil’aalamiin. Puji Syukur kehadirat Allah SWT, Rabb pemilik
alam semesta dan segala isinya yang telah memberikan peluang dan kepercayaan-
Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Penapisan
Bakteri Penghasil Enzim Kitinolitik Pada Terasi Udang Rebon (Mysis relicta)”
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian
pada Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Lampung.
Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Ir. Irwan Sukri Banuwa, M.Si., selaku Dekan Fakultas
Pertanian Universitas Lampung;
2. Ibu Ir. Susilawati, M.Si., selaku Ketua Jurusan Teknologi Hasil Pertanian
Fakultas Pertanian Universitas Lampung;
3. Ibu Dyah Koesoemardani, S.P.i., M.P., selaku pembimbing pertama atas
kesediaannya untuk memberikan bimbingan, nasihat, saran dan arahan
kepada penulis dalam proses penyelesaian skripsi ini;
4. Bapak Mahrus Ali, S.Pi., M.P., selaku pembimbing kedua pertama atas
kesediaannya untuk memberikan bimbingan, nasihat, saran dan arahan
kepada penulis dalam proses penyelesaian skripsi ini;
5. Bapak Ir. Samsul Rizal, M.Si., selaku pembimbing kedua atas kesediaannya
untuk memberikan bimbingan, nasihat, saran dan arahan kepada penulis
dalam proses penyelesaian skripsi ini;
6. Bapak Dr. Ir. Suharyono A.S., M.S., selaku penguji atas segala saran dan
nasihat kepada penulis dalam penyelesaian skripsi ini;
7. Ibu Dr. Ir. Sussi Astuti, M.Si., selaku dosen pembimbing akademik yang telah
memberikan bimbingan, dukungan dan perhatiannya;
8. Dosen dan Staf Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Fakultas Pertanian
Universitas Lampung atas pengetahuan, bimbingan, bantuan dan arahannya;
9. Orang tua, saudara dan saudariku tersayang, terima kasih atas doa, dukungan,
nasihat serta kasih sayang yang selalu mengalir selama ini;
10. Sahabat seperjuangan Srigala Terakhir FP 2010 : Seta, Ridwan, Debi, Taufik,
Adit, Gusman, Agus, Rohmatul, Wawan, Firman, dan Luthfi;
11. Sahabat seperjuangan di Birohmah : Kak Alan, Kak Alis, Kak Ali, Kak
Riana, Kak Wahid, Kak Eko, Kak Ragil dan Ka Febri;
12. Sahabat seperjuangan di KAMMI PK Unila : Kak Arif, Kak Yose, Ari, Egi,
dan Riko;
13. Sahabat seperjuangan di KAMMI Daerah Bandar Lampung : Sani, Deni,
Arief, Dani, Arif Ganggsal, dan Abdurahman;
14. Kakak-kakak di KAMMI Lampung : Kak Hadi, Kak Mubarok, Kak Asis,
Kak Arjun, Kak Dani, Ka Azam, Kak Agus Sholeh dan Kak Roni;
15. Kakak-kakak ku semasa di Kampus : Kak Edi, Ka Agus Solihin, Kak Kholil,
Kak Huda, dan Kak Budi;
16. Rekan-rekan KKN Tematik Unila Desa Purwosari, Kecamatan Batanghari
Nuban, Lampung Timur 2014;
17. Sahabat seperjuangan di Griya Kencana : Kak Gamal Riska, Kak Gamal
Riski, Kak Mario, Tio, Adi, Danu, dan Firza;
18. Keluarga Teknologi Hasil Pertanian, terkhusus angkatan 2010;
19. Semua pihak yang telah ikut membantu dalam pembuatan skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa masih terdapat kekurangan dalam penulisan dan
penyusunan skripsi ini. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran
yang membangun dari semua pihak demi perbaikan selanjutnya. Semoga skripsi
ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Aamiin.
Bandar Lampung, April 2016
Penulis
Dian Putra
iv
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ....................................................................................... vi
DAFTAR GAMBAR .................................................................................. vii
I. PENDAHULUAN ............................................................................... 1
1.1. Latar Belakang dan Masalah ........................................................ 1
1.2. Tujuan .......................................................................................... 3
1.3. Kerangka Pemikiran..................................................................... 3
II. TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................. 6
2.1. Udang Rebon (Mysis relicta) ........................................................ 6
2.2. Terasi Udang Rebon (Mysis relicta) ............................................. 8
2.3. Kitin ............................................................................................. 13
2.4. Bakteri Kitinolitik ........................................................................ 15
2.5. Enzim Kitinolitik ......................................................................... 20
III. BAHAN DAN METODE .................................................................... 23
3.1. Tempat dan Waktu Penelitian ....................................................... 23
3.2. Bahan dan Alat ............................................................................. 23
3.3. Metode Penelitian ......................................................................... 24
3.4. Pelaksanaan Penelitian.................................................................. 24
3.4.1 Pengambilan Sampel ............................................................ 26
3.4.2 Isolasi Bakteri dari Terasi ............................................................................ 26
3.4.3 Pemurnian Kultur Bakteri ................................................... 28
3.4.4. Pembuatan Substrat Koloidal Kitin ................................... 29
3.4.5. Penapisan Bakteri Kitinolitik ............................................. 30
3.4.6. Produksi Enzim Kitinolitik ................................................ 31
3.4.7. Pengujian Aktivitas Enzim Kitinolitik ............................... 31
3.4.8. Identifikasi Bakteri Kitinolitik ........................................... 33
v
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................ 40
4.1. Isolasi dan Pemurnian Kultur Bakteri Penghasil Enzim Kitinolitik 40
4.2. Aktivitas Enzim Kitinolitik ........................................................... 43
4.3. Identifikasi Bakteri Kitinolitik ..................................................... 45
V. SIMPULAN DAN SARAN ................................................................. 49
5.1. Kesimpulan ................................................................................... 49
5.2. Saran ............................................................................................. 49
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 50
LAMPIRAN ............................................................................................... 56
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
1. Kandungan gizi udang rebon per 100g ............................................... 8
2. Kandungan gizi terasi terasi udang ...................................................... 9
3. Sifat morfologi koloni isolat murni ..................................................... 40
4. Hasil uji aktivitas enzim kitinolitik ...................................................... 43
5. Hasil identifikasi isolat bakteri enzim kitinolitik ................................. 45
6. Variasi konsentrasi larutan standar GlcNAc ........................................ 60
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
1. Udang Rebon (Mysis relicta) .............................................................. 7
2. Tingkat asam glutamat bebas (mg/100g) dalam produk udang
fermentasi di berbagai Negara ............................................................ 13
3. Struktur kitin ....................................................................................... 14
4. Reaksi pemutusan ikatan β-1,4 pada bagian internal mikrofibril kitin 20
5. Reaksi pemutusan diasetilkitobiose, kitotriose dan kitotetraose dan
menghasilkan monomer-monomer GlcNAc ....................................... 21
6. Skema Pelaksanaan Penelitian ............................................................. 25
7. Diagram Alir Isolasi Bakteri .............................................................. 27
8. Diagram Alir pemurnian kultur bakteri .............................................. 28
9. Diagram Alir Pembuatan Koloidal Kitin ............................................ 29
10. Diagram Alir Penapisan Bakteri Kitinolitik ........................................ 30
11. Skema penentuan aktivitas kuantitatif enzim kitinolitik ..................... 32
12. Hasil pewarnaan gram pada setiap isolat murni bakteri terasi ............ 41
13. Pembuatan Bufer Fosfat pH 7 ............................................................. 57
14. Pembuatan Reagen Schales ................................................................. 58
15. Kurva standar N-asetilglukosamin ...................................................... 59
16. Uji TSIA .............................................................................................. 64
17. Uji SCA ............................................................................................... 64
18. Uji LIA ................................................................................................ 65
19. Uji MR VP .......................................................................................... 65
20. Uji Motilitas ......................................................................................... 66
21. Uji MIO ................................................................................................ 66
22. Uji O/F ................................................................................................. 67
23. Uji Katalase .......................................................................................... 67
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang dan Masalah
Indonesia merupakan negara yang memiliki wilayah perairan yang lebih luas dari
daratan, sehingga hasil perikanannya melimpah ruah. Salah satu komuditas yang
cukup besar di perairan Indonesia antara lain udang rebon (Mysis relicta).
Berdasarkan Direktorat Gizi Depkes (1992) dalam 100 gram udang rebon segar
mengandung protein 16,2 gram dan mengandung kalsium 757 mg. Udang rebon
banyak dimanfaatkan menjadi berbagai macam produk salah satunya pangan
tradisional yaitu terasi.
Pada umumnya terasi berbentuk pasta, teksturnya agak kasar, dan memiliki aroma
khas yang tajam dan rasa yang gurih (Pierson, 2013). Menurut Afrianto dan
Liviawaty (2005) terasi merupakan satu produk hasil fermentasi ikan atau udang
yang mengalami perlakuan penggaraman. Dalam pembuatan terasi, proses
fermentasi dapat berlangsung karena ada aktivitas enzim yang berasal dari
mikroorganisme. Selama fermentasi, protein pada tubuh ikan dihidrolisis menjadi
turunannya seperti pepton, asam-asam amino dan peptida. Menurut Moeljanto
(1992), beberapa bakteri yang berperan selama proses fermentasi pada pembuatan
terasi yaitu Bacillus, Pediococcus, Crynebacterium, dan Brevibacterium.
2
Sementara itu, Purwaningsih (1995), menyebutkan bahwa cangkang udang yang
digunakan sebagai bahan baku pembuatan terasi memiliki kandungan kitin 15-
20%. Selama proses fermentasi pembuatan terasi juga terjadi proses hidrolisis
kitin sehingga diduga terdapat bakteri kitinolitik. Bakteri kitinolitik merupakan
bakteri yang mampu menghasilkan enzim kitinolitik, yang aktif mengkatalisis
degradasi polimer kitin menjadi monomer N-asetilglukosamin (Nasran dkk.,
2003).
Produksi enzim kitinolitik banyak dilakukan dengan memanfaatkan bakteri
kitinolitik karena medium pemeliharaan yang dibutuhkan tidak mahal, sehingga
dapat mengurangi biaya produksi enzim. Kemudian dalam pemeliharaan dan
pengembangan strain melalui rekayasa genetik juga menjadi alasan digunakan
bakteri dalam menghasilkan enzim kitinolitik (Suhartono, 1989). Beberapa
bakteri diketahui mempunyai aktivitas kitinolitik yaitu Aeromonas, Alteromonas,
Chromobacterium, Enterobacter, Ewingella, Pseudoalteromonas, Pseudomonas,
Seratia, Vibrio (Gooday, 1994), Bacillus, dan Pyrococcus (Harman and
Tronsmon,1993). Bakteri yang terdapat pada terasi yang ditemukan oleh
Moeljanto (1992), diantaranya termaksud bakteri kitinolitik yaitu Bacillus sp.
