View
1
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
Menganalisis REDD+Sejumlah tantangan dan pilihan
Disunting oleh Arild Angelsen
Disunting bersama oleh Maria Brockhaus William D. Sunderlin Louis V. Verchot
Asisten redaksi Therese Dokken
© 2013 Center for International Forestry Research.Hak cipta dilindungi oleh Undang-Undang
Dicetak di IndonesiaISBN: 978-602-1504-01-7
Angelsen, A., Brockhaus, M., Sunderlin, W.D. dan Verchot, L.V. (ed.) 2013 Menganalisis REDD+: Sejumlah tantangan dan pilihan. CIFOR, Bogor, Indonesia.
Terjemahan dari: Angelsen, A., Brockhaus, M., Sunderlin, W.D. and Verchot, L.V. (eds) 2012 Analysing REDD+: Challenges and choices. CIFOR, Bogor, Indonesia.
Penyumbang foto:Sampul © Cyril Ruoso/Minden PicturesBagian: 1. Habtemariam Kassa, 2. Manuel Boissière, 3. Douglas SheilBab: 1 dan 10. Yayan Indriatmoko, 2. Neil Palmer/CIAT, 3. dan 12. Yves Laumonier, 4. Brian Belcher, 5. Tony Cunningham, 6. dan 16. Agung Prasetyo, 7. Michael Padmanaba, 8. Anne M. Larson, 9. Amy Duchelle, 11. Meyrisia Lidwina, 13. Jolien Schure, 14. César Sabogal, 15. Ryan Woo, 17. Edith Abilogo, 18. Ramadian Bachtiar
Desain oleh Tim Multimedia CIFORKelompok pelayanan informasi
CIFORJl. CIFOR, Situ GedeBogor Barat 16115Indonesia
T +62 (251) 8622-622F +62 (251) 8622-100E cifor@cgiar.org
cifor.orgForestsClimateChange.org
Pandangan yang diungkapkan dalam buku ini berasal dari penulis dan bukan merupakan pandangan CIFOR, para penyunting, lembaga asal penulis atau penyandang dana maupun para peninjau buku.
Center for International Forestry ResearchCIFOR memajukan kesejahteraan manusia, konservasi lingkungan dan kesetaraan melalui penelitian yang berorientasi pada kebijakan dan praktik kehutanan di negara berkembang. CIFOR merupakan salah satu Pusat Penelitian Konsorsium CGIAR. CIFOR berkantor pusat di Bogor, Indonesia dengan kantor wilayah di Asia, Afrika dan Amerika Selatan.
5Bab
• Diperlukan empat prasyarat untuk mengatasi berbagai rintanganpolitik‑ekonomi dalam usaha mencapai pengurangan emisi melaluiREDD+: i) otonomi relatif negara/bangsa terhadap kepentingan yangmendorong deforestasi dan degradasi hutan, ii) pengakuan atau rasamemiliki nasional atas proses‑proses kebijakan REDD+, iii) proseskebijakanREDD+yanginklusif,daniv)adanyakoalisiyangmenyerukanperubahantransformatif.
• MerumuskandanmelaksanakanstrateginasionalREDD+adalahhalyangsangatmenantangbaginegara‑negaradimanaparapelakuinternasionalmerupakankekuatanpemicusatu‑satunyabagiproseskebijakanREDD+.
• Koalisibaruyangmampumemutuskanketergantungankelembagaandanlangkahpolitikmembutuhkanpartisipasikalanganelitedimasing‑masingnegara dan keterlibatan para pelaku bisnis untukmemengaruhi agendapolitiksecarasignifikan.
5.1 PengantarBab ini menyajikan analisis proses kebijakan perumusan dan usulanimplementasi strategi REDD+ di tingkat nasional (dan federal) di tujuhnegara:Bolivia,Brasil,Kamerun,Indonesia,Nepal,PerudanVietnam.Dengan
Politik dan kekuasaan dalam proses kebijakan REDD+Monica Di Gregorio, Maria Brockhaus, Tim Cronin dan Efrian Muharrom
Melaksanakan REDD+80 |
menggunakanlensaekonomi‑politik,kamimengidentifikasikendala‑kendalautamadalamperumusankebijakanyang efektif.Mulaidari pemicuutamadeforestasi dan konteks khusus masing‑masing negara, pertama kamimengidentifikasi ciri‑ciri utamadalamproses kebijakannasional, termasukkondisistruktural,pelaku‑pelakukebijakanyangmemegangperandominandan berbagai proses yang membantu atau menghambat pengembangankebijakan‑kebijakanREDD+yangefektif,efisiendanberkesetaraan.TentunyaiklimnegosiasiinternasionalmemengaruhiproseskebijakannasionaltentangREDD+, namun dalam bab ini kami tidak membahas hubungan antarakeduanya,tetapimemfokuskanpembahasanpadatingkatnasional.
Negara‑negara yang terlibat dalam pengembangan kebijakan REDD+mengalami kemajuan dengan kecepatan yang berbeda dan terlibat denganderajatyangberbedadalamkerjasamamultilateralmaupunbilateraluntukdesain kebijakanREDD+, denganpenekanan khusus pada pengembangankapasitas (Bab 3). Rezim politik negara‑negara ini beragam, mulai daripemerintahan demokrasi sampai ke pemerintahan otoriter. Seperti bisadidugarezimdemokratismenghadirkanproseskebijakanyanglebihterbukadaninklusif(JohannsendanPedersen2008).Disemuanegara,adabanyakpelaku,baikditingkatsubnasional,nasionaldaninternasionalyangterlibatdalam proses kebijakan nasional REDD+ (Hiraldo dan Tanner 2011a).Pertentangan politik selalu berada di jantung setiap proses kebijakan, danarenakebijakanREDD+tidakterkecuali.
Masing‑masing dari tujuh negara yang diteliti tersebut telah mengalamiberbagai peristiwadimanakebijakanutamanya terkait denganperumusankebijakanREDD+ (Gambar5.1).Keluaranutamakebijakanberhubungandengan pembentukan lembaga‑lembaga baru, prosedur dan peningkatankapasitasyangterkaitdenganberbagaikegiatankesiapan(readiness),sementaraperumusan kebijakan dan pelaksanaan konkret sampai sekarang masihterbatas.Secarakeseluruhan,lambatnyakemajuanmungkinmencerminkanketerlambatan dalammemperoleh pembiayaan dari negosiasi iklim global,tetapiperebutankekuasaandikancahdomestik jugabisamerupakan salahsatupenyebabnya.
Bab inimenggunakan kerangka analisis ekonomi politik, yang didasarkanpadakerangka‘4I’yangdiuraikandalamBab2:”institutions, interests, ideas and information” (kelembagaan, kepentingan, gagasan dan informasi) dengan fokus khusus padatigahalpertama.Kamimenyelidikibagaimanaterjadinyakebergantungan kelembagaan dan langkah politik, kepentingan‑kepentinganyang mendorong pelaku deforestasi dan degradasi hutan, dan bagaimanagagasan‑gagasanmerekaditerjemahkankedalampraktik‑praktikpewacanaan(Gambar5.2).Semuafaktorinimemengaruhikekuatankoalisidominanyangmemungkinkanataumembatasiperubahantransformatifdalamarenakebijakan
| 81Politik dan kekuasaan dalam proses kebijakan REDD+
ini.Kamimendefinisikanperubahantransformatifsebagaiperubahandalamsikap,wacana,hubungankekuasaandantindakanterarah(kebijakandan/atauprotes)yangdiperlukanuntukmengarahkanperumusandan implementasikebijakanmenjauh dari pendekatan kebijakan bisnis‑seperti‑biasa (business as usual) dan bergerak mendukung (secara langsung atau tidak langsung)penguranganemisidarideforestasidandegradasihutansertapeningkatanstokkarbonhutan(Bab2).Kamiberpendapatbahwaadaempatprasyaratyangdiperlukan guna mendorong perubahan transformatif: i) otonomi tingkattinggibaginegaravis‑à‑viskepentinganekonomiyangkuatyangmendorongdeforestasidandegradasihutandalamhalprasyaratkelembagaandanpolitisyang diperlukan; ii) kepemilikan pemerintah nasional atas proses‑proseskebijakanREDD+;iii)pelibatanparapemangkukepentingandalamproseskebijakanREDD+,daniv)dalamhaldinamikakebijakandiperlukanadanyakoalisi dominan yang inginmenghentikan berlangsungnya praktik‑praktikbisnis‑seperti‑biasa(Gambar5.2).
5.2 MetodeAnalisis berikut ini didasarkan pada temuan dari dua modul penelitiankomponenanalisiskebijakandariStudiKomparatifGlobal(GCS)REDD+yangsedangberlangsungdibawahpimpinanCIFOR(lihatLampiran).
Modulpertamaadalahanalisis kebijakanyangmenelitikontekspolitikdimanastrategi‑strateginasionalREDD+sedangdikembangkandanmengidentifikasialur‑ketergantungan yang mungkin terjadi dan penghambat pelaksanaanREDD+.Fokusutamanyaadalahkondisipolitik‑ekonomi,kelembagaandantata keloladimasing‑masingnegara.Penelitiandi setiapnegaramencakupdesktop research,wawancaraparapakardantelaahdokumenkebijakan.
Modulkeduaadalahanalisis mediatentangwacanakebijakan,yangmenelitikomposisi arena kebijakan, pernyataan posisi (sikap pendirian) parapelakuutamadanpotensi pembentukankoalisi gunamencapai perubahantransformatif. Kami menyoroti bagaimana media menyajikan perdebatanREDD+ dan membandingkan wacana dominan dengan kontra‑wacana(Hajer1995;Boykoff2008).Bingkai mediaadalah“polakognisi,interpretasi,dan presentasi, seleksi, penekanan pengecualian yang digunakan olehpewacanasecararutinmembingkaiwacananya”(Gitlin1980:7).Penetapaantemadananalisissistematisterhadapbingkaimediamengidentifikasipelakuutamayangmendukungbingkaiyangdihadirkandalamartikel‑artikel,sikapmerekaterhadapREDD+danpraktik‑praktikwacanayangmerekalakukan.Dalamanalisisinidisertakanartikel‑artikeldaritigasuratkabarbesarditingkatnasional dariDesember 2005 hinggaDesember 2009.Analisis komparatifdidasarkanpadadatamediayangdikumpulkandalamsebuahstudikasus.
Melaksanakan REDD+82 |
Peristiwa Internasional
Bolivia
Brasil
Kamerun
Indonesia
Nepal
Vietnam
Peru
Desember 2007Peluncuran fasilitas Carbon Partnership oleh Bank Dunia/World bank
Maret 2007Pembentukan komite politik dan teknik REDD+(memulai kesiapan REDD+, R-PIN, dll.)
