View
66
Download
3
Category
Tags:
Preview:
Citation preview
LAPORAN PROBLEM BASED LEARNING 1
“ANAKKU SAYANG ANAKKU MALANG...”
BLOK HEMATOIMMUNOLOGY (HI)
KELOMPOK 4
Tutor : dr. Joko Setyono, MSc
Anggota Kelompok
1. G1A011001 Iman Hakim Wicaksono
2. G1A011010 Fiska Praktika Widyawibowo
3. G1A011013 Halimah Chairunnisa
4. G1A011022 Mirzania Mahya Fathia
5. G1A011023 Reza Amorga
6. G1A011037 Mumtaz Maulana Hidayat
7. G1A011046 Aisyah Aulia Wahida
8. G1A011061 Go Ferra Marcheela
9. G1A011081 Daniel Pramandana Lumunon
10. G1A011107 Riyanda Rama Putri
11. G1A011119 Ria Pusparini
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN
JURUSAN KEDOKTERAN
2012
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada PBL tutorial 1 dan 2 kali ini terdapat lima informasi yg diberikan secara
bertahap. Hal ini bertujuan agar mahasiswa dapat menganalisa kasus PBL dengan
sistematis. Sehingga mahasiswa dapat bersikap lebih kritis dalam menanggapi
informasi yang diberikan secara bertahap tersebut.
Anak A, 7 tahun datang bersama ibunya ke Puskesmas. Ibunya mengeluh
anaknya tampak lesu, lemas, sering pusing dan mudah lelah. Nafsu makan dan
prestasi anakkurang. Sekitar 6 bulan terakhir anak sering sakit. Riwayat kelahiran
anak lahir spontan ditolong bidan dengan berat lahir 2000g. Riwayat makan
minum sejak lahir diberikan ASI, usia 7 bulan anak tidak mau bubur susu, susu
formula dan tim saring. Ayah penderita tidak mempunyai pekerjaan tetap, ibu
sebagai penjual jajanan.
Hasil pemeriksaan fisik Anak A adalah:
– KU : tampak kurang aktif, perdarahan spontan (-) BB: 17 kg, TB:
105 cm
– Vital Signs : Tekanan darah : 100/60 mmHg; Nadi 110x/menit, regular;
RR 24x/ menit, suhu 37,0⁰ C
– Mata : konjungtiva anemis (+), sclera ikterik (-)
– Mulut : bibir pucat
– Leher : dalam batas normal
– Jantung : dalam batas normal
– Paru : dalam batas normal
– Abdomen : dalam batas normal
– Ekstremitas : pucat
Hasil Pemeriksaan Laboratorium adalah sebagai berikut :
1. Hb : 9 g/dL
2. Ht : 30%
3. RBC : 4.000.000/ mL
4. MCV : 56 fL
5. MCHC : 22 g/dL
6. MCH : 16.5 pg
7. WBC : 7.500/mL
8. Platelet : 150.000 mL
9. Differential count : E 8/ B 0/ St 1/ Sg 60/ L 26/ M 5
Pemeriksaan tambahan berupa apusan darah tepi, didapatkan gambaran Sediaan
Apus Darah Tepi (SADT)
Gambar 1.1 Sediaan Apus Darah Tepi
Kemudian didapati pemeriksaan terakhir:
1. Serum iron 45 ug/dL (Normal value: 80-180 ug/dL)
2. TIBC 500 ug/dL (Normal value: 250-435 ug/dL)
3. Serum Ferritin 10-20 ng/L (Normal value: 20-200 ng/L)
Dengan informasi di atas, diskusi PBL pun dapat dilaksanakan.
BAB II
PEMBAHASAN
A. DISKUSI
1. Informasi I
Anakku Sayang Anakku Malang...
Anak A, 7 tahun datang bersama ibunya ke Puskesmas. Ibunya mengeluh
anaknya tampak lesu, lemas, sering pusing dan mudah lelah. Nafsu makan dan
prestasi anak kurang. Sekitar 6 bulan terakhir anak sering sakit. Riwayat kelahiran
anak lahir spontan ditolong bidan dengan berat lahir 2000 gr. Riwayat makan
minum sejak lahir diberikan ASI, usia 7 bulan anak tidak mau bubur susu, susu
formula dan tim saring. Ayah penderita tidak mempunyai pekerjaan tetap, ibu
sebagai penjual jajanan.
Pertanyaan :
1. Informasi atau masalah apakah yang dapat anda simpulkan dari kasus
tersebut?
2. Buatlah kemungkinan hipotesis penyebab dari masalah tersebut!
Jawaban:
1. Informasi dan batasan masalah
a. Nama : Anak A
b. Usia : 7 tahun
c. Keluhan utama : tampak lesu, lemas, sering pusing dan
mudah lelah
d. Onset : 6 bulan terakhir, anak sering sakit
e. Riwayat kelahiran : Lahir spontan, BBLR (2000 gram)
f. Riwayat makan minum sejak lahir : - diberi ASI
- Usia 7 bulan tidak mau makanan
pendamping
g. Riwayat gizi : nafsu makan kurang, prestasi turun
h. Pekerjaan orang tua : - Ayah : tidak punya pekerjaan tetap
- Ibu : penjual jajanan
2. Hipotesis awal :
a. Anemia : lesu, lemas, sering pusing dan mudah lelah
b. Thalassemia : memiliki gejala yang hampir sama dengan
anemia
c. Defisiensi gizi : nafsu makan kurang, prestasi anak turun, terjadi
karena gangguan nutrisi
d. Autoimun : sering sakit, adanya dugaan zat di dalam tubuh
yang dianggap sebagai zat asing, sehingga
justru diserang oleh sistem imun tubuh
e. Infeksi cacing : adanya infeksi oleh cacing parasit
f. Penyakit kronis (asma, aritmia, jantung iskemik, hipertensi, dan lain-lain)
g. Keganasan (kanker, dan lain-lain)
Untuk mengurangi kemungkinan-kemungkinan yang ada sehingga
didapatkan diagnosis yang tepat maka dibutuhkan beberapa pemeriksaan,
meliputi pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.
