View
5
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
KRITIK TERHADAP PEMERINTAH ORDE BARU
DALAM NASKAH DRAMA MENGAPA KAU CULIK ANAK KAMI?
KARYA SENO GUMIRA AJIDARMA*)
(Criticisms of The Government During The New Order Era In Mengapa Kau Culik
Anak Kami? Script By Seno Gumira Ajidarma)
Bawon Wiji Dia Prasasti1
dan Purwati Anggraini2
Universitas Muhammadiyah Malang
Jalan Raya Tlogomas 246 Malang, Indonesia
Telepon Penulis: +6282229057654 1pos-el: wijidiaprasasti.03@gmail.com
2pos-el: poer1979ang@gmail.com
*) Diterima: 8 Januari 2020, Disetujui: 12 April 2020
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan kritik tokoh terhadap pemerintah Orde Baru dalam naskah
drama Mengapa Kau Culik Anak Kami? Penelitian ini memfokuskan pada kritik tokoh terhadap
pemerintahOrde Baru. Penelitian ini penting dilakukan untuk mengetahui pandangan pengarang
terhadap masa Orde Baru. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif. Data
penelitian berupa cuplikan dialog dan monolog dalam naskah Mengapa Kau Culik Anak Kami? yang
memiliki relevansi dengan tujuan penelitian serta informasi-informasi penting yang diperoleh dari
penelitian. Sumber data penelitian yaitu naskah drama Mengapa Kau Culik Anak Kami? diterbitkan
oleh Galang Press tahun 2001. Hasil penelitian ini, yaitu Pertama, kritik terhadap pemerintah dalam
bidang ekonomi berupa kemiskinan. Kedua, konflik sosial yang dialami dan diamati pengamatan tokoh
utama terhadap pemerintah yaitu dari pengalaman masa lalu hingga sekarang berupa yaitu, kekerasan,
pembunuhan, dan penculikan. Ketiga, kritik terhadap pemerintah berupa masalah politik
penyalahgunaan kekuasaan.
Kata kunci: kritik, pemerintah, Orde Baru
ABSTRACT
This study aimed at describing the characters’ criticism to the New Order government in Mengapa Kau Culik
Anak Kami? drama script. This study focused on the characters’ criticism toward the New Order
government to discover the author’s view on the New Order era. The method used was descriptive. The
data of study were dialogue and monolog quotes of Mengapa Kau Culik Anak Kami? script, which had
relevance to the purpose of study and important information obtained from the study. The data sources
were Mengapa Kau Culik Anak Kami script published by Galang Press in 2001. The study results are
first, criticism of government in the economic sector involves of poverty. Second, social conflicts
experienced and observed by the main character toward the government are past experiences to
present i.e. violence, murder, and kidnapping. Third, criticism of the government is in the form of
political problems including of abuse of power.
Keywords: criticisms, government, the new order
202 ALAYASASTRA, Volume 16, No. 2, November 2020
PENDAHULUAN
Karya sastra pada dasarnya merupakan
hasil refleksi kehidupan sosial
manusia, sebagai rekaman fenomena
yang terjadi pada kelompok
masyarakat pada masa tertentu. Hal ini
sejalan dengan apa yang dikatakan oleh
(Kurnia, I. N & Anggraeni, 2018:93)
bahwa karya sastra merupakan hasil
representasi pengalaman manusia
dalam kehidupan sosial. Dalam hal ini,
karya sastra dapat dihubungkan dengan
kejadian yang terjadi saat menciptakan
karya sastra atau kejadian sebelum
karya sastra dibuat.
Sastra merupakan cermin dari
aspek sosial yang berkaitan dengan
permasalahan-permasalahan dalam
kehidupan sosial ( Diana Laurenson
dan Alan Swingewood dalam Putra,
2018:13). Hal tersebut membuktikan
bahwa karya sastra menjadi suatu
media untuk memaparkan peristiwa
atau masalah-masalah sosial dalam
kehidupan. Adanya masalah sosial
memicu munculnya kritik masyarakat.
Kritik yang diungkapkan pengarang
dalam karya sastra bertujuan untuk
mengungkapkan ketimpangan yang
telah terjadi pada masa tertentu
(Jaiyudin, 2016:02).
Kritik pengarang terhadap
pemerintah menjadi ujung tombak
terciptanya ide-ide kreatif dalam
kehidupan bersosial masyarakat, meski
dalam ruang dan rentang waktu yang
berbeda yaitu masa lampau dan masa
kini. kritik menjadi bentuk penilaian
seseorang kritikus sastra yang
diekspresikan dengan perkataan, gaya
bahasa, dan tingkah laku tertentu
terhadap objek yang dikritisi (Pradopo
dalam Biantoro, 2012:1)
Manusia dalam kehidupannya
memiliki cara berbeda dalam
menyampaikan kritik terhadap
masalah sosial yang terjadi dalam
lingkungan sekitarnya. Kritik
bertujuan menjadi kontrol terhadap
segala peristiwa sosial atau proses
sosial yang terjadi dalam masyarakat
serta menjadi salah satu cara
menyampaikan ketidaksetujuan
terhadap peristiwa yang ada (Akhmad
Zaini Aliyah, 2010:20). Kritik dan
sindiranmerupakan wujud kritik sosial,
misalnya, seorang sastrawan akan
menyampaikan kritik terhadap
kekejaman pemerintah pada masa orde
baru atau pasca orde baru melalui
penciptaan karya sastra.
Kritik penting dalam sastra
untuk meningkatkan pemahaman
manusia dalam menghargai peristiwa
sosial yang terjadi serta sebagai
pemelihara wujud sosio-budaya
masyarakat. Hardjana mengatakan
kritik sastra penting dilakukan sebagai
penyokong pengalaman manusia
menjadi suatu struktur yang bermakna
dalam karya sastra (Hardjana,
1985:24).
Karya sastra menjadi salah satu
warisan budaya yang harus dijaga dan
tetap dinikmati oleh pembaca yang di
dalamnya terdapat sebuah teks yang
memiliki makna dan tujuan tertentu
(Anam, 2019:72). Dalam
perkembangannya, salah satu bentuk
karya sastra yang masih diminati
masyarakat adalah naskah drama.