Juni 2007Peraturan negaratentang CC dan
2007Komite antarkementerian di tingkat federal mengenai perubahan iklim
Juli 2008Penyerahan R-PIN Kamerun kepada FCP
Januari 2009Keputusan No 09/minep–pembentukan panitiapengarah Kamerun REDD
Desember 2008Peraturan Kementerian Kehutanan68/2008 tentang REDD DA
April 2009Penyelesaian R-PP
Januari 2009• Pembentukan Sel REDD• Penyusunan kelompok kerja
REDD
Juli 2008Penetapan DNPI
Juli 2008R-PIN disetujui
Mei 2008Pondasi kelompok REDD
May 2009Pembentukan kelompok teknis REDD di dalam dewan nasional tentang
Desember 2009Pengumuman penguranganjumlah total deforestasisampai 0% pada 2021
Maret 2010Diterima sebagai negara pilot
September 2009Kelompok kerja teknis dan jaringannasional REDD
Oktober 2008Keputusan Perdana Menteri 380/qd-t tg tentang PES
Juli 2009Fase 1 program Vietnam PBB-REDD
Maret 2010Strategi Nasional REDD+
April 2011Lokakarya nasional “krisis iklim, REDD+ dan REDDpenduduk asli ” dan deklarasi Quitos
July 2011Hukum nasional yang baru tentang hutan disetujui (peraturan-peraturan
Juli 2010Usulan amandemen Undang-undang Kehutanan 1993
September 2009Komitmen Indonesia dengan target emisi 26% di pertemuan G-20
September 2011Instruksi Presiden no. 61/2011 tentang Rencana Nasional untuk Mengurangi GRK
Mei 2009Keputusan Kementerian Kehutanan36/2009 tentang ijin pemencilan karbon
September 2009Pengesahan dokumen pertemuan tentang posisi Kamerun dalam CC
Desember 2009Dekrit Presiden tentang pengamatan nasional akan perubahan iklim
Desember 2009Pertemuan umpan balik tentang partisipasi di konferensi Kopenhagen
Mei 2010Surat Pernyataan Minat antaraIndonesia dan Norwegia
Mei 2011Instruksi Presiden 10/2011 tentangmoratorium ijin baru
Desember 2009Pertemuan Kabinet di Kalapathar, di dekat base camp Mount Everest
Maret 2011R-PP disetujui oleh fcpf
Juli 2011Penyerahan kerangkakerja nasional MRV
Januari 2011Penetapan NRS dan VRO
Oktober 2010PFES dekrit pemerintah
Desember 2008NTP-RCC
Juli 2007Pakta “zerodeforestation”/deforestasi Nol
Agustus 2008Dana Amazon
Juni 2009Surat tocantins mengenai “forum gubernur wilayah amazona
Oktober 2009Partisipasi penduduk Brasil dalamCOP-15 (pertemuan antarmenteri dengan Presiden Lula)
Juli 2009Lokakarya konsultasi formulasistrategi perubahan hutan dan iklim
2011Formulasi strategi nasionalREDD+ oleh komite
2010Regulasi NPCC dan tujuan umum ekonomidari 2 Gt reduksi emisi sampai tahun 2020
2010Dialog berbagai pelaku mengenaistrategi nasional REDD+
2009NPCC dan komitmen sukarela 80%REDD di Amazon dan 40% di Cerrado
Desember 2010Persetujuan antara PBB dan pemerintah Boliviamengenai PBB REDD+ Bolivia
April 2010Konferensi ‘World peoples’ mengenai perubahan iklim
September 2007Pertemuan Forest 11 di New York
May 2010Kemitraan sementara REDD+
Desember 2008COP14 di Poznań
Desember 2009COP15 di Kopenhagen
November/Desember 2010COP16 di Cancun
Desember 2011COP17 di Durban
Desember 2007COP13 di Bali
2007 20112008 2009 2010
September 2008Peluncuran program PBB-REDD
antarkementerian
PES Amazona
perubahan iklim
dan norma-norma masih ditunda)
Gambar 5.1 Peristiwa/kegiatan/Peristiwa kebijakan REDD+ oleh negara
| 83Politik dan kekuasaan dalam proses kebijakan REDD+
Peristiwa Internasional
Bolivia
Brasil
Kamerun
Indonesia
Nepal
Vietnam
Peru
Desember 2007Peluncuran fasilitas Carbon Partnership oleh Bank Dunia/World bank
Maret 2007Pembentukan komite politik dan teknik REDD+(memulai kesiapan REDD+, R-PIN, dll.)
Juni 2007Peraturan negaratentang CC dan
2007Komite antarkementerian di tingkat federal mengenai perubahan iklim
Juli 2008Penyerahan R-PIN Kamerun kepada FCP
Januari 2009Keputusan No 09/minep–pembentukan panitiapengarah Kamerun REDD
Desember 2008Peraturan Kementerian Kehutanan68/2008 tentang REDD DA
April 2009Penyelesaian R-PP
Januari 2009• Pembentukan Sel REDD• Penyusunan kelompok kerja
REDD
Juli 2008Penetapan DNPI
Juli 2008R-PIN disetujui
Mei 2008Pondasi kelompok REDD
May 2009Pembentukan kelompok teknis REDD di dalam dewan nasional tentang
Desember 2009Pengumuman penguranganjumlah total deforestasisampai 0% pada 2021
Maret 2010Diterima sebagai negara pilot
September 2009Kelompok kerja teknis dan jaringannasional REDD
Oktober 2008Keputusan Perdana Menteri 380/qd-t tg tentang PES
Juli 2009Fase 1 program Vietnam PBB-REDD
Maret 2010Strategi Nasional REDD+
April 2011Lokakarya nasional “krisis iklim, REDD+ dan REDDpenduduk asli ” dan deklarasi Quitos
July 2011Hukum nasional yang baru tentang hutan disetujui (peraturan-peraturan
Juli 2010Usulan amandemen Undang-undang Kehutanan 1993
September 2009Komitmen Indonesia dengan target emisi 26% di pertemuan G-20
September 2011Instruksi Presiden no. 61/2011 tentang Rencana Nasional untuk Mengurangi GRK
Mei 2009Keputusan Kementerian Kehutanan36/2009 tentang ijin pemencilan karbon
September 2009Pengesahan dokumen pertemuan tentang posisi Kamerun dalam CC
Desember 2009Dekrit Presiden tentang pengamatan nasional akan perubahan iklim
Desember 2009Pertemuan umpan balik tentang partisipasi di konferensi Kopenhagen
Mei 2010Surat Pernyataan Minat antaraIndonesia dan Norwegia
Mei 2011Instruksi Presiden 10/2011 tentangmoratorium ijin baru
Desember 2009Pertemuan Kabinet di Kalapathar, di dekat base camp Mount Everest
Maret 2011R-PP disetujui oleh fcpf
Juli 2011Penyerahan kerangkakerja nasional MRV
Januari 2011Penetapan NRS dan VRO
Oktober 2010PFES dekrit pemerintah
Desember 2008NTP-RCC
Juli 2007Pakta “zerodeforestation”/deforestasi Nol
Agustus 2008Dana Amazon
Juni 2009Surat tocantins mengenai “forum gubernur wilayah amazona
Oktober 2009Partisipasi penduduk Brasil dalamCOP-15 (pertemuan antarmenteri dengan Presiden Lula)
Juli 2009Lokakarya konsultasi formulasistrategi perubahan hutan dan iklim
2011Formulasi strategi nasionalREDD+ oleh komite
2010Regulasi NPCC dan tujuan umum ekonomidari 2 Gt reduksi emisi sampai tahun 2020
2010Dialog berbagai pelaku mengenaistrategi nasional REDD+
2009NPCC dan komitmen sukarela 80%REDD di Amazon dan 40% di Cerrado
Desember 2010Persetujuan antara PBB dan pemerintah Boliviamengenai PBB REDD+ Bolivia
April 2010Konferensi ‘World peoples’ mengenai perubahan iklim
September 2007Pertemuan Forest 11 di New York
May 2010Kemitraan sementara REDD+
Desember 2008COP14 di Poznań
Desember 2009COP15 di Kopenhagen
November/Desember 2010COP16 di Cancun
Desember 2011COP17 di Durban
Desember 2007COP13 di Bali
2007 20112008 2009 2010
September 2008Peluncuran program PBB-REDD
antarkementerian
PES Amazona
perubahan iklim
dan norma-norma masih ditunda)
Melaksanakan REDD+84 |
Alur-kebergantungan politik dan lembaga• pengaturan kelembagaan (terutama yang terkait dengan penggunaan lahan)• kebijakan masa lalu yang mendukung atau yang menentang REDD+• Tingkat inklusi dalam proses politik
Proses kebijakanKoalisi politik, kerja sama atau
perlawanan terhadap gerak maju, dari:
Bisnis-seperti-biasa• Raupan negara oleh sektor DD• rendahnya inklusifitas dalam
proses kebijakan• pelaku internasional
mendominasi proses kebijakan nasional
Perubahan transformatif• otonomi negara terlepas dari
sektor DD • proses kebijakan inklusif• negara memimpin proses
* DD: deforestasi dan degradasi hutan
Pemangku kepentingan• sektor-sektor yang
mendorong DD*• negara: tingkat otonomi• masyarakat madani• para pelaku internasional
Gagasan-gagasan pelaku• keyakinan dan ideologi• model pengembangan
Gambar 5.2 Kerangka kerja politik‑ekonomi
5.3 Konteks kelembagaan, alur‑kebergantungan dan kepentingan‑kepentinganFaktor‑faktor yang menghambat perubahan transformatif ditentukan olehinteraksitatanankelembagaan,kebijakan‑kebijakanterdahuludankonsolidasiberbagai kepentingan yang beroperasi di sektor‑sektor pemicu deforestasidan degradasi hutan. Berbagai faktor ini bersama‑sama membangunalur‑kebergantungan yang sulit diatasi. Beberapa penyebab deforestasi dandegradasi telah disorot dalam kepustakaan, yang berkisar dari penyebablangsungsepertiperluasanpertanianbaikskalabesarmaupunkecil,sampaikepemicutidaklangsungsepertikebijakannegaradankepentinganbisnisbesar,baikdidalammaupundiluarsektorkehutanan(Rudel2007;Brockhausdkk.2012). Insentif ekonomiyangkuat seringadadibalikpemicuyangpalingrelevan, biasanya hal ini saling memperkuat atau berlangsung bersamaan(Lambindkk.2001).
| 85Politik dan kekuasaan dalam proses kebijakan REDD+
Perubahan transformatif membutuhkan adanya negara yang otonom darisektor‑sektor pemicu deforestasi dan degradasi hutan dan bekerja bagikepentinganmasyarakatumum(KarsentydanOngolo2012).Otonominegaramengacu pada sejauh mana pelaku penyelenggara negara dapat membuatberbagaikeputusankebijakanyangindependendariberbagaisektor.Bentukotonomiyangdimilikiadalahprodukdarisejarahspesifiksuatunegara.Negaraharusmampumenahantekananlobidariberbagaisektoryangmendapatkankeuntungandarieksploitasihutandanperubahantatagunalahansehinggamemungkinkanterjadinyaperubahantransformatif.Namunotonomiharusberjalanseiringdenganproseskebijakaninklusifyangditerjemahkankedalambentukotonomiyangsudahada(Evans1995).Semakininklusifsuatusistempolitik,semakinbesarkemungkinannegaramelayanimasyarakatyanglebihluas, karena berbagai tuntutan kepentingan‑kepentingan yang lebih lemah(sepertimasyarakatsipil)terwakilisecaralebihbaikdalamsistempolitikyangotonom(Jenkins1995).