2. Informasi 2
Hasil pemeriksaan fisik Anak A adalah:
a. KU : tampak kurang aktif, perdarahan spontan (-)
BB: 17 kg, TB: 105 cm
Evaluasi :
Nilai Z-score pasien
1) Apabila pasien laki – laki
2) Apabila pasien perempuan
Rentang normal nilai Z-score -2 sampai 2. Keadaan gizi normal
b. Vital Signs : Tekanan darah : 100/60 mmHg; Nadi 110x/menit,
regular; RR 24x/ menit, suhu 37,0⁰ C
Evaluasi :
1) Tekanan darah 100/60mmHg normal
2) Denyut nadi 110x/menit regular takikardi, Nilai normal: 80-
100
3) Suhu tubuh 37⁰C Normal, Nilai normal: 36-37⁰C.
c. Mata : konjungtiva anemis (+), sclera ikterik (-)
indikator anemia
d. Mulut : bibir pucat
e. Leher : dalam batas normal
f. Paru : dalam batas normal
g. Abdomen : dalam batas normal
h. Ekstremitas : pucat indikator hipoksia
Hipotesis Lanjutan
Dari data tersebut kita dapat menyisihkan beberapa hipotesis yang tidak
sesuai dengan data yang ada.
a. Defisiensi gizi, sang anak mengalami gangguan nutrisi, namun meski
begitu, ternyata berat badan sang Anak A masih dalam batas normal.
Namun, ada beberapa tanda yang lebih lanjut yang mengindikasikan
masalah lain, kemungkinan defisiensi gizi ini merupakan salah satu ciri
dari suatu penyakit tertentu. Tetapi, apabila yang dimaksud defisiensi gizi
ini adalah anak yang mengalami gizi buruk seperti marasmus, atau
kwarshiorkor, maka kemungkinan ini dapat dihilangkan, karena pada
pemeriksaan fisik sang anak, abdomennya masih dalam batas normal.
b. Autoimun, perlu ada pemeriksaan laboratorium, bagaimana jumlah sel
darah untuk mengetahui apakah autoimun merupakan penyakit yang
terjadi pada anak tersebut.
c. Infeksi parasit, jika terjadi infeksi, ada kemungkinan anak tersebut
mengalami demam, namun ternyata, suhu tubuh anak A masih normal,
yaitu 37⁰ C.
d. Penyakit kronis pada anak
- Asma, ditolak karena RR anak A masih normal
- Hipertensi, ditolak karena tekanan darah anak masih normal yakni
100/60 mmHg
- Jantung iskemik, ditolak karena jantung anak masih dalam batas normal
e. Anemia, merupakan hipotesis yang memiliki kesesuaian paling banyak
dengan kondisi anak A. Antara lain, sang anak mengalami konjungtiva
anemis, yang menunjukkan adanya tanda-tanda anemia. Keluhan lesu,
mudah lelah, dan pusing juga merupakan tanda lain dari anemia. Selain
itu, ekstremitas yang tampak pucat merupakan salah satu tanda lain dari
anemia. Tetapi perlu ada pemeriksaan lain untuk menegakkan diagnosis
anemia ini.
f. Thalassemia memiliki ciri yang hampir sama dengan anemia, sehingga
hipotesis ini belum dapat dihilangkan, perlu ada pemeriksaan lanjutan agar
dapat memastikan apa yang terjadi pada anak A.
g. Keganasan (kanker, dan lain-lain), tidak ada keterangan yang menjelaskan
adanya kelainan yang merujuk kepada adanya keganasan yang terjadi pada
anak A.
3. Informasi 3
Tabel 2.1 Hasil pemeriksaan laboratorium
Komponen Hasil Laboratorium Nilai rujukan
Hb 9 g/dL 11.5 – 13.5
Ht 30% 33 – 45 %
RBC 4.000.000/mm3 4.200.000 – 5.200.000
MCV 56 fL 69 – 93
MHC 22 g/dL 32 – 36 %
MCHC 16.5 pg 32 – 34 pg
WBC 7.500/mm3 4.500 – 13.000
Platelet 150.000/mm3 150.000-300.000/mm3
Tabel 2.2 Hasil pemeriksaan Laboratorium Differential Count
Komponen Eosinofil Basofil Stab Segment Limfosit Monosit
Hasil
laboratorium
8 % 0 % 1 % 60 % 26 % 5 %
Nilai rujukan 1-4 % 0-1 % 2-5 % 50-70 % 20-40 % 1-6 %
Interpretasi Lebih Normal Kurang Normal Normal Normal
Interpretasi hasil pemeriksaan laboratorium:
a. Hemoglobin (Hb) berperan penting dalam pengangkutan O2 dan juga
CO2. Pada hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa kadar hemoglobin
anak A rendah, dibandingkan dengan nilai normal.
b. Nilai hematokrit pada hasil pemeriksaan laboratorium anak A rendah,
dan ciri tersebut merupakan salah satu indikator anemia.
c. RBC atau Red Blood Cell Count berarti hitung jumlah sel darah merah
pada informasi ini sebesar 4000.000/mL padahal jumlah normal menurut
Dacie untuk anak A adalah kisaran 4,2-5,2 juta/mL, ini berarti RBC anak
A rendah, rendahnya jumlah RBC ini merupakan indikator anemia.
d. MCV atau Mean corpuscular volume
Nilai normal = 82-92 fL, sedangkan untuk anak A hanya 56 fL, maka
intepretasinya adalah kurang dari nilai normal, maka disebut
mikrositik.
e. MCHC atau Mean corpuscular haemoglobin concentration
Nilai normal dari MCHC adalah 32-37%, sedangkan pada anak tersebut
kurang dari nilai normal tersebut. Bila MCHC yang dimiliki seseorang
<31 g/dL, maka disebut hipokromik, sedangkan bila ternyata > 37 g/dL
maka akan disebut hiperkromik. Pada informasi diatas diketahui kadar
MCHC anak A hanya 22g/dL sehingga disebut hipokromik.
f. MCH atau Mean corpuscular hemoglobin
Pada anak tersebut, MCH kurang dari nilai normal, yang seharusnya
adalah 27-32 pg. Bila MCH yang ada pada hasil pemeriksaan
laboratorium <27 pg disebut hipokrom, sedangkan bila > 32 pg disebut
hiperkromik. Pada informasi untuk anak A diatas diketahui kadar MCH
sebesar 16.5 pg yang berarti kurang dari normal sehingga disebut
hipokrom.