Naskah drama merupakan gambaran
kehidupan manusia sehari-hari yang
Kritik Terhadap Pemerintah Orde Baru... (Prasasti dan Anggraini) 203
berupa kekerasan, kebutuhan individu
yang satu dengan individu yang lain,
politik, budaya, dan lain-lain. Cerita
dalam naskah drama dapat berupa
dialog maupun monolog antartokoh
yang dapat dipertunjukkan dalam
suatu pementasan maupun berbentuk
teks, yaitu naskah drama. Tokoh
dalam cerita digunakan sebagai alat
menyampaikan suatu informasi, pesan,
dan amanat moral untuk pembaca
(Naratungga, 2014:111). Naskah
drama dinikmati sebagai karya sastra
tulis berwujud naskah, mampu
membebaskan imajinasi pembaca
melalui situsi tokoh, alur, dan lain-lain
yang digambarkan dalam bentuk
naskah ( Harymawan dalam Rina,
2010:187).
Salah satu naskah drama yang
menarik diteliti dari aspek kritik
pemerintah dalam kajian sosiologi
sastra adalah naskah drama Mengapa
Kau Culik Anak Kami? karya Seno
Gumira Ajidarma yang diterbitkan
oleh Galang Press tahun 2001. Naskah
ini membuka tabir sepasang orang tua
yang telah mengalami berbagai
macam konflik sosial kehidupan.
Dalam naskah drama ini, kritik
terhadap pemerintah dihadirkan
melalui latar dan alur dengan gaya
bahasa yang estetik untuk
mengungkapkan keadaan
pemerintahan pada masa orde baru.
Pengarang berhasil memberi sugesti
atas kritiknya terhadap pemerintahan
orde baru yang meliputi masalah
ekonomi, sosial, budaya, dan politik.
Keadaan dan peristiwa yang terjadi
ditonjolkan dalam suasana dan watak
tokoh penimbul konflik. Hal ini
sejalan dengan pendapat Pradopoyang
mengemukakan bahwa karya sastra
lahir dari pengarang yang
mengungkapkan hasil refleksinya
terhadap permasalahan sosial
(Pradopo, 2001:61).
Beberapa Penelitian yang
dilakukan sebelumnya, antara lain
penelitian dari Khusna (2015) yang
berjudul ―Kekerasan Politik Masa
Orde Baru dalam Naskah Drama
Mengapa Kau Culik Anak Kami?
Karya Seno Gumira Ajidarma:
Tinjauan Strukturalisme Genetik‖
skripsi tersebut meneliti pandangan
dunia pengarang yang berkaitan
dengan kekerasan politik pada masa
Orde Baru, serta hubungan antara
pandangan dunia pengarang dengan
kekerasan politik masa orde Baru
dalam naskah drama Mengapa Kau
Culik Anak Kami? Penelitian
berikutnya yang dilakukan oleh
Oksinata (2010) berupa skripsi
berjudul Kritik Sosial dalam
Kumpulan Puisi Aku Ingin Jadi Peluru
Karya Wiji Thukul (Kajian Resepsi
Sastra). Skripsi tersebut meneliti unsur
batin dan kritik sosial yang terdapat
dalam kumpulan puisi Aku Ingin Jadi
Peluru karya Wiji Thukul dan resepsi
pembaca dalam kumpulan puisi Aku
Ingin Jadi Peluru.
Fokus penelitian ini berupa
kritik terhadap pemerintah masa Orde
Baru yang diterbitkan pasca Orde
Baru. Pendekatan yang digunakan
dalam penelitian ini adalah pendekatan
sosiologi sastra. Pendekatan sosiologi
sastra dipilih karena sastra tidak dapat
lepas dari kehidupan masyarakat yang
membentuknya. Pradopo menjelaskan
204 ALAYASASTRA, Volume 16, No. 2, November 2020
bahwa dasar pendekatan sosiologi erat
dengan kritik mimetik, yaitu karya
sastra menjadi suatu cerminan atau
tiruan masyarakat. Sosiologi sastra
dipilih karena suatu karya sastra
memiliki hubungan timbal balik antara
pengarang, karya sastra, dan
lingkungan social (Pradopo, 2002; 23).
Kajian sosiologi ini berfokus pada
peristiwa-peristiwa yang terjadi pada
masa dulu atau flashback dan masa
kini (ruang dan waktu).
Tujuan penelitian ini ntuk
mendeskripsikan kritik terhadap
pemerintah pada masa Orde Baru.
Penelitian ini penting dilakukan guna
mengetahui bagaimana kehidupan
masyarakat di masa Orde Baru.
Apakah ada perkembangan atau rakyat
justru tidak mendapatkan hak-haknya.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Naskah karya Seno Gumira Ajidarma
menyajikan cerita unik mengenai
kekejaman pemerintahan pada masa
Orde Baru. Kekejaman Pemerintah
serta kegegeran penduduk pada masa
tersebut diungkap oleh tokoh Ibu yang
menceritakan kilas balik masa
kecilnya. Masa Orde Baru berjalan
dengan sistem yang menyulitkan
penduduknya, tidak hanya dalam
bidang ekonomi, melainkan juga pada
bidang politik dan sosial kehidupan
masyarakat Indonesia. Pengarang
menggambarkannya melalui tokoh
Satria yang ruang gerak dan sikap
kritisnya sebagai pemuda dibatasi.
Kekejaman pemerintah juga dirasakan
oleh Ibu dan Bapak ketika harus
kehilangan putranya, Satria. Satria
diculik hanya karena faktor kecurigaan
dan dianggap membahayakan
pemerintah.
Naskah drama menekankan pada
latar (suasana) yang sedikit
menggerakkan penikmat sastranya
pada sisi psikologis dan menjadi
tambahan wawasan bagi kehidupan.