Adabuktikuatmengenaikurangnyaotonominegaravis‑à‑vis sektor‑sektoryangmendorongdeforestasidandegradasihutan.Adanyakolusidankorupsi,ataulemahnyatatakelolahutan,dipandangsebagaitantanganutamadalampengembangandanpelaksanaankebijakanREDD+yangefektif(Kanninendkk. 2007). Pembalakan liar dan tidak adanya penegakan hukum umumterjadidibanyaknegaraberhutantropis(Brack2005).Analisisyangsedangberlangsungmenunjukkan adanyahubungankuat antara tatakelolahutandan kondisi pemerintahan secara umum serta dampaknya bagi proseskebijakanREDD+(WRI2009).
Analisis berikut ini mempertimbangkan empat kondisi utamapolitik‑ekonomidankelembagaan:i)pemicuutamadeforestasi,yangmewakilikepentingan‑kepentingan bisnis‑seperti‑biasa; ii) berbagai kebijakan yangmemungkinkanataumenghambattujuanREDD+dantatanankelembagaanyangterkait;iii)otonominegaravis ‑à‑vispelakuekonomiyangmendorongterjadinyadeforestasidandegradasihutan,daniv)tingkatinklusivitasproseskebijakan(Tabel5.1).
Kondisipertamamengacupadaberbagaikegiatanyangmemicu deforestasi dan degradasi hutan.Perluasanpertanian,termasukpeternakanadalahpenyebabutama deforestasi, meskipun dampak relatif pertanian skala besar versusskalakecildanpertaniansubsistensangatbervariasi.Pemiculainnyaadalahpenebanganhutan,pertambangandanpembangunaninfrastruktur(Tabel5.1).Karenaitu,agardapatmengatasideforestasidandegradasihutansecaraefektif,paraperumuskebijakanperlumengidentifikasikendala‑kendalautamadalamkebijakan kehutanan, pertanian, peternakan dan sektor pertambangan danmenyusun struktur insentif baru (lihat Tabel 5.1 diskusi tentang Brasil).Tingginyarenteataukeuntunganekonomidiberbagaisektor inimembuat
Melaksanakan REDD+86 |Ta
bel 5
.1 B
erba
gai p
emic
u de
fore
stas
i, ke
bija
kan‑
kebi
jaka
n ya
ng m
enen
tang
ata
u ya
ng m
endu
kung
RED
D+
dan
oton
omi p
ara
peny
elen
ggar
a ne
gara
Neg
ara
Pem
icu
defo
rest
asi
dan
degr
adas
i hu
tan
Kebi
jaka
n‑ke
bija
kan
yang
be
rten
tang
an d
enga
n tu
juan
RED
D+
Kebi
jaka
n‑ke
bija
kan
yang
m
endu
kung
RED
D +
Kura
ngny
a ot
onom
i ata
u ke
mun
gkin
an m
anfa
at
yang
din
ikm
ati o
leh
kepe
ntin
gan‑
kepe
ntin
gan
khus
us
Kate
gori
nila
i de
mok
rasi
(in
deks
)*
Ting
kat
sent
ralis
asi
Bras
ilPe
tern
akan
; pe
rtan
ian
(ska
la
besa
r dan
kec
il);
infr
astr
uktu
r; te
bang
pili
h hu
tan;
pe
rtam
bang
an;
pene
bang
an
sele
ktif;
keb
akar
an
Kred
it pe
desa
an u
ntuk
pe
tern
akan
sap
i (m
eski
pun
lebi
h te
rbat
as d
iban
ding
kan
sebe
lum
nya)
ata
u pe
mba
ngun
an in
fras
truk
tur
(jala
n da
n be
ndun
gan)
; le
mah
nya
pene
gaka
n pe
ratu
ran
hak
guna
laha
n?
Pers
yara
tan
atur
an k
onse
rvas
i hu
tan
atas
tana
h pr
ibad
i; m
enin
gkat
kan
pene
gaka
n ke
bija
kan
tata
gun
a la
han
(ter
mas
uk k
awas
an d
ilind
ungi
); zo
na e
kono
mi d
an e
kolo
gi;
usah
a‑us
aha
sert
ifika
si le
galit
as
prod
usen
dal
am m
ata
rant
ai
perd
agan
gan
(dag
ing
sapi
, ke
dela
i); p
rose
s pe
ngat
uran
la
han
dan
tata
bat
as la
han
pend
uduk
asl
i; pe
man
taua
n de
fore
stas
i ses
uai w
aktu
te
rjadi
nya
Men
enga
h‑tin
ggi (
spek
ulas
i la
han;
teba
ng‑li
ar;
pete
rnak
an; p
engh
inda
ran
paja
k; p
enye
lund
upan
ob
at te
rlara
ng; h
ubun
gan
patr
on‑k
lien;
kam
pany
e pe
milu
)
Dem
okra
si
yang
cac
at
(7.1
2)
Sist
em fe
dera
l
Peru
Pert
ania
n (b
iasa
nya
skal
a ke
cil);
in
fras
truk
tur;
pene
bang
an li
ar;
pert
amba
ngan
Rezi
m p
ajak
dan
keb
ijaka
n ya
ng m
endu
kung
mig
rasi
da
n pe
rluas
an p
erta
nian
; pr
oyek
‑pro
yek
infr
astr
uktu
r ja
lan
(min
yak,
bio
fuel
) da
n lis
trik
tena
ga a
ir);
duku
ngan
eks
pans
i pe
rtam
bang
an; k
uran
gnya
ke
bija
kan
lingk
unga
n da
n ke
bija
kan
pem
bang
unan
be
rkel
anju
tan
di A
maz
on.
Ley
2976
3 le
y fo
rest
al y
de
faun
a si
lves
tre
(und
ang‑
unda
ng
huta
n ba
ru d
an k
ehid
upan
lia
r) te
lah
dise
tuju
i tet
api
belu
m s
epen
uhny
a di
jala
nkan
; pe
rjanj
ian
daga
ng P
eru–
AS;
pe
rjanj
ian
perd
agan
gan
beba
s de
ngan
Chi
na te
ntan
g pe
rlind
unga
n hu
tan
dan
lingk
unga
n; p
erja
njia
n da
gang
Per
u–EU
(RED
D+,
se
rtifi
kasi
hut
an, p
enge
lola
an
huta
n le
star
i); le
y 29
785
ley
de c
onsu
lta p
revi
a (h
ukum
pr
ior c
onsu
ltatio
n); p
rogr
am
kons
erva
si h
utan
nas
iona
l
Men
enga
h‑tin
ggi (
koru
psi
para
peg
awai
sip
il da
n pr
ofes
iona
l); k
arte
l be
rkek
uata
n be
sar y
ang
men
duku
ng te
bang
liar
, pr
oduk
si c
oca
dan
koka
in d
an
pena
mba
ngan
liar
Dem
okra
si
yang
cac
at
(6.5
9)
Sent
ralis
asi
| 87Politik dan kekuasaan dalam proses kebijakan REDD+
Neg
ara
Pem
icu
defo
rest
asi
dan
degr
adas
i hu
tan
Kebi
jaka
n‑ke
bija
kan
yang
be
rten
tang
an d
enga
n tu
juan
RED
D+
Kebi
jaka
n‑ke
bija
kan
yang
m
endu
kung
RED
D +
Kura
ngny
a ot
onom
i ata
u ke
mun
gkin
an m
anfa
at
yang
din
ikm
ati o
leh
kepe
ntin
gan‑
kepe
ntin
gan
khus
us
Kate
gori
nila
i de
mok
rasi
(in
deks
)*
Ting
kat
sent
ralis
asi
Indo
nesi
aPe
rtan
ian
(ska
la
besa
r men
caku
p pe
nana
man
hut
an
sepe
rti h
utan
ke
lapa
saw
it,
pert
ania
n sk
ala
keci
l da
n su
bsis
tem
); pe
neba
ngan
; pe
rtam
bang
an
Kete
rgan
tung
an p
ajak
pad
a hu
tan
dan
pert
amba
ngan
; be
bas
paja
k ha
sil h
utan
, pr
oduk
per
tani
an, p
ulp
dan
kert
as, i
zin
pert
amba
ngan
di
kaw
asan
lind
ung,
ko
nses
i fisk
al d
an n
on‑fi
skal
un
tuk
peng
emba
ngan
pe
rusa
haan
mak
anan
dan
en
ergi
, pen
gem
bang
an
biof
uel,
alok
asi l
ahan
unt
uk
perk
ebun
an k
elap
a sa
wit
Mor
ator
ium
pem
beria
n iz
in
baru
dan
per
baik
an h
utan
al
am u
tam
a se
rta
peng
atur
an
laha
n ga
mbu
t (m
eski
pun
dian
ggap
seb
agai
keb
ijaka
n ya
ng le
mah
kar
ena
besa
rnya
pe
ngar
uh p
engu
saha
terh
adap
pe
mer
inta
h)
Men
enga
h‑tin
ggi (
teka
nan
dari
perk
ebun
an s
kala
bes
ar
dan
pene
bang
an, p
ulp
dan
kert
as, p
erta
mba
ngan
dan
ka
mpa
nye
pem
ilu)
Dem
okra
si
yang
cac
at
(6.5
3)
Des
entr
alis
asi
dise
rtai
ad
anya
ke
tega
ngan
Boliv
iaPe
rtan
ian
(ska
la
keci
l dan
bes
ar);
kolo
nisa
si d
an
prod
uksi
ked
elai
; pe
mba
ngun
an
infr
astr
uktu
r; pe
neba
ngan
(ile
gal);
pe
rtam
bang
an
Inse
ntif
polit
ik d
an e
kono
mi
di s
ekto
r per
tani
an
(agr
ibis
nis
kede
lai d
an
tebu
), pr
oyek
‑pro
yek
infr
astr
uktu
r yan
g ak
an
data
ng (j
alan
, ben
dung
an),
duku
ngan
unt
uk k
olon
isas
i A
maz
on U
tara
Peni
ngka
tan
pem
anta
uan
pene
bang
an li
ar d
i kaw
asan
hu
tan,
pen
gaku
an p
enin
gkat
an
hak
kepe
mili
kan
loka
l, ke
rang
ka
huku
m te
ntan
g pe
ngel
olaa
n hu
tan
lest
ari,
dese
ntra
lisas
i pe
ngel
olaa
n hu
tan
Rend
ah (p
eneb
ang
liar
men
yuap
pol
isi k
ehut
anan
da
n po
lisi l
alu‑
linta
s, te
tapi
ha
nya
ada
sedi
kit b
ukti
bahw
a ha
l ini
mel
ibat
kan
pem
erin
tah
nasi
onal
)
Rezi
m h
ibrid
(5
.84)
Des
entr
alis
asi
Nep
alPe
rtan
ian;
pe
neba
ngan
lia
r; re
sett
lem
ent;
infr
astr
uktu
r; ke
baka
ran
Mod
erni
sasi
per
tani
an d
an
pem
bang
unan
infr
astr
uktu
r te
rkai
t; pe
mba
ngun
an
PLTA
, pem
bang
unan
jala
n se
tem
pat,
pena
mba
ngan
pa
sir,
batu
bes
ar d
an b
atu
bias
a, k
uran
gnya
keb
ijaka
n ya
ng m
enye
luru
h te
ntan
g pe
nggu
naan
laha
n
Subs
idi m
inya
k ta
nah,
bio
gas,
mik
ro‑h
idro
, sol
ar, k
ompo
r m
asak
yan
g le
bih
efisi
en,
prog
ram
hut
an m
asya
raka
t
Men
enga
h‑tin
ggi (
teba
ng
liar d
an p
enye
lund
upan
ke
Indi
a da
n Ti
bet (
Chin
a),
pera
mba
han
laha
n hu
tan,
po
litis
i, bi
rokr
at d
an to
koh
mas
yara
kat y
ang
koru
p)
Rezi
m h
ibrid
(4
.24)
Des
entr
alis
asi
berla
njut
ke
hala
man
ber
ikut
nya
Melaksanakan REDD+88 |
Neg
ara
Pem
icu
defo
rest
asi
dan
degr
adas
i hu
tan
Kebi
jaka
n‑ke
bija
kan
yang
be
rten
tang
an d
enga
n tu
juan
RED
D+
Kebi
jaka
n‑ke
bija
kan
yang
m
endu
kung
RED
D +
Kura
ngny
a ot
onom
i ata
u ke
mun