g. WBC atau White Blood Cell Count berarti hitung jumlah sel darah putih
(leukosit). Pada anak A, hitung jumlah leukositnya sebesar 7.500/mL,
maka untuk anak seusia A, jumlah tersebut adalah normal, karena
kisaran leukosit normal adalah pada 4.500 – 13.000/mL.
h. Platelet atau sering disebut trombosit kisaran normalnya adalah 150.000-
350.000/mm3. Pada anak A, jumlah trombosit masih dalam kisaran
normal, namun jumlahnya masih pada posisi batas bawah.
i. Dengan tingginya eosinofil maka dapat disimpulkan bahwa ada infeksi
parasit yang terjadi. Namun spesies dari parasit belum dapat diketahui
secara pasti.
j. Untuk jumlah basofil, segmen, limfosit, dan monosit masih dalam batas
normal, namun untuk pemeriksaan Stab, hasilnya kurang dari nilai
normal.
Turunnya MCH dan MCV akan menjadi salah satu ciri khas dari anemia
defisiensi besi apabila dilengkapi dengan tampakan mikrositik hipokromik.
Namun, kemungkinan adanya thalassemia minor tidak bisa dipungkiri, karena
terkadang thalassemia ini hadir tanpa gejala yang khas pada thalassemia. Maka
dibutuhkan pemeriksaan apusan darah untuk melihat tampakan morfologis
eritrosit.
4. Informasi 4
Pemeriksaan tambahan berupa hapusan darah tepi, didapatkan gambar
sebagai berikut :
Gambar 2.1 Sediaan Apus Darah Tepi
Didapatkan kondisi eritrosit, antara lain:
1. Mikrositik, yaitu eritrosit yang kecil secara abnormal, berdiameter 5
mikron atau kurang (Dorland, 1996). Keberadaan sel eritrosit yang kecil
abnormal (Bain, 2003).
2. Hipokromik, yaitu keadaan yang terwarnai kurang kuat dibandingkan
normal, atau penurunan hemoglobin dalam eritrosit sehingga warnanya
menjadi pucat abnormal (Dorland, 1996).
3. Anisositosis, yaitu adanya eritrosit di dalam darah yang menunjukkan
variasi ukuran yang besar sekali (Dorland, 1996). Anisositosis juga
diartikan sebagai peningkatan variasi dalam hal ukuran dari satu eritrosit
terhadap yang lainnya (Bain, 2003).
4. Poikilositosis, yaitu adanya eritrosit dengan keragaman bentuk yang
abnormal di dalam darah (Dorland, 1996). Keberadaan poikilosit di darah;
meningkatnya variasi dalam hal bentuk eritrosit (Bain, 2003).
5. Reuloux, yaitu gumpalan sel-sel darah merah yang disatukan bukan oleh
antibody atau ikatan kovalen, tetapi semata-mata oleh gaya tarik
permukaan (Sacher, 2002)
6. Banana shaped, yaitu adanya eritrosit dengan bentuk agak lonjong seperti
buah pisang.
Diagnosis banding atau Differential Diagnosis yang masih belum bisa
dihilangkan pada informasi sebelumnya adalah mengenai Thalassemia,
tetapi karena tidak ditemukan adanya eritrosit berinti pada sediaan, maka
kemungkinan ini dapat dihilangkan. Pada pemeriksaan Sediaan Apus
Darah Tepi (SADT) ini dapat semakin menegakkan diagnosis anemia
defisiensi besi yang dialami oleh anak A, dengan cirinya yang khas yakni
mikrositik, dan hipokromik. Bisa disimpulkan, anak A mengalami
anemia yang diklasifikasikan sebagai anemia mikrositik hipokromik.
Differential Diagnosis (DD):
a. Anemia akibat penyakit kronik
b. Thalassemia
c. Anemia sideroblastik
Perbedaan keempat jenis anemia tersebut dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 2.3 Perbedaan jenis anemia
ADB Anemia akibat
penyakit kronik
Thalassemia Anemia
sideroblastik
MCV Menurun Menurun/N Menurun Menurun/N
MCH Menurun Menurun/N Menurun/N Menurun/N
Besi serum Menurun Menurun Normal Normal
TIBC Meningkat Menurun Normal/naik Normal/naik
Transferin <15% 10-20% >20% >20%
Feritin serum Menurun
<20
mikrogram/dl
Normal
20-200
mikrogram/dl
Meningkat
>50
mikrogram/dl
Meningkat
>50
mikrogram/dl
Namun, untuk melakukan penegakan diagnosis atas anemia apa yang dialami
oleh anak A harus terdapat hasil pemeriksaan yang lain. Pemeriksaan tambahan
yang perlu ada untuk mengidentifikasi anemia antara lain
a) serum iron
b) TIBC
c) Ferritin
d) Pemeriksaan Feses
e) Apusan sumsum tulang (Bakta, 2006)
Namun, pemeriksaan apusan sumsum tulang ini dinilai terlalu jauh, hanya
dengan poin (a), (b), dan (c), saja sudah bisa memberikan info, anemia apakah yang
dialami anak A.
5. Informasi 5
Serum iron 45 ug/dL (Normal value: 80-180 ug/dL)
TIBC 500 ug/dL (Normal value: 250-435 ug/dL)
Serum Ferritin 10-20 ng/L (Normal value: 20-200 ng/L)
Intepretasi hasil pemeriksaan
1. Dari hasil pemeriksaan, dapat disimpulkan bahwa jumlah serum ion anak
A mengalami penurunan sedangkan TIBC mengalami peningkatan serta
untuk feritinnya mengalami penurunan.
2. Dinilai dari jumlah serum ion dan serum feritin yang mengalami
penurunan, bisa disimpulkan anak A mengalami Anemia Hipokromik
Mikrositer dengan Gangguan Metabolisme Besi
B. Sasaran Belajar
1. Hematopoiesis (Pembentukan Sel Darah)
a. Eritropoiesis
Eritropoiesis adalah pembentukan sel darah merah (Dorland,1998).
1) Produksi Sel Darah Merah
Gambar 2.2 Hematopoiesis
a) Daerah-daerah tubuh yang memproduksi sel darah merah.