Alur naskah drama adalah kilas balik
(flashback). Peristiwa bagian pertama
dimulai dengan flashback yang
memberikan kesan menarik. Dengan
flashback, bentuk kehidupan
masyarakat secara eksplisit tergambar
dari peristiwa-peristiwa tragis masa
lalu tokoh Bapak dan Ibu pada
pemerintahan Orde Baru.
Ditinjau dari flashback naskah
drama Mengapa Kau Culik Anak
Kami? tergambarkan konteks masalah
yang ada, digambarkan masalah itu
ada sejak perkenalan (cerita mulai
bergerak) hingga muncul konflik yang
semakin kompleks. Adapun penelitian
ini akan memaparkan kritik-kritik
tersebut meliputi: bidang ekonomi,
bidang politik, dan bidang sosial.
Kritik terhadap Pemerintah dalam
Bidang Ekonomi
Ekonomi menjadi bagian yang tidak
dapat dipisahkan dari manusia dan
material menjadi perjuangan dalam
memenuhi kebutuhan. Perjuangan itu
mengantarkan manusia berhadapan
dengan sumber daya alam dan sumber
daya sosial sebagai strategi
penghidupan yang dilakukan oleh
manusia untuk pemertahanan
kelangsungan hidup (Firdiyanti,
2016:14). Masalah ekonomi dapat
Kritik Terhadap Pemerintah Orde Baru... (Prasasti dan Anggraini) 205
terjadi ketika ketidakmampuan
manusia untuk memenuhi kebutuhan
sehari-hari karena sumber daya yang
kurang memadai. Masalah ekonomi di
masa Orde Baru cenderung bersifat
propaganda (Soesastro, 2005: 69). Hal
tersebut tidak menutup kemungkinan
manusia menjadi rendah moral yang
akhirnya menghalalkan segala cara
untuk mencapai keinginannya. Dalam
naskah Mengapa Kau Culik Anak
Kami? masalah ekonomi tergambar
dalam bentuk kegiatan masyarakat,
salah satunya menjarah. Hal tersebut
dibuktikan dengan perilaku
masyarakat pada masa pemerintahan
Orde Baru dengan menggaet mayat-
mayat yang hanyut di sungai karena
mati terbunuh oleh pemerintah. Seperti
terlihat dalam kutipan sebagai berikut.
―Penduduk pinggir kali, kere-kere
itu, menunggu mayat-mayat yang
lewat. Mereka menggaet mayat-
mayat dengan bambu yang diberi
pengait di ujungnya. Mereka geret
mayat-mayat itu ke tepian, lantas
mereka jarah. Penduduk mengambil
arloji, ikat pinggang, cincin dan
akhirnya menjebol gigi emas dari
mayat-mayat itu.‖ (Ajidarma,
2001:96)
Aspek permasalahan dalam bidang
ekonomi muncul ketika status
ekonomi masyarakat pinggir kali
tergolong rendah. Hal tersebut
diungkapkan oleh tokoh Ibu dengan
flashback pada masa kecilnya.
Suasana masa lalu tokoh pada masa itu
berupa rekaman kehidupan masyarakat
yang harus menjarah mayat-mayat
yang hanyut disungai, mengambil
harta benda yang tersisa di badan
mayat yang mengambang.
Pemerintah dalam peranannya tidak
mencerminkan memiliki sikap
mengayomi masyarakat. Hal tersebut
terlihat dari kerentanan sosial yang
dialami keluarga maupun kelompok
masyarakat yang secara sadar
melanggar norma. Pemerintah sebagai
pengatur negara harusnya melayani
masyarakat untuk memperbaiki
perekonomian masyarakat.
Seno Gumira Ajidarma
menggambarkan kehidupan
masyarakat dalam naskah sebagai
golongan miskin, mengalami
penderitaan dalam hal ekonomi. Krisis
ekonomi dalam naskah merupakan
hasil representasi dari Seno berdasar
kondisi masyarakat masa Orde Baru
ketika pada tahun 1966 masyarakat
Indonesia mengalami kelangkaan,
krisis ekonomi terparah (Krissandi,
2014:28). Keadaan tersebut
menyebabkan masyarakat miskin
menggaet mayat-mayat yang
mengapung di sungai untuk dijarah,
hal tersebut hasil representasi yang
sesuai dengan peristiwa masa Orde
Baru. Tidak hanya sebatas itu, konflik
ekonomi yang diungkap Seno juga
sepadan dengan kasus masa Orde Baru
yang diungkap oleh Marzuki , krisis
aspek ekonomi pada era Orde Baru
menyebabkan terjadinya perburuan
harta benda dengan menghalalkan
segala cara untuk memenuhi
kebutuhan, berbeda sekali dengan
mereka yang kaya atau sebagai aparat
Negara (Marzuki, 2006:323). Hal
tersebut menunjukkan adanya
kesenjangan sosial antara orang
206 ALAYASASTRA, Volume 16, No. 2, November 2020
miskin dan orang kaya pada masa itu.
Padahal pemerintah harusnya
memberikan jaminan sosial kepada
rakyat agar terpenuhi kebutuhan
dasarnya bukan memperburuknya Jika
tindakan acuh pemerintah tersebut
terus berlangsung maka masyarakat
akan terus menghalalkan segala cara
agar kebutuhan mereka terpenuhi
meskipun dengan menjarah mayat-
mayat yang hanyut di sungai.
Kritik terhadap Pemerintah dalam
Bidang Politik
Dalam kehidupan manusia, politik
menjadi senjata untuk menumpas hal-
hal yang menghancurkan rakyat
namun juga mampu menghancurkan
rakyat itu sendiri. Politik dalam
kenyataannya tidak terlepas dari
seseorang dalam memperoleh suatu
kekuasaan, memakainya, dan cara
untuk mempertahankannya (Maliki,
2018:04). Kritik terhadap masalah
politik dibuktikan dengan adanya
penyalahgunaan kekuasaan,
ketidakadilan, korupsi, dan hidup
sewenang-wenang tanpa
memperhatikan aturan. Manusia yang
tinggi jabatannya dapat dengan mudah
menyalahgunakan kekuasaan yang
diemban. Dalam tindakannya tersebut,
rakyat menjadi sasaran kekejaman
politikus. Fakta itu dapat dicermati
melalui data berikut.