Selain dapat menghasilkan oligomer kitin dan turunan kitin, penelitian mengenai
enzim kitinolitik banyak dikembangkan karena enzim kitinolitik dapat
dimanfaatkan sebagai agen biokontrol, biopestisida, dan pembuatan protein sel
tunggal (Patil et al, 2000). Sementara itu, Chasanah et al (2011 dan 2012),
menyatakan bahwa terdapat kitosanase yang dihasilkan dari Areomonas media
KLU 11.16 dapat mendegradasi kitosan dari limbah udang. Oleh karena itu,
3
penelitian ini melakukan penapisan bakteri penghasil enzim kitinolitik pada terasi
udang rebon (Mysis relicta) dari desa Margasari, Labuhan Maringgai, Lampung
Timur.
1.2. Tujuan
Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Mengisolasi bakteri yang terdapat pada terasi udang rebon asal Lampung
Timur.
2. Melakukan penapisan bakteri bakteri penghasil enzim kitinolitik pada terasi
udang rebon asal Lampung Timur.
3. Menguji aktifitas kitinolitik pada terasi udang rebon asal Lampung Timur.
4. Mengindentifikasi bakteri penghasil enzim kitinolitik dari terasi udang asal
Lampung Timur.
1.3. Kerangka Pemikiran
Menurut Standar Nasional Indonesia (SNI) tahun 1992 terasi adalah suatu jenis
penyedap makanan berbentuk padat dan berbau khas dari hasil fermentasi
udang/ikan. Pembentukan citarasa yang spesifik terjadi karena perombakan
karbohidrat oleh bakteri fermentatif yang halofil bersifat aerob dan anaerob
(Rahayu dkk., 1992). Pembuatan terasi dapat berlangsung karena adanya aktivitas
enzim yang berasal dari mikroorganisme selama proses fermentasi. Fermentasi
merupakan salah satu proses penguraian senyawa menjadi lebih sederhana oleh
enzim dari mikroorganisme. Bakteri yang terdapat pada terasi udang antara lain
4
Bacillus, Pediococcus, Crynebacterium, dan Brevibacterium (Moeljanto, 1992).
Pada proses fermentasi terasi, protein dihidrolisis menjadi derivatnya, seperti
asam-asam amino, peptida dan pepton. Terasi memiliki kandungan kitin yang
berasal dari cangkang udang. Kitin merupakan suatu polisakarida, polimer linier
yang tersusun oleh monomernya β 1,4-N-asetilglukosamin. Upaya pengolahan
kitin menjadi derivatnya dapat dilakukan secara enzimatik maupun kimiawi.
Pengolahan kitin secara enzimatik dapat dilakukan dengan menggunakan bakteri
kitinolitik. Bakteri kitinolitik merupakan bakteri yang mampu menghasilkan
enzim kitinolitik, yang aktif mengkatalisis degradasi polimer kitin menjadi
monomer N-asetil glukosamin (Patil et al., 2000).
Mikroorganisme penghasil kitinolitik masih belum banyak diketahui baik tentang
jumlah, diversitas maupun fungsi kitinolitik yang dihasilkan, meskipun kitin
merupakan salah satu polimer yang melimpah di alam. Beberapa mikroorganisme
kitinolitik dari berbagai sumber telah berhasil diisolasi dan dikarakterisasi.
Donderski dan Brzezinska (2003) berhasil mengisolasi bakteri kitinolitik dari
danau Jeziorak pada permukaan air dan lapisan bawah sediment diantaranya
Pseudomonas sp, Alkaligenes denitrificans, Agrobacterium sp, Aeromonas
hydrophila yang mendegradasi kitin dan memanfaatkan N-asetilglukosamin
sebagai sumber karbon.
Aktivitas enzim kitinolitik yang ditunjukkan oleh bakteri merupakan parameter
yang digunakan dalam seleksi bakteri kitinolitik (Park et al., 2000). Seleksi
sebenarnya membantu untuk mengetahui apakah suatu mirkoorganisme
menghasilkan senyawa kimia tertentu, seperti enzim antibiotik atau metabolit
5
sekunder lainnya (Huang et al., 1999). Aktivitas enzim yang dihasilkan oleh
mikroorganisme dapat diketahui dengan seleksi pada medium selektif. Enzim
kitinolitik yang diproduksi dapat diketahui dengan melihat aktivitas enzim
kitinolitik. Nilai aktivitas hidrolisis dapat dilihat dari zona bening yang terbentuk
di sekitar koloni jika bakteri kitinolitik ditumbuhkan pada media agar kitin.
Suryanto dkk., (2006), menyatakan bahwa aktivitas hidrolisis diukur dengan
membandingkan diameter zona bening yang terbentuk yaitu semakin besar zona
bening maka semakin tinggi aktivitas hidrolisis enzim tersebut. Indeks kitinolitik
bernilai tinggi apabila lebih dari dua (CZ/CS >2), sedangkan dinyatakan bernilai
rendah apabila kurang dari 2(CZ/CS <2). Beberapa bakteri diketahui mempunyai
aktivitas kitinolitik yaitu Aeromonas, Alteromonas, Chromobacterium,
Enterobacter, Ewingella, Pseudoalteromonas, Pseudomonas, Seratia, Vibrio
(Gooday, 1994), Bacillus, dan Pyrococcus (Harman and Tronsmon,1993).
Setiap proses penapisan enzim membutuhkan substrat yang spesifik, dalam hal ini
digunakan substrat kitin. Substrat kitin yang digunakan adalah koloidal kitin.
Koloidal kitin merupakan penginduksi aktivitas kitinolitik yang paling efektif,
karena koloidal kitin merupakan turunan kitin yang bersifat amorf dengan
kerapatan polimer lebih rendah, sehingga lebih mudah dihidrolisis oleh enzim
(Fawzya dkk., 2004). Dalam hal ini koloidal kitin yang digunakan sebesar 0,5-2
persen.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Udang Rebon (Mysis relicta)
Udang rebon adalah salah satu hasil laut dari jenis udang-udangan namun dengan
ukuran yang sangat kecil dibandingkan dengan jenis udang-udangan lainnya.
Karena ukurannya yang kecil inilah, udang ini disebut dengan udang “rebon”. Di
mancanegara, udang ini lebih dikenal dengan terasi shrimp karena memang udang
ini merupakan bahan baku utama pembuatan terasi. Di pasaranpun, udang ini
lebih mudah ditemukan sebagai bahan seperti terasi, atau telah dikeringkan dan
sangat jarang dijual dalam keadaan segar (Astawan, 2009).
Udang rebon merupakan zooplankton dengan ukuran panjang 1 - 1,5 cm yang
terdiri dari kelompok Crustacea yaitu Mysidocea acetes dan larva peraedae yang
ditemukan disekitar muara (Nontji, 1986). Ciri-ciri udang rebon adalah
mempunyai tiga pasang kaki yang sempurna, restum dan telsonnya pendek,
mempunyai kaki renang yang sempurna dan tampak berbulu dan panjang antenna
sekitar 2-3 kali panjang tubuhnya (Hutabarat dan Evans, 1986). Udang jenis ini
lebih mudah ditemukan dalam bentuk terasi ataupun dikeringkan dibandingkan
dalam bentuk segar (Astawan dan Astawan, 1989).
7
Udang rebon kaya akan protein dan mineral. Zat-zat yang dikandungnya bahkan
mampu menangkal osteoporosis, meningkatkan HDL (High Density Lipoprotein),
sekaligus menurunkan kadar LDL (Low Density Lipoprotein) dan lemak. Gambar
udang rebon dapat dilihat pada Gambar 1.
Klasifikasi udang menurut Kusuma, (2009) sebagai berikut :
Kingdom : Animalia
Filum : Crustaceae
Class : Arthropoda
Ordo : Malacostraca
Famili : Penaeidae
Genus : Penaeus
Species : Mysis relicta
Gambar 1. Udang Rebon (Mysis relicta)
Walaupun tidak setenar seperti daging ayam, daging sapi atau ikan, seperti jenis
udang lainnya, udang rebon memiliki kandungan protein yang tinggi. Rebon
kering 100g mengandung 59,4g protein. Berlawanan dengan tingginya
kandungan proteinnya, udang jenis ini memiliki kandungan lemak yang rendah
yaitu 3,6g lemak dalam 100g rebon kering. Keunggulan rebon terdapat pada
8
kalsium, fosfor dan zat besinya. Rebon kering 100g mengandung kalsium sebesar
2.306mg setara dengan 16 kali kandungan kalsium 100g susu sapi. Kandungan
fosfor rebon kering sebesar 625g dan zat besi sebesar 21,4g atau setara dengan 8
kali kandungan gizi 100g daging sapi (Persagi, 2009). Udang rebon memiliki
kandungan protein yang tinggi yaitu sebesar 59,4% dari total berat udang rebon.
Kandungn gizi udang rebon per 100g dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Kandungan gizi udang rebon per 100g
Kandungan gizi Udang rebon kering Udang rebon segar
Energi (kkal) 299 81
Protein (g) 59,4 16,2
Lemak (g) 3,6 1,2
Karbohidrat (g) 3,2 0,7
Kalsium (mg) 2.306 757
Fosfor (mg) 265 292
Besi (mg) 21,4 2,2
Vitamin A (SI) 0 60
Vitamin B1 (mg) 0,06 0,04
Air (g) 21,6 79,0
Sumber: Depkes, 1992
2.2. Terasi Udang Rebon (Mysis relicta)
Terasi udang (Mysis relicta) merupakan produk fermentasi udang rebon berbentuk
pasta dan berwarna hitam coklat. Terasi memiliki bau yang tajam dan biasanya
digunakan untuk membuat sambal dan berbagai resep tradisional Indonesia.
Menurut Afrianto dan Liviawaty (2005), terasi merupakan produk fermentasi
berbahan dasar ikan atau udang rebon. Tahapan proses pembuatan terasi meliputi
penjemuran, penggilingan atau penumbukan, serta penambahan garam kemudian
dilanjutkan dengan proses fermentasi. Proses fermentasi berlangsung karena
9
adanya aktivitas enzim yang berasal dari tubuh ikan ataupun udang rebon itu
mikroorganisme. Mikroba yang tumbuh selama fermentasi sangat mempengaruhi
mutu hasil produksi hasil fermentasi. Dari beberapa penelitian menyatakan bahwa
mikroba yang berperan dalam fermentasi terasi berbeda jenis dan jumlahnya.