gkin
an m
anfa
at
yang
din
ikm
ati o
leh
kepe
ntin
gan‑
kepe
ntin
gan
khus
us
Kate
gori
nila
i de
mok
rasi
(in
deks
)*
Ting
kat
sent
ralis
asi
Kam
erun
Pert
ania
n (m
enen
gah
dan
skal
a ke
cil,
subs
iste
n);
pene
bang
an;
pert
amba
ngan
Dev
alua
si m
enin
gkat
kan
eksp
or k
ayu;
infr
astr
uktu
r (ja
lan,
rel k
eret
a ap
i, be
ndun
gan)
; pen
amba
ngan
da
n pr
oyek
per
tani
an
skal
a be
sar
Pera
tura
n N
o. 2
011/
08 p
andu
an
pere
ncan
aan
terit
oria
l dan
pe
mba
ngun
an b
erke
lanj
utan
di
Kam
erun
Ting
gi d
i sek
tor p
eneb
anga
n (k
orup
si y
ang
men
doro
ng
teba
ng li
ar m
enca
kup
elite
lo
kal d
an n
asio
nal)
Oto
riter
(3.4
1)D
esen
tral
isas
i na
mun
ada
ba
tasa
n‑ba
tasa
n
Viet
nam
Pert
ania
n;
infr
astr
uktu
r; pe
neba
ngan
; ke
baka
ran;
pe
rlada
ngan
be
rpin
dah;
mig
rasi
Peng
emba
ngan
tana
man
ke
ras
(kar
et d
an k
opi);
re
ncan
a pe
mba
ngun
an
sosi
o‑ek
onom
i na
sion
al; s
kem
a kr
edit
untu
k m
embe
rant
as
kem
iski
nan;
alo
kasi
laha
n;
perk
emba
ngan
eko
nom
i se
baga
i tuj
uan
utam
a st
rate
gi p
enge
mba
ngan
hu
tan,
infr
astr
uktu
r (ja
lan
dan
PLTA
), sw
aday
a pa
ngan
Kepu
tusa
n 38
0 da
n de
krit
99; p
emba
yara
n ba
gi
jasa
ling
kung
an h
utan
te
rmas
uk p
erat
uran
pe
mba
gian
‑keu
ntun
gan
(des
ain
kuat
, im
plem
enta
si
lem
ah);
pera
tura
n te
ntan
g pe
ngem
bang
an d
an
perli
ndun
gan
huta
n 20
04 d
an
unda
ng‑u
ndan
g pe
rtan
ahan
20
03; d
asar
huk
um b
agi/k
arbo
n/ha
k‑ha
k ka
rbon
(car
bon
right
s),
stra
tegi
per
ubah
an ik
lim d
an
prog
ram
nas
iona
l RED
D+
Men
enga
h‑tin
ggi (
khus
usny
a di
ting
kat l
okal
dan
dal
am
hubu
ngan
nya
deng
an
peru
saha
an‑p
erus
ahaa
n m
ilik
nega
ra d
an
adm
inis
tras
i lah
an)
Oto
riter
(2.9
6)Se
ntra
lisas
i
Berd
asar
kan
May
dkk
. (20
11b)
, Dka
mel
a (2
011)
, Ind
rart
o dk
k. (2
012)
, Pha
m d
kk. (
2012
), Ce
dla
dan
Cifo
r (20
11a)
, For
est A
ctio
n da
n ci
for (
2011
), D
ar d
an C
ifor (
2012
)*
Skor
ting
gi p
ada
inde
ks m
enun
jukk
an a
dany
a de
mok
rasi
, sed
angk
an s
kor r
enda
h m
enun
jukk
an re
zim
oto
riter
(Eco
nom
ist I
ntel
ligen
ce U
nit 2
011)
Tabe
l 5.1
Lan
juta
n
| 89Politik dan kekuasaan dalam proses kebijakan REDD+
Kotak 5.1 REDD+ cara Brasil: Memadukan tongkat tua dengan wortel baruJan Börner dan Sven Wunder
Melaksanakan REDD+ memerlukan kebijakan yang efektif dalam mengubah keputusan penggunaan lahan dan hutan. Biasanya, perubahan seperti ini menyebabkan hilangnya manfaat ekonomi bagi pengguna lahan, setidaknya dalam jangka pendek. Selain biaya pelaksanaan, setiap kebijakan REDD+ yang efektif pasti memiliki konsekuensi distribusi manfaatnya. Idealnya, REDD+ bisa memaksimalkan keefektifan dari segi biaya dan kesetaraan. Namun dalam kenyataannya, perumus kebijakan cenderung menghadapi kesulitan negosiasi timbal balik di antara kedua tujuan ini.
Kepemilikan lahan dan hak pemanfaatan hutan penduduk Brasil sangat terkonsentrasi. Merebaknya pelanggaran menyebabkan Senat pemerintah Brasil kini sedang mempertimbangkan perluasan peraturan tata guna lahan yang saat ini sangat terbatas. Jika peraturan kehutanan yang berlaku sekarang ditegakkan secara efektif – misalnya, mewajibkan konservasi 80% tanaman hutan yang ada di lahan pertanian – maka negara ini akan mengorbankan agroindustri skala besar yang sedang berkembang pesat. Sebaliknya, pendekatan REDD+ yang murni berbasis insentif akan berarti memberikan kompensasi kepada pemilik lahan supaya tidak melanggar peraturan konservasi yang ada, yang secara politis sensitif. Karenanya, pada COP15 tahun 2009, Brasil mengusulkan pendekatan REDD+ yang menggabungkan penegakan peraturan yang lebih tegas diiringi program nasional yang memberikan kompensasi pembayaran jasa lingkungan (PES).
Usaha menemukan kombinasi optimal antara tongkat ‘peraturan lama’ dan ‘wortel’ PES memiliki implikasi tidak hanya dalam hal kesetaraan, tetapi juga dalam hal biaya pelaksanaan. Penegakan hukum konservasi memerlukan biaya mahal untuk operasi lapangan, tetapi juga dapat menghasilkan pemasukan denda yang sebagian dapat mengimbangi biaya pelaksanaan tersebut. Sebaliknya, PES memerlukan pengeluaran anggaran cukup besar sehingga mengorbankan peluang politik vis‑à‑vis pengeluaran pemerintah lainnya. Menambahkan aspek kesetaraan pada REDD+ dengan cara memberikan ganti rugi hilangnya peluang pemilik lahan – baik legal maupun ilegal tetapi ditoleransi – akan membutuhkan biaya besar, terutama jika para penjaga hutan di masa lalu yang mengabdi dengan baik (misalnya, banyak masyarakat adat Amazon dan penghuni hutan tradisional) juga diberi penghargaan.
Pendekatan yang memadukan tongkat‑dan‑wortel mengandung pro dan kontra. Sebagai instrumen yang berdiri sendiri, PES dapat ditegakkan dengan sekedar menangguhkan pembayaran kepada pengguna lahan yang tidak patuh. Penerima PES kemudian akan berharap untuk menerima paling sedikit kompensasi atas peluang mereka yang hilang. Meskipun demikian, dalam hubungannya dengan peraturan‑peraturan sebelumnya
berlanjut ke halaman berikutnya
Melaksanakan REDD+90 |
pemerintahsangatkesulitanmendesainulangsejumlah insentif.Dibanyaknegara,meskipun sektor yangmendorong deforestasi dan degradasi hutansudahsangatdikenali,caramengukurdampakmasing‑masingsektorpemicudeforestasidandegradasihutantersebuttetapmerupakantantanganberat.
Kebijakan‑kebijakan yang mendukung penyebab deforestasi dan tatanan kelembagaanyangterkaitdengankebijakantersebut,menghambatperubahantransformatif dan menciptakan alur‑kebergantungan yang sulit dicari jalankeluarnya. Di kebanyakan negara, rezim pajak lebih memilih eksploitasihutan demi mendukung pembangunan ekonomi, seperti pemberiandukungan kredit pedesaan untuk peternakan sapi di Brasil (meskipunsekarang jumlahnya lebih rendah dan sudah terpaut dengan berbagaitindakan pelestarian lingkungan) dan potongan pajak untuk biofuel sertapengembangan penanaman di Indonesia (Tabel 5.1). Dana publik untukpembangunan infrastruktur juga merupakan kunci pendukung perluasankegiatantersebut.Setelahsekianlamakebijakan‑kebijakaninimenciptakanstruktur kelembagaan yang meningkatkan keuntungan penggunaan lahanyangbersaingdenganpelestarianhutan,sehinggasecaraefektifmengokohkankekuatan sektor utama yang mendorong deforestasi dan degradasi hutan.
yang sudah berlaku, maka PES menjadi subsidi atas kepatuhan, yang biasanya tidak bisa memberi kompensasi penuh kepada pengguna lahan atas kepatuhannya pada undang‑undang konservasi. Di bawah kebijakan yang terpadu seperti ini, penangguhan pembayaran mungkin tidak cukup efektif untuk mendorong konservasi jika ancaman terhadap pelanggaran peraturan dianggap sebagai sesuatu yang mustahil dijalankan, misalnya di daerah perbatasan terpencil. Ketidaksempurnaan penegakan hukum dari komponen pelengkap ‘tongkat’ juga dapat mendorong pengguna lahan untuk mengantongi PES lalu melanjutkan bisnis seperti biasa. Karena itu pembuat kebijakan yang secara efektif mengintegrasikan tongkat‑dan‑wortel berbasis kebijakan REDD+ akan bergantung pada alat‑alat perencanaan yang dapat mengantisipasi biaya pelaksanaan yang mencakup ruang yang heterogen dan bergantung pada efek kesejahteraan seperti yang dihasilkan oleh alat‑alat konservasi yang dioperasikan secara sinergis. Dalam lingkungan sistem pemerintahan yang terdesentralisasi sebagian seperti Brasil, biaya penerapan kebijakan‑kebijakan lingkungan ditanggung bersama oleh pemerintah pusat dan daerah. Dengan demikian mekanisme baru untuk pembagian biaya dan penerimaan manfaat juga diperlukan di seluruh entitas administratif untuk mencapai hasil yang efektif dan setara.
