View
182
Download
0
Category
Tags:
Preview:
Citation preview
PNEUMOCYSTIS CARINII PNEUMONIA
DISUSUN OLEH:
MEILKI NANDA P (08700076)
YESSICA ELSIYANA (08700207)
SMF ILMU PENYAKIT DALAM
RSUD dr. R SOSODORO DJATIKOESOMO BOJONEGORO
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS WUJAYA KUSUMA SURABAYA
2014
Abstract :
Pneumocystis carinii pneumonia (PCP), as the condition is commonly termed (although the
causative organism has been renamed Pneumocystis jiroveci [pronounced “yee-row-vet-zee”]),
is the most common opportunistic infection in persons with HIV infection. An organism with
characteristic structures resembles to protozoa and also sensitive to anti parasite drugs. But
later on, based on the reseach for the molecular biology of the RNA, Pneumocystis jiroveci then
categorized as a fungi with close-relation to Askomikotina. Transmission is assumed by
respiratory droplet infection, with the cyst form as the infective stage to human. The disease has
become increasingly recognized worldwide with the epidemic of AIDS. Since the onset of the
disease is fast and sometimes overlooked in immunocompromized patients, the prognosis is poor
due to the respiratory failure which leads to mortality.
Definisi & Etiologi
Pneumocystis carinii pneumonia (selanjutnya disebut PCP) merupakan infeksi pada paru yang
disebabkan oleh jamur Pneumocystis carinii, sekarang dikenal dengan nama Pneumocystis
jiroveci, sebagai tanda penghormatan kepada ahli parasitologi berkebangsaan Cechnya; Otto
Jirovec. Organisme ini pertama kali ditemukan oleh Chagas (1909). Pada tahun 1915 Carini dan
Maciel menemukan organisme ini pada paru guinea pig, awalnya diduga sebagai salah satu tahap
dalam siklus hidup Trypanosoma cruzi. Pada tahun 1942, Meer dan Brug pertama kali
menyatakan bahwa organisme ini merupakan salah satu jenis parasit yang patogen pada manusia.
Baru pada tahun 1952 Vanek bekerjasama dengan Otto Jirovec menggambarkan siklus paru dan
patologi dari penyakit yang kemudian dikenal sebagai “parasitic pneumonia” atau “pneumonia
sel plasma interstisial (interstitial plasma cell pneumonia)” ini. Sekarang penyakit ini merupakan
infeksi oportunis berbahaya yang paling sering terjadi pada pasien AIDS (1,2,3,4,5).
Taksonomi
Masih ada perbedaan pendapat mengenai taksonomi Pneumocystis jiroveci. Pada awalnya
sebagian besar peneliti memasukkan Pneumocystis jiroveci dalam golongan protozoa, apalagi
sejak Wenyon mengklasifikasikannya ke dalam sub klas Coccidiomorpha , klas Sporozoa dari
protozoa. Penggolongan ke dalam protozoa ini dikarenakan karakteristik strukturnya yang
menyerupai Toksoplasma gondii dan sensitive terhadap preparat obat anti parasit, antara lain
pentamidin isethionat, pirimetamin, sulfadiazine, trimetoprim + sulfametoksazol (Gajdusek,
1957; Frenkel et al., 1966; Ham et al., 1971). Hal ini diperkuat oleh Yoneda et al. (1982) yang
berdasarkan pemeriksaannya dengan mikroskop elektron dan “freeze fracture microscopy”
memastikan bahwa Pneumocystis jiroveci adalah suatu protozoa. Namun studi terbaru
berdasarkan penelitian biologi molekuler asam nukleat RNA ribosom dan biokimianya,
Pneumocystis jiroveci dimasukkan ke dalam golongan fungus (= jamur) yang berhubungan erat
dengan Askomikotina (1,5,6,7,4,8).