Dalam minggu-minggu pertama kehidupan embrio, sel sel
darah merah primitif yang masih memiliki inti diproduksi dalam
yolk sac (Saccus Vitellinus). Selama pertengahan trimester masa
kehamilan, hepar dianggap sebagai organ utama memproduksi sel-
sel darah merah, walaupun terdapat juga sel-sel darah merah dalam
jumlah cukup banyak yang diproduksi dalam limpa dan
limfonodus. Lalu selama bulan terakhir kehamilan dan sesudah
lahir, sumsum tulang sudah terbentuk sempurna dan sel-sel darah
merah hanya diproduksi di dalam sel tulang. Pada dasarnya,
sumsum tulang dari semua tulang menghasilkan memproduksi sel
darah merah sampai seseorang berusia 5 tahun; tetapi sumsum dari
tulang panjang, kecuali bagian proksimal humerus dan tibia,
menjadi sangat berlemak dan tidak memproduksi sel-sel darah
merah setelah kurang lebih berusia 20 tahun. Setelah usia ini,
kebanyakan sel darah merah diproduksi dalam sel tulang
membranosa, seperti vertebra, sternum, iga, dan ileum. Bahkan
dalam tulang-tulang ini, sumsum menjadi kurang produktif sesuai
dengan bertambahnya usia (Guyton,1997).
b) Pembentukan Sel Darah :
Sel Stem Hematopoietik Pluripoten, Penginduksi Pertumbuhan,
Dan Penginduksi Diferensisasi.
Pada sumsum tulang terdapat sel sel yang disebut sel stem
hematopoietik yang merupakan asal dari seluruh sel-sel darah
dalam sirkulasi. Karena sel-sel darah diproduksi terus menerus
sepanjang hidup manusia, maka ada bagian dari sel-sel ini yang
masih seperti sel aslinya dan disimpan dalam sumsum tulang untuk
mempertahankan suplai pembentukan sel darah, walaupun
jumlahnya cenderung terus berkurang seiring dengan usia.Sel
pluripoten tadi akhirnya membentuk beberapa sel yang berbeda
dari dirinya, namun masih sulit dibedakan satu sama lain, biasa
disebut sel stem commited atau CFU (Colony Forming Unit), yang
pada nantinya akan membentuk berbagai macam sel seperti
monosit, megakariosit, eritrosit dan sebagainya, seperti dijelaskan
pada gambar diatas (Guyton,1997).
c) Tahap-Tahap Diferensiasi Sel Darah Merah
Sel pertama yang dapat dikenali sebagai bagian dari
rangkaian sel darah merah adalah proeritroblas., sesuai dengan
ilustrasi dibawah. Dengan rangsangan yang sesuai, maka akan
dibentuk banyak sekali sel sel ini. (Guyton,1997)
Sekali proeritroblas terbentuk, ia akan membelah beberapa
kali yang pada akhirnya nanti menjadi sel matur. Sel generasi
pertama yang terbentuk dari sel proeritroblas adalah basofil
eritoblas. Dari total pembentukan eritrosit rata-rata 7 hari, dan
basofil eritroblas dibentuk di hari pertama. Mengapa dinamakan
basofil karena ia bisa menyerap zat warna basa. Setelah itu, inti
dari sel darah merah ini semakin mengecil, hingga jadilah suatu
tahap dimana terakhir kali ia masih memiliki inti, yaitu
Ortokromatik eritroblas. Setelah itu, jadilah suatu sel yang sudah
terlepas intinya. Yaitu sel retikulosit. Pada tahap ini masih didapati
organel-organel basofillik yaitu sisa-sisa aparatus golgi,
mitokondria, dan lain lain. Selama tahap ini, sel sel berjalan dari
sumsum tulang menuju sirkulasi dengan cara diapedesis (terperas
memalui pori pori membran kapiler). Dalam 1-2 hari, bahan
basofilik itu akan hilang dan jadilah sel darah merah matur alias
eritrosit. (Guyton,1997)
d) Peran Hormon Eritropoietin; Kebutuhan Vitamin B12 dan Asam
Folat
Faktor utama yang dapat merangsang produksi sel darah
merah adalah sebuah hormon yang dibentuk dalam ginjal (90%)
dan hati, yaitu eritropoietin. Bila tidak ada hormon ini, maka
ketika dalam keadaan hipoksia pun, tubuh tidak akan cepat
terangsang untuk membentuk eritrosit. Kadar eritropoietin tidak
boleh terlalu sedikit ataupun banyak, karena eritrosit yang dibentuk
pun menyesuaikan jumlahnya. (Guyton,1997)
Sedangkan, apa pentingnya asupan vitamin B12 dan asam
folat? ternyata, karena terus menerus harus memenuhi kebutuhan
akan sel darah merah, maka sel sel sumsum tulang merupakan sel
yang tumbuh dan bereproduksi paling cepat di dalam tubuh. Oleh
karena itu, pematangan dan kecepatan produksi dipengaruhi oleh
keadaan nutrisi seseorang. Vitamin b12 dan asam folat yang biasa
didapatkan pada kacang kacangan, sayur mayur maupun daging ini
rupanya berperan penting dalam pelepasan inti sel darah merah
agar menjadi matur (Guyton,1997).
Gambar 2.3 Eritropoiesis (Martini, 2012)
b. Leukopoiesis
Leukopoiesis adalah pembentukan sel darah putih (leukosit) pada sel
benih pluripoten (Brooker, 2008).
Gambar 2.4 Skema Hematopoiesis (http://apbrwww5.apsu.edu)
Leukosit terbentuk dari dua silsilah utama, yakni Myeloid progenitor dan
Lymphoid progenitor. Dari sisi myeloid progenitor, akan terbentuk
myeloblas yang merupakan cikal bakal sel granulosit (basophil, neutrophil
dan eosinophil) dan salah satu leukosit yang agranulosit yakni monosit.
Kemudian lymphoid progenitor akan membentuk lymphoblast yang akan
menjadi limfosit (Guyton, 2006)
Gambar 2.5 Fase-fase pada Hematopoiesis (http://apbrwww5.apsu.edu)
c. Trombopoiesis
Trombopoiesis adalah mekanisme pembentukan trombosit. Trombosit
merupakan sel darah yang terbentuk dari pecahan-pecahan
megakaryocyte.