Bakteri yang berperan selama proses fermentasi, yaitu Bacillus, Pediococcus,
Crynebacterium, dan Brevibacterium (Moeljanto, 1992). Berikut kandungan gizi
terasi udang dapat dilihat di tabel 2.
Tabel 2. Kandungan gizi terasi terasi udang
Komposisi Kimia Kadar Unsur
Energi (mg) 0,00
Protein (mg) 0,24
Lemak (UI) 0,00
Karbohidrat (mg) 0,00
Kalsium (mg) 726,00
Fosfor (mg) 3812
Zat Besi (gr) 9,90
Vitamin A (gr) 2,90
Vitamin B (gr) 22,30
Vitamin C ((kkal) 155,00
Sumber : Direktorat Gizi Depkes (1992)
Proses pengolahan terasi secarat tradisional yaitu bahan mentah berupa rebon
dicuci terlebih dahulu kemudian dilakukan proses penjemuran. Setelah kering,
ditumbuk halus, untuk hasil yang baik dapat ditambah garam selama ditumbuk.
Garam ditambahkan sedikit saja agar tidak terlalu asin, tetapi cukup memberi rasa
(Hadiwiyoto, 1993). Prinsip proses fermentasi adalah adanya enzim proteolitik
pada tubuh ikan dan mikroba karena penggunaaan konsentrasi garam yang tinggi.
Berdasarkan sumber mikroba yang berperan dalam fermentasi, fermentasi
makanan dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu fermentasi spontan dan
10
fermentasi tidak spontan. Fermentasi yang dalam pembuatannya tidak
ditambahkan mikroba yang berperan aktif berkembang biak secara spontan
disebut fermentasi spontan. Pada fermentasi spontan biasanya jumlah dan jenis
mikroba yang ikut aktif beraneka ragam. Sedangkan fermentasi tidak spontan
terjadi bila dalam pembuatannya ditambahkan mikroba dalam bentuk starter,
dimana mikroba akan berkembang biak dan aktif mengubah bahan yang
difermentasi menjadi produk yang diinginkan (Fardiaz, 1987). Selama proses
fermentasi, terasi mengalami perubahan-perubahan meliputi hidrolisi protein,
perubahan pH, perubahan warna dan pembentukan cita rasa.
1. Hidrolisis Protein
Pada proses fermentasi terasi, protein dihidrolisis menjadi derivatnya, seperti
asam-asam amino, pepida dan pepton. Fermentasi terjadi diakibatkan oleh
aktivitas enzim dari mikroorganisme. Proses fermentasi ini menghasilkan amonia
yang menyebabkan aroma yang menyengat pada terasi (Winarno, 1973).
2. Perubahan pH
Nilai pH merupakan salah satu faktor yang menentukan pertumbuhan mikroba.
Nilai pH terasi semakin menurun berbanding lurus dengan penambahan
konsentrasi garam. Pada tahap awal proses pembuatan terasi mempunyai pH 6.
Namun, selama proses fermentasi pH terasi naik menjadi 6,5 dan pada tahap
terakhir menjadi pH 4,5. Bila fermentasi dilanjutkan akan terjadi peningkatan pH
dan produksi ammonia. Penurunan pH ini diduga karena adanya sejumlah asam
laktat yang dihasilkan oleh metabolisme bakteri asam laktat pada proses
fermentasi. Hal ini sesuai dengan Bertoldi et al., (2002). bahwa penambahan
11
kadar garam akan menghambat bakteri pembusuk dan membantu aktivitas bakteri
asam laktat dan bakteri fermentatif halofilik dalam mengubah karbohidrat,
protein, dan lemak menjadi asam laktat, asam-asam volatil, alkohol, dan ester
yang dapat menurunkan pH terasi.
3. Perubahan warna dan tekstur
Terasi yang dibuat dari udang memiliki warna khas coklat kemerahan. Menurut
Shahidi et al., (1999), warna kemerahan pada terasi udang berasal dari pigmen
astaxanthin pada cangkang udang sehingga pigmen tersebut membentuk warna
merah. Kandungan astaxanthin dalam udang utuh beku sebesar 3,12 mg/100g
berat basah. Sedangkan warna kecoklatan pada terasi udang disebabkan karena
adanya enzim polyphenoloxidase (PPO) pada tubuh udang yang dapat
mempengaruhi penggelapan warna pada terasi udang. Penambahan garam (NaCl)
bertujuan untuk menghambat kerja enzim tersebut.
Menurut Garcia dan Barrett (2002), sodium klorida atau NaCl dapat menghambat
kerja PPO sehingga reaksi pencoklatan dapat dihilangi. Proses penghambatannya
meningkat ketika pH menurun. Perubahan lain yang diharapkan selama
fermentasi yang diharapkan adalah liquid fiksi. Penurunan kadar air ini akan
membentuk tekstur yang diinginkan.
4. Pembentukan cita rasa
Proses fermentasi akan menghasilkan cita rasa yang khas pada terasi. Aroma khas
pada terasi disebabkan oleh senyawa volatin yang dihasilkan oleh hidrolisis
protein selama fermentasi. Komponen cita rasa yang terdapat pada terasi dapat
dijabarkan sebagai berikut ini: Asam lemak yang bersifat volatil menyebabkan
12
bau keasaman, sedangkan amonia dan amin menyebabkan bau anyir. Senyawa
belerang sederhana seperti sulfida, merkaptan, dan disulfida menyebabkan bau
yang merangsang pada terasi. Senyawa-senyawa karbonil besar sekali
kemungkinannya dapat memberikan bau khusus yang terdapat pada hasil-hasil
perairan yang diawetkan dengan cara pengeringan, penggaraman, atau dengan
cara fermentasi. Senyawa-senyawa volatil yang terdapat dalam terasi berasal dari
lemak melalui proses oksidasi karena adanya aktivitas mikroba.
Kandungan karbonil volatil merupakan kandungan senyawa volatil yang terbesar
diantara komponen volatil lainnya. senyawa tersebut merupakan senyawa yang
sangat menentukan citarasa dari terasi (Adawyah, 2007). Bertanggung jawab atas
pembentukan cita rasa khas yang dihasilkan produk fermentasi adalah
Staphylococcus sp (Sjafi’i, 1988). Saisthi (1967), menemukan bahwa bakteri
gram positif batang yang menghasilkan aroma asam organik yang khas, gram
negatif oval batang nonmotil yang memproduksi bau khas daging yang
merangsang, dan gram positif berbentuk batang panjang, memproduksi aroma
yang berasal dari degradasi asam amino.
Terasi sering digunakan sebagai bahan tambahan makanan untuk memberikan
rasa umami (gurih). Selama proses fermentasi, asam amino spesifik disintesis
dalam jumlah besar. Mikroorganisme yang dipilih dengan sumber nitogen dan
karbohidrat, selama proses fermentasi terbentuk L-asam amino. Salah satu
senyawa glutamat yang merupakan pembentuk rasa umami didapatkan dari 2-
okso-glutarat (2-oxopentanedioic acid) oleh reduktif amonia yang fiksasi yang
menggunakan enzim dehidrogenase glutamat selama proses fermentasi (Hajep dan
13
Jinap, 2012). Rasa umami (gurih) produk fermentasi tergantung pada konsentrasi
glutamat didalamnya. Tingkat asam glutamat bebas (mg/100g) dalam produk
udang fermentasi di berbagai Negara dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Tingkat asam glutamat bebas (mg/100g) dalam produk udang
fermentasi di berbagai Negara (Hajep dan Jianp, 2012)
2.3. Kitin
Kitin merupakan senyawa homopolisakarida tidak bercabang yang terdiri dari N-
asetilglukosamin. Monomer-monomer N-asetilglukosamin dihubungakan oleh
ikatan β-1,4 glikosida. Kitin terdistribusi luas di alam baik sebagai komponen
structural dinding sel fungsi maupun eksoskeleton arthropoda,nematode dan
mollusca. Kitin yang terdapat pada organisme tertentu umumnya berikatan
dengan polimer lainnya seperti glukan dan protein. Kitin mengalami biodegradasi
melalui mekanisme dengan melibatkan kompleks enzim (Patil et al., 2000, Gohel
14
et al., 2004). Kitin merupakan zat padat yang tidak larut dalam air (Suryanto dkk.,
2006).
Berdasarkan susunan N-asetilglukosamin, kitin dapat dibedakan menjadi α-kitin
(antiparalel), β-kitin (parallel), dan γ-kitin (antiparalel-paralel). α-kitin memiliki
susunan N-asetilglukosamin yang lebih rapat dan lebih banyak dijumpai di alam.
α-kitin terdapat pada kutikula arthropoda dan fungsi tertentu. β-kitin memiliki
susunan N-asetilglukosamin yang tidak rapat dan banyak dijumpai pada diatom.
γ-kitin merupakan gabungan dari α-kitin dan β-kitin. γ-kitin tersusun dari N-
asetilglukosamin yang rapat dan N-asetilglukosamin yang tidak rapat. γ-kitin
dapat dijumpai pada kumbang Ptinus tectus dan Rhynchaenus fagi.
Kitin dan turunannya telah banyak diaplikasikan pada beberapa industri, antara
lain pada industri pangan, farmasi dan tekstil. Kitin dan turunannya dapat
digunakan sebagai bahan tambahan atau pengawet alami pada makanan. Kitin
digunakan pula sebagai zat antikoagulasi darah, mempercepat penyembuhan luka,
komponen kosmetik dan pengecatan dalam industri tekstil. Salah satu turunan
kitin yaitu oligosakarida kitosan diketahui mampu menunjukan aktivitas biologi,
yaitu dapat menghambat pertumbuhan bakteri dang fungi, sehingga oligomer
kitosan banyak dimanfaatkan sebagai antimikroba (Choi et al., 2004). Struktur
kitin dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Struktur kitin (Murray, 2003)
15
2.4. Bakteri Kitinolitik
Bakteri penghasil enzim kitinolitik banyak berada pada habitat yang memiliki
kandungan kitin tinggi. Menurut Ozdemir (1997), bakteri kitinolitik umumnya
merupakan bakteri halofilik karena banyak dijumpai pada air, sedimen laut dan
crustacea yang hidup pada lingkungan berkadar garam tinggi. Beberapa bakteri
diketahui mempunyai aktivitas kitinolitik yaitu Aeromonas, Alteromonas,
Chromobacterium, Enterobacter, Ewingella, Pseudoalteromonas, Pseudomonas,
Seratia, Vibrio (Gooday, 1994), Bacillus, dan Pyrococcus (Harman and
Tronsmon,1993). Sifat dan ciri-ciri bakteri kitinolitik yaitu :
- Aeromonas
Aeromonas sp. merupakan bakteri heterotrophic unicellular, tergolong protista
prokariot yang dicirikan dengan adanya membran yang memisahkan inti dengan
sitoplasma. Bakteri ini biasanya berukuran 0,7-1,8 x 1,0-1,5 µm dan bergerak
menggunakan sebuah polar flagel (Kabata, 1985). Hal ini diperkuat oleh Holt et
al (1994) yang menyatakan bahwa Aeromonas sp. bersifat motil dengan flagella
tunggal di salah satu ujungnya. Bakteri ini berbentuk batang sampai dengan
kokus dengan ujung membulat, fakultatif anaerob, dan bersifat mesofilik dengan
suhu optimum 20 - 30 ºC (Kabata, 1985). Aeromonas sp. bersifat gram negatif,
oksidasi positif dan katalase positif (Krieg dan Holt, 1984). Bakteri ini juga
mampu memfermentasikan beberapa gula seperti glukosa, fruktosa, maltosa, dan
trehalosa. Hasil fermentasi dapat berupa senyawa asam atau senyawa asam
dengan gas. Pada nutrient agar, setelah 24 jam dapat diamati koloni bakteri
16
dengan diameter 1-3 mm yang berbentuk cembung, halus dan terang (Isohood dan
Drake, 2002).