―Orang-orang diciduk, orang-orang
disembelih, orang-orang dipenjara
dan dibuang tanpa pengadilan. Aku
masih ingat semua kisah sedih yang
tidak bisa diucapkan itu. Keluarga
yang kehilangan bapaknya, anak
yang kehilangan ibunya, istri yang
kehilangan suaminya. Mereka tidak
bisa mengucapkan apa-apa.
Tertindas. Keplenet. Tidak pernah
ngomong karena takut salah.
Padahal tentu saja tidak ada yang
lebih terluka, tersayat dan teriris
selain kehilangan orang-orang yang
tercinta dalam pembantaian.‖
(Ajidarma, 2001:110).
Peristiwa-peristiwa kekerasan fisik
yang dilakukan pemerintah yaitu
dengan cara menciduk atau membantai
rakyatnya. Akibatnya, banyak
keluarga yang tidak bersalah
kehilangan salah satu anggota
keluarganya. Penyalahgunaan
kekuasan menjadi faktor kekejaman
yang dilakukan pemerintah ketika
diamanahkan menjadi seorang
pemimpin. Dampaknya, masyarakat
yang seharusnya mendapatkan
perlindungan dan rasa aman justru
menderita karena pemimpinnya
sendiri.
Masyarakat dilukiskan dengan
berbagai macam penderitaan-
penderitaan seperti penculikan,
pembunuhan, penjara, dan lain-lain.
Kondisi masyarakat tersebut adalah
gambaran penindasan yang dialami
masyarakat pada masa Orde Baru di
era kepemimpinan Soeharto. Sebuah
kritik dari Seno Gumira Ajidarma
terhadap peristiwa kekerasan
pemerintah masa Orde Baru tahun
1977, dalam peristiwa tersebut warga
suku Amungme ditangkap dan
diinterogasi dalam penjara oleh pihak
militer karena protes kehadiran
freeport di Indonesia. Peristiwa
tersebut banyak memakan korban
Kritik Terhadap Pemerintah Orde Baru... (Prasasti dan Anggraini) 207
warga suku Amungme, banyak terjadi
penyiksaan yang dilakukan oleh
tentara dan polisi kepada masyarakat
lemah yang menolak adanya Freeport
(Nugroho, 2007:109). Pemerintah
sejatinya memiliki tugas utama yaitu
memelihara keamanan dan
menciptakan kesejahteraan
penduduknya. Tindakan kekerasan
yang dilakukan pemerintah jika tidak
dihentikan akan berdampak pada
kesejahteraan anggota masyarakat dan
mempengaruhi psikis masyarakat
tersebut.
Kekuasaan sejatinya digunakan
untuk membela masyarakat lemah
bukan sebagai alat penindas kaum
lemah. Demi sebuah politik, manusia
dapat kehilangan akal sehatnya
terhadap lingkungan sekitar hingga
rela saling menjatuhkan, menyakiti,
bahkan menindas perempuan yang
seharusnya dihormati. Fathorrahman
mengatakan bahwa manusia pada
dasarnya tidak mungkin lepas dari
permasalahan politik yang ada, hal
tersebut dapat dilihat dari sikap
pemerintah kepada masyarakat
(Fathorrohman, 2017:26). Bentuk-
bentuk kekerasan tersebut terdapat
dalam kutipan kalimat sebagai berikut.
Orang-orang diperkosa demi
politik, orang-orang dibakar, harta
bendanya dijarah, bagaimana orang
bisa hidup dengan tenang? Hanya
politik yang bisa membuat orang
membunuh atas nama agama. Mana
ada agama membenarkan
pembunuhan. Apakah ini tidak
terlalu berbahaya? Politik hanya
peduli dengan manusia. Apalagi
hati manusia. Apakah kamu bisa
membayangkan Pak, luka di setiap
keluarga itu?‖ (Ajidarma, 2001:
111).
Protes tokoh diwujudkan dengan
pengungkapan moral yang harus
dimiliki manusia. Tokoh Ibu
menyampaikan protesnya terhadap
keresahan masyarakat dengan kasus
pemerkosaan, pembunuhan,
pembakaran, dan penjarahan. Kasus
dalam naskah tersebut menjadi kasus
nyata yang diungkap Seno Gumira
Ajidarma pada rezim Orde Baru
terhadap kejadian pada bulan Mei
1998 tentang kerusuhan anti-
Tionghoa. Dalam peristiwa tersebut,
etnis Tionghoa diserang, harta benda
mereka dijarah, dan banyak
pemerkosaan yang dialami oleh
perempuan-perempuan Tionghoa
untuk meneror dan menghukum
Tionghoa (Fittrya, 2013:164). Hal
tersebut menggambarkan politik pada
rezim Orde Baru sangat rendah dalam
etika dan mengerti akan sesama
makhluk sosial. Pemimpin dalam
suatu kelompok seharusnya
membangun kesatuan dan persatuan
rakyatnya bukan menciptakan
kerusakan antarsosial. Kesalahan yang
dilakukan pemerintah tersebut jika
terjadi terus-menerus maka akan
berdampak negatif tidak hanya bagi
individu itu sendiri, melainkan
kesatuan negara.
Persepsi negatif orang tua hadir
setelah orang tua menghadapi banyak
peristiwa masa lalu yang suram.
Hingga gambaran, bagaimana
pemerintah sangat dikritisi oleh
seorang Ibu dan Bapak yang
kehilangan putranya. Penculikan
208 ALAYASASTRA, Volume 16, No. 2, November 2020
Satria pertama kali disebabkan atas
dasar kecurigaan pemerintah terhadap
Satria yang dianggap memberi
pengaruh besar pemberontakan
terhadap pemerintahan Orde Baru.
Pemerintah mampu melakukan segala
cara untuk kekuasaan dan keinginan
pribadinya. Fakta tersebut dapat
dicermati melalui data sebaga berikut.