2. Struktur dan fungsi normal Hemoglobin
a. Struktur Hemoglobin.
Hemoglobin merupakan pigmen utama eritrosit. Terdiri dari 2 komponen
yaitu;
1) Globin
Merupakan unit protein yang terbentuk dari 4 rantai polipeptida yang
berlipat – lipat.
2) Hem
Merupakan gugus non protein yang mengandung besi (Fe2+).
Setiap satu hemoglobin terdiri atas satu unit globin dan 4 gugus hem yang
masing – masing menempati satu rantai polipeptida yang menyusun globin
(Sherwood, 2009).
Karena kandungan besinya maka hemoglobin tampak kemerahan jika
berikatan dengan O2 dan keunguan jika mengalami deoksigenasi.
Gambar 2.6 Struktur Hemoglobin (Martini, 2012)
Fungsi hemoglobin antara lain (Sherwood, 2009) :
1) Hemoglobin mengikat dan mengangkut oksigen dari kapiler pulmonary ke
kapiler sistemik. Hemoglobin mengikat oksigen dengan membentuk
ikatan oksihemoglobin.
2) Hemoglobin mengikat dan mengangkut karbondioksida dari kapiler
sistemik ke kapiler pulmonary dengan membentuk ikatan
karboksihemoglobin.
3) Hemoglobin merupakan bagian dari sistem buffer protein, antara lain;
a) Sistem buffer asam amino
b) Sistem buffer protein plasma
c) Sistem buffer hemoglobin. Hb akan mengikat hidrogen asam (H+) dari
asam karbonat terionisasi yang dihasilkan di tingkat jaringan dari
CO2. Hemoglobin menyangga asam agar asam ini tidak banyak
menyebabkan perubahan pH darah.
4) Hemoglobin mengangkut vasodilator yaitu nitrat diokida (NO). NO yang
bebas di jaringan akan melemaskan dan melebarkan arteriol lokal.
Vasodilatasi ini membantu menjamin kelancaran aliran O2 dan
menstabilkan tekanan darah.
Gambar 2.7 Ilustrasi buffer hemoglobin (Martini, 2012)
3. Nilai Normal Pemeriksaan Darah Lengkap
a. Eritrosit (Red Blood Cell)
Pria Dewasa : 4,5 – 6,5 juta/mm3
Wanita Dewasa : 3,9 – 5,6 juta/mm3
< 3 bulan : 4,0 – 5,6 juta/mm3
3 bulan : 3,2 – 4,5 juta/mm3
1 tahun : 3,6 – 5,0 juta/mm3
12 tahun : 4,2 – 5,2 juta/mm3
b. Leukosit (White Blood Cell)
Pria Dewasa : 4 – 11 ribu/mm3
Wanita Dewasa : 4 – 11 ribu/mm3
Bayi : 10 – 25 ribu/mm3
1 tahun : 6 – 18 ribu/mm3
12 tahun : 4,5 – 13 ribu/mm3
c. Hemoglobin (Hb)
Pria Dewasa : 12,5 – 18,0 gr %
Wanita Dewasa : 11,5 – 16,5 gr %
< 3 bulan : 13,5 – 19,5 gr %
3 bulan : 9,5 – 13,5 gr %
1 tahun : 10,5 – 13,5 gr %
3 – 6 tahun : 12,0 – 14,0 gr %
10 - 12 tahun : 11,5 – 14,5 gr %
d. Hematokrit
Pria Dewasa : 47 ± 7 %
Wanita Dewasa : 42 ± 5 %
Bayi baru lahir : 54 ± 10 %
3 bulan : 38 ± 6 %
3 – 6 bulan : 40 ± 45 %
10 - 12 tahun : 41 ± 4 %
e. Trombosit (Platelet)
Nilai Normal : 150.000 – 400.000 / mm3
f. Indeks Eritrosit (MCV, MCH, dan MCHC)
MCV : 80 – 100 fl
MCH : 27 – 31 pg
MCHC : 32 – 36 %
g. Laju Endap Darah (LED)
Metode Westergreen
Pria Dewasa : 0 – 15 mm / jam
Wanita Dewasa : 0 – 20 mm / jam
h. Hitung Jenis Leukosit (Diff Count)
Eosinofil : 1 – 4 %
Basofil : 0 – 1 %
Stab : 2 – 5 %
Segmen : 50 – 70 %
Limfosit : 20 – 40 %
Monosit : 1 – 6 %
4. Klasifikasi anemia
a. Berdasarkan morfologi eritrosit
1) Anemia Hipokromik mikrositer
a) Anemia defisensi besi
ADB adalah anemia yang timbul akibat berkurangnya penyediaan
besi untuk eritropoesis, karena cadangan besi kosong (depleted
iron store) yang pada akhirnya mengakibatkan pembentukan
hemoglobin berkurang (Bakta, 2009).
Ditandai oleh anemia hipokromik mikrositer dengan hasil
laboratorium yang menunjukkan cadangan besi dalam tubuh
kosong.
Prevalensi :
ADB sering dijumpai di negara-negara berkembang atau di
negara-negara tropik. Karena sangat erat kaitannya dengan taraf
sosial ekonomi.
Etiologi :
i. Rendahnya masukan besi/faktor nutrisi: kurangnya jumlah besi
total dalam makanan atau kualitas besi yang tidak baik,
contohnya pada makanan berserat, rendah vitamin C, dan
rendah daging.
ii. Gangguan absorbsi besi dalam tubuh, misalnya pada penyakit
gastrektomi dan kolitis kronik.
iii. Kehilangan besi sebagai akibat perdarahan menahun, misalnya
pada kanker lambung, kanker kolon, hematuria, tukak peptik,
divertikulosis, hemoroid, menorrhagia, metrorhagia, dan
infeksi cacing tambang.
iv. Kebutuhan besi meningkat, misalnya pada masa pertumbuhan
dan kehamilan.