Aeromonas sp. merupakan bakteri yang secara normal ditemukan dalam air tawar.
Infeksi Aeromonas sp.dapat terjadi akibat perubahan kondisi lingkungan, stress,
perubahan temperatur, air yang terkontaminasi dan ketika host tersebut telah
terinfeksi oleh virus, bakteri atau parasit lainnya (infeksi sekunder), oleh kerena
itu bakteri ini disebut dengan bakteri yang bersifat patogen oportunistik (Dooley
et al., 1985). Bakteri ini dapat bertahan dalam lingkungan aerob maupun anaerob
dan dapat mencerna material-material seperti gelatin dan hemoglobin. Aeromonas
sp. resisten terhadap chlorine serta suhu yang dingin (faktanya jenis Aeromonas
hydrophila dapat bertahan dalam temperatur rendah ± 4 ºC), tetapi setidaknya
hanya dalam waktu 1 bulan (Krieg dan Holt, 1984). Sebagian besar isolat
Aeromonas sp. mampu tumbuh dan berkembang biak pada suhu 37 °C.
- Enterobacter
Enterobacter sp merupakan salah satu jenis bakteri yang tergolong dalam family
Enterobactericeae bersama dengan Shigella, Salmonella, Klebsieell, Proteus,
E.coli dan sebagainya. Habitat umum dari bakteri ini adalah di usus manusia dan
hewan. Beberapa spesies dari Enterobacter yaitu Aerogenes Enterobacter, E.
amnigenus, E. asburiae, E. cancerogenus, E. cloacae, E. cowanii, E. dissolvens,
E. gergoviae, E. hormaechei, E. intermedius, E. kobei, E. nimipressuralis; E.
pyrinus, E. sakazakii. Bakteri Enterobacter merupakan patogen nosokomial
oportunistik yang menyebabkan lebih banyak infeksi termasuk sampai dengan 5%
dari septicemias didapat di rumah sakit, 5% dari pneumonia nosokomial, 4% dari
17
infeksi saluran kemih nosokomial, dan 10% dari kasus peritonitis pascaoperasi.
Bakteri ini juga memiliki beberapa kegunaan bagi manusia, namun, misalnya
Enterobacter cloacae digunakan dalam kontrol biologis penyakit tanaman
(Anaesthetist) (Jawetz, 2005).
Enterobacter merupakan genus umum Gram-negatif, anaerob fakultatif, berbentuk
batang, tidak membentuk spora bakteri dari keluarga Enterobacteriaceae. Bakteri
Enterobacter yang motil, sel-sel berbentuk batang, beberapa di antaranya
dikemas. Mereka juga memiliki flagela peritrichous. Sebagai anaerob fakultatif,
beberapa bakteri Enterobacter memfermentasi glukosa dan laktosa sebagai sumber
karbon. Gas yang dihasilkan dari proses metabolisme, tetapi mereka tidak
menghasilkan hydrogen sulfida. Enterobacter cloacae A-11 dan bakteri lain yang
terkait erat adalah prototrofik, regangan glikolitik Enterobacter yang ditemukan
pada sejumlah benih yang berbeda dan tanaman (Jawetz, 2005).
- Bacillus
Bacillus sp. merupakan bakteri berbentuk batang, tergolong bakteri gram positif,
motil, menghasilkan spora yang biasanya resisten pada panas, bersifat aerob
(beberapa spesies bersifat anaerob fakultatif), katalase positif, dan oksidasi
bervariasi. Tiap spesies berbeda dalam penggunaan gula, sebagian melakukan
fermentasi dan sebagian tidak (Barrow, 1993). Ditambahkan Claus dan Barkeley
(1986) genus Bacillus sp. mempunyai sifat fisiologis yang menarik karena tiap-
tiap jenis mempunyai kemampuan yang berbeda-beda, diantaranya : mampu
mengdegradasi senyawa organik seperti protein, pati, selulosa, hidrokarbon dan
18
agar, mampu menghasilkan antibiotik; berperan dalam nitrifikasi dan dentrifikasi;
pengikat nitrogen; bersifat khemolitotrof, aerob atau fakutatif anaerob, asidofilik,
psikoprifilik, atau thermofilik.
- Chromobacterium
Chromobacterium sp. yang merupakan Famili Rhizobiaceae merupakan jenis
bakteri yang mengandung senyawa aktif yang dapat digunakan sebagai antibiotik
untuk beberapa jenis bakteri patogen, selain itu Anderson et al., (1974)
menemukan metabolit yang diproduksi oleh bakteri tersebut yang mengandung
tetrabromopyrrole.
- Pseudumonas
Pseudumonas sp. merupakan bakteri gram negatif yang berbentuk batang.
Pseudomonas sp. bersifat aerobik obligat yang tumbuh dengan cepat pada
berbagai media. Pseudomonas sp. membentuk koloni bulat, halus dengan warna
fluoresen kehijauan. Juga sering memproduksi pigmen pyocyanin dan fluoresen
yang disebut piosianin yang larut dalam air. Patogenitas Pseudomonas sp.
menjadi patogenik hanya jika berada pada daya tahan tidak normal. Pseudomonas
sp. menyebabkan infeksi pada luka dan luka bakar, menghasilkan nanah warna
hijau, meningitis jika masuk melalui fungsi lumbal dan infeksi saluran kencing,
jika masuk melalui kateter, sebagian besar infeksi Pseudomonas sp. timbulnya
gejala dan tandanya tidak spesifik dan berkaitan dengan organ yang terserang
infeksi. Kadang kadang pigmen fluoresen dapat dideteksi pada luka, luka bakar
atau urine dengan sinar ultraviolet (Jawetz, 2005).
19
- Vibrio
Bakteri Vibrio sp. merupakan genus yang dominan pada lingkungan air payau dan
estuaria. Umumnya bakteri Vibrio sp. menyebabkan penyakit pada hewan
perairan laut dan payau. Sejumlah spesies Vibrio sp. yang dikenal sebagai
patogen seperti V. alginolyticus, V. anguillarum, V. carchariae, V. cholerae, V.
harveyii, V. ordalii dan V. vulnificus (Irianto, 2003). Vibrio sp. mempunyai sifat
gram negatif, sel tunggal berbentuk batang pendek yang bengkok (koma) atau
lurus, berukuran panjang (1,4 – 5,0) µm dan lebar (0,3 – 1,3) µm, motil, dan
mempunyaiflagella polar. Sifat biokimia Vibrio sp. adalah oksidase positif,
fermentatif terhadap glukosa dan sensisif terhadap uji O/129 (Gultom, 2003).
Bakteri Vibrio sp. adalah jenis bakteri yang dapat hidup pada salinitas yang relatif
tinggi. Bakteri Vibrio sp. berpendar termasuk bakteri anaerobic fakultatif, yaitu
dapat hidup baik dengan atau tanpa oksigen. Bakteri Vibrio tumbuh pada pH 4 –
9 dan tumbuh optimal pada pH 6,5 - 8,5 atau kondisi alkali dengan pH 9,0
(Baumann et al., 1984).
Bakteri kitinolitik merupakan kandidat bakteri yang dapat digunakan dalam
pengendali hayati jamur. Kitinolitik merupakan enzim yang mampu
menghidrolisis polimer kitin menjadi monomer N-asetilglukosamin atau kitin
oligosakarida. Degradasi kitin oleh prokariot dan eukariot terjadi dalam dua tahap
yang prosesnya melibatkan hidrolisis ikatan β-1-4 glikosida yang menghubungkan
sub unit N asetilglukosamin. Pertama endokitinase mengikat tetramer dan
polimer N asetilglukosamin untuk menghasilkan disakarida kitobiose. Kedua
kitobiose dihidrolisis menjadi monomer N-asetilglukosamin. Enzim pendegradasi
20
kitin umumnya oleh beberapa organisme diinduksi oleh kitosan, kitobiose, dan
glukosamin (Connell et al., 1998).
2.5. Enzim Kitinolitik
Enzim kitinolitik akan menghidrolisis substrat kitin secara sempurna menjadi N-
asetilglukosamin (GlcNAc) yang terjadi secara sinergis dan berurutan (Patil et al.,
2004). Terdapat dua jalur degradasi kitin di alam. Jalur degradasi kitin yang
pertama diawali dengan hidrolisis ikatan β-1,4 glikosida. Ikatan β-1,4 glikosida
diputus oleh enzim endokitinase sehingga terbentuk oligomer kitin. Reaksi
pemutusan ikatan β-1,4 pada bagian internal mikrofibril kitin dapat dilihat pada
Gambar 4.
Gambar 4. Reaksi pemutusan ikatan β-1,4 pada bagian internal mikrofibril kitin
Selajutnya oligomer kitin dipecah menjadi dimer N-asetilglukosamin (kitobiose)
oleh kitobiosidase, hingga dihasilkan monomer N-asetilglukosamin (GlcNAc)
oleh N-asetilglukosaminidase (kitobiase). Monomer GlcNAc kemudian
mengalami deasetilasi menjadi glukosamin oleh enzim N-asetil-glukosamin-
deasetilase. Jalur degradasi kitin lainnya adalah deasetilasi kitin menjadi kitosan
oleh enzim kitin-deasetilase. Kitosanase akan mendegradasi kitosan menjadi
21
oligomer kitosan. Oligomer kitosan selanjutnya akan didegradasi menjadi
glukosamin oleh glukosaminidase (Dinter et al., 2000). Reaksi pemutusan
diasetilkitobiose, kitotriose dan kitotetraose dan menghasilkan monomer-
monomer GlcNAc dapat dilihat pada Gambar 5.