―Untuk apa Satria dibunuh, untuk
apa? Dia tidak melakukan kejahatan
apa-apa. Dia tidak bisa memimpin
pemberontakan. Anak sekurus itu.‖
(Ajidarma, 2001: 109).
Kecurigaan yang dialami tokoh Ibu
disebabkan oleh tindakan pemerintah
yang menggunakan kekerasan. Akibat
peristiwa tersebut terjadi
ketidakseimbangan dan konflik. Jika
hal tersebut terus terjadi maka akan
menumbuhkan kebencian dan
kesengsaraan setiap keluarga anggota.
Pemerintah melakukan hal tersebut
untuk menjamin kelanggengan
kekuasaannya.
Dalam naskah, Ibu
digambarkan sebagai tokoh yang
merasa resah karena tidak mendapat
alasan mengapa Satria dibunuh. Hal
tersebut diungkapkan Seno berdasar
representasi dari kasus nyata masa
Orde Baru tahun 1980-an di mana
pada saat itu orang-orang banyak
menjadi korban pembunuhan tanpa
diketahui alasan yang jelas, tidak
diketahui pula siapa pelaku
pembunuhan tersebut, yang dikenal
dengan sebutan petrus atau
pembunuhan misterius (Putra,
2012:10). Kasus tersebut sama dengan
tokoh Ibu yang digambarkan dalam
naskah sebagai sosok ibu yang tidak
mengetahui alasan Satria dibunuh.
Tindakan kekerasan merupakan
suatu tindakan yang secara sadar
maupun tidak sadar dilakukan oleh
manusia kepada binatang bahkan
sesama manusia. Kekerasan dilakukan
karena beberapa faktor seperti amarah,
pemikiran yang menimbulkan emosi,
bahkan untuk memperoleh suatu
informasi. Hal tersebut diungkapkan
oleh Ibu, terhadap pemerintah yang
pada saat itu menculik Satria.
―Mereka bertanya sambil
mengemplang. Bertanya sambil
menyetrum. Mereka menginginkan
jawaban seperti yang mereka
kehendaki. Interogasi kok seperti
itu. Maksa! Dan Satria itu orangnya
ngeyelan. Mana mau dia ngaku
meski disakiti.‖ (Ajidarma,
2001:110).
Dalam cuplikan di atas, tokoh ibu
menceritakan penyiksaan yang
dilakukan olehpemerintah .
Penyiksaan dilakukan pemerintah
untuk memperoleh informasi, bahkan
untuk mengintimidasi seorang anak
bernama Satria. Kritik terhadap
pemerintah diungkapkan dengan
pemikiran negatif tokoh Ibu kepada
pemerintah, yaitu ringan tangan
terhadap rakyat kecil. Mereka diadili
tanpa dasar yang kuat. Apa yang
dilakukan pemerintah dalam kutipan
kalimat tersebut membuat anggota
keluarga merasa kehilangan yang
teramat dalam terutama seorang tokoh
Ibu. Pemerintah yang seharusnya
melindungi penerus bangsa justru
menyakiti secara fisik.
Kritik Terhadap Pemerintah Orde Baru... (Prasasti dan Anggraini) 209
Seno Gumira Ajidarma dalam
naskah drama Mengapa Kau Culik
Anak Kami? ingin melukiskan
kejadian nyata pemerintahan Indonesia
pada masa Orde Baru. Selain itu,
melalui naskah drama ini Seno ingin
mengungkap kasus pelanggaran HAM
di Indonesia era Orde Baru yang
dibiarkan menguap begitu saja. Dalam
naskah drama, tokoh Satria
digambarkan sebagai tokoh tahanan
yang tidak berdaya karena kekejaman
masa Orde Baru. Satria adalah
representasi dari seorang tahanan
bernama Effendi. Melalui tokoh
Satria, Seno menggambarkan
penderitaan akibat penculikan dan
penyiksaan pada era Orde Baru.
Seno Gumira Ajidarma
melukiskan peristiwa penculikan dan
penganiayaan 30 September 1965
dalam naskah dramanya (Margiyono,
2007:15). Kekejaman pemerintah
digambarkan melalui kehidupan Satria
dan kedua orang tuanya. Satria
merupakan representasi kekerasan
yang dilakukan pemerintah melalui
penahanan, penyiksaan dengan cara
diestrum, dipukul, ditempeleng atas
dasar kecurigaan dan demi tercapainya
tujuan pemerintah memperoleh
informasi. Kondisi penantian tokoh
Satria adalah gambaran atas ketakutan
dan ketidakberdayaan keluarga yang
disebabkan oleh ketidakharmonisan
pemerintahan Orde Baru sehingga
orang tua Satria merasa tidak tenang
dengan kondisi yang terjadi. Hal
serupa juga terjadi pada masa Orde
Baru, jika dikaitkan dengan kritis.
Banyak kesadisan kepada Efendi pada
masa itu. Salah satunya disiksa,
dipukul, disetrum, dan disabet oleh
tentara Indonesia. Padahal negara
Indonesia merupakan negara yang
berlandaskan kemanusiaan dalam
Pancasila. Pancasila menjadi dasar dan
mengatur masyarakat Indonesia
namun tragedi September 1965 tidak
menunjukkan nilai yang ada dalam sila
kedua dari Pancasila. Aparat negara
yang harusnya melindungi rakyat
justru menindas rakyat karena alasan
kecurigaan terhadap Efendi yang
masuk dalam golongan PKI. Padahal,
sifat kemanusiaan harusnya dimiliki
antarsesama untuk menjalin
keharmonisan satu sama lain.
Kritik terhadap Pemerintah dalam
Bidang Sosial
Pada dasarnya manusia merupakan
mahkluk sosial, rasa untuk saling
membutuhkan satu sama lain.
Makhluk sosial merupakan suatu sikap
sosial yang menciptakan suatu
interaksi sosial dalam kehidupan
sehari-hari (Musfhi, 2017:212).
Rendahnya rasa empati pada diri
manusia memberi pengaruh negatif
terhadap kehidupan sosial seseorang
dalam lingkungannya. Rendahnya rasa
empati dari pihak keluarga yang
dialami Ibu, menjadi bentuk
bagaimana ketakutan orang lain
terhadap pemerintah yang mampu
melancarkan strategi penculikan
secara halus.