Patogenesis :
Kurangnya asupan makanan yang mengandung besi
menyebabkan cadangan besi dalam tubuh menurun. Keadaan di
mana cadangan besi menurun disebut iron depleted state atau
negative iron balance. Keadaan ini ditandai oleh peningkatan
absorbsi besi dalam usus, penurunan kadar feritin serum, serta
pengecatan besi dalam sumsum tulang negatif. Apabila keadaan
ini berlangsung secara terus-menerus, maka cadangan besi dalam
tubuh akan menjadi kosong sama sekali, penyediaan besi untuk
eritropoesis berkurang sehingga bentuk eritrosit terganggu, akan
tetapi gejala klinik anemia belum timbul. Keadaan ini disebut iron
deficient erythropoiesis.
Pada fase ini kelainan pertama yang dijumpai ialah
peningkatan kadar free protophorphyrin atau zinc
protophorphyrin dalam eritrosit. Saturasi transferin menurun dan
total iron binding capacity (TIBC) meningkat. Akhir-akhir ini
parameter yang sangat spesifik ialah peningkatan reseptor
transferin dalam serum. Apabila jumlah besi menurun terus maka
eritropoesis semakin terganggu sehingga kadar hemoglobin mulai
menurun, akibatnya timbul anemia hipokromik mikrositer,
disebut sebagai iron deficiency anemia (Bakta, 2009).
Dampak defisiensi besi (selain menimbulkan anemia) :
i. Gangguan pada sistem neuromuskular sehingga
mengakibatkan gangguan kapasitas kerja;
ii. Gangguan terhadap proses mental dan kecerdasan;
iii. Gangguan imunitas dan ketahanan terhadap infeksi;
iv. Gangguan terhadap ibu hamil dan janin yang dikandungnya;
v. Penurunan fungsi mioglobin, enzim sitokrom dan gliserofosfat
oksidase yang dapat menyebabkan gangguan glikolisis yang
berakibat penumpukan asam laktat sehingga mempercepat
kelelahan otot;
vi. Menurunkan kesegaran jasmani dan produktivitas kerja; dan
vii. Gangguan kognitif maupun non-kognitif pada anak dan bayi
sehingga dapat menurunkan kapasitas belajar.
Gejala anemia defisiensi besi :
Gejala umum :
- Kadar Hb < 7-8 g/dl mengakibatkan badan lemah, lesu, cepat
lelah, mata berkunang-kunang, dan telinga mendenging.
- Pemeriksaan fisik menunjukkan kondisi pasien pucat.
Gejala khusus :
- Koilonychia atau kuku sendok (spoon nail), kuku cekung,
bergaris-garis vertikal, dan rapuh
- Atrofi papil lidah, sehingga permukaan lidah menjadi licin dan
mengkilap karena papil lidah menghilang.
- Stomatitis angularis (cheilosis) : radang pada sudut mulut yang
tampak sebagai bercak pucat keputihan.
- Disfagia : nyeri menelan karena kerusakan epitel hipofaring.
- Atrofi mukosa gaster sehingga menyebabkan akhloridia.
- Pica : keinginan untuk memakan bahan yang tidak lazim,
seperti tanah liat, lem, dan lain-lain.
Metabolisme Besi
Salah satu unsur yang dibutuhkan oleh tubuh adalah unsure
besi. Besi terbagi dalam 3 bagian yaitu senyawa besi fungsional, besi
cadangan dan besi transport. Besi fungsional yaitu besi yang
membentuk senyawa yang berfungsi dalam tubuh terdiri dari
hemoglobin, mioglobin dan berbagai jenis ensim. Bagian kedua adalah
besi transportasi yaitu transferin, besi yang berikatan dengan protein
tertentu untuk mengangkut besi dari satu bagian ke bagian lainya.
Bagian ketiga adalah besi cadangan yaitu feritin dan hemosiderin,
senyawa besi ini dipersiapkan bila masukan besi diet berkurang. Besi
membutuhkan protein transferin, reseptor transferin dan feritin agar
dapat berfungsi dalam tubuh manusia yang akan berperan sebagai
penyedia dan penyimpan besi dalam tubuh dan iron regulatory
proteins (IRPs) untuk mengatur suplai besi.
Transferin merupakan protein pembawa yang mengangkut besi
plasma dan cairan ekstraseluler untuk memenuhi kebutuhan tubuh
(Hoffman, 2000). Reseptor transferin adalah suatu glycoprotein yang
terletak pada membran sel yang berperan mengikat transferin-besi
komplek dan selanjutnya diinternalisasi ke dalam vesikel untuk
melepaskan besi ke intraseluler. Kompleks transferin-reseptor
transferin selanjutnya kembali ke dinding sel, dan apotransferin
dibebaskan ke dalam plasma. Feritin sebagai protein penyimpan besi
yang bersifat nontoksik akan dimobilisasi saat dibutuhkan. Iron
regulatory proteins (IRP-1 dan IRP-2 yang dikenal sebagai iron
responsive element-binding proteins [IRE-BPs], iron regulatory
factors [IRFs], ferritin-repressor proteins [FRPs] dan p90) merupakan
messenger ribonucleic acid (mRNA) yang mengkoordinasikan
ekspresi intraseluler dari reseptor transferin, feritin dan protein penting
lainnya yang berperan dalam metabolisme besi.
Gambar 2.8 Struktur protein transport (Beutler at al, 2000)
Bagian A adalah struktur apotransferin. Secara skematik
struktur apotransferin terdiri atas cincin polipeptid yang terbagi dalam
dua lobus, masing-masing berbentuk elip dan mengandung single
iron-binding site yang ditampilkan dengan sebuah tanda titik. Setiap
lobus disusun dengan dua domain yang berbeda, diberi label I dan II.