Tbl 1. Nomenklatur terbaru Pneumocystis jiroveci, dikutip dari Wikipedia.Kingdom : FungiSubkingdom : DikaryaPhylum : AscomycotaSubphylum : TaphrinomycotinaClass : PneumocystidomycetesOrder : PneumocystidalesFamily : PneumocystidaceaeGenus : Pneumocystis (Delanoë & Delanoë 1912)Species : P. jiroveci
Epidemiologi
Distribusinya luas di seluruh dunia, dapat menginfeksi manusia dan hewan. Pada manusia, PCP
lebih sering terjadi secara sporadik, jarang menimbulkan epidemic (Johnson et al., 1970; Peneral
et al., 1970) dan terjadi pada semua golongan umur (Singer et al., 1975). PCP biasanya terjadi
pada penderita dengan daya tahan tubuh yang menurun, seperti pada penderita AIDS, serta bayi
dan balita yang premature dan mengalami malnutrisi (kurang gizi). Sebelum adanya epidemik
AIDS pada awal 1980-an, PCP jarang terjadi dan biasanya diderita oleh pasien dengan malnutrisi
protein atau penderita ALL (Acute Lymphocytic Leukemia), atau pada pasien – pasien yang
mendapat terapi kortikosteroid. Sekarang infeksi oportunistik ini umumnya sering dihubungkan
dengan dengan infeksi HIV lanjut (3,6,7,9,10).
Morfologi dan siklus hidup
Vavra dan Kucera (1970) membagi Pneumocystis jiroveci menjadi 3 stadium, yaitu :
A. Stadium trofozoit
Bentuk pleomorfik dan uniseluler, berukuran 1 – 5 μ dan memperbanyak diri secara mitosis.
Dengan mikroskop elektron dapat dilihat ultrastrukturnya sebagai berikut : berdinding tipis (20 –
40 μ) dengan beberapa ekspansi tubular yang disebut sebagai filopodium; umumnya mempunyai
1 inti tetapi kadang dapat lebih dari 2 inti; mitokondria, retikulum endoplasmik yang kasar;
benda – benda bulat (round bodies dan vakuol – vakuol). Pada pewarnaan Giemsa, inti berwarna
ungu gelap dan sitoplasma biru terang tetapi tidak ada ciri lain yang khas. Juga dapat dilihat
dengan pewarnaan “acridine orange”. Trofozoit yang kecil (1 – 1,5 μ) ditemukan di dekat kista
yang berdinding tebal, berbentuk bulan sabit menyerupai “intracystic bodies” (beberapa sumber
menyatakan “intracystic bodies” sebagai trofozoit yang sedang berkembang). Trofozoit yang
besar menempel pada dinding alveolus dan mempunyai dinding tipis yang sama dengan trofozoit
yang kecil tetapi mempunyai filopodium dan pseudopodium sehingga berbentuk ameboid.
B. Stadium prakista
Merupakan bentuk intermediate antara trofozoit dan kista. Bentuk oval, ukuran 3 – 5 μ dan
dindingnya lebih tebal (berkisar antara 40 – 120 μ) dengan jumlah inti 1 – 8. Dengan mikroskop,
bentuk ini sukar dibedakan dari stadium lainnya tetapi dinding yang lebih tebal dari stadium
prakista dapat diwarnai dengan “methenamine silver” (Matsumoto dan Yoshida, 1986).
C. Stadium kista
Stadium ini merupakan bentuk diagnostik untuk pneumosistosis (Matsumoto dan Yoshida,
1986), juga diduga sebagai bentuk infektif pada manusia. Dengan mikroskop fase kontras, kista
mudah dilihat, bentuknya bulat dengan diameter 3,5 - 12 μ (kurang lebih 6 μ), mengandung 8
sporozoit atau trofozoit yang sedang berkembang (“intracystic bodies”)yang berdiameter 1 –
1,5μ. Sporozoit tersebut dapat berbentuk seperti buah peer, bulan sabit atau kadang – kadang
terlihat kista berdinding tipis dengan suatu massa di tengah yang homogen atau bervakuol. Kista
dan trofozoit mudah diwarnai dengan Giemsa atau dengan cara Gram – Weiger. Pewarnaan
dengan Giemsa baik untuk melihat bagian – bagian dari parasit. Kapsul berwarna ungu merah,
sitoplasma ungu dan inti ungu biru. Kista yang tidak mengambil warna dianggap sebagai kista
yang berdegenerasi. Untuk menemukan kista, pewarnaan yang paling cocok adalah Gomori –
Silver. Tapi dengan warna ini tidak mungkin diperiksa susunan dalam kista secara detail. Kista
dapat juga dilihat dengan teknik fluoresen dilabel dengan antibody (Arean, 1971).