Sumber: Börner dkk. (2011)
Kotak 5.1 Lanjutan
| 91Politik dan kekuasaan dalam proses kebijakan REDD+
Tantangannyaadalahbagaimanamembebaskandiridarialur‑kebergantungansepertiini.Disemuanegaraadajugakebijakan‑kebijakanyangsudahadayangbisadipakaimengaktifkanperumusandanimplementasikebijakanREDD+.Kebijakan‑kebijakan inimencakupkebijakanpembayaran jasa lingkungan,peraturankehutananyangmendorongpengelolaanhutanlestari;konservasi,reboisasidanrehabilitasihutan;danpengeluaranpemerintahyangbertujuanuntuk meningkatkan efisiensi energi serta memberikan alternatif untukproduk‑produkhutan.Masalahnya,kebijakan‑kebijakaniniumumnyahanyamemilikisumberdayayanglebihsedikitdanhanyamencakupwilayahyangsangatterbatas,dibandingkandengankebijakan‑kebijakanyangmendukungpenyebab‑penyebabdeforestasi(Tabel5.1).
Terlepas dari sektor bisnis, negara sendiri memiliki kepentingan ekonomidan politik untuk mengeksploitasi dan mengonversi hutan, karenakegiatan‑kegiatan ini berkontribusi untuk tujuan pembangunan ekonomidanmenyediakansumberdayakeuanganbaginegaradalambentukpajakdanpungutanlainnya.Agardapatmemberikaninsentif,negaraperlumemegangtingkatotonomiyangmemadaisehinggabebasdariparapelakuekonomiyangmendorongdeforestasi(KarsentydanOngolo2012).Kurangnyaotonomijugadapatterungkapmelaluitingginyatingkatkolusiantaranegaradanparapelakusosial.Dari ketujuh negara yang diteliti, semuanyamenghadapi tantanganini (Tabel 5.1). Nepal dan Peru menghadapi tantangan dalam penerapanundang‑undang kehutanan, khususnya di tingkat lokal di mana jaringanpatron‑client berperan kuat.Di Brasil dan Indonesia, agribisnis yang kuat,pemiliktanahpeternakan,danperusahaankayuterusmemberikantekananpadapemerintahuntukmelindungihaksewamereka.Inibisadibuktikandariseranganparapemangkukepentinganbisnis terhadapperaturankehutanandiBrasildanmoratoriumdi Indonesia.Sebagianbesar lobiberlangsungdibelakang layar, namun efeknya terlihat dalam perumusan kebijakan akhir,sangatterbatasnyapelaksanaankebijakansertarendahnyatingkatkepatuhanterhadapkebijakanyangada(Coen2004).Dalambeberapatahunterakhirterlihat bahwa Brasil meningkatkan kemampuan dalammenahan tekanantersebutdibandingkanIndonesia,yangmemilikisejarahpanjanghubunganeratantarapejabatpemerintahdankepentinganbisnisdi semuatingkatan.Dibanyaknegaraini,ijinpenebanganliarjugasecararutindigunakanuntukmenggalang sumberdaya untuk kampanye pemilu. Di Vietnam tantanganutamanya terkait dengan korupsi dan kolusi di perusahaan milik negara,pemerintah daerah dan pelayanan publik. Tingginya tingkat pendapatannegaradarikepentinganyangmendorongdeforestasi,terlihatdiKamerundimanalebihdari90%darikegiatanpenebanganliarmelibatkanelitetingkatlokaldannasional.Tidak satupundari tujuhnegara yangdikajimemilikiotonomi memadai untuk mendukung perubahan kebijakan yang beranimemberikan isyarat untuk memutuskan diri dari model pembangunantradisional yang mengandalkan eksploitasi sumberdaya alam. Para pelakupenyelenggaranegaradiVietnam,diikutiolehBrasil,mungkinyangpaling
Melaksanakan REDD+92 |
Kotak 5.2 Mengaitkan pengetahuan dan tindakan: perumusan kebijakan REDD+ di TanzaniaSalla Rantala
Bagaimana memetik berbagai jenis pengetahuan yang relevan dalam cara yang meningkatkan keefektifan, efisiensi dan kesetaraan dalam perumusan kebijakan merupakan tantangan mendesak yang dihadapi negara‑negara saat mereka menyiapkan kebijakan nasional REDD+. Para perumus kebijakan semakin bergantung pada para pialang pengetahuan ilmiah yang kompleks yang berkaitan dengan perubahan iklim dan rezim yang diperlukan untuk mengatasinya. Pada saat yang sama, keluaran kebijakan sering mencerminkan proses tawar‑menawar politik antara berbagai pelaku kebijakan yang berbeda dalam sumberdaya dan kapasitas masing‑masing, dan bukannya sebagai cerminan dari proses linear pembuatan kebijakan berbasis bukti.
Di Tanzania, satuan tugas REDD+ yang dipimpin oleh pemerintah menyambut kontribusi masyarakat madani, lembaga penelitian, pemerintah daerah dan mitra internasional untuk pembangunan strategi nasional REDD+. Organisasi dengan tanggung jawab yang kuat untuk menyebarkan informasi yang relevan tentang REDD+ membagikan pengalaman‑pengalaman mereka dalam proses perumusan kebijakan. Tindakan formal yang dilakukan mencakup penyelenggaraan berbagai lokakarya dan pelatihan. Namun, pintu masuk untuk memengaruhi kebijakan yang paling berhasil dan banyak dibicarakan adalah menemukan organisasi‑organisasi yang tepat baik di dalam maupun di luar pemerintah untuk bekerja sama melakukan advokasi, serta diplomasi terselubung yang dilakukan terhadap orang‑orang yang menduduki posisi tinggi dalam garis kewenangan di berbagai sektor yang berbeda. Ada cukup banyak konsensus mengenai kebutuhan untuk menampilkan kisah nyata tentang kesuksesan lokal guna meyakinkan para perumus kebijakan. Tantangan paling menonjol dalam mengaitkan pengetahuan relevan dengan pembuatan kebijakan REDD+ adalah biaya tinggi yang diperlukan untuk mendapatkan perhatian para pejabat penting. Pengelola acara yang bertujuan membagi informasi harus bersaing untuk bisa mendapatkan waktu yang sangat terbatas di antara pihak yang perlu dilibatkan. Dihadapkan pada banyaknya pilihan acara‑acara yang perlu diikuti maka orang‑orang ini bisa saja akhirnya mengambil keputusan berdasarkan sumberdaya yang tersedia, misalnya jumlah tunjangan yang diperoleh dan bukannya pada isi informasi apa yang disampaikan dalam acara tersebut.
Tantangan ini menggambarkan bagaimana saluran‑saluran sumberdaya dan informasi dalam perumusan kebijakan saling terjalin satu sama lain. Hambatan‑hambatan lain yang disebutkan oleh narasumber di Tanzania berkaitan dengan kapasitas dan kesediaan para pengambil keputusan untuk mempertimbangkan rekomendasi yang berbeda dari pandangan lama mereka, serta kelesuan sistem birokrasi dalam menanggapi bukti. Interaksi dengan para pejabat yunior dan cabang‑cabang (kekuasaan) eksekutif dalam pemerintahan saja, dan bukannya berinteraksi dengan “pengambil keputusan yang sesungguhnya”, juga dikatakan sebagai sebagian dari kegagalan dalam mengaitkan pengetahuan dengan tindakan.
| 93Politik dan kekuasaan dalam proses kebijakan REDD+
mandiri dalam mendukung perubahan tersebut. Di semua kasus lainnya,perubahan transformatif akanmembutuhkan aliansi yang lebih luas antaraberbagaibagiandarinegaradankerjasamakekuatanlainsehinggamampumemecahkanalur‑kebergantungan.Pelakuinternasionaldanmasyarakatsipildapatmengambilbagiandenganmendorongterjadinyaperubahantersebut.Norwegia adalah salah satu donor internasional utama yang mendukungupayaini(lihatKotak5.4).
Akhirnya, semakin inklusif sebuah proses kebijakan, semakin besar pulakemungkinankebijakanREDD+dapatmencakuppertimbangankesetaraandankemungkinanpotensiketegangandankonflikantaraparapelakukebijakandan pemangku kepentingan menjadi lebih kecil. Proses kebijakan yanginklusifdipengaruhiolehjenisrezimpolitikdantingkatsentralisasinya.Kamimenggunakanindeksdemokrasidantingkatsentralisasiyangsebenarnyadarisistempolitiksebagaiproxy (sesuatuyangdigunakanuntukmengukursesuatuyang lain)untukmengukur inklusivitas (Tabel5.1)Rezimpolitikdi tujuhnegarayangditelitibervariasidaridemokrasikeotoriter,demikianjugatingkatsentralisasinya,darisangattersentralisasi(Vietnam)sampaikenegara‑negarayangbersifatfederaldanterdesentralisasi(Brasil,Indonesia).Secaraumum,rezim yang lebih otoriter seperti Vietnam dan Kamerun cenderung lebihterpusatdanmemilikibentukpartisipasieksklusifdalamproseskebijakannya.Sedangkan beberapa rezim, seperti Peru, bersifat demokratis namun relatiftersentralisasi.Negarayanglebihdemokratisdiharapkanmenjadilebihinklusifdalam pengambilan keputusan kebijakan. Negara seperti Indonesia danKameruntelahmengalamiprosesperubahandesentralisasidanresentralisasi(Ribot 2003, Oyono 2004). Secara keseluruhan, Vietnam dan Kamerunmewakilirezimpolitikyangeksklusif,sedangkanBrasil,PerudanIndonesialebihinklusif.BoliviadanNepalmemilikirezimhibridyangmemilikifiturdemokratismaupun otoriter, ditandai dengan adanya inklusivitas terbatas.Inklusivitas rezim politik kemungkinan akan berdampak pada inklusivitasproseskebijakanspesifik,termasukREDD+(lihatKotak5.2untukanalisislebih rincimengenai inklusivitas dalam proses konsultasi tentangREDD+diTanzania).