―Aku cuma ingat bagaimana orang-
orang menjauh ketika semua itu
menimpa kita. Orang yang malang
malah dijauhi. Ada yang bilang.
―Sorry aku baru menelpon
210 ALAYASASTRA, Volume 16, No. 2, November 2020
sekarang, ini pun dari telepon
umum, karena aku takut teleponku
disadap, aku harap semuanya baik-
baik saja. Sorry, aku takut, aku
punya anak kecil soalnya‖ hmmmh.
Saudara-saudara menjauhi
semuanya. Takut, seperti kita ini
punya penyakit sampar.‖
(Ajidarma, 2001:93).
Teror atau penyadapan yang dilakukan
pemerintah mampu mengurangi
kepedulian individu yang satu dengan
individu yang lain. Tindakan tersebut
dilakukan pemerintah terhadap tokoh
Satria guna melancarkan rencana dan
menjatuhkan mereka yang berbeda
ideologi politiknya. Melalui
penyadapan tersebut menimbulkan
kekhawatiran tokoh Ibu dan Bapak,
melainkan juga dialami lingkungan
sekitar. Kekhawatiran lingkungan
terjadi karena takut diketahui memiliki
hubungan keluarga dengan kedua
orang tua korban. Wujud ketakutan
dan kekhawatiran tersebut adalah
gambaran kehidupan nyata era Orde
Baru tahun 1965. Pada masa itu ribuan
bahkan jutaan orang disangka sebagai
komunis sehingga banyak korban jiwa
berjatuhan, akibatnya kebebasan
masyarakat satu sama lain sangat
dibatasi dan menimbulkan ketakutan
dalam kehidupan sehari-hari (Manik,
2003:8). Pemerintah dalam
kenyataannya memiliki tugas
memasyarakatkan dan anti
diskriminasi bukan merusak
kehidupan keharmonisan sosial yang
berakibat terputusnya memutuskan tali
rasa saling peduli antarsesama.
Konflik sosial masyarakat pada
masa pemerintahan Orde Baru tidak
berhenti begitu saja. Tidak hanya
individu yang dibantai hingga mati
seperti binatang, melainkan
sekolompok kesenian yang berkiprah
dalam dunia ludrukpun di bunuh dan
mayatnya dibuang ke sungai oleh
pemimpin negara. Bentuk konflik
tersebut dapat ditelisik melalui data
sebagai berikut.
―Ketika semua pemain ludruk
dibantai, tinggal dia sendirian yang
tersisa. Di kali itulah, yang suatu
ketika bisa betul-betul merah
karena darah, mayat-mayat
mengalir seperti sampah. Di kali
itulah mayat teman-temannya
pemain ludruk mengapung.‖
(Ajidarma, 2001:95).
Pembantaian yang dilakukan
pemerintah Orde Baru dirasakan tokoh
Ibu, pada masa kecilnya, disebabkan
perbedaan pendapat antara masyarakat
dengan pemerintah. Pemerintah
khawatir jika pertunjukkan kesenian
seperti ludruk mampu memperburuk
posisi pemerintah pada masa itu
sehingga pemerintah melakukan
pembantaian anggota kesenian yang
menelan korban jiwa. Kesenian ludruk
merupakan budaya yang harus dijaga
bukan dibantai. Kesenian tersebut
harusnya diapresiasi oleh pemerintah
untuk menjaga kearifan lokal daerah
Jawa Timur karena kesenian daerah
merupakan aset budaya nasional. Jika
hal tersebut terus berlanjut tidak hanya
kesenian khas daerah yang terkena
dampaknya, perekonomian para
anggota kesenian ludrukpun menurun.
Bila dikaitkan dengan masa
Orde Baru, Seno Gumira Ajidarma
Kritik Terhadap Pemerintah Orde Baru... (Prasasti dan Anggraini) 211
ingin menggambarkan peristiwa tragis
pada tahun 1965, pemain ludruk
dibunuh karena dicurigai sebagai PKI.
Kesenian ludruk dianggap berikatan
dengan PKI karena berada di bawah
Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra).
Pemain ludruk pada masa itu berperan
sebagai kesenian yang mengkritik
sosial dan politik, pemain ludruk juga
sering membawakan kidung-kidung
yang mengkritik pemerintah (Safi’i,
2018: 12—13).
Manusia dalam hidup seharusnya
memiliki kepedulian sosial yang tinggi
untuk keseimbangan hidupnya.
Kehidupan masa Orde Baru dalam
naskah menunjukkan rendahnya
kepedulian pemerintah terhadap
masyarakat. Penyiksaan kepada orang
yang dianggap berpengaruh seakan
menjadi hal yang biasa dilakukan.
―Jadi mereka dengan sadar
melakukan pemaksaan. Menculik.
Menanyai sambil menempeleng dan
menyetrum. Atau menyuruhnya
tidur di atas balok es. Orang-orang
yang dilepaskan bercerita seperti itu
kan?‖ (Ajidarma, 2001: 111).
Bagi mereka yang tidak sepemikiran
dan memberi pengaruh bagi anggota
masyarakat yang lain, maka kekerasan
dijadikan alat oleh pemerintah agar
mereka mengakui apa yang sudah
direncanakan. Perlakuan tersebut
dilakukan karena pemerintah
mementingkan kekuasaannya, tidak
mau menerima aspirasi masyarakat,
sedangkan perilaku yang mendasari
jiwa seorang pemimpin adalah terbuka,
demokratis, dan berkedaulatan rakyat.
Bentuk kekerasan fisik berupa
penculikan, menempeleng,
menyetrum, dan tidur di atas balok es
adalah gambaran kehidupan nyata
yang dilakukan pemerintah rezim Orde
Baru. Dalam naskah Seno
mengungkap kasus penyiksaan fisik
berdasar peristiwa Tri Sakti tahun
1998, kekerasan tersebut berupa
penghilangan paksa, penyetruman,
penyiksaan, pembunuhan, dan
kekejaman-kekejaman lainnya yang
dilakukan rezim Orde Baru (Fatimah,
2007: 7—8). Konflik dan peperangan
dalam negara akan terjadi jika
pemerintah terus melakukan hal
tersebut.