Gambar 5. Reaksi pemutusan diasetilkitobiose, kitotriose dan kitotetraose dan
menghasilkan monomer-monomer GlcNAc
Enzim kitinolitik digolongkan ke dalam dua kelompok berdasarkan cara kerja
enzim, yaitu endokitinase dan eksokitinase. Endokitinase merupakan enzim yang
bekerja dengan menghidrolisis secara acak ikatan β-1,4 glikosida dari N-
asetilglukosamin, sedangkan eksokitinase merupakan enzim yang berkerja
menghidrolisi gula nonpereduksi di ujung rantai kitin. Sama seperti enzim pada
22
umumnya, aktivitas enzim kitinolitik juga dipengaruhi oleh faktor lingkungan,
seperti pH dan suhu,serta oleh faktor kimiawi tertentu yang secara khusus dapat
mempengaruhi enzim tersebut (Campbell et al., 2002).
Enzim kitinolitik berperan dalam degradasi kitin untuk menghasilkan oligomer
kitin dan turunan kitin yang bermanfaat, sehingga enzim kitinolitik dapat
dimanfaatkan pula untuk mengelolah limbah kitin (Thompson et al., 2001).
Enzim kitinolitik juga berperan sebagai agen biokontrol terhadap jamur dan
serangga patogen pada tumbuhan, biopestisida, terlibat dalam pembuatan protein
sel tunggal (Patil etl al., 2000), serta berperan sebagai obat terhadap penyakit
parasit (Thompson et al., 2001)
III. BAHAN DAN METODE
3.1. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Bakteriologi Balai Penyakit dan
Pengujian Veteriner Regional III Bandar Lampung. Penelitian ini dilaksanakan
pada bulan Januari 2015 sampai dengan Juli 2015.
3.2. Bahan dan Alat
Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah terasi dari Desa Margasari,
Kecamatan Labuhan Maringgai, Kabupaten Lampung Timur. Bahan yang
digunakan terdiri dari medium NA (Nutrien Agar), medium TSIA (Triple Sugar
Iron Agar), medium SCA (Simmon’s Citrate Agar), medium MIO (Motility Indole
Ornitin), medium SIM (Sulfit Indol Motility), medium O/F, medium LIA (Lysine
Iron Agar), medium MR-VP (Methyl Red_Voges Proskauer), koloidal kitin,
reagen methyl-red, reagen alpa naftol, reagen kovac, reagen H2O2, KOH 40% ,
larutan NaCl fisiologis, akuades, iodin, HCl pekat, NaOH 12 N, 0,1% Nacl, 0,1%
K2HPO4, 0,1% MgSO4.7H2O, 0,5% Yeast extract, dan 2% bacto agar larutan
standar N-asetilglukosamin, reagen schales, larutan buffer, parafin cair steril dan
alkohol.
24
Alat-alat yang digunakan adalah preparat, labu erlenmeyer, tabung reaksi, cawan
petri, jarum ose, bunsen, mikroskopik, timbangan digital, autoklaf, mirkopipet,
pipet volume, shaker, pipet tip, inkobator, rak tabung reaksi, refrigrator,
aluminium foil, gelas ukur, gelas objek, glass wool, sentrifigus, pH meter,
spektrofotometer, tabung eppendorf, hot plate stirrer, mortal, kapas, kain kasar,
kompor, panci dan alat non gelas lain.
3.3 Metode Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan metode penapisan bakteri penghasil enzim
kitinolitik pada terasi udang rebon (Mysis Relicta) yang diperoleh dari Kecamatan
Labuhan Maringgai, Kabupaten Lampung Timur. Penelitian ini dilakukan dengan
tiga kali ulangan (triplo) dan data yang diperoleh disajikan dalam bentuk grafik
dan tabel yang dianalisis dengan metode deskriptif (Sugiyono, 2009)
3.4. Pelaksanaan Penelitian
Pelaksanaan penelitian ini dilakukan dalam 6 tahap yang meliputi :
(1) Pengambilan sampel terasi, (2) Isolasi bakteri terasi udang, (3) Pemurnian
kultur bakteri, (4) Pembuatan substrat koloidal kitin, (5) Penapisan bakteri
kitinolitik, (6) Seleksi bakteri penghasil enzim kitinolitik dan (7) Identifikasi
isolat terpilih dengan melihat morfologi dan uji biokimiawi mengacu pada
Cappuccino dan Sherman (1983). Skema pelaksanaan penelitan dapat dilihat
pada Gambar 6.
25
Gambar 6. Skema Pelaksanaan Penelitian
Pengambilan
sampel terasi
Isolasi bakteri
terasi udang
Permunian kultur
bakteri
Pembuatan
substrat koloidal
kitin
Poduksi enzim
kitinolitik
Uji aktivitas
kitinolitik
Bentuk koloni
Warna koloni
Ukuran koloni
Gram
Seleksi bakteri
penghasil enzim
kitinolitik
Seleksi bakteri
penghasil enzim
kitinolitik
Uji biokimiawi Uji morfologi
- Uji motilitas - Uji SCA
- Uji katalase - Uji MIO
- Uji O/F - Uji MR
- Uji LIA - Uji VP
- Uji TSIA
Pewarnaan gram
Penentuan
Genus
26
3.4.1. Pengambilan Sampel Terasi
Sampel terasi yang digunakan untuk penelitian diambil dari industri rumah tangga
di Desa Margasari, Kecamatan Labuhan Maringgai, Kabupaten Lampung Timur.
Sampel terasi diambil dari produk jadi yang siap dipasarkan yaitu pada hari ke 3
setelah fermentasi dalam bentuk bulatan. Pengambilan sampel dilakukan dengan
mengambil lima bulatan terasi secara acak dari satuan produksi. Kemudian
sampel terasi tersebut dimasukkan ke dalam bungkus plastik secara aseptis
kemudian diberi label. Setelah itu diletakkan dalam styrofoam yang disimpan
dalam coolbox dengan penambahan es disekelilingnya sehingga suhu styrofoam
dalam tetap terjaga. Sampel dibawa ke laboratorium untuk dilakukan pengujian
lebih lanjut.
3.4.2. Isolasi Bakteri dari Terasi
Sampel terasi kering bentuk bulat yang didapatkan diambil 3 sampel secara acak.
Sampel tersebut diberi kode (T1), (T2) dan (T3) yang kemudian dihaluskan
dengan menggunakan mortal secara aseptis. Masing-masing sampel terasi udang
yang telah halus dimasukkan ke dalam tabung reaksi steril sebanyak 1 gram dan
diencerkan dengan 9 ml larutan NaCl fisiologis steril dengan pengenceran
bertingkat, mulai dari 10-1
- 10-5
. Pengeceran bertingkat dilakukan bertujuan
untuk mengantisipasi padatnya koloni bakteri yang kemungkinan akan tumbuh
dalam proses isolasi.
Proses isolasi bakteri dilakukan dengan menggunakan media isolasi yang
nonselektif yaitu nutrien agar (NA). Media nonselektif ini digunakan untuk
27
menumbuhkan dan memelihara bakteri. Masing-masing tingkat pengeceran
diinokulasi ke media NA masing-masing sebanyak 1 ml dengan menggunakan
pipet volome 1 ml, setelah itu diratakan dengan ose bengkong. Selanjutnya
masing-masing cawan petri dibungkus dan dimasukkan ke dalam inkubasi dengan
suhu 370C selama 2-3x 24 jam (Hardiningsih, 2006). Seleksi awal dilakukan
dengan memilih bakteri yang memiliki kenampakan koloni, bentuk, ukuran, dan
warna yang berbeda. Bakteri yang memiliki karakter berbeda selanjutnya
dimurnikan kembali hingga mendapatkan koloni tunggal. Diagram alir proses
isolasi bakteri pada terasi udang rebon dapat dilihat pada Gambar 7.
Gambar 7. Diagram Alir Isolasi Bakteri
Sumber : Hardiningsih, 2006
3 Sampel
terasi
Diamati kenampakan koloni, bentuk, ukuran, dan warna yang berbeda
diberi kode T1, T2 dan T3
dilakukan pengeceran bertingkat 10-1
-10-5
1 ml sampel diinokulasi ke medium NA dan
diratakan dengan ose bengkok
isolat
(koloni)
1 gram sampel dimasukan dalam tabung reaksi dan
ditambah 9 ml larutan NaCl fisiologis steril
diinkubasi pada suhu suhu 370C selama 2-3x 24 jam
28
3.4.3 Pemurnian Kultur Bakteri
Hasil dari isolasi bakteri yang didapatkan kemudian dilakukan proses pemurnian
kultur bakteri untuk mendapatkan koloni tunggal (isolat murni). Langkah pertama
kali yang dilakukan dalam proses pemurnian kultur bakteri adalah memilih
koloni-koloni yang berbeda dari hasil isolasi bakteri. Koloni bakteri kemudian
diinokulasikan pada permukaan medium NA menggunakan jarum ose steril
dengan metode gores kuadran untuk mendapatkan koloni yang terpisah.
Diinkubasi pada suhu 370C selama 48 jam (Hardiningsih, 2006). Proses
pemurnian dapat dilakukan 2-3 kali, agar benar-benar didapatkan koloni tunggal
(isolat murni). Setelah didapatkan koloni tunggal yang berbeda baik bentuk
koloni, warna hingga bentuk dan Gram kemudian ditanam pada medium SIM
untuk persiapan pengujian selanjutnya. Diagram alir proses pemurnian kultur
bakteri dapat dilihat di Gambar 8.
Gambar 8. Diagram Alir Pemurnian Kultur Bakteri
Sumber : Hardiningsih, 2006
Isolat
bakteri
diamati kenampakan koloni, bentuk, ukuran, dan warna yang berbeda
diinokulasi ke medium Na dan diratakan
dengan jarum ose
isolat
tunggal
diinkubasi pada suhu suhu 370C selama 48 jam
29
3.4.4. Pembuatan Substrat Koloidal Kitin
Menurut Nasran dkk.,( 2003), koloidal kitin dibuat dengan melarutkan 10 g kitin
dalam 200 ml HCl pekat dalam gelas beker, kemudian didiamkan semalaman
dalam keadaan tertutup pada suhu 40C. Larutan kemudian disaring menggunakan
glass wool, lalu filtrat dicampur dengan 100 ml akuades dingin dan ditambahkan
NaOH 12 N hingga pH mencapai pH 7 (netral). Larutan kemudian disentrifugasi
dengan kecepatan 8000 rpm selama 20 menit pada suhu 40C. Supernatan dibuang,
endapan ditambah akuades dan divortek hingga homogen untuk melarutkan sisa
garam, kemudian disentrifugasi kembali dengan kecepatan 8000 rpm selama 20
menit pada suhu 40C. Endapan yang terbentuk merupakan koloidal kitin yang
siap digunakan (Gambar 9).