Siklus hidup yang komplit dari Pneumocystis jiroveci belum sepenuhnya dimengerti, karena
organisme ini belum berhasil diisolasi secara in-vitro dan sangatlah sulit mengobservasi siklus
hidupnya hanya dari klinis. Secara umum siklus hidup dari berbagai variasi spesies
Pneumocystis digambarkan oleh John J. Ruffolo , Ph. D. (Cushion, MT, 1988) seperti pada
gambar berikut. Jamur ini ditemukan pada paru – paru mamalia tempat jamur ini tinggal tanpa
menyebabkan infeksi yang nyata sampai sistem imun hospes melemah. Hal inilah yang
kemudian menimbulkan pneumonia yang sering fatal (1,2,3,4,5,6,7,8,9).
Pneumocystis stages were reproduced from a drawing by Dr. John J. Ruffolo, South Dakota State University, USA published in Cushion M. Pneumocystis carinii. In: Collier L, Balows A, Sussman M, editors. Topley and Wilson's Microbiology and Microbial Infections: Volume 4 Medical Mycology, 9th ed. New York: Arnold Publishing; 1998. p.674.
Keterangan gambar :Fase aseksual : bentuk trofozoit (1) bereplikasi secara mitosis (2) ke (3).
Fase seksual : bentuk trofozoit yang haploid berkonjugasi (1) dan menghasilkan zigot (early cyst, kista muda)
yang diploid (2). Zigot membelah diri secara meiosis dan dilanjutkan dengan membelah diri secara mitosis untuk
menghasilkan 8 nukleus yang haploid(late phase cyst, kista stadium lanjut) (3). Kista stadium lanjut mengandung 8
sporozoit yang berisi spora yang kemudian akan keluar setelah terjadi ekskistasi (diyakini bahwa pelepasan spora
terjadi saat terjadi pembelahan pada dinding sel) (4). Stadium trofozoit, dimana organisme ini mungkin
berkembang biak melalui binary fission juga diketahui ada.
Patogenesis dan patologi
Pneumocystis jiroveci berada tersebar dimana –mana sehingga hampir semua orang telah pernah
terpapar dengan organisme ini bahkan sejak kanak – kanak sebelum berusia 4 tahun. Transmisi
Pneumocystis jiroveci dari orang ke orang diduga terjadi melalui “respiratory droplet infection”
(tertelan ludah) dan kontak langsung (Brown, 1975), dengan kista sebagai bentuk infektif pada
manusia. Kebanyakan peneliti menganggap transmisi terjadi dari orang ke orang melalui
inhalasi. Juga dilaporkan bahwa transmisi dapat terjadi secara “in utero” dari ibu kepada bayi
yang dikandungnya (Singer et al., 1975), namun dengan trofozoit sebagai bentuk infektifnya.
Masa inkubasi ekstrinsik ( = prepaten period) diperkirakan 20 -30 hari dengan durasi serangan
selama 1 – 4 minggu. Masih ada kontroversi apakah PCP muncul akibat reaktivasi infeksi laten
yang telah pernah didapat penderita sebelumnya atau karena paparan berulang dan reinfeksi
terhadap jamur ini. Namun diduga mekanisme infeksinya karena menjadi aktifnya infeksi laten
(Sheldon, 1959; Frenkel et al., 1966).