5.4 Wacana kebijakan dan koalisi ke arah perubahanMedia dapat dilihat sebagai cermin dari proses kebijakan yang sedangberlangsung, dan dalam penelitian ini analisis media digunakan untukmengidentifikasiwacanakebijakanyangdominandansejauhmanawacanaini dirangkul di antara para pelaku. Koalisi transformatif menggunakanpraktik‑praktif wacana yang menantang skenario bisnis‑seperti‑biasa danmenghimbau adanya perubahan kelembagaan, kebijakan dan strukturinsentifdarimodelpembangunanekonomitradisional,yangdidasarkanpadaeksploitasisumberdayahutan.Namun,pencerminanproses‑proseskebijakanolehmediahanyabersifatparsial.Tidaksemuapelakumenggunakanmedia
Melaksanakan REDD+94 |
sebagaialatuntukmemengaruhikebijakandanopinipublik;kalanganbisnisbiasanyatidakingindieksposolehmediadanlebihmemilihuntukmelobipemerintahdengancarayanglebihtersembunyi(Coen2004).Halyangsamaberlakubagiparailmuwan,meskipun lembaga‑lembaga penelitian lebih banyak diliput oleh media daripadakalanganbisnis.
Di ketujuh negara ini, liputanmediamengenaiREDD+dimulai setelah road mapBalidiluncurkanpadaCOP13tahun2007.Sejaksaat itu,artikelmediameningkatjumlahnya, namun tingkat peliputannya berbeda secara substansial antarnegara.AntaraDesember 2005 dan 2009, tiga surat kabar utama di Indonesia dan Brasilmasing‑masing memuat sekitar 190 dan 250 artikel yang membahas REDD+,sedangkandinegara‑negaralainpeliputanmediatetapdibawah15artikel(Cronindan Santoso 2010; cedla dan CIFOR 2011b, Kengoum 2011;May dkk. 2011a,.Pham2011; forest action dan CIFOR2012;LibeluladanCIFOR2012).
5.4.1 KepemilikanAgarpemerintahdi suatunegaradapatmemimpinperubahanberkelanjutandalamarena kebijakan nasional REDD+,makamereka perlu berperan sebagai pemegangkendaliatasproseskebijakandanmemperlihatkankemauanpolitikuntukmenerapkan
Tabel 5.2 Pelaku yang membentuk wacana kebijakan (persentase jumlah total pelaku yang mengekspresikan posisinya tentang REDD+ melalui media)
Kelompok pelaku Indonesia Brasil Bolivia Vietnam Nepal Kamerun Peru
Negara (nasional) 45 26 50 67 17 8 12
Negara (subnasional)
7 2 3 0 6 0 0
Korporasi 3 4 10 6 6 0 0
Antarpemerintahan 8 7 9 27 6 17 25
Riset (internasional) 5 11 0 0 6 42 25
LSM dan LSM‑Lingkungan (internasional)
16 17 10 0 0 0 25
Riset (nasional) 6 13 3 0 12 25 0
Pelaku masyarakat madani (nasional dan LSM lingkungan )
10 20 15 0 47 8 13
Total% organisasi 100 100 100 100 100 100 100
Jumlah total organisasi
219 113 60 32 17 12 8
| 95Politik dan kekuasaan dalam proses kebijakan REDD+
Kotak 5.3 Berbagai kendala dalam perumusan kebijakan REDD+ yang efektif di NepalBryan R. Bushley dan Dil Bahadur Khatri
Sejak akhir 1970‑an, sektor kehutanan di Nepal telah mengalami proses yang mantap ke arah desentralisasi menuju peningkatan otonomi daerah dan pengelolaan hutan berbasis masyarakat, serta proses pembuatan kebijakan nasional yang semakin inklusif. Namun dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah dan para petugas kehutanan telah berusaha membatasi otonomi kelompok‑kelompok pengguna hutan dan mengambil lebih banyak nilai ekonomis hutan melalui perundang‑undangan, arahan‑arahan, dan instrumen pertanggungjawaban lainnya. Pemerintah, LSM‑LSM internasional, donor dan masyarakat madani telah bersama‑sama menyambut REDD+ dan terlibat dalam pembuatan kebijakan dan proses uji coba.
Namun, wacana dan kebijakan REDD+ telah dipengaruhi oleh sejumlah interaksi antara para pelaku dalam tubuh pemerintah, donor/LSM internasional dan masyarakat madani; ada beberapa kecenderungan yang bisa dilihat. Pertama, pertukaran informasi dan sumberdaya terkait dengan REDD+ dikendalikan oleh LSM‑LSM nasional dan internasional yang sedang melaksanakan proyek‑proyek percontohan tertentu, sedangkan organisasi pemerintah paling berpengaruh dalam membentuk kebijakan tertentu. Kedua, partisipasi masyarakat madani dalam perumusan kebijakan terbatas pada beberapa pelaku yang terlibat, sedangkan kepentingan kelompok tertentu terpinggirkan, seperti perempuan dan kaum Dalit (kasta rendah yang terkucil), kurang terwakili. Ketiga, belum ada keterlibatan langsung dari sektor swasta dalam uji coba atau proses perumusan kebijakan. Meskipun ada beberapa kekurangan di atas, muncul konfigurasi baru para pelaku di sekitar proyek percontohan dan usaha‑usaha peningkatan kesadaran dan kampanye advokasi untuk membela hak‑hak masyarakat yang bergantung pada hutan.
Ada juga sejumlah kendala kebijakan khusus yang dapat mengancam kelangsungan jangka panjang REDD+ di Nepal. Kendala pertama dan terpenting adalah kurangnya dasar hukum yang jelas akan penetapan hak‑hak karbon. Terkait dengan hal ini adalah masalah kelemahan dan ketidakpastian hak‑hak kepemilikan lahan, terutama untuk sejumlah masyarakat yang bergantung pada hutan. Tanpa salah satu dari hal ini maka akan sulit untuk menggalang dukungan keuangan dan politik yang kuat untuk REDD+, baik dukungan internal maupun eksternal. Kurangnya kejelasan dan konsensus dalam mengadopsi pendekatan berbasiskan dana vs pendekatan berbasiskan pasar untuk REDD+ juga merupakan kendala utama. Hambatan penting lainnya adalah kurangnya mekanisme yang inklusif, adil dan pembagian keuntungan yang bisa dipasarkan. Percontohan pembagian keuntungan telah dilakukan di tiga lokasi percontohan REDD+, dengan minoritas (40%) dari kriteria untuk keuntungan berbasiskan stok karbon dan
berlanjut ke halaman berikutnya
Melaksanakan REDD+96 |
strategi‑strategiini.MenganalisissejauhmanapenyelenggaranegaraditingkatnasionalbertindakaktifdalammembentukwacanakebijakandimediadapatmemberikanindikasimengenaitingkatkepemilikanpemerintahatasproseskebijakanREDD+.Datayangdisajikandisinimengacupadajumlahpelakukebijakan(Tabel5.2)danberbagaiwacanamengenaiREDD+yangmerekalakukan,sebagaimanaditunjukkanmelaluibingkaimedia.
Diempatdaritujuhnegara,parapelakupenyelenggaranegaramendominasiwacana media. Di Bolivia, kebanyakan penyelenggara negara memahamiREDD+sebagaimekanismeyangmerugikandanmenolaknyasecarasepihak,namun penyelenggara negara tingkat nasional di Vietnam dan IndonesiamenunjukkansikapyangsangatmendukungREDD+.WacanakebijakandiBrasildidominasiolehpenyelenggaranegaraditingkatnasional(26%),namunpemangkukepentinganyangsangatberagamjugadiwakilididalammedia,terutamaLSMinternasionaldibidanglingkunganhidup,lembaga‑lembagapenelitiandanparapelakudarikalanganmasyarakatmadani.Indonesiajugamenyajikanparapelakuyangsangatberagam,terutamaLSMinternasional.KekhasanIndonesiayangterdesentralisasiadalahjumlahpelakusubnasionalyangrelatiftinggi,sebagaicerminannegosiasiyangsedangberlangsungantarapemerintah pusat dan daerahmengenai kendali atas sumberdaya REDD+dan keputusan‑keputusan kebijakan (Cronin dan Santoso 2010; lihat jugaKotak6.2).Hanyaadaduanegaralainyangpelakusubnasionalnyamasukkedalamliputanmedia,yaituBrasilsebagainegarafederal,danBolivianegaraterdesentralisasi.
mayoritas (60%) berbasiskan berbagai faktor sosial yang berbeda, seperti proporsi masyarakat adat, perempuan, dan kelompok‑kelompok miskin di setiap komunitas. Namun pendekatan seperti itu tidak memiliki dasar dalam pasar karbon, mungkin tidak akan dapat bertahan dalam skema perdagangan karbon global, dan mengabaikan para pengelola lahan lainnya di luar komunitas pengguna hutan. Akhirnya, dibutuhkan kerangka kerja tata kelola menyeluruh yang demokratis, yang bisa meningkatkan mekanisme pembagian manfaat, mengawasi pemantauan, pelaporan dan verifikasi, dan membahas resolusi konflik yang terkait dengan implementasi REDD+.
Di Nepal, REDD+ tampaknya memperkuat kecenderungan negara untuk mengarah pada sentralisasi sekaligus meminggirkan pemangku kepentingan penting lainnya. Namun, modus baru kolaborasi juga muncul. Modus baru ini berpotensi mengubah lembaga‑lembaga tata kelola hutan yang ada. Jika kolaborasi ini berhasil mengatasi kendala‑kendala yang disampaikan di atas, maka berbagai kolaborasi baru ini bisa turut berkontribusi bagi realisasi mekanisme REDD+ yang lebih efektif, efisien dan setara.
Kotak 5.3 Lanjutan
| 97Politik dan kekuasaan dalam proses kebijakan REDD+
Kotak 5.4 Analisis berbasis media tentang wacana REDD+ di NorwegiaLaila Borge
Tahun 2010, ilmuwan iklim terkenal James E. Hansen mengatakan bahwa efek utama dari pendanaan yang diberikan oleh Norwegia bagi perlindungan hutan adalah lahirnya hati nurani yang lebih jernih bagi anggota‑anggota bangsa kaya minyak ini. Menteri Lingkungan Hidup Norwegia, Erik Solheim dengan cepat membalas pernyataan tersebut dengan sebuah surat kepada Aftenposten (surat kabar terkemuka Norwegia): “Norwegia mendukung upaya mencegah deforestasi karena ini adalah cara tercepat dan paling efisien dari segi biaya untuk mencapai pengurangan emisi gas rumah kaca secara mendasar. (...) Norwegia telah menunjukkan kepemimpinan internasional dengan inisiatifnya di bidang iklim dan kehutanan dan kami telah membuat beberapa negara lain mendukung pekerjaan penting ini”. Sudut pandang ini telah menjadi pandangan yang paling banyak diungkapkan media Norwegia.
Tahun 2007, selama negosiasi iklim internasional di Bali, Norwegia menjanjikan 15 miliar nok (AS $2,6 miliar) untuk mendanai upaya mengurangi emisi akibat deforestasi dan degradasi hutan di negara‑negara sedang berkembang. Inisiatif Hutan dan Iklim Internasional Norwegia didirikan pada tahun 2008 untuk melaksanakan janji itu. Inisiatif ini mendatangkan dukungan politik yang luas dan media Norwegia sangat optimis mengenai gagasan ini. Perlindungan hutan hujan disajikan sebagai cara yang sederhana, murah dan efektif untuk mengurangi emisi gas rumah kaca. Beberapa komentator juga menyatakan bahwa dengan mendanai konservasi hutan, Norwegia cepat bisa menjadi negara netral karbon.