Gambar 9. Diagam Alir Pembuatan Koloidal Kitin
Sumber : Nasran dkk., 2003
10 g kitin
dimasukkan dalam 200 ml HCL pekat pada gelas beker dan distirer hingga homogen
didiamkan selama semalam pada suhu 40C
disaring menggunakan glass wool
filtrat
dicampur 100 ml akuades dan NaOh 12 N Hingga pH 7 (netral)
disentrifugasi kecepatan 8000 rpm selama 20 menit pada suhu 40C supernatan
Koloidal
kitin
30
3.4.5 Penapisan Bakteri Kitinolitik
Proses penapisan bakteri kitinolitik dilakukan menggunakan media agar kitin
(Gambar 10). Koloni tunggal diinokulasi pada media MSM dan diinkubasi
selama 48 jam pada suhu 370C. Isolat kitinolitik kemudian diinokulasi dengan
menggunakan jarum ose lurus kemudian diinkubasi selama 24 jam pada suhu
370C. Dihitung nilai indeks kitinolitik yaitu nisbah antara diameter zona bening
dengan diameter koloni bakteri. Koloni-koloni yang tumbuh dan membentuk
zona bening (halozone) di sekitarnya merupakan isolat kitinolitik (Pujiyanto dkk.,
2002). Pengamatan terhadap zona bening dilakukan selama 3 hari (Park et al.,
2000).
Gambar 10. Diagam Alir Penapisan Bakteri Kitinolitik
Sumber : Pujiyanto dkk., 2002
Koloni
tunggal
diinokulasi pada media MSM
diinkubasi selama 48 jam pada suhu 370C
Isolat kitinolitik diinokulasi pada media MSM
diamati selama 3 hari, setiap hari dihitung nilai indek kitinolitik
diinkubasi selama 24 jam pada suhu 370C
Zona bening
(Isolat
Kitinolitik)
31
3.4.6 Produksi Enzim Kitinolitik
Bakteri dari medium MSM, sebanyak 2 ose isolat bakteri diinokulasi ke dalam 10
ml medium Natrium Broth (sebagai starter), kemudian diinkubasi dalam inkubator
pada suhu 370C dengan dishaker dengan kecepatan 150 rpm selama 24 jam.
Sebanyak 5 ml starter tersebut ditambahkan ke dalam 45 ml medium kitin cair,
kemudian diinkubasi dalam inkubator pada suhu 370C dengan dishaker pada
kecepatan 150 rpm selama 24 jam. Enzim kasar dan sel dipisahkan dengan
sentrifugasi pada kecepatan 8000 rpm pada suhu 40C selama 10 menit.
Supernatan hasil sentrifugasi adalah enzim kasar yang akan digunakan pada
proses pengujian aktivitas kitinolitik.
3.4.7 Pengujian Aktivitas Enzim Kitinolitik
Pengujian aktivitas enzim kitinolitik dilakukan berdasarkan metode Wang dan
Chang (1997) yang dimodifikasi. Pengujian aktivitas enzim kititnolitik dilakukan
dengan melihat produk akhir yaitu N-asetilglukosamin (GIcNAc) yang dihasilkan.
Sebanyak 0,15 ml enzim kasar (supernatan bebas sel) ditambahkan ke dalam
campuran 0,15 substrat kitin 1% dan 0,3 ml larutan buffer fosfat pH 7 (Gambar
13). Campuran tersebut dihomogenisasi dan diinkubasi pada suhu 370C selama 60
menit, kemudian dipanaskan pada suhu 1000C selama 3 menit.
Kontrol dibuat dengan menambahkan 0,15 ml enzim kasar setelah dipanaskan
pada suhu 1000C selama 3 menit. Larutan kemudian disentrifugasi dengan
kecepatan 8000 rpm pada suhu 40C selama 10 menit. Jumlah N-asetilglukosamin
ditentukan dengan mencampurkan 0,5 ml supernatant dengan 0,5 ml akuades dan
32
1 ml reagen schales (Gambar 14). Campuran kemudian diukur absorbansinya
pada panjang gelombang 420nm. Konsentrasi N-asetilglukosamin dihitung
berdasarkan kurva standar N-asetilglukasamin. Kurva setandar merupakan
hubungan antar absorbansi dan konsentrasi larutan N-asetil glukosamin standar
(Gambar 15; Tabel 6). Skema penentuan aktivitas kuantitatif enzim kitinolitik
dapat dilihat pada Gambar 11.
Gambar 11. Diagam Alir Pengujian Aktivitas Enzim Kitinolitik
Sumber : Wang dan Chang, 1997
33
Perhitungan :
Aktivitas enzim (U/ml) =
Keterangan :
As : Absorbansi Substat
Ak : Absorbansi kontrol
[Glc]std : Konsentrasi standar N-Asetilglukosamin
fp : Faktor pengecer
Astd : Absorbansi standar
BM : Berat molekul N-Asetilglukosamin (221,2)
t : Waktu inkubasi
3.4.8 Identifikasi Bakteri Kitinolitik
Indentifikasi bakteri kitinolitik dilakukan dengan melakukan serangkaian uji
morfologi dan biokimiawi, yaitu uji pewarna gram, uji Motilitas, uji oksidative-
fermentatif (O/F), uji Lysine Iron Agar (LIA), uji Triple Sugar Iron Agar (TSIA),
uji Simons Citrat Agar (SCA), uji Motility Indol Ornithyn (MIO), uji Methyl Red
(MR), uji Voges Proskauer (VP) dan uji Katalase. Indentifikasi isolat terpilih
mengacu pada Cappuccino & Sherman, (1983). Berikut ini cara kerja dari
indentifikasi isolat terpilih dengan uji morfologi dan biokimia menurut Gani
(2003) sebagai berikut:
(As-Ak) x [Glc]std x fp
Astd x BM x t
34
1. Pewarnaan Gram
Dalam pengamatan morfologi bakteri dilakukan dengan pengecatan gram. Sifat
gram bakteri dapat diketahui dengan perubahan warnanya. Bakteri gram negatif
menghasilkan warna merah, sedangkan gram positif menghasilkan warna biru.
Pengamatan mikroskopik bakteri dilakukan dengan membuat sediaan tipis diatas
gelas preparat, dan diwarnai menurut teknik pengecatan yang dikehendaki.
Cara kerja dilakukan yaitu mula-mula gelas preparat dibersihkan menggunakan
alcohol, kemudian suspense bakteri dibuat dengan mencampur setetes aquades
dengan sebagian kecil koloni bakteri dan diratakan hingga menjadi sediaan yang
tipis. Preparat selanjutnya dikering anginkan dan difiksasi di atas nyala api dan
ditetesi dengan larutan kristal violet sebanyak 2-3 tetes,diamkan selama 1 menit.
Kemudian preparat dicuci dengan air mengalir, dan dikering anginkan.
Selanjutnya preparat ditetesi dengan larutan mordan, dibiarkan selama 1 menit,
dicuci dengan air mengalir dan kering anginkan. Preparat dicuci dengan larutan
peluntur selama ± 30 detik cuci dengan air mengalir kemudian dikering anginkan
dan diberi larutan safranin selama 2 menit. Selanjutnya dicuci dengan air
mengalir dan dikering anginkan kembali. Terakhir preparat diamati dengan
mikroskop menggunakan minyak imersi dan dilihat warnanya. Bakteri Gram
Positif berwarna violet, Gram Negatif berwarna merah, sedangkan Gram Variabel
dapat berwarna merah dan atau violet.
35
2. Uji Motilitas
Menurut Cowan (1974), uji motil digunakan untuk mengetahui kemampuan
bakteri untuk bergerak. Sebanyak 1 ose (ose lurus) isolat dari stok kultur lalu
diinokulasi dengan cara ditusuk padamedium SIM tegak, lalu diinkubasi pada
suhu 370C selama 2x24 jam. Hasil positif (motil) apabila terdapat rambatan-
rambatan disekitar bekas tusukan jarum pada medium dan hasil negatif (non
motil) bila tidak terdapat rambatan-rambatan disekitar bekas tusukan jarum ose
pada medium
3. Uji O/F
Tujuan uji oksidase fermentative adalah untuk mengetahu sifat oksidasi dan
fermentasi suatu bakteri terhadap glukosa. Uji ini dilakukan untuk mengetahui
kemampuan mikroorganisme untuk menggunakan karbohidrat dengan cara
fermentasi atau oksidasi (Cowan dan Steel’s, 1974). Cara kerja pengujian O/F
yaitu yang pertama disediakan dua medium O/F dalam tabung reaksi. Kemudian
masing-masing bakteri diinokulasikan kedalam medium dan diberi paraffin cair
steril setebal 1 cm pada salah satu tabung reaksi. Selanjutnya diinkubasi pada
suhukamar selama 18-24 jam dan diamati perubahan warna yang terjadi dalam
medium. Bakteri bersifat fermentative jika kedua medium yang diinokulasi
berubah warna menjadi kuning. Bakteri bersifat oksidatif jika tabung terbuka
berwarna kuning, sedangkan yang ditutup paraffin warnanya tetap.
36
4. Uji Lysine Iron Agar (LIA)
Uji LIA dilakukan untuk mengetahui jika bakteri hanya memfermentasi dekstrosa
maka dasarnya akan berwarna kuning, tetapi bakteri yang memfermentasi
dekstros serta memotong ikatan karboksil asam amino lysine, maka pH kembali
menjadil alkali sehingga akan terlihat medium secara keseluruhan bewarna ungu
dengan adanya indikator Brom crose purple. Terjadinya warna ungu pada seluruh
bagian media uji berarti tes positif. Jika tidak ada perubahan warna atau dasarnya
berwarna kuning maka tes dinyatakan negatif. Bakteri diinokulasi ke medium
LIA, Kemudian diinkubasi pada inkubator selama 18-24 jam. Setelah
diinkubasikan amati perubahan reaksi yang terjadi, bakteri dikatakan memiliki
enzim Lysin decarboxilase ditandai dengan perubahan warna yang makin merah,
sebaliknya jika medium semakin pudar maka bakteri dikatakan tidak memiliki
enzim tersebut.
5. Triple Sugar Iron Agar (TSIA)
Uji TSIA merupakan uji biokimiawi untuk mengetahui kemampuan mikroba
dalam memfermentasi glukosa, sukrosa dan laktosa yang terkadung pada medium.