Organisme ini merupakan patogen ekstra seluler. Paru merupakan tempat primer infeksi,
biasanya melibatkan kedua bagian paru kiri dan kanan. Tetapi dilaporkan bahwa infeksi
Pneumocystis jiroveci bisa juga terdapat ekstrapulmonal yaitu di hati, limpa, kelenjar getah
bening dan sum – sum tulang (Jarnum et al., 1986; Barnet et al., 1969, Arean, 1971). Organisme
umumnya masuk melalui inhalasi dan melekat pada sel alveolar tipe I. Di paru, pertumbuhannya
terbatas pada permukaan surfaktan di atas epitel alveolar. Pneumocystis jiroveci berkembang
biak di paru dan merangsang pembentukan eksudat yang eosinofilik dan berbuih yang mengisi
ruang alveolar, mengandung histiosit, limfosit dan sel plasma yang menyebabkan kerusakan
ventilasi dalam paru sehingga menurunkan oksigenasi, interstisium menebal dan kemudian
fibrosis. Pada akhirnya hal ini mengakibatkan kematian karena kegagalan pernafasan akibat
asfiksia yang terjadi karena blokade alveoli dan bronchial oleh massa jamur yang berproliferasi
tadi. Pada autopsi ditemukan paru bertambah berat dan volumenya bertambah besar, pleura agak
menebal. Penampang irisan paru berwarna kelabu dan terlihat konsolidasi serta septum alveolus
yang jelas. Hiperplasia jaringan interstisial dan terinfiltrasi berat dengan sel mononukleus dan sel
plasma juga tampak. Karena itulah penyakitnya disebut “Pneumonia sel plasma interstisial”.
Dinding alveolus menebal dan alveolus berisi eksudat yang amorf dan eosinofilik – memberi
gambaran seperti sarang lebah (honeycomb appearance)-, yang mengandung histiosit dan
limfosit, sel plasma dan organisme itu sendiri.
Tetapi pneumonia pneumosistis pada penderita agammaglobulinemia atau dengan imunosupresi,
eksudat yang khas mungkin tidak ditemukan karena tidak ada limfosit B (Beaver et al., 1984).
Infeksi Pneumocystis jiroveci ditemukan dalam paru hospes dan biasanya terbatas di lumen
alveolus. Ada beberapa laporan yang menyatakan bahwa Pneumocystis jiroveci terdapat di dalam
kapiler alveolus, septum interalveolus interstisial dan sel epitel (Matsumoto dan Yoshida, 1986) (1,2,5,6,7,8).
Gejala klinis
Gejala klinis PCP meliputi triad klasik demam – yang tidak terlalu tinggi-, dispnoe – terutama
saat beraktivitas-, dan batuk non produktif. Progresivitas gejala biasanya perlahan, dapat
berminggu – minggu bahkan sampai berbulan – bulan. Semakin lama dispnoe akan bertambah
hebat, disertai takipnoe – frekwensi pernafasan meningkat sampai 90 – 120 x / menit -, sampai
terjadi sianosis. Pada pemeriksaan fisik diagnostik tidak dijumpai tanda yang spesifik. Saat
auskultasi dapat dijumpai ronki kering atau bahkan tidak dijumpai kelainan apapun.
Pada 2 – 6 % kasus, PCP dapat muncul dengan pneumothorax spontan. Pada pemeriksaan
radiologi paru terlihat gambaran yang khas berupa infiltrat bilateral simetris, mulai dari hilus ke
perifer, bisa meliputi seluruh lapangan paru. Daerah dengan kolaps, diselingi dengan daerah
yang emfisematosa menimbulkan gambaran seperti sarang tawon (“honey comb appearance”),
kadang – kadang terjadi emfisema mediastinal di pneumothorax (Juwono, 1987; Beaver et al.,
1984). Pada darah dijumpai kadar LDH (Lactate Dehidrogenase) yang tinggi - > 460 U / L – atau
Pa O2 (tekanan oksigen parsial arteri) < 75 mmHg. Lesi ekstra pulmoner jarang terjadi - < 3 % -,
namun dapat melibatkan limpa, hati, kelenjar getah bening dan sum – sum tulang.