Beberapa tahun terakhir, suara‑suara kritis meningkat lebih keras terutama dari komunitas peneliti dan kalangan masyarakat madani. Tidak ada yang menyangkal nilai yang terkandung dalam tujuan inisiatif, namun banyak yang meragukan apakah memungkinkan untuk mengukur dan mengontrol efeknya dan juga mengungkapkan bahwa sebagian besar uang itu belum dikucurkan. Pemerintah Norwegia juga dikritik karena membiayai proyek‑proyek yang menghancurkan hutan hujan melalui dana pensiun pemerintah. Beberapa media telah menyoroti secara kritis beberapa dampak negatif tak disengaja dari REDD+. Selain itu, pemerintah Norwegia juga dikritik karena membeli jalan keluar dari pengurangan CO2 di dalam negeri yang kurang populer.
Secara keseluruhan, media Norwegia tetap positif, dan inisiatif hutan dan iklim internasional Norwegia dipandang sebagai upaya paling sukses dari pemerintah dalam mengurangi emisi. Perdebatan di Norwegia sebagian besar dibentuk oleh pemerintah dan LSM‑LSM lingkungan dalam negeri. Pemerintah Brasil juga cukup mendapat tempat dalam liputan pers Norwegia. Pelaku paling sering dikutip adalah (mantan) menteri lingkungan dan menteri pengembangan koperasi, Erik Solheim, dan Perdana Menteri Norwegia, Jens Stoltenberg.
Melaksanakan REDD+98 |
Nepal menunjukkan kehadiran pelaku masyarakat madani yang tinggi dimedia,yang jauhmelebihipelakupenyelenggaranegara.Lembaga‑lembagadalam badan pemerintahan dan lembaga‑lembaga penelitian internasionalmenduduki peringkat berikutnya. Di kebanyakan negara, para pelakumasyarakat sipil bekerja sama dengan pemerintah, namun di KamerundanPerumereka secaramenyeluruhmendominasiwacanakebijakan.Padakenyataannya,Kamerunmenunjukkankontrolpemerintahyangpalinglemahataswacanakebijakan.SecaradominanstrategiREDD+didorongolehparapelaku internasional,dankondisiyang sama terbukti jugadiPeru.Hal inimemangbisamenunjukkankemungkinankurangnyakapasitasnegarauntukterlibat dengan masalah‑masalah teknis yang kompleks seperti REDD+,namunbisajugamenjadiindikatorlambatnyakemajuanproseskebijakandankurangnya kemauan politik untukmencurahkan sumberdaya dalamupayaperumusandanpelaksanaanstrateginasionalREDD+.DiKamerun,kondisiinimenjaditandabahwatindakankebijakanyangberkelanjutandanefektifdisekitarREDD+mungkindalamwaktudekatakanmenjaditerbatas.Nepalmenyajikan profil yang berbeda,masyarakat sipilnyamemiliki representasiyanglebihmenonjoldiliputanmediadibandingkanpemerintahdanmerekamerupakanpendukungutamakebijakanREDD+(lihatKotak5.3).
Secarakeseluruhan,pemerintahdiBrasil, IndonesiadanVietnammemilikikepemilikan yang kuat atas proses kebijakan REDD+ di tingkat nasionaldan secaraproaktifmendukung tindakankebijakanREDD+,meskipundiIndonesia danVietnam tindakan ini dilakukan dalam aliansi kuat dengandonor internasional. Satu analisis yang dilakukan atas media Norwegiajuga mengungkapkan hal senada, karena debat yang ada sebagian besardipengaruhi oleh pemerintahNorwegia dan LSM‑LSM lingkungan dalamnegeri (untuk pandangan negara‑negara donor, lihat Kotak 5.4). DiNepal, kendali pemerintah lebih terbatas dan liputan REDD+ di mediautamanyadiisiolehasosiasipenggunahutan.DiKamerundanPeru, suaradan posisi pemerintah hampir tidak terdengar, menunjukkan rendahnyatingkat kepemilikan nasional atas proses kebijakan REDD+. Para pelakuinternasionalmungkinberusahamendorongperumusankebijakanREDD+,namun kemajuan kebijakan REDD+ kemungkinan akan terhambat olehtidakadanyakepemilikannasional.
5.4.2 Tidak adanya suara dan wacana tersembunyiOtonomi negara vis‑à‑vis para pelaku pemicu deforestasi dan kepemilikanpemerintah atas proses kebijakan dan sikap positif terhadap REDD+merupakan prasyarat untuk kemajuan kebijakan; tetapi sejumlah prasyaratini tidak cukup untuk memastikan formulasi yang efektif dan seimbangbagistrateginasionalREDD+.Perubahantransformatifmemerlukanpelakukebijakandankoalisiyangmampumemimpindiskusikearahkebijakanbarudibandingkanskenariobisnis‑seperti‑biasa,dengandemikianmelepaskandiri
| 99Politik dan kekuasaan dalam proses kebijakan REDD+
darialur‑kebergantungankelembagaandanpolitik‑ekonomi(LaumanndanKnoke1987).Perlawanandarikoalisikonservatifyangmempertahankanstatus quomerupakanhalyangtidakdapatmerekahindari.Terjadinyaperubahantransformatif atau tidakbergantungpadakoalisimanayangakhirnyaakanmendapatkan dominasi dalam lingkaran kebijakan. Dominasi biasanyamembutuhkanwaktuuntukmenunggu,setidaknyabagisebagianelitenegaradankepentinganbisnis.Koalisidapatdidasarkanpadakepentinganbersama,keyakinanideologisatauwacanaumum(Hajer1995;Sabatier1999,BenforddanSnow2000;DiGregorio2012).
Tidak hanya suara dominan di media yang mengungkapkan posisi parapelaku kebijakan – tidak adanya suara juga sama pentingnya. Analisisdi atas menunjukkan bahwa pandangan kalangan bisnis dan hubungannegaradankalanganbisnishampirtidakdieksplorasisamasekalidimedia.Ini terjadi bahkan di negara‑negara seperti Indonesia dan Brasil, di manaperan sektor bisnis cukup signifikan. Pada umumnya, bisnis cenderungmelobiparaperumuskebijakandibaliklayar(Coen2004).Inimerupakanfenomenauniversal,terlebihlagiditempat‑tempatdimanalobisemacaminidianggapbermasalaholehpublik.Ketika tekanan semacam inimelahirkankegiatan‑kegiatan ilegal, kerahasiaanmenjadi lebih penting lagi.Kita telahmelihatbagaimanakorupsidankolusiantaranegaradankepentinganbisnis,legalmaupunilegal,merupakankeprihatinanutamadisebagianbesarnegarayangditeliti(Kotak5.1).Kolusisemacaminimembentukkoalisiterselubungyang bisa sangat kuat dalammelawan perubahan transformatif dan dapatmemengaruhibukanhanyapelaksanaan,tetapijugaperumusankebijakan.
Meskipundemikianadasejumlahindikasiyangmenunjukkanbahkanketikakoalisi semacam ini cenderungberoperasi secara rahasia, suaramerekabisadicerminkan di media. Dukungan pelaku penyelenggara negara kepadapraktikbisnis‑seperti‑biasa,dalamkondisi‑kondisidimanaotonominegararendah,merupakanindikatorkemungkinanadanyakoalisidominantersebut.Misalnya,keenggananpemerintahuntukmengambil tindakan tegas terkaitREDD+ saat ini mungkin mengancam keuntungan ekonomi yang telahditetapkandanterkaitdengandeforestasidandegradasihutan.
Selainmengidentifikasipelakuutama,analisismediamembantumenentukanposisi para pelaku ini dalam kebijakan REDD+. Posisi kebijakan tunggalmerekatelahdigabungkanmenjadikategorilebihluasuntukmengidentifikasikoalisimana yangmendukung perubahan transformatif, dan koalisimanayangmenolakperubahantersebut.Hasilanalisisnyadisajikandalambagianberikutnya.1
1 Mengingat perlawanan pemerintah Bolivia terhadap REDD+ dan tidak adanya upayauntukmewujudkanperubahantransformatif,makanegarainitidakdiikutkandalamanalisisyangdibahasdalambagianini.
Melaksanakan REDD+100 |
5.4.3 Koalisi bisnis‑seperti‑biasa yang umum ditemui dan koalisi perubahan transformatifDi media, sejumlah koalisi kuat yang mendukung sektor‑sektor utamayang memicu deforestasi dan degradasi hutan terlihat jelas di Brasil danIndonesia.ParapelakudiIndonesiamenekankanperlunyakebijakanREDD+mengompensasihilangnyakesempatan(opportunity cost)bisnisskalabesaryangterkait dengan konversi hutan danmemperingatkan bahwaREDD+ tidakboleh mengesampingkan pembangunan ekonomi. Mengingat rendahnyatingkat otonomi pelaku penyelenggara negara yang telah digambarkansebelumnya, pernyataan‑pernyataan seperti ini konsisten dengan situasidimanabagiandari sisi aparaturnegaraberpihakpadakepentinganbisnisyangmendapatkankeuntungandaripemanfaatan lahanuntukpeternakan,pengembanganperkebunan,penebanganhutandanpertambangan.Namunpendapat para pelaku penyelenggara negara beragam. Sebagai contoh diIndonesia,bagiankonservasidariKementerianKehutanandanKementerianLingkunganHidupmengakuibahwaperkembangankebijakanREDD+akanmembutuhkankebijakanyangluasdanreformasikelembagaan.
Ada jugabagiandimanakebijakanREDD+menghambatkerjakoalisi.DiBrasil,baikpelakupenyelenggaranegaramaupunorganisasiinternasionalyangbergerakdibidanglingkunganterpecahdalamhalkemungkinanpembiayaanREDD+ melalui mekanisme pasar. Debat yang sama terlihat di Nepal,di mana organisasi‑organisasi lokal dan kelompok‑kelompok lingkungandomestikmendukungmekanismepasarnamunmenyuarakankeprihatinantentang kurangnya pelibatan pengguna lokal dalam keputusan‑keputusankebijakanREDD+.Merekamenyerukanadanyaperubahanproseduraldalampembuatankeputusankebijakan.Namunparapelakupenyelenggaranegaratidakterlibatdenganisupelibatansosialdimedia.
DiVietnam,perdebatantentangkompensasimengacupadaperaturanyangmewajibkanperusahaan‑perusahaanmiliknegara/BUMN(pembangkitlistriktenagaair)menghargaipenggunahutanyangmenyediakanjasa‑jasalingkunganyangberkaitandenganhutan,karenapemerintahVietnammemasukkanPESdi bawah kebijakan REDD+.Mediamelaporkan dua kasus seperti ini, dimanaperusahaanmiliknegaratidaksetujudenganpemerintahnya.Meskipunadaperlawananini,terlihatbahwadiVietnampemerintahtingkatnasionalsedangmencobamendorongadanyaperubahanarahdaribisnis‑seperti‑biasavis‑à‑visbeberapakepentinganbisnismiliknegara(Phamdkk.2012).