Proses fermentasi pada medium TSIA akan dihasilkan Asam format yang
kemudian dioksidasi sempurna menjadi gas hidrogen (H2) dan karbondioksida
(CO2) dengan bantuan enzim Formate Hydrogenase. Gas H2 bersifat tidak larut
dalam media sehingga terakumulasi dalam bentuk gelembung udara di sepanjang
jalur inokulasi, antara media dan tabung, atau di bagian dasar tabung. Gas H2
tersebut menyebabkan media agar menjadi terangkat atau pecah. Berbeda dengan
37
gas CO2 yang bersifat lebih mudah larut dalam media sehingga tidak terbentuk
gelembung udara di jalur inokulasi.
6. Uji Simmon’s Citrat Agar (SCA)
Tujuan dari uji ini adalah untuk mengetahui jenis bakteri yang mengutilisasi sitrat.
Bakteri yang bermanfaat sitrat sebagai sumber karbon akan menghasilkan
Natrium Karbonat yang bersifat alkali, sehingga dengan adanya indikator Brom
Thymol Blue menyebabkan warna biru pada media. Bakteri dinokulasi pada
medium simmon’s citrate selama 18-24 jam, dan diamati perubahan yang terjadi.
Apabila berubah biru, maka bakteri mampu memanfaatkan sitrat sebagai sumber
karbon untuk proses metabolisme dengan menghasilkan kondisi yang alkali,
sebaliknya apabila medium tetap hijau maka bakteri tidak mampu memanfaatkan
sitrat.
7. Uji Motility Indol Ornithyn (MIO)
Tujuan uji motility adalah untuk mengetahui bakteri yang dites bergerak atau
tidak. Pergerakan bakteri dapat dilihat dengan adanya kekeruhan di sekitar
tusukan pada media karena media dalam keadaan semisolid. Jika pertumbuhan
bakteri hanya pada bekas tusukan berarti tes negatif, tetapi pertumbuhan yang
menyebabkan kekeruhan sebagian besar dari medium menunjukkan tes positif
dari warna dasarmedia yaitu ungu. Uji Indol bertujuan untuk mendeteksi
kemampuan mikroba mendegradasi asam amino triptofan (Cappucino and
38
Sherman, 1983). Keberadaan indol dideteksi dengan reagen kovac dan
terbentuknya cicin warna merah.
8. Uji Methyl Red (MR)
Uji ini bertujuan untuk menentukan adanya fermentasi asam campuran. Beberapa
bakteri memfermentasi glukosa dan menghasilkan berbagai produk yang bersifat
asam sehingga akan menurunkan pH media pertumbuhan menjadi 5 atau lebih
rendah. Penambahan indikator pH “methyl red” dapat menunjukkan adanya
perubahan pH menjadi asam. Sebanyak 1 ose (ose bulat) isolate bakteri diambil
dari stok kultur dan diinokulasi pada medium MR-VP cair dalam tabung reaksi.
Selanjutnya diinkubasi selama 18-24 jam pada suhu 370C. Sebanyak 5 tetes
methyl red ditambahkan di atas preparat isolasi bakteri. Hasil positif apabila
tebentuk kompleks berwarna merah muda sampai merah yang menandakan bahwa
mikroba tersebut menghasilkan asam.
9. Uji Voges Proskauer (VG)
Uji ini bertujuan untuk mendeteksi adanya acethyl methyl carbinol yang
diproduksi oleh bakteri tertentu dalam pembenihan VP. Adanya bakteri tertentu
yang dapat memproduksi acethyl methyl carbinol dapat diketahui dengan
penambahan reagen 5% alpa nafton dan ml KOH 40%. Koloni sebanyak 1 ose
(ose bulat) isolasi bakteri diambil dari stok kultur dan diinokulasi pada medium
MR-MP cair dalam tabung reaksi. Selanjutnya diinkubasi selama 18-24 jam pada
suhu 370C. Kemudian ditambahkan reagen alpat naftol 0,6ml dan 0,2 ml KOH
39
40%. Suspense tersebut dikocok selama 20-30 detik. Reaksi VP positif, bila
terjadi pembentukan asam yang ditandai berubahnya warna medium menjadi
merah muda setelah penambahan pereaksi.
10. Uji Kitinase
Karakteristik bakteri biokontrol salah satunya menggunakan uji kitinase. Uji
kitinase merupakan uji untuk mengindentifikasi mikroba yang mampu
menghasilkan enzim kitinase yang digunakan untuk memecah hydrogen peroksida
yang terbentuk dari proses respirasi aerob dan bersifat toksik terhadap
bakteri,menjadi dihidrogen oksida (H2O) dan Oksigen (O2) yang tidak bersifat
toksik (Cowan and Steel’s, 1985). Cara kerja yang dilakukan yaitu diambil
larutan H2O2 3% 2-3 tetes, letakkan pada gelas preparat. Setelah itu di biakan
bakteri dengan jarum ose, kemudian disuspensi ke dalam larutan H2O2 3%.
Katalase positif ditandai dengan terjadinya gelembung sedangkan katalase
negeatif ditandai dengan tidak adanya gelembung.
V. SIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan maka kesimpulan yang dapat
diambil adalah sebagai berikut:
1. Ada 8 isolat yang diperoleh dari proses permurnian bakteri terasi rebon dari
Desa Margasari, Kecamatan Labuhan Maringgai, Kabupaten Lampung Timur
yaitu T1a2, T2b1, T2b2, T2c1, T2c2, T3a1, T3b2, dan T3e1
2. Hasil pengujian aktivitas enzim kitinolitik dari 8 isolat murni dengan nilai
aktivitas enzim kitinolitik tertinggi yaitu Isolat T1a2 [0.00965 U/ml]
3. Hasil indentifikasi melalui uji morfologi dan uji biokimia dari 8 isolat nilai
aktivitas kitinolitik tertinggi menunjukkan bahwa T1a2 merupakan genus
Corynebacterium sp.
5.2. Saran
Pada saat proses pembuatan koloidal kitin diharapakan menggunakan alat
sentrifiguse dengan kecepatan 6000-8000 rpm sesuai dengan referensi proses
pembuatan koloidal kitin. Hal ini dikarena kecepatan sentrifiguse mempengaruhi
hasil substrat koloidal kitin. Agar penelitian selanjutnnya didapat zona bening
pada media MSM.
DAFTAR PUSTAKA
Adawyah R. 2007. Pengelolah dan Pengawetan Ikan. Penerbit Bumi Aksara.
Jakarta. 160 hlm.
Afrianto, E dan E. Liviawaty.2005. Pakan Ikan. Kanisius. Yogyakarta. 148 hlm.
Anderson, R.J. Wolfe, M.,S. dan Faulkner, D.,J. 1974. Autotoxic antibiotic
production by a marine Chromobacterium. Marine Biology. 27 (4): 281-
28.
Anihouvi VB., ES. Dawson., GS.Ayenor., and JD. Hounhouigan. 2007.
Microbiological Change in Naturally Fermented Casavva Fish
(Pseudotolithus sp) for Lanhouin Production. Akademik Pressindo.
Bogor.
Astawan, M.W dan M. Astawan.1989.Teknologi Pengolahan Pangan Hewani
Tepat Guna. CV. Akademika Pressindo. Bogor. 120 hlm.
Banjarnahor, E.R. 2010. Isolasi dan Karakterisasi Senyawa Triterpenoid dari
Umbi Bawang Sabrang (Eleutherine bulbus). Skripsi. Medan: Fakultas
Farmasi Universitas Sumatera Utara. Hal. 33-39.
Barrow, G.I, and R.K.A, Feltham. 1993. Cowan and Steel’s Manual for The
Identification of Medical Bacteria. Cambridge : University Press.
Baumann, P., A.L. Furniss and J.V. Lee. 1984. Genus Vibrio. Page 528-550 in
N.R. Krieg and J.G. Holt, editors. Bergey’s Manual of Systematic
Bacteriology Vol. 1. William and Wilkins, Baltimore, Maryland.
Bertoldi FC., Santanna FS., Eeirao LH. 2002. Reducing the bitterness of Tuna
(Euthyrnus pelamis) dark meat with Lactobacillus casei subsp. Casei
ATCC 392. Journal Food technology. Biotechnol.
Brzezinska, M.S. and W. Donderski. 2001. Occurrence and Aktivity of The
Chitinolytic Bacteria of Aeromonas Genus. Polish Journal of
Environmental Studies. 10(1): 27-31.
Buller, N.B. 2004. Bacteria from Fish and Other Aquatic Animals : A Practical
Identification Manual. CABI Publishing, Wallingford. Hal: 12, 75-76.
51
Burkovski A. 2008. Corynebacteri: Genomics and molecular Biology.
Hhtp://www.horizonpress.com (diakses tanggal 1Juni 2015).
Campbell, N.A., J.B. Reece and Donderski.2001. Occurence and Activity of The
Chitionolytic Bacteria of Aeromonas Genus. Polias Jaurnal of
Enverinmental Studies. 10(1): 27-31.
Cappuccino, J.G. and N. Sherman. 1983. Microbiology a Laboratory Manual.
6th
ed. USA:Pearson Education Inc.
Chasanah, E., M. Ali, M. Ilmi. 2012. Identification and Partial Characterization of
Crude Extracellular Enzymes from Bacteria Isolated from Shrimp Waste
Processing. Research and Development Center for Marine and Fisheries
Product Processing and Biotechnology, Jakarta. Squalen Vol. 7 No. 1,
May 2012: 11-18.
Chasanah, E., G. Patantis, S. Z. Dewi., M. Ali and R. Yenny. 2011. Purification
and Characterization of Aeromonas Media Klu 11.16 Chitosanase
Isolated From Shrimp Waste. Journal of Coastal Development. Volume
15. Number 1. October 2011: 104-113.
Choi, Y.J., E.J Kim., Z. Pio.,Y.C. Yun and Y.C. Shin. 2004. Purification and
Characterization of Chitosanase from Bacillus sp. Strain KCTC 0377BP
and Its Application For Production of Chitosan Oligosaccharides. Appl.
Environ. Microbiol. 70(8): 4522-4531.
Claus, D. and R.C.W. Barkeley. (1986) Genus Bacillus, Cohn 1872. In: Sneath
PHA, Mair NS, Sharpe ME, Holt JG (eds) Bergey’s Manual of
Systematic Bacteriology. Vol. 2. Baltimore: The Williams and Wilkins
Co, pp 1105–1139.
Connell, TD., DJ. Metzger., J. Lynch., and JP. Folster. 1998. Endochitinase Is
Transported To The Extracellular Milieu by the Eps-Encoded General
Secretory Pathway of Vibrio Cholerae. Journal of Bacteriology
180:5591–5600.
Cowan, S.T. 1974. Cowan and Steel’s. Manual For The Identification of Medical
Bacteria. 2nd
ed. Cambridge Universitas Press Cambridge. London.