Pada penderita anak – anak sehubungan dengan malnutrisi, onset penyakit berjalan perlahan,
dijumpai kegagalan tumbuh kembang (failure to thrive), yang akhirnya diikuti takipnoe dan
sianosis. Sedang pada penderita yang imunosupresif – anak mau pun dewasa-, onset penyakit
berjalan cepat (1,2,5,6,7,8,10,11).
Diagnosa
Diagnosa laboratorium sukar ditegakkan. Diagnosa pasti dilakukan dengan menemukan
Pneumocystis jiroveci pada sediaan paru atau bahan yang berasal dari paru, diantaranya :
1. Sediaan yang diperoleh dari induksi sputum
2. Sediaan yang diperoleh dari BAL (Broncho Alveolar Lavage) → dilakukan bila hasil induksi
sputum (-).
3. Sediaan dari biopsi paru
Pemeriksaan serologis PCR dari sediaan darah, serum dan aspirasi nasofaring → masih
diteliti lebih lanjut untuk dapat membedakan antara infeksi yang sedang berlangsung atau
infeksi yang sudah lalu.
Foto roentgen dada dapat menunjukkan gambaran abnormal seperti adanya gambaran
infiltrate interstisial bilateral difus pada daerah hilus(gbr. 2) Dapat juga terlihat gambaran
yang berbeda seperti nodul, kavitas, konsolidasi, pneumatocele dan pneumothorax.
Sebagai pemeriksaan laboratorium tambahan, analisa gas darah dapat menunjukkan
gambaran penurunan level O2 darah (1,3,4,5,6,10,11).
Chest radiograph demonstrating diffuse bilateral infiltrates in a patient with Pneumocystis carinii pneumonia.
Manajemen PCP
A. Pengobatan
Obat pilihan utama adalah kombinasi trimetoprim 20 mg/kg BB / hari + sulfametoksazol 100 mg
/kg BB / hari per oral, dibagi dalam 4 dosis dengan interval pemberian tiap 6 jam selama 12 – 14
hari. Obat alternatif lain (namun lebih toksik) adalah pentamidin isethionat, dosis 4 mg/ kg BB /
hari diberikan 1 x / hari secara IM atau IV selama 12 – 14 hari. Pentamidin isethionat biasanya
diberikan pada pasien yang tidak respon ataupun tidak dapat bertoleransi terhadap pemberian
kombinasi trimetoprim + sulfametoksazol.
Pemberian kemoterapi alternatif lain seperti trimetrexate + dapsone, trimetoprim + dapsone,
leucovorin + dapsone,clindamycin + primaquine dan atovaquone dapat dipertimbangkan, namun
saat ini masih digunakan sebatas untuk tujuan penelitian.
B. Profilaksis
Profilaksis umumnya diberikan pada pasien dengan immunodefisiensi / immunocompromized.
Pada penderita HIV / AIDS dengan CD4 count menurun hingga < 300, dianjurkan untuk
mengkonsumsi kemoprofilaksis PCP. Kemoprofilaksis biasanya berupa pemberian kombinasi
trimetoprim + sulfametoksazol, 150 dan 750 mg / m2 / hari, dibagi dalam 2 dosis dengan interval
pemberian tiap 12 jam. Pentamidin inhaler dalam bentuk aerosol dapat juga digunakan sebagai
alternatif lain kemoprofilaksis (1,6,7,8,9).
Prognosis
Prognosis kurang baik karena onset penyakit berjalan cepat pada penderita dengan
immunodefisiensi / immunocompromized. Bila PCP ditemukan pada penderita dengan
immunodefisiensi, persentase kematian dapat mencapai 100 %. Namun bila infeksi dapat
didiagnosa sedari dini dan diberikan terapi yang adekuat, persentase kematian dapat diturunkan
hingga 10 %. Sayang, sebagian besar kasus PCP bahkan baru terdiagnosa setelah pasien
meninggal dunia pada pemeriksaan autopsy (8,9,10,11).