Secarakeseluruhankoalisidanpernyataansikapyangmenyerukanperubahantransformatif kurangmenonjol di media dibandingkan bisnis‑seperti‑biasaatau sikap netral. Ini menunjukkan bahwa, secara keseluruhan koalisitransformatifadalahkoalisiminoritasyangmenentangkoalisiyanglebihkuatyangmendukungstatus quo.DiIndonesia,sebagiandarimasyarakatsipildalam
| 101Politik dan kekuasaan dalam proses kebijakan REDD+
negeri menentang dimasukkannya perkebunan di dalam skema REDD+.Hal inimenunjukkan adanya serangan langsung terhadapkoalisi dominanbisnis‑seperti‑biasa.Namun, tidakada indikasiadanyakoalisi transformatiflebihluasyangmungkinmencakuppelakulainsepertiperwakilanbisnisataupemerintah. Sejumlah LSM internasional di bidang lingkungan berpihakkepadamasyarakatsipildomestikdalammengekspresikankeprihatinanmerekamengenaipotensiREDD+yangakanmembatasiaksespenggunahutanlokalataubahkanmengusirkelompokyangbergantungpadahutan.Namunupayamendorong para pembuat kebijakan untuk mempertimbangkan kembalipengaturan penguasaan hutan lokal tidakmendapat respon dalamwacanakoalisidominan.
Kekuatirantentangtatakelolayanglemahdankorupsidisuarakanolehkeduabelahpihak,baikpelakuinternasionalmaupunpelakudomestikmasyarakatsipil di Indonesia. Secara khusus, mereka menekankan ancaman bahayabahwakorupsimengakibatkanketidakefektifanimplementasiREDD+.Posisiini dapat dipahami sebagai seruan perlunya perubahan transformatif dankecaman terhadap kolusi dan keuntungan ekonomi yang seringmendasarikoalisi bisnis‑seperti‑biasa. Namun di sebagian besar negara lainnya,kekuatiran seperti ini tetap tak tertangani, meskipun fakta menunjukkanbahwa pemerintahan yang lemah merupakan kendala politik utama disebagianbesarnegara.
Tuntutan utama dari koalisi dominan masyarakat sipil dalam negeri diNepal adalah agar kelompok pengguna hutan memiliki peran yang lebihkuat dalam mengakses manfaat REDD+. Pandangan ini ditentang olehpemerintah lokal, sementara pemerintah tingkat nasional tampaknya tidakterlibatdenganmasalahREDD+dalamperdebatanmedia.Federasipenggunahutanmembentuksatu‑satunyakoalisiREDD+yangterlibatdenganmediadi negeri ini. Posisi sepenting ini sebagian terkait dengan sejarah panjangkelompokpenggunahutandanhutankemasyarakatandiNepal.Iniadalahsatu‑satunya kasus dalam penelitian kami di mana jalur‑ketergantungantampaknyamemberikanpeluangkekuatankepadamasyarakatsipil.Namun,dengan tidak adanya koalisi yang lebih luas yang mencakup sekutu darikalanganelit,keefektifannyadalammendorongperubahantetapdiragukan.
Di Peru, LSM‑LSM lingkungan internasional mendominasi perdebatanmedia dan pendapatnya sama dengan sejumlah organisasimasyarakat adatdalam keprihatinan mereka tentang hutan tanaman yang dimasukkan kedalamskemaREDD+.Namun,pelakupenyelenggaranegarahampir tidakterlibatdalamdiskusisekitarREDD+dimedia,sementaraparapelakubisnismenyerukanpenguatanpengaturanpropertiswastauntukmemastikanakseskekreditdankeamananinvestasi.Koalisibusiness as usual,korupsidankolusitetap tersembunyi dari pengawasan publik.Hal yang sama berlangsung diKamerun, di mana media tidak menyebut adanya pelaku penyelenggara
Melaksanakan REDD+102 |
negara yang memberikan pernyataan tentang posisi REDD+, meskipunKamerundinyatakansebagainegarayangturutmendukungpengembanganprogram‑program REDD+. Tidak adanya koalisi transformatif di mediamungkin berkontribusi pada kurangnya keterlibatan pelaku penyelenggaranegara,yangtidakdihimbauuntukmengambilposisiatasREDD+.Halinimenunjukkan bahwa perkembangan kebijakan REDD+masih pada tahapsangatdini.
Singkatnya, pelaku penyelenggara negara di Indonesia, meskipun dalampernyataan‑pernyataan lisannyamendukungREDD+,mereka juga terbukadalam mempertahankan kebijakan bisnis‑seperti‑biasa. Di Brasil, pelakupenyelenggaranegaratelahmengambil langkah‑langkahuntukmendukungREDD+tetapikepentingan‑kepentinganparapemicudeforestasiyangtelahtertanamdemikiandalammerupakanpemainkuatdanmencobamenanamkanpengaruhnyadalamberbagaikeputusankebijakan.DiVietnam,pemerintahsecara eksplisit menentang jalur‑ketergantungan semacam ini, meskipunjelasterlihatadaresistensidariparapemangkukepentinganbisnis.Disemuanegara kecuali Nepal, koalisi yang mendukung perubahan transformatif,jikaada,merupakankoalisiminoritas.HanyadiNepalkoalisisemacaminimendominasiwacanadimedia,sebagianbesarberkatkurangnyaketerlibatanpara penyelenggara negara dalam diskusi kebijakanREDD+.Di Peru danKamerunbuktikoalisiperubahantransformatiftidakada.
5.5 KesimpulanBukti‑buktidiatasmenggambarkanbagaimanaempatfaktorpenting,yangdapat membantu mengatasi kendala ekonomi‑politik dalam mewujudkanreformasikebijakandanmenujudesainkebijakanREDD+yangefektifdanberkesetaraan, telah dilaksanakan di negara yang berbeda‑beda. Keempatfaktorituadalah:tingkatotonomitinggiyangdimilikipelakupenyelenggaranegarayangbebasdarikepentinganbisnisyangterkaitdenganeksploitasidankonversi hutan; kepemilikan dan kontrol pemerintahnasional atas strateginasional REDD+; tingkat inklusivitas yang tinggi dalam proses kebijakan;danhadirnyakoalisiuntukmencapaiperubahantransformatif.
Temuan‑temuanyangadamenggambarkanbahwadisebagianbesarnegara,faktor‑faktor tersebut tidak hadir sebelum REDD+ diperkenalkan, atausaat ini belum bisa dicapai, selain negara‑negara sedang berjuang denganproses reformasi baik di dalam maupun di luar sektor kehutanan. Salahsatu tantanganyang sama‑samadihadapiketujuhnegara iniadalah tingkatotonomi pelaku penyelenggara negara. Sementara pernyataaan‑pernyataannegara,dinyatakandalamsikapmedia,menggambarkanskenariosama‑samamenang, di mana tujuan ekonomi berjalan seiring dengan perlindunganlingkungan, namun pelaku penyelenggara negara tampaknya menemukanbahwadalampraktiknyamerangkulpandanganinisangatlahsulit.Tingginya
| 103Politik dan kekuasaan dalam proses kebijakan REDD+
ketergantungan perkembangan ekonomi pada eksploitasi sumberdayaalam yang tak berkelanjutan telah begitu dalam tertanam dalam strukturpolitik‑ekonomi.Tantangan utama ini masih terus dihadapi oleh ketujuhnegarayangditeliti.
Tidak satu pun negara yang ditelitimenunjukkan proses kebijakan sangatinklusif,sepertidinyatakanolehindeksdemokrasidanindeksdesentralisasiefektif,namunIndonesiadanBrasil terbukti lebihbaikdibandingkanyanglain. Kamerun dan Vietnam menunjukkan proses yang paling eksklusif,meningkatkankekuatiranbahwakonflikdanketegangantersembunyi(laten)antara para pemangku kepentinganmungkin terjadi dalam arenaREDD+dan ada kemungkinanmemburuk seiring berjalannyawaktu.Di sejumlahnegara,kurangnyaketerlibatanparapelakupenyelenggaranegaraditingkatnasionalmenimbulkanpertanyaanseriustentangsiapayangmengendalikanproses kebijakan. Di tiga dari tujuh negara, kepemilikan nasional atasperkembangankebijakandanreformasiyangterkaitREDD+terlihatlemah.Dinegara‑negarainiperanpentingpemaininternasionaldalampembiayaandan desain kebijakan – tanpa adanya kehadiran pemerintah nasional yangmengambil alih proses tersebut – mengarah pada lambatnya kemajuandan kemungkinan akanmenyebabkanmunculnya berbagaimasalah dalampenerapannya.
Berbagai upaya proaktif, yang utamanya dilakukan oleh organisasimasyarakat sipil untukmembangun konstituen domestik yangmenantangkepentingan‑kepentinganyangsangatkuat,jelasterlihatdalamdebatmediadi beberapa negara, tetapi tetap sajamerekamerupakan koalisiminoritas.Diperlukan kemajuan lebih lanjut jika REDD+ tidak ingin dianggapsebagai kegiatan yang dikendalikan oleh donor, tetapi sebagai kebijakannasional yang sejati, kebijakan yang melayani kepentingan lebih luas dinegara‑negara berkembang kaya hutan dan tidak dianggap sebagai sesuatuyangbertentangandenganpembangunannasional.Bahkandinegara‑negarayang paling maju dalam perumusan strategi nasional REDD+, kebijakanterkait sering dianggap sebagai ancaman bagi pembangunan ekonomi.Akibatnya,kepentingan‑kepentinganekonomikuatmelobipemerintahuntukmengadopsi kebijakan yang mengurangi keefektifan atau memperlambatpembuatankeputusantentangREDD+,sepertiyangterlihatdaripengalamanmoratorium Indonesia mengenai konversi hutan dan ancaman saat ini diBrasiluntukmerevisiperaturankehutanansehinggamelemahkanpersyaratanuntukperlindunganhutan.
Sekarang yang dibutuhkan adalah koalisi yang mampu memutuskanjalur‑ketergantungan seperti itu: aliansi baru, yang luas dan inklusif yangmenggunakankeahlianilmiahdankapasitasteknissertakelembagaanuntukmengatasi model kebijakan tradisional yang tidak dapat memproyeksikanbagaimana kebijakan REDD+ dapat diselaraskan dengan tujuan
Melaksanakan REDD+104 |
pembangunan.Partisipasielitenegaradanketerlibatanpelakubisnisdalamkoalisi‑koalisi merupakan penentu untuk memengaruhi agenda politiksecara signifikan.Di sebagianbesarnegarahal inimemerlukanmunculnyawacanakontra‑perubahantransformatifyangdapatmenantangmodellamapembangunan,membubarkankoalisidominandanmenarikdukungandaripelakupenyelenggaranegaradanbisnissehinggamerekabersediamenerimatantanganini.
Recommended