Pendidikan pada hakikatnya
untuk meningkatkan kualitas
pembelajaran dan untuk kemajuan
pendidikan itu sendiri. Pendidikan
membentuk tenaga kerja yang terlatih
(Suti, 2011: 2). Pendidikan sebagai
solusi dari setiap segi permasalahan
yang harus dipecahkan dengan teori
atau pengetahuan (Nofrion, 2016: 44).
Dalam naskah drama Mengapa Kau
Culik Anak Kami? pendidikan
dijadikan sebagai objek tindak
kejahatan. Anak yang harusnya
nyaman dalam dunia pendidikan
menjadi terganggu proses belajarnya
dan orang berpendidikan yang
seharusnya memiliki moral yang baik
malah sebaliknya menjadi orang yang
bermental jahat (menindas, korup, dan
sebagainya). Kritik pemerintah terlihat
dalam masalah pendidikan yang
timpang pada fungsi pendidikan itu
sendiri. Fakta dapat dicermati dalam
kutipan sebagai berikut.
212 ALAYASASTRA, Volume 16, No. 2, November 2020
―Justru pendidikan itu digunakan
untuk mengibuli orang. Pendidikan
terror saja ada. Bukan untuk
meneror sorang saja, tapi juga
untuk masyarakat. Itu juga hasil
pendidikan lho. Pendidikan luar
negeri malah. Dan tidak sembarang
orang bisa mengendalikan
masyarakat sesuai dengan tujuan
terornya. Jadi pendidikan bukan
jaminan, pak.‖ (Ajidarma,
2001:117).
Pendidikan pada masa itu hanya untuk
mengibuli dan memberikan terror,
bukan saja untuk individu melainkan
untuk masyarakat luas. Terlebih bagi
mereka yang lulus pendidikan luar
negeri, yang notabenenya memiliki
kualitas lebih tinggi dari negara
sendiri. Kutipan data tersebut menjadi
bukti bahwa pendidikan pada masa itu
tidak lagi digunakan sebagaimana
semestinya.
Kasus pendidikan ini adalah
gambaran kehidupan nyata yang
diceritakan Seno Gumira Ajidarma
melalui naskahnya. Peristiwa tentang
seseorang yang memiliki pendidikan
pada masa Orde Baru, tidak untuk
menuntaskan permasalahan yang ada
di masa Orde Baru. Dari kutipan di
atas, Seno mengungkapkan
keresahannya terhadap pendidikan
yang disalahgunakan, terlebih
pendidikan luar negeri. Hal itu
sepadan dengan kasus pendidikan
pada masa Orde aru. Menurut Geertz
tentang superkultural metropolitan
Indonesia, mengenai pendidikan orang
barat yang memiliki kemampuan
berbahasa asing, akan tetapi kehadiran
intelektual itu justru menjadi
bumerang untuk negara (Geertz dalam
Husain, 2007: 69).
SIMPULAN
Berdasar hasil analisis mengenai
krtitik terhadap pemerintah pada
naskah Mengapa Kau Culik Anak
Kami? dapat disimpulkan sebagai
berikut.
Kritik pengarang diungkapkan
dalam bentuk sastra tulis berupa
naskah drama ketika pasca Orde Baru.
Melalui cerminan peristiwa kehidupan
masyarakat di masa tersebut, berupa
kritik terhadap pemerintah dalam
bidang ekonomi merupakan suatu
gambaran yang diungkapkan
pengarang pada masa Orde Baru
dengan menghadirkan berbagai
konflik masyarakat seperti rendahnya
moral masyarakat dengan
menghalalkan berbagai macam cara
untuk keberlangsungan hidup pada
keadaan tertentu di masa Orde Baru
tersebut. Konflik sosial diungkapkan
pengarang melalui tokoh Ibu dengan
peristiwa masa lalu (flashback)
seperti; pembantaian, pembunuhan
terhadap masyarakat, dan penculikan
terhadap Satria yang didasarkan atas
kecurigaan pemerintah. . Tidak hanya
kritik terhadap masalah bidang
ekonomi dan sosial masyarakat saja
yang diungkapkan oleh pengarang,
kritik dalam bidang politikpun
diungkapkan pengarang melalui
karakter-karakter pemimpin pada masa
Orde Baru dengan penyalahgunaan
kekuasaan yang dikemas dengan
konflik dalam alur sampai pada
klimaks cerita.
Kritik Terhadap Pemerintah Orde Baru... (Prasasti dan Anggraini) 213
Masalah dalam bidang ekonomi,
sosial, dan politik tersebut merupakan
gambaran penyiksaan terhadap
masyarakat di masa Orde Baru.
Penyiksaan yang terjadi dalam naskah
drama tersebut karena faktor
kecurigaan pemerintah, kecurigaan
tersebut dapat merusak tatanan
kehidupan tokoh. Melalui cara
tersebut, pengarang juga
memperlihatkan tujuan utama
pemerintah mengintimidasi yaitu
untuk memperoleh informasi.
Pengungkapan rekaman
permasalahan masa Orde Baru dalam
naskah membuat pembaca mengetahui
cerminan peristiwa pada masa tersebut
yang dikemas oleh pengarang melalui
watak tokoh dan alur dalam cerita.
Selain itu, pembaca juga dapat
mengetahui bagaimana konflik-konflik
di masa Orde Baru, yang dibuat lebih
hidup dalam bentuk naskah drama
oleh pengarang.
DAFTAR PUSTAKA
Ajidarma, S. G. (2001). Mengapa Kau
Culik Anak Kami. In
Alayasastra. Galang Press.
Aliyah, L. N. (2010). Kritik Sosial
dalam Kumpulan Sajak
Terkenang Topeng Cirebon
Karya Ajib Rosidi: Tinjauan
Sosiologi Sastra. Skripsi
diterbitkan. FKIP Universitas
Muhammadiyah Surakarta.