Selain itu dikenal juga adanya dua lobus yaitu lobus N-terminal dan C-
terminal. Bagian B adalah reseptor transferin. Skema di atas
menampilkan reseptor transferin di atas permukaan sel. Transferin
reseptor merupakan dimer glikoprotein transmembran terdiri atas dua
subunit yang identik dihubungkan dengan ikatan disulfide. Transferin
reseptor bersifat ampipatik dengan ekor sitoplasmik hidrofilik yang
kecil dan domain ekstraseluler hidropilik yang luas. Reseptor dapat
mengikat dua molekul transferin (Beutler at al, 2000).
b) Thalasemia
Adalah sekelompok heterogen gangguan genetik pada sintesis Hb
yang ditandai dengan tidak ada atau berkurangnya sintesis rantai
globin.
c) Anemia akibat penyakit kronis
Anemia ini hampir mirip dengan anemia defisiensi besi, namun
perbedaanya terletak pada penyebabnya. Pada anemia akibat
penyakit kronis adalah adanya sekuestrasi zat besi di dalam sel
sistem retikuloendotel akibat terjadi inflamasi.
d) Anemia sideroblastik
Anemia ini terjadi karena abnormalitas metabolisme besi pada
eritrosit
2) Anemia normokromik normositer
Di antara beberapa jenis anemia, inilah beberapa contoh anemia
normokromik normositer
a) Anemia pasca perdarahan akut
Anemia ini terjadi karena berkurangnya jumlah darah (eritrosit)
karena perdarahan yang masiv.
b) Anemia aplastik
Aplastic anemia (hispoplastik) didefinisikan sebagai
pansitopenia yang disebabkan oleh aplasia sum-sum tulang
(hoffbbrand et al, 2005). Definisi yang lain menyebutkan bahwa
anemia aplastik adalah suatu gangguan pada sel-sel induk di
sumsum tulang yang dapat menimbulkan kematian (Price &
Wilson, 1994).
Anemia aplastik memiliki angka insidensi sekitar 2-6 kasus per
1 juta penduduk per tahun. Biasanya muncul pada usia 15-25 tahun
tergantung letak geografis wilayahnya. Di AS dan eropa sebagian
besar pasien berumur antara15-24 tahun. Dari cina dilaporkan
bahwa sebagian besar kasus anemia aplastik mengenai perempuan
berumur > 50 tahun dan laki-laki berumur > 60 tahun. Perjalanan
penyakit pada pria lebih berat daripada perempuan (Widjanarko
dkk , 2004)
Etiologi
Penyebab anemia aplastik ada bermacam-macam, kebanyakan
bersifat idiopatik didapat (tanpa diketahui penyebabnya). Akan
tetapi belakangan telah diketahui penyebab anemia aplastik yang
lain, seperti sinar radiasi, kemoterapi, obat-obatan serta senyawa
kimia tertentu(benzene). Penyebab yang lain adalah kehamilan,
hepatitis viral, dan fasciitis eosinofilik (widjanarko dkk, 2004).
Ada beberapa yang menyebutkan bahwa penyebab anemia aplastik
di bagi menjadi 2 yaitu penyebab primer dan penyebab sekunder
(Price & Wilson, 1994). Penyebab primer meliputi kongenital
(jenis fanconi dan non fanconi) dan idiopatik didapat, sementara
penyebab sekunder terdiri dari radiasi pengion karena pemajanan
tidak sengaja (radioterapi, isotop radioaktif, stasiun pembangkit
tenaga nuklir), zat kimia (seperti benzene dan pelarut organic lain,
TNT, insektisida, pewarna rambut, klordan, DDT), obat-obatan
(busulfan, siklofosfamid, antrasiklin, nitrosourea), dan infeksi
(hepatitis virus). Agen antineoplastik atau sitotoksik juga bisa
menyebabkan terjadinya anemia aplastik (Price & Wilson, 1994).
Patogenesis
Defek yang mendasari pada semua kasus tampaknya adalah
pengurangan yang bermakna dalam jumlah sel induk pluripotensial
hemopoietik, dan kelainan pada sel induk yang ada atau reaksi
imun terhadap sel induk tersebut, yang membuatnya tidak mampu
dan berdiferensiasi secukupnya untuk mengisi sum-sum tulang
(Hoffbbrand et al, 2005). Anemia aplastik terkait obat terjadi
karena hipersensitivitas atau dosis obat yang berlebihan
(Widjanarko dkk, 2004). Obat-obat yang diketahui dapat
menyebabkan anemia aplastik, dari antibiotik didapati nama
kloramfenikol, kemudian dari jenis hipoglikemik oral ada
tolbutamid, didapati juga pada obat anti inflamasi seperti
fenilbutazon, dan yang terakhir diketahui dari obat antineoplastik
yang sebagian besar menyebabkan anemia aplastik seperti
mekloretamin hidroklorida, siklofosfamid, vinkristin, metotreksat,
serta merkaptopurin.
Dari penyakit infeksi dilaporkan juga dapat menyebabkan
anemia aplastik baik sementara maupun permanen, seperti EBV,
dengue, dan hepatitis virus. Pada CMV melalui gangguan pada sel-
sel stroma sumsum tulang dapat menekan produksi sel sum sum
tulang, sehingga mengakibatkan aplasia pada sum sum tulang yang
berujung pada terjadinya keadaan pansitopemia sehingga timbul
anemia aplastik.
Pada kehamilan, terkadang ditemukan keadaan pansitopenia
yang kemudian disertai anemia aplastik sementara (widjanarko
dkk, 2004). Kemungkinan terbesar penyebabnya estrogen pada
seorang dengan predisposisi genetik, adanya zat penghambat
dalam darah atau tidak ada perangsang hematopoiesis.
c) Anemia pada gagal ginjal kronik
Ada empat mekanisme sebagai penyebab anemia pada GGK, yaitu:
i. Defisiensi eritropoietin (Epo)
Pemendekan panjang hidup eritrosit
hemolisis
hipersplenisme
ii. transfusi berulang
iii. Metabolit toksik yang merupakan inhibitor eritropoesis
iv. Kecenderungan berdarah karena trombopati
3) Anemia Makrositer
a) Anemia Megaloblastik
Anemia ini termasuk dalam anemia makrositik. Gangguan
yang terjadi pada sintesis DNA yang terjadi karena terbentuknya
sel megaloblastik. Anemia yang terjadi akibat kurangnya asupan
asam folat dan vitamin B12 ini akan terganggu pada saat sintesis
DNA sel eritoblas, maturasi sel pada inti akan lebih lambat.