Kesimpulan
PCP merupakan infeksi pada paru yang disebabkan oleh jamur Pneumocystis jiroveci. Infeksi ini
sering terjadi pada penderita dengan immunodefisiensi, misalnya: pada penderita HIV / AIDS,
ALL (Acute Lymphocytic Leucemia), maupun pada pasien yang mendapat terapi kortikosteroid.
Transmisi orang ke orang diduga terjadi melalui “respiratory droplet infection” dan kontak
langsung. Kebanyakan peneliti menganggap transmisi terjadi melalui inhalasi. Diduga
mekanisme infeksinya karena menjadi aktifnya infeksi laten. Gejala klinis PCP meliputi triad
klasik demam – yang tidak terlalu tinggi-, dispnoe – terutama saat beraktivitas-, dan batuk non
produktif. Semakin lama dispnoe akan bertambah hebat, disertai takipnoe, sampai terjadi sianosis
dan gagal nafas.
Diagnosa pasti dilakukan dengan menemukan Pneumocystis jiroveci pada sediaan paru atau
bahan yang berasal dari paru, yang diperoleh melalui induksi sputum, BAL (Broncho Alveolar
Lavage) maupun biopsi paru. Pada pemeriksaan radiologi paru dapat terlihat gambaran infiltrate
bilateral simetris dan “ honeycomb appearance”. Pada darah dijumpai kadar LDH yang
meninggi, > 460 U/ L atau Pa O2 < 75 mmHg. Oleh karena onset penyakit berjalan cepat pada
penderita dengan immunodefisiensi, maka prognosis PCP kurang baik dan infeksinya dapat fatal
dengan terjadinya gagal nafas.
Untuk itu diperlukan diagnosa dini dan terapi yang adekuat untuk mengurangi persentase
mortalitas penyakit ini. Pada pasien dengan immunodefisiensi, misalnya: penderita HIV / AIDS
dengan CD4 count menurun hingga < 300, dianjurkan untuk mengkonsumsi regimen
kemoprofilaksis kombinasi trimetoprim + sulfametoksazol (atau pentamidin inhaler sebagai
alternatif lain) untuk mencegah infeksi PCP.
Kepustakaan :
1. Sisirawaty, et al. Beberapa Aspek Pneumocystis Carinii. Seminar Parasitologi
Nasional V. 1989.
2. Shulman ST, et al. Indonesian edition : Dasar Biologis & Klinis Penyaki Infeksi. 4th.
ed. Yogyakarta. Gadjah Mada University Press. 1994 : 436 – 46.
3. Brooks GF, Butel JS, Ornston LN. Indonesian edition : Jawetz, Melnick & Adelberg
Mikrobiologi Kedokteran. Ed. 20. EGC. 1996 : 632 – 3.
4. Hutagalung SV, PNEUMOCYSTIS CARINII PNEUMONIA, suatu infeksi opotunistik.
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. 2008.
5. Pneumocystis infection (Pneumocystis jirovecii). Available at :
http://www.dpd.cdc.gov/dpdx/HTML/Pneumocystis.htm.
6. Wilkin A, Feinberg J. Pneumocystis carinii Pneumonia : A Clinical Review.
Available at: http://www.aafp.org/afp/991015ap/1699.html.
7. Pneumocystis pneumonia (PCP). Available at :
http://www.aidsinfonet.org/factsheet_detail.php?fsnumber=515&newLang=en.
8. Lung Parasites Incertae Sedis : Pneumocystis jiroveci (P. carinii). Available at :
http://www.cdfound.to.it/HTML/lung.htm.
9. Molecular Epidemiology of Pneumocystis carinii Pneumonia. Emerging Infectious
Diseases vol. 2 number 2. Available at :
http://www.cdc.gov/incidod/eid/vol2no2/beard.htm.
10. Pneumocystis carinii Pneumonia : Infectious Diseases. Available at :
http://www.pennhealth.com/article/000671.htm.
11. Pneumocystis jirovecii Pneumonia Overview of PCP. Available at :
http://emedicine.medscape.com/article/225976-overview.
Recommended