Cowan, S.C. and Steel. 1985. Manual for Identification of Medical Bacteri. 2nd
ed.
Cembride University Prees. 238pp.
Direktotat Gizi Depkes. 1992. Produk Fermentasi Ikan Garam. Balai Besar Riset
Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan.
Dinter, S., Bunger and E. Siefer. 2000. Enzymatic Degradation of Chitin by
Microorganisme. Universitas Potsdam Druckhaus Schmergow. German:
650 hlm.
52
Donderski, W. and M. Trzebiatowska. 2000. Influence of Physical and Chemical
Factors On The Activity of Chitinases produced by planktonic Bacteria
Isolated From Jeziorak Lake. Polish Journal of Environmental Studies.
9(2):77-82.
Donderski, W. dan M.S. Brzezinska. 2003. The utilization of N-
acetyloglucosamine and Chitin as Sources of Carbon and Nitrogen by
Planktonic and Benthic Bacteria in Lake Jeziorak. Polish Journal of
Environmental Studies 12(6): 685 – 692.
Dooley, J.S.G., R.Lallier, D.H Shaw, and T.J. Trust. 1985. Electrophretic and
immunochemical analysis of the lipopolysaccharides from various strains
of Aeromonas hydrophila. J.Bacteriol. 164 : 263-269.
Fardiaz, S. 1987. Fisiologi Fermentasi. Pusat Antar Universitas IPB. Bogor.
Fawzya, Y.N., N. Indriati dan T.D. Suryaningrum. 2004. Pengaruh penambahan
kitin pada medium produksi terhadap kitin deasetilase dari Bacillus K29-
14. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. 10(3):11-18.
Gani, A. 2003. Metode Bakteriologi Diaknoktik. Balai Besar Laboratorium
Kesehatan (BBLK). Makasar.
Garcia, E. and D.M. Barrett. 2002. Fresh-cut Fruits and Vegetables: Science,
Technology, and Market – Preservative Treatments for Fresh-cut Fruits
and Vegetables. Edited by Olusola Lamikanra. CRC Press. Florida. 452
hlm.
Gohel, V., A. Singh, M. Vimal, P. Ashwini and H.S. Chatpar. 2006.
Bioprospecting and Antifugal Potensialof Chitinolytic
Microorganisme.African Journal of Biotechnology. 5(2): 54-72.
Gooday, GW. 1994. Physiology of microbial degradation of chitin and chitosan.
in Ratledge C, editor. Biochemistry of microbial degradation.
Netherlands: Kluwer Academic Publ. p: 279-312.
Green, A.T., M.G. Healy and A. Healy. 2005. Production of Chitinolytic by
Serratia Marcescens QMB 1466 Using Various Chitinous Substrates.
Journal of Chemical Technology and Biotechology. 80:28-34.
Gultom, Denniyati M. 2003. Patogenitas Bakteri Vibrio harveyi pada Larva
Udang Windu (Penaeus monodon Fab.). Skripsi. Departemen Budidaya
Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.
Bogor.
Hadiwiyoto, S. 1993. Teknologi Pengolahan Hasil Perikanan. Fakultas Teknologi
Pertanian. UGM. Liberty. Yogyakarta. 48-49 hlm.
53
Hajep dan Jinap. 2012. Fermented Shrimp Products as Source of Umami in
Southeast Asia. Jurnal Nutrition and Food Science. ISSN: 2155-9600
hlm.
Hardiningsih, R. 2006. Isolation and Resistance Test of Several Isolate of
Lactobacillus in Low pH . Bidang Mikrobiologi, Pusat Penelitian
Biologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Bogor. 16002
hlm.
Harman, G.E. and A.Tronsmon. 1993. Detection and Quantification of N-Acetyl-
Beta-D-Glucosaminidase, Chitobiosidase, and Endochitinase In Solutions
and on Gels. Analitical Biochemistry. Vol. 208: 53-57.
Hidayat, N., M.C. Padaga dan S. Suhartini. 2006. Mikrobiologi Industri. ANDI.
Yogyakarta. 198 hlm.
Holt, J.G., N.R Krieg., P.H.A Sneath., J.T Staley and S.T. Williams. 1994.
Bergey’s Manual of Determinative Bacteriology. Ninth Ed. A Wolters
Kluwer Company. Philadelphia. Hal 562-570.
Huang, L., S.S. Miles and R.B. Lingham. 1999. Screening for Activities. Manual
of industrial microbiology, Washington. 416 hlm.
Irianto, A. 2003. Probiotik Akuakultur. Gajah Mada University Press.
Yogyakarta.
Isohood, J.H., M. Drake. 2002. Review: Aeromonas species in foods. J Food Prot
65: 575-582.
Jawetz M, Adelberg’s. 2005.Mikrobiologi Kedokteran. edisi 23. Alih Bahasa: Huriwati Hartanto dkk. Penerbit Buku Kedokteran ECG. Jakarta.
Kabata, Z. 1985. Parasites And Disease Of Fish Cultured In The Tropics. London
and Philadelphia: Taylor and Fancis Press. 316 hlm.
Krieg, N. R. And J.G. Holt, 1984. Bergey’s Manual of Systematic Bacteriology,
Vol.1. baltimore: Williams & Wilkins.
Kusuma, R. V. S. 2009. Pengaruh Tiga Cara Pengolahan Tanah Tambak Terhadap
Pertumbuhan Udang Vaname Litopenaeus vannamei. Skripsi. Bogor
:Institut Pertanian Bogor.
Lay, B.W. 1994. Analisis Mikroba Di Laboratorium. PT. Raja Grafindo Persada.
Jakarta.
54
Murray, A.T. and P.T. Sandford. 2003. Chitin and Chitosan: Sources, Chemistry,
Biochemistry, Physical Properties and Applications. Journal of Elsevier
Applied Science.12(6):561.
Moat, A.G., and J. W. Foster. 1995. Microbial Physiology. 3th
ed. Wiles-Liss, Inc.
New York: 580 hlm.
Moeljanto. 1992. Pengawetan dan Pengolahan Hasil Perikanan. Jakarta:Penebar
Swadaya. 259 hlm.
Nasran, S., F. Ariyani., dan N. Indriati. 2003. Produksi Kitinase dan Kitin
Deasetilase dari Vibrio Harveyi. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia.
9(5): 33-38.
Nontji A. 1987. Laut Nusantara. Djambatan. Jakarta. 368 hlm.
Patil, R.S., V. Ghormade and M.V. Deshpande. 2000. Chitinolytic enzymes: An
exploration. Enzyme and Microbial Technology. 26: 473-483.
Park, S.H., J. Lee and H.K. Lee. 2000. Purification and characterization of
chitinase from a marine bacterium,Vibrio sp. 98CJ11027. The Journal of
Microbiology. 38(4):224-229.
Pelczar, M.J., and E. C. S. Chan. 1986. Dasar Dasar Mikrobiologi 2.
Diterjemahkan oleh Hadioetomo RS, Imas T, Tjitrosomo SS, Angka SL.
Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia. hal:489-522.
Persagi. 2009. Tabel Komposisi Pangan Indonesia. Jakarta. PT Elex Media
Komputindo.
Pierson, S. 2013. Kajian Terasi atau Balacan Sebagai Bahan Tambahan Makanan.
http://www.detikfood.com. Diakses tanggal 25 Maret 2016.
Pujiyanto, S., D.A. Santosa dan M.T. Suhartono. 2002. Kloning Shotgun Gen
Penyandi Enzim Kitinase Dari Isolat Kitinolitik ICBB232 Asal
Ekosistem Air Hitam. Kalimantan Tengah. Bioma. 4:7-12.
Purwaningsih, S. 1995. Teknologi Pembekuan Udang. Penebar Swadaya. Jakarta.
Rahayu, W. P., S. Ma’oen, dan S. Fardiaz. 1992. Bahan Pengajaran Teknologi
Fermentasi Produk Perikanan. Pusat Antar Universitas Pangan dan
Gizi. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 140 hlm.
Saisthi, P. 1967. Traditional Fermented Fish Product with Special Reference to
Thai Product. Asean Food Journal. Vol.3. No. 1:3-10.
Shahidi, F., J.K.V. Arachchi., and Y.J. Jeon. 1999. Food Applications of Chitin
and Chitosan. Trends in Food Science and Technology. 10: 37-51.
55
Sjafi’i A. 1988. Mutu mikrobiologi beberapa ragam peda [skripsi]. Bogor: Fakulta
Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. 78 hlm.
Salle, A. J. 1961. Fundamental Principle of Bacteriologi 5th
Edition. MC Graw
Hill Book Company Inc. New York. 414-418, 719-739.
Standar Nasional Indonesia. 1992. Terasi Udang. Badan Standardisasi Nasional.
SNI 01.2716.1992.
Sugiyono. 2009. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&B. Alfabeta.
Bandung.
Suryani Y, Astuti, Oktavia B, dan Umniyati S. 2010. Isolasi dan Karakterisasi
Bakteri Asam Laktat dari Limbah Kotoran Ayam Sebagai Agensi
Probiotik dan Enzim Kolesterol Reduktase. Prosiding Seminar Nasional
Biologi. 138-147.
Suryanto, D., E.Murni dan Yurnaliza.2006. Ekplorasi Bakteri Kitinolitik :
Keragaman Genetic Gen Penyandi Kitinase Pada Berbagai Jenis Bakteri.
USU Repository. 1-22 hlm.
Thompson, S.E., M. Smith, M.C. Wilkinson and K. Peek. 2001. Indentification
and characterization of a chitinaseantigen from Pseudomonas aeruginosa
strain 385. Appl. Environ.Microbiol. 67(9): 4001-4008.
Tsujibo, H., K. Minoura, K. Miyamoto, H. Endo, M. Moriwaki and Y. Inamori.
1993. Purification and Properties of Thermostable Chitinase from
Streptomyces Thermoviolaceus OPC-520. Appl. Environ. Microbiol.
59(2): 620-622.
Wang S. and W. Chang. 1997. Purification and Characterzation of Two
Bifunctional Chitinases/Lysozyms Extracelullarly Produced by
Pseudomans Aeroginosa K-187 in a Shrimp and Crab Shell Powder
Medium. Appl. Environ. Microbiol. 63(2): 380-386.
Winarno, F. G., dan B.S. L.Yeni. 1973. Pigmen dalam Pengolahan Pangan.
Departemen Teknologi Hasil Pertanian. Fakultas Teknologi Pangan dan
Mekanisasi Pertanian IPB Bogor. Bogor. 22-23.
Yurnaliza. 2002. Senyawa Kitin dan Kajian Aktivitas Enzim Mikrobial
Pendegradasinya. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam.
Universitas Sumatera Utara. Medan.
Recommended