Anam, C. (2018). Citra Perempuan
dalam Novel Cerita Tentang Rani
Karya Herry Santoso; Tinjauan
Kritik Sastra Feminis. Tesis
diterbitkan. FIB Universitas
Diponegoro Semarang.
Biantoro, B. A. (2012). Kritik Sosial
dalam Novel Kalatidha Karya
Seno Gumira Ajidarma: Tinjauan
Sosiologi Sastra. FKIP
Universitas Muhammadiyah
Surakarta.
Fathorrohman. (2017). Tipologi
Politik Pencitraan dalam Novel
Negeri di Ujung Tanduk Karya
Tere Liye. Lingua Franca, 5 (2),
25—35.
Fatimah, S. (2007). Perempuan dan
Kekerasan Pada Masa Orde Baru.
Demokrasi, vi (2), 1—12.
Firdiyanti, B. (2016). Strategi
Bertahan Hidup Pengrajin
Gerabah sebagai Upaya
Pemenuhan Kebutuhan di Desa
Kademangan Kecamatan
Mojoagung Kabupaten Jombang.
Swara Bhumi, 1 (2), 13–19.
Fittrya, L. (2013). Tionghoa dalam
Diskriminasi Orde Baru Tahun
1967—2000. AVATARA, 1 (2),
159—166.
Hardjana, A. (1985). Kritik Sastra
Sebuah Pengantar. Gramedia.
Husain, S. B. (2007). Referensi Buku
Keroncong Cinta: Antara Cara
Pemahaman, Cara Perhubungan
dan Cara Penciptaan. MOZAIK, 1
(1), 67—74.
Jaiyudin, L. O. M. (2016). Kritik
Sosial dalam Novel Merajut
Harkat Karya Putu Oka Sukanta.
Basastra (Bahasa Dam Sastra), 2
(1), 1—17.
Khusna, M. (2015). Kekerasan Politik
Masa Orde Baru dalam Naskah
Drama Mengapa Kau Culik Anak
Kami Karya Seno Gumira
214 ALAYASASTRA, Volume 16, No. 2, November 2020
Ajidarma: Tinjauan
Strukturalisme Genetik.
Universitas Negeri Yogyakarta.
Krissandi, A. D. S. (2014). Cerpen-
Cerpen Kompas 1970—1980
dalam Hegemoni Negara Negara
Orde Baru (Analisis Wacana
Kritis). Poetika, II (1), 21—30.
Kurnia, I. N & Anggraeni, N. (2018).
Nilai-Nilai Sosial yang
Terefleksikan Melalui Tokoh-
Tokoh Perempuan dalam Drama
Trifles Karya Susan Glaspell:
Tinjauan Sosiologi Sastra. Diksi,
26 (2). 93—103.
Maliki, Z. (2018). Sosiologi Politik:
Makna Kekuasan dan
Tranformasi Politik. Gadjah
Mada University Press.
Manik, V. (2003). Reproduksi
Kekerasan Tanpa Akhir: Sebuah
Pandangan terhadap
Ketidakmampuan Negara
Mengelola Kekerasan.
Kriminologi Indonesia, 3 (1), 1—
12.
Margiyono, Y. (2007). Neraka Rezim
Orde Baru Tempat-Tempat
penyiksaan Orde Baru. Medio.
Marzuki, S. (2006). Kekerasan dan
Ketakutan pada Kekerasan.
UNISIA, XX (III), 317—330.
Musfhi, M. (2017). Model Interaksi
Sosial dalam Mengelaborasi
Keterampilan Sosial.
PEDAGOGIK, 4 (2), 212.
Naratungga, I. (2014). Kepribadian
Tokoh Utama dalam Novel
Nyanyian Batanghari Karya
Harry B. Kori’un. Ilmiah
Kebahasaan Dan Kesastraan, ii
(2), 111—120.
Nofrion. (2016). Komunikasi
Pendidikan. Prenadamedia
Group.
Nugroho. (2007). Kekuatan Modal
dan Perilaku Kekerasan Negara
pada Masa Orde Baru: Studi
Kasus Freeport. UKSW.
Oksinata, H. (2010). Kritik Sosial
dalam Kumpulan Puisi Aku Ingin
Jadi Peluru Karya Wiji Thukul
(kajian resepsi sastra). Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan.
Universitas Sebelas Maret.
Pradopo, R. D. (2001). Kritik sastra
Modern. Gama Media.
Pradopo, R. D. (2002). Kritik Sastra
Indonesia Modern. Gama Media.
Putra, C. R. w. (2018). Cerminan
Zaman dalam Puisi (Tanpa Judul)
Karya Wiji Thukul: Kajian
Sosiologi Sastra. KEMBARA, 4
(1), 12–20.
Putra, E. (2012). Kekerasan Negara
dalam Kumpulan Cerpen
Penembak Misterius Karya Seno
Gumira Ajidarma. Program Studi
Sastra Indonesia Fakultas Ilmu
Budaya Jatinangor.
Rina M.F. Harun Joko Prayitno, dkk.
(2010). Nafron Hasyim, dan
Harun Joko Prayitno. 2010.
Pembinaan dan Pementasan
Teater Sekolah serta Fungsinya
dalam Pembelajaran Apresiasi
Drama di Kelas XI SMA
Pangudiluhur Surakarta.
Humaniora, 11 (2), 187.
Safi’i, I. & T. (2018). Sejarah
Menjamurnya Masjid dan
Langgar Pasca-65 di Kecamatan
Tanggung Gunung, Tulung
Agung. Kontemplasi, 6 (2),
Kritik Terhadap Pemerintah Orde Baru... (Prasasti dan Anggraini) 215
291—308.
Soesastro, H. (2005). Pemikiran dan
Permasalahan Ekonomi di
Indonesia dalam Setengah Abad
Terakhir. Kanisiu.
Suti, M. (2011). Strategi Peningkatan
Mutu di Era Otonomi Pendidikan.
MEDTEK, 3 (2), 1—6.
Recommended