Dampak yang terjadi yaitu melonggarnya jarak antar kromatin dan
menyebabkan ukuran sel menjadi lebih besar dari ukuran biasanya,
sel ini disebut sebagai sel megaloblas. Sel megaloblas akan
dihancurkan di sumsum tulang sebelum sel menjadi eritrosit
sehingga terjadilah eritropoesis inefektif (pembentukan eritrosit
yang tidak efektif). Beberapa gejala yang dapat ditemukan yaitu
diare, kehilangan nafsu makan, dan radang pada lidah. Untuk lebih
membantu diagnosis dapat dilakukan tes laboratorium yang
beberapa hasilnya akan menunjukkan jumlah retikulosit menurun,
MCV (Mean Corpuscular Volume) meningkat, MCHC (Mean
Corpuscular Hemoglobin Concentration) normal, hipersegmen
neutrofil, trombosit menurun, seri myeloid berukuran giant dan
granulositnya hipersegmen (Soenarto, 2006).
5. Penatalaksanaan Anemia Defisiensi Besi
Ada dua terapi yang dapat digunakan untuk memperkuat diagnosis
terhadap anemia defisiensi besi, yaitu:
a. Terapi besi oral, terapi ini merupakan cara pertama yang efektif, murah,
dan aman. Preparat yang digunakan adalah ferrous sulphat (sulfas ferosus)
dan dosis anjuran yang digunakan 3 x 200 mg. Pemberian dosis ini dapat
mengakibatkan absorsi besi 50 mg per hari dapat meningkatkan
eritropoesis dua sampai tiga kali dari normal. Pengobatan ini diberikan 3
hingga 6 bulan, ada juga yang hingga 12 bulan. Sebaiknya diberikan juga
dosis pemeliharaan dengan 100 sampai 200 mg agar anemia tidak kambuh
kembali.
b. Terapi besi parenteral. Terapi ini termasuk yang sangat efektif tetspi
risiko yang dapat ditimbulkannya juga besar dan harganya lebih tidak
terjangkau. Ada beberapa indikasi yang baik untuk diberikan terapi ini,
seperti: 1) tidak toleransi pada pemberian besi parenteral; 2) tidak patuh
pada obat; 3) gangguan pencernaan jika diberikan besi; 4) penyerapan besi
terganggu; 5) keadaan banyak kehilangan darah; 6) sedang banyak
membutuhkan asupan besi; 7) defisiensi besi fungsional relatif seperti
pada anemia gagal ginjal kronik.
6. Prognosis Anemia Defisiensi Besi
Prognosis dari anak A yang mengalami ADB baik, karena anemia ini masih
dapat diobati, dengan terapi yang sudah disebutkan, dan menambah asupan
besi.
BAB III
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil diskusi kelompok kami diperoleh kesimpulan bahwa kasus
pada diskusi kami kali ini adalah mengenai kelainan pada eritrosit, yakni anemia.
Pada kasus, anak A menunjukkan beberapa tanda bahwa ia terkena anemia. Setelah
melakukan diskusi, dan menerima beberapa info yang berkaitan dengan kondisi sang
anak, dipastikan bahwa anak ini menderita anemia mikrositik hipokromik akibat
gangguan metabolisme besi, yakni defisiensi besi.
Terapi yang diberikan adalah pemberian ferrous sulphat dengan dosis anjuran
yang digunakan 3 x 200 mg. Selain itu, dengan meningkatkan asupan besi pada anak
A akan memperbaiki kandungan gizi pada tubuhnya dan dapat menghindari anak
tersebut terkena anemia kembali.
DAFTAR PUSTAKA
Ani, Luh Seri. 2011. Metabolisme Zat Besi Pada Tubuh Manusia. Bali: IKK-IKP
Fakultas Kedokteran Universitas Udayana.
Anonim. 2012. Pemeriksaan laboratorium. Diakses di http://prodia.co.id/ pada 12
September 2012
Bain, Barbara J. 2003. A – Z Haematology. Malden: Blackwell Publishing.
Bakta, I Made. 2006. Pendekatan Terhadap Penyakit Anemia. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid II Edisi V. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam FKUI.
Bakta, I Made, dan Tjokorda Gde Dharmayuda. 2006. Anemia Defisiensi besi. Buku
Ajar Ilmu Penyakit dalam Jilid II Edisi V. Jakarta: Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.
Bakta, I Made. 2007. Hematologi Klinik Ringkas. Jakarta: EGC
Brooker, Chris. 2008. Ensiklopedi Keperawatan. Jakarta: EGC.
Dorland. 1996. Kamus Kedokteran Dorland edisi 25. Jakarta: EGC.
Guyton, Arthur C.Hall, John E.1997. Fisiologi Manusia, Edisi 9. Jakarta: ECG
Handayani, Wiwik. Andi Sulistyo Haribowo. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan
pada Klien dengan Gangguan Hematologi. Jakarta: Salemba Medika.
Hoffbrand,A.V., Petit,T.E., and Moss, P.A.H., Kapita Selekta Hemayologi, edisi 4,
EGC. Jakarta
Mehta, Atul. 2009. At a glance Hematology. Jakarta: Erlanggga.
Martini, Frederic H., Nath, Judi L., Bartholomew,Edwin F.2012. Fundamentals of
Anatomy Physiology : 9th edition. San Fransisco: Pearson.
Para Kontributor PubMed Health.”Hemolytic Anemia”.
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmedhealth/PMH0001597/ (diakses tanggal 10
september 2012)
Sherwood, Lauralee. 2009. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem edisi 6. Jakarta:
EGC
Soenarto. 2006. Anemia Megaloblastik. Buku Ajar Ilmu Penyakit dalam Jilid II Edisi
V. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.
Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI. 2007. Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta : FK
UI
Sudoyo, Aru W dkk. 2009. Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Jakarta: Interna Publishing
Tim PK. 2012. Buku Petunjuk Praktikum PK. Purwokerto
Tortora, Gerard J., Derrickson,Brian.2009. Principles of Anatomy and Physiology.
Denver: John Wiley & Sons, Inc.
W.B Saunders.1998. Kamus Saku Kedokteran Dorland. Jakarta: EGC
Widjanarko A., Sudoyo AW., Salonder H. 2006. Ilmu Penyakit Dalam. Cetakan 4,
Jakarta : EGC
Wilson & Price, 1995, Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, edisi 4,
Jakarta : EGC
Windiastuti, Endang.”Anemia Defisiensi Besi Pada Bayi dan
Anak.”.http://www.idai.or.id/kesehatananak/artikel.asp?
q=20125795911(diakses tanggal 10 September 2012)
